Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Bali Sekala Niskala
Selasa, 29 Januari 2008
Sekala dan Niskala bagi umat Hindu di Bali sudah merupakan Subha Sita seperti istilah dalam pustaka Canakya Nitisastra. Subha Sita artinya kata-kata bijak sebagai salah satu dari tiga ratna permata bumi. Sekala dan niskala seyogianya menjadi pedoman hidup orang-orang Bali dalam menata berbagai aspek kehidupannya. Seperti apakah membangun Bali yang seimbang secara sekala dan niskala?

========================================================

AGAMA Hindu bukan agama yang hanya mengajarkan tentang kerohanian untuk mencapai sorga atau moksha. Agama Hindu justru mengajarkan tentang kehidupan yang seimbang dan terpadu antara kehidupan jasmaniah dan rohaniah. Hal ini dapat kita lihat dari penerapan sistem religi Hindu yang memotivasi umat Hindu di Bali agar membangun kehidupannya secara sekala dan niskala.

Dari sistem pemujaan saja dari tingkat Kahyangan Jagat sampai tingkat pemujaan keluarga terdapat simbol-simbol sakral untuk membangun kehidupan yang seimbang itu. Di tingkat Kahyangan Jagat ada Pura Besakih sebagai Pura Purusa dan Pura Batur sebagai Pura Pradana.

Pemujaan Tuhan di tingkat pemujaan keluarga ada Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai simbol pemujaan untuk memotivasi umat agar membangun kehidupannya secara seimbang sekala dan niskala. Demikian juga dalam sistem ritual keagamaan Hindu di Bali juga amat banyak yang mengandung nilai-nilai yang bermakna untuk mendorong kehidupan yang seimbang sekala dan niskala. Apa lagi dalam naskah-naskah sastra Hindu di Bali sudah sangat banyak sekali yang mengajarkan tentang membangun kehidupan yang seimbang itu.

Dilihat dari sistem nilai tersebut Bali sudah sangat kaya. Tetapi yang cukup merosot adalah penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan empiris. Secara fisik alam Bali sudah semakin merana. Demikian juga perilaku sosial sudah semakin muncul perilaku yang tidak sesuai dengan acuan nilai-nilai budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu.

Adat di Bali seyogianya menguatkan penerapan tattwa. Tetapi masih ada terpelihara adat-istiadat yang sesat merendahkan harkat dan martabat manusia Bali. Masih ada persaudaraan di Bali tanpa bersahabat. Bersaudara sesama umat pemeluk satu agama tetapi tidak bersahabat. Kalau ada perbedaan mereka pun bermusuhan habis-habisan. Ada yang diusir dari tempat pemukimannya di desa adat. Ada yang tidak boleh menguburkan jenazah keluarganya di kuburan desa. Ada pendeta yang dianggap tidak boleh setara dengan pendeta lainnya.

Masih adanya terpelihara adat-istiadat yang sesat itu karena kealpaan dalam memahami nilai-nilai kebudayaan Bali yang adiluhung itu. Nilai-nilai kebudayaan Bali sering diabaikan dalam memelihara adat-istiadat. Pada hal filosofi harmoni Bali itu adalah membangun hidup rukun dan damai secara vertikal dan horizontal.

Kerukunan dan kedamaian secara vertikal antargenerasi dibangun dengan konsep Catur Asrama. Hubungan vertikal antara Brahmacari, Grhastha, Wanaprasta dan Sanyasa akan membangun harmoni Bali secara vertikal antara generasi. Kalau tiap-tiap Asrama ini hidup mengikuti swadharma-nya maka akan terjadi harmoni Bali antargenerasi. Kalau hubungan antara-asrama ini terputus-putus maka harmoni Bali secara vertikal antargenerasi akan rusak. Generasi muda mengabaikan generasi tua, demikian selanjutnya. Kesinambungan kebudayaan pun akan putus.

Oleh karena itu, membangun tegaknya harmoni Bali secara vertikal antargenerasi seyogianya berpegang pada ajaran Catur Asrama. Banjar di Bali anggotanya terdiri atas krama teruna-teruni yang identik dengan Brahmacari Asrama. Krama ngarep identik dengan Grhastha Asrama. Sedangkan krama lingsir identik dengan Wanaprastha Asrama. Sanyasin Asrama menurut Agastia Parwa tidak boleh lagi berorganisasi dalam masyarakat. Di pura balai banjar Tuhan dipuja sebagai Batara Penyarikan. Kata ''nharik'' artinya bertahap. Maksudnya Tuhan dipuja di pura balai banjar untuk memohon tuntunan agar tahapan-tahapan hidup berdasarkan asrama dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.

Harmoni Bali juga dibangun secara horizontal dengan dasar ajaran Catur Varna. Dengan ajaran Catur Varna Bali dapat dibangun kehidupan yang rukun dan damai secara horizontal antara profesi. Profesi manusia yang berbeda-beda itu sesungguhnya saling membutuhkan satu sama lainnya secara terpadu.

Sayang di Bali ajaran Catur Varna ini terpeleset ke dalam lumpur kasta yang membeda-bedakan harkat dan martabat manusia berdasarkan keturunan. Meluruskan ajaran Catur Varna ini kembali pada konsepnya sudah demikian banyak menghabiskan energi manusia Bali. Kalau ajaran Catur Varna itu bisa ditegakkan kembali akan menjadi landasan pembangunan profesi yang bersinergi satu sama lainnya. Karena pembangunan profesi itu tidak saja membutuhkan profesi secara teknis, tetapi bagaimana para profesionalisme itu bisa membangun moral dan mental yang kuat.

Dinamika para profesionalisme dalam persaingan bebas sekarang ini cukup berat tantangannya. Dengan ajaran Catur Varna dapat dibangun semangat hidup untuk memiliki suatu profesi yang kuat dan andal menghadapi persaingan global. Karena itu perlu dibangun suatu kerukunan terpadu antara para profesionalisme agar persaingan yang terjadi tidak untuk saling menjatuhkan.

Persaingan itu harus saling memberi semangat untuk meningkatkan kualitas profesi masing-masing. Dengan memuja Tuhan sebagai pencipta Purusa dan Pradana umat Hindu di Bali seyogianya mengembangkan profesinya dalam berbagai bidang yang meliputi bidang sekala dan niskala.

Bidang sekala yang menyangkut bidang-bidang fisik material dan bidang niskala adalah bidang yang menyangkut bidang-bidang nonfisik. Pembangunan manusia yang utuh adalah membina kehidupan fisik, moral dan mentalnya.

Dalam kehidupan modern ini pembangunan bidang sekala dan niskala tersebut membutuhkan SDM yang profesional. Para profesionalisme harus bersinergi dengan setara horizontal sehingga tercipta harmoni Bali yang dinamis untuk menciptakan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang dan kontinu.

Membangun manusia yang berkualitas membutuhkan adanya produktivitas yang seimbang dan kontinu antara aspek fisik material dan aspek mental spiritual. Dengan pemujaan Tuhan sebagai pencipta Purusa dan Pradana itu semua profesional memiliki landasan religiusitas yang kuat dalam mengembangkan profesinya. Hal ini akan dapat menciptakan persaingan yang sehat di dunia profesi. * wiana

posted by I Made Artawan @ 17.58   0 comments
Rahajeng Galungan
Senin, 21 Januari 2008
Om Swastyastu, Swastu nyanggra Galungan lan Kuningan, Majeng ring Palingsir tiang sinamian Ring Banjar Gunung Rata Desa Getakan - Banjarangkan - Klungkung, Seka Truna Sinamaian wenten Soling, Bandengan, Kare, Perak, Mank Juli, KKn, Moleh GunRat, Koplar, Dipong, Keprok, Mank Agus, Kaki, Dewa Mank Basur, Ti Bego, Pindang, Pedit, Paket, Prodonk, Balon, Unyil, Sangut lan sane tiosan sane nenten wedaran titiang ring galah sane mangkin. Mogi-mogi semeton lan paiketan tityang sami ngemangguhin kerahayuan. Mejalaran antuk ngemargiang Dharma lan Agama pastika sampun irage sami kapaica panugrahan saking Ida Hyang Prama Kawi, lamakane labda karya ring sejeroning pemargi sane keaptiang. Ngiring mangkin sikian manah, mangda dina Galungan lan Kuningan memargi becik ring sejeroning wewidangan ida danene lan keluarga. Om Santih, Santih, Santih, Om Saking tityang, Pindang
posted by I Made Artawan @ 18.07   0 comments
Tiga Sifat Menuju Kehancuran
Trividam narakasyedam, Dvaram nasanam atmanah, Kamah krodhas tatha lobhas, Tasmat etat trayam tyajet.(Bhagavadgita, XVI.21) Artinya: Inilah tiga pintu gerbang menuju neraka, jalan menuju jurang kehancuran diri, yaitu nafsu (kama), amarah (krodra) dan ambisi/serakah (lobha) setiap orang harus meninggalkan sifat ini.

Kebahagiaan hidup merupakan cita-cita setiap manusia, namun hidup dalam dunia realitas ini manusia mengalami pasang surut kehidupan, laksana pasang surut gelombang di tepi laut. Dalam pasang surut kehidupan, seseorang yang tidak memiliki pegangan hidup, pegangan spiritual, moral dan etika, ibarat sebuah perahu tanpa nahkoda, akan selalu terombang ambing, terhempas, dan bahkan tenggelam ke dasar laut yang paling dalam.

Sungguh eronis, di tengah kesemarakan beragama muncul berbagai permasalahan moralitas yang melanda dunia ini, dari yang terkecil hingga yang sedemikian fatal. Bila diperhatikan berita-berita di media massa, berbagai macam jenis tindakan kriminalitas mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, negara bahkan antar negara. Akibat perbuatan kriminal, baik yang dilakukan secara individu atau pun kelompok menyebabkan kerugian materi yang tidak sedikit, bahkan korban nyawapun menjadi sia-sia. Tidak hanya itu keluarga yang ditinggal menderita lahir batin. Hidup menjadi tidak aman dan nyaman, tidur tidak nyenyak, bepergian was-was.

Dr. Soejatmoko sebagaimana dikutif oleh Wiana dalam membenahi kualitas persaudaraan pada abab ke 21 berpendapat bahwa ada tiga masalah yang dihadapi oleh umat manusia pada jaman modern sekarang ini. Pertama, semakin lemahnya kemampuan survival umat manusia. Kedua, terjadinya kemiskinan terutama di dunia ketiga, dan masalah ketiga adalah semakin lemahnya kemampuan manusia untuk mengendalikan diri akibat negatif dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat kriminalitas. Menurut ajaran Hindu munculnya berbagai macam perbuatan kriminalitas didasarkan pada 3 sifat manusia yaitu nafsu, amarah, dan ambisi / serakah, yang ketiga-tiganya tidak dapat dikendalikan oleh pikiran. Tiga sifat buruk tersebut bila bergabung dengan Sad ripu (enam musuh dalam diri manusia), dan Sapta Timira (tujuh kemabukan duniawi) jelas akan menjerumuskan hidup dan kehidupan umat manusia menuju kehancuran.

Kitab Sarasamuscaya sloka 80, mengingatkan: "sebab yang disebut pikiran itu, adalah sumbernya nafsu, ialah yang menggerakkan perbuatan yang baik ataupun yang buruk, oleh karena itu, pikiranlah yang segera patut diusahakan pengekangannya/pengendaliannya. Dengan kekuatan akal pikiran disertai semangat yang kuat manusia akan mampu merubah sifat yang buruk (asubha karma) menjadi sifat yang baik (subha karma). Berbeda dengan binatang yang tidak memiliki akal pikiran, binatang hanya memiliki insting. Binatang tidak bisa merubah kebutuhan makanannya, misalnya, sapi makan rumput, sampai kapanpun sapi tidak bisa dipaksakan untuk makan nasi atau daging, lain halnya dengan manusia, bisa makan apa saja yang bisa dimakan, dengan kekuatan pikirannya manusia mampu tidak makan daging selama hidupnya, dia hanya makan tahu, tempe nasi dan sayur.

Bagaimana orang yang dikuasai amarah dan lobha ? Kitab Bhagawadgita II.62.63 mengingatkan kita, manusia yang hanya memikirkan benda -benda jasmani dalam hidupnya, maka orang tersebut akan terbelenggu padanya, dari padanya lahir keinginan dan dari keinginan ini timbullah amarah. Dari amarah timbul kebingungan, dari kebingungan hilang ingatan, dari hilang ingatan menghancurkan pikiran dari kehancuran pikiran ia mengalami kemusnahan. Oleh karena itu, ajaran agama yang diturunkan Oleh Tuhan hendaknya menjadi pegangan hidup. Seseorang yang memiliki pegangan hidup bagaikan seorang peselancar yang mahir, selalu tersenyum riang meniti gelombang, walaupun sekali waktu ia harus tergulung ombak yang besar karena tiupan angin yang kencang, namun dia bangkit lagi. Demikianlah halnya manusia yang tidak terseret oleh arus tiga sifat itu.**
posted by I Made Artawan @ 17.54   0 comments
Galungan
Galungan : Pesan Universal, Tradisi Lokal TRADISI beragama Hindu di Bali wujudnya sangat lokal Bali. Tetapi, di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang universal. Galungan, misalnya, yang segera akan dirayakan umat Hindu, dapat dilaksanakan di mana saja dan kapan saja. Nilai yang dikandungnya tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu saja. Nilai yang universal diwujudkan dengan budaya lokal, agar nilai global universal itu lebih mudah diaktualkan dalam kehidupan sosial yang kontekstual dengan perkembangan ruang dan waktu. Nilai-nilai moral yang universal dalam perayaan Galungan tersurat dan tersirat dalam teks kitab sastra. Teks penjelasan Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama. Dalam teksnya ada yang tersurat pesan moral yang universal dan ada juga yang tersurat untuk aplikasi lokal. Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.

Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan, Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan patitis ikang jnyana sandhi galang apadang mariakena biaparaning idep. Artinya, Galungan adalah memusatkan (patitis) pengetahuan suci (jnyana) untuk mendapatkan kekuatan yang terang (galang apadang) untuk menghilangkan kegelapan hati (mariakena biaparaning idep). Pesan moral yang universal itulah hendaknya terus-menerus kita renungkan sebagai intisari perayaan Galungan. Hal ini untuk menghindari perayaan Galungan berhenti pada kegiatan yang lebih menekankan pada hura-hura tanpa makna. Kemeriahan dan keindahan dalam merayakan Galungan memang sepatutnya kita wujudkan. Namun, kemeriahan dan keindahan itu hendaknya sebagai pengejawantahan dari pesan moral universal dari Galungan. Karena itu, sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan dan penampahan. Semua istilah tersebut kedengarannya sangat lokal Bali. Tetapi, kalau kita runut teksnya ternyata mengandung nilai yang benar-benar universal.

Sugian ada tiga kali. Budha Pon wuku Sungsang Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut dan seterusnya.

Kalau kesadaran itu dasarnya kita tidak terjebak untuk mengikuti tradisi yang sesat, justru yang harus diperkuat, tradisi yang berdasarkan kebenaran (Dharma) Wrehaspati Wage wuku Sungsang Sugian Jawa. Jawa dalam hal ini artinya jaba, di luar diri kita. Dalam lontar Sunarigama dinyatakan: Sugian Jawa mratistha bhuwana agung. Artinya, Sugian Jawa itu menyucikan bhuwana agung. Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan, Sugian Bali mratistha raga tahulan. Artinya, Sugian Bali adalah sebagai media untuk menyucikan diri pribadi.

Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan. Dalam lontar dinyatakan: embang Sugian anyekung jnyana nirmalakna. Artinya, mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan: matirtha Gocara. Artinya, memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan. Upacaranya natab banten sesayut pamiakala laramelaradan yang disebut Sesayut Penampahan. Natab banten ini sebagai lambang peningkatan rohani dalam tahap Wiweka Jnyana. Artinya, kondisi rohani yang sudah dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Nampah dalam hal ini adalah ''menyembelih'' sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Galungan.

Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata Dungulan yang artinya menang atau unggul. Mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Untuk itu haruslah menempuh tahapan-tahapan hidup seperti yang dilukiskan dalam merayakan Galungan. Dari kesadaran diri, membenahi kesejahteraan alam (Bhuta Hita), membina kesucian diri, mengkonsentrasikan kesucian diri dan memohon restu pada Tuhan. Terpadunya kekuatan perjuangan manusia dengan anugerah Tuhan itulah yang akan membawa kemenangan dalam hidup ini.

Nilai-nilai itulah yang harus dijadikan membangun kondisi hidup yang harus diperjuangkan pada setiap Galungan. Lebih-lebih di zaman global ini godaan dan tantangan hidup semakin besar dan multi dimensi. Karena itu Galungan adalah salah satu tonggak peringatan setiap enam bulan agar manusia jangan sampai lupa akan nilai-nilai moral universal yang dikandung oleh tahapan-tahapan perayaan Galungan. Nilai-nilai perayaan Galungan yang tersurat dalam sastra itulah yang lebih utama kita renungkan dalam setiap merayakan Galungan.

Hari raya artinya, hari yang kita rayakan atau besarkan serta utamakan nilai-nilai hakikinya untuk direnungkan lebih dalam. Dari perenungan itu kita wujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari menjalani tahapan hidup.

posted by I Made Artawan @ 17.48   0 comments
Makna Padharman
Makna Padharman bagi Generasi Penerus

Pemujaan roh suci atau Dewa Pitara di Pura Padharman memiliki makna yang luas dan dalam. Apalagi yang distanakan di Pura Padharman adalah tokoh-tokoh yang memegang peran penting dalam kehidupan bersama dalam masyarakat, bahkan dalam suatu negara kerajaan. Pemujaan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pemujaan leluhur sebagai tangga menuju pemujaan pada Tuhan. Pemujaan di Pura Padharman memiliki makna yang jauh lebih luas daripada pemujaan di Merajan Kamulan Taksu.

==========================================================

Begitu juga pemujaan di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung. Setiap roh suci raja yang distanakan di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung patut dijadikan bahan renungan bagi generasi penerus, baik bagi keturunan raja secara langsung maupun bagi masyarakat luas. Seperti keberadaan Raja Ida Dalem Sri Krsna Kepakisan. Raja ini adalah putra Mpu Kepakisan dari Jawa Timur. Dari gelar Mpu itu dapat kita simpulkan bahwa Ida Dalem Sri Krsna Kepakisan itu adalah keturunan Brahmana. Karena beliau diangkat oleh Raja Majapahit sebagai raja maka beliau tidak menggunakan gelar Mpu sebagai gelar seorang pandita atau brahmana.

Hal ini dapat diasumsikan bahwa saat itu seorang brahmana tidak sertamerta keturunannya disebut brahmana. Tergantung profesinya dan jabatannya. Ada ayahnya brahmana, putranya sebagai ksatria karena jabatan dan profesinya ada juga seorang yang pada mulanya sebagai ksatria selanjutnya menjadi brahmana. Seperti Mpu Kuturan yang pada mulanya sebagai senapati selanjutnya menjadi brahmana dengan gelar Mpu.

Gelar senapati adalah gelar atau jabatan ksatria pada zaman kerajaan di Bali. Sedangkan gelar mpu adalah gelar untuk jabatan bagi seorang yang sudah dwijati atau sebagai pandita. Dari keberadaan Raja Klungkung Ida Dalem Sri Krsna Kepakisan itu dapat kita simpulkan, bahwa saat itu ajaran Catur Varna berjalan baik. Tidak ada seorang disebut brahmana, ksatria, waisia atau sudra karena berdasarkan keturunan. Semuanya itu ditentukan oleh profesi atau jabatan yang dipegangnya.

Catur Varna ditentukan oleh Guna dan Karma bukan oleh wangsa atau keturunan. Saya yakin sebagian besar umat Hindu sudah paham akan hal ini. Tetapi perubahan ke arah kembali pada ajaran Catur Varna masih demikian lambat. Ada baiknya keberadaan Pura Padharman Ida Dalem Klungkung itu dijadikan bahan renungan. Dengan demikian proses memelihara adat-istiadat Hindu di Bali berdasarkan konsep Tri Kona masih berjalan dengan amat lambat. Hal ini menyebabkan berbagai kemajuan hidup beragama Hindu yang seharusnya kita bisa raih menjadi banyak tertinggal.

Keberadaan Pura Padharman Ida Dalem Klungkung di Besakih dapat dijadikan bahan kajian untuk memetik berbagai nilai-nilai positif yang ada di balik Pura Padharman tersebut. Raja itu memang seorang manusia biasa. Tentunya setiap raja pasti ada sisi terang dan sisi gelapnya. Semuanya itu dapat dijadikan bahan pelajaran dengan konsep Atita, Nagata dan Wartamana.

Apa yang terjadi pada masa lampau (Atita) patut direnungkan secara mendalam untuk menentukan apa yang mungkin kita dapat cita-citakan pada masa yang akan datang (Nagata). Dari dua sudut kajian itulah kita bisa rumuskan langkah saat ini (Wartamana). Dengan cara berpikir seperti itu kita bisa tidak kehilangan masa lampau yang gemilang atau tidak tersandung ulang tentang kesalahan yang mungkin terjadi di masa lampau. Artinya, hal-hal yang baik pada masa lampau dapat dijadikan modal dasar mengembangkan keberhasilan ke depan. Sebaliknya berbagai kegagalan atau kesalahan di mana lampau janganlah terulang lagi pada masa kini.

Pepatah mengatakan jangan kehilangan tongkat untuk kedua kalinya. Pengalaman baik dan buruk pada masa lampau kedua-duanya dapat dijadikan guru menuju kesuksesan hidup ke depan.

Yang juga cukup menarik untuk direnungkan adalah perpindahan pusat kerajaan yang dipimpin oleh Dinasti Ida Dalem Sri Krsna Kepakisan. Pada awalnya pusat kerajaan di Samplangan dengan sebutan Linggarsa Pura di timur kota Gianyar sekarang. Dari Linggarsa Pura Pindah ke Gelgel dengan nama kota Sweca Pura dan terakhir ke Semara Pura kota Klungkung sekarang. Hal ini cukup menarik direnungkan oleh generasi sekarang.

Dalam peristiwa tersebut ada yang dipertahankan dan ada yang selalu siap diubah. Yang tetap dipertahankan adalah kalangsungan eksistensi kerajaan. Yang boleh berubah-ubah adalah pusat pemerintahan kerajaan. Kehidupan bersana akan kacau apabila tidak ada yang memimpin. Karena itu dalam Canakya Nitisastra ada dinyatakan bahwa dalam setiap kehidupan bersama yang bermukim harus ada pemimpin yang zaman dahulu disebut raja. Di samping itu dalam setiap pemukiman hidup bersama itu harus ada Pandita, Vaidya, Danada dan Nadi.

Kata ''raja'' sesungguh berasal dari kata rajintah yang artinya membahagiakan rakyat. Menurut Nitisastra hanya pemimpin yang mampu membahagiakan rakyatnyalah yang dapat disebut raja, demi kelangsungan pemerintahan kerajaan. Memang dalam praktiknya ada yang terbalik, ada raja yang lebih mengutamakan kebahagiaan dirinya dari kebahagiaan rakyat. Hal itu adalah suatu penyimpangan dengan idealisme raja menurut ajaran Nitisastra dalam agama Hindu.

Mungkin mirip dengan keadaan sekarang. Kewajiban utama pejabat negara pada hakikatnya adalah mengupayakan rasa aman dan kesejahteraan warga negara. Tetapi masih banyak oknum pejabat negara yang lebih mengutamakan kesejahteraan diri dan keluarganya daripada mengurusi warga negara. Tentunya hal ini menyimpang dari hakikat bernegara.

Kembali pada berpindah-pindahnya pusat kerajaan Dinasti Ida Dalem Sri Krsna Kepakisan patut dijadikan bahan studi. Apa yang menjadi pertimbangan utama dari perpindahan tersebut. Apa dari sudut keamanan pusat kerajaan, atau dari sudut pandang strategi pemerintahan atau pertimbangan spiritual.

Demikian juga pusat kerajaan pada awalnya bernama Pura, terus berubah menjadi Puri. Renungan pada semuanya itu akan amat berguna dalam memandang masa lalu (Atita) sebagai bahan dasar untuk merumuskan cita-cita ke depan (nagata). Dengan memadukan cara pandang Atita dengan Nagata maka akan mempermudah generasi sekarang merumuskan langkah yang harus dilakukan pada masa kini (Wartamana).

Sesungguhnya masih banyak nilai yang dapat disimak di balik keberadaan Pura Padharman Ida Dalem Klungkung yang amat berguna untuk pegangan hidup bagi generasi yang sekarang. * wiana

posted by I Made Artawan @ 00.57   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas