Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Pawiwahan Adat Bali
Senin, 20 Oktober 2008
Pawiwahan atau Pernikahan adat menurut orang bali pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Sarana Pawiwahan berupa Segehan cacahan warna lima, Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa), Tetabuhan (air tawar, tuak, arak), Padengan-dengan/pekata-kalaan, Pejati, Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan), Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya berisi
periuk, bakul yang berisi uang), Bakul, Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih. Pelaksanaan Pawiwahan dipimpin oieh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku. Tata cara pawiwahan Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan. Mantram-mantram Pawiwahan adalah Mantram prayascita yaitu : Om Hrim, Srim, Nam, Sam, Wam, Yam, sarwa rogra satru winasaya rah um phat. Om Hrim, Srim, Am, Tarn, Sam, Bam, Im, Sarwa danda mala papa klesa winasaya rah, um, phat. Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa papa petaka wenasaya rah um phat. Om siddhi guru srom sarwasat, Om sarwa wighna winasaya sarwa klesa wenasaya, sarwa rogha wena saya, sarwa satru wenasaya sarwa dusta wenasaya sarwa papa wenasaya astu ya namah swaha. Yang artinya : Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana, dan lain-lain menjadi sirna. Mantram bhyakala yaitu : Om indah ta kita dang kala-kali, peniki pabhyakalane si..... (sebut namanya) katur ring sang kala-kali sadaya, sira reko pakulun angeluaraken sakvvehing kala, kacarik, kala patti, kala kaparan, kala krogan, kala mujar, kala kakepengan, kala sepetan, kala kepepek, kala cangkringan, kala durbala durbali, kala Brahma makadi sakwehing kala heneng ring awak sariranipun. Si....... (sebut lagi namanya) sama pada keluarana denira Bethara Ciwa wruh ya sira ring Hyang Ganing awak sarirania, kajenengana denira Hyang Tri Purusangkara, kasaksenan denira Hyang Trayodasa saksi, lahya maruat Sang kala-kali mundura dulurane rahayu den nutugang tuwuhipun si....... (sebut lagi namanya) tunggunen dening bayu pramana, mwang wreddhiputra listu ayu. Yang artinya Wahai Sang Kala-kali inilah upacara bhyakalanya si....... yang disuguhkan kepada Sang Kala-kali. Kiranya dapatlah oleh-Mu dikeluarkan segala perintang yang ada pada diri si....... ini yang juga diperintahkan oieh Hyang Widhi Siwa dan leluhurnya, sehingga dengan demikian ia dapat menyucikan dirinya untuk selanjutnya disemayami oleh Hyang Tri Purusa (Parama Siwa, dan Siwatma) serta disaksikan oleh Hyang Trayodasa saksi (ke tiga belas saksi). dan Mantram mejaya-jaya yaitu : Om dirghayur astu ta astu, Om Awighnam astu tat astu, Om Cubham astu tat astu, Om Sukham bhawantu, Om Pumam bhawantu, Om sreyam bhawantu. Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha. Yang artinya : Om Hyang Widhi Wasa semoga dianugerahi kesejahteraan, kebahagiaan dan panjang umur. Selamat atas pawiwahan Ni Longgong atau Ni Made Juniari dari Banjar Gunung Rata Desa Getakan, Banjarangkan - Klungkung dengan dengan Siapa kaden namanya (habis belum kenalan) Pemuda asal Gianyar. Selamat Berbahagia juga kepada Keluarga Besar I Wayan Arka di Banjar Gunungrata, udah punya Mantu Baru, Rahajeng.
posted by I Made Artawan @ 19.36   1 comments
Upacara Suddhi Wadani
Jumat, 17 Oktober 2008
Suddhi Wadani berasal dari kata Suddhi yang berarti suci dan Wadani yang berarti ucapan. Jadi Suddi wadani adalah ucapan suci dari seseorang yang mengakui bahwa Tuhan adalah Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.
Prosedurnya sebagai berikut:


1.
Hubungi PHDI setempat minta blangko surat pernyataan masuk agama Hindu dan blangko surat keterangan Suddhi Wadani.
2.
Undang saksi-saksi yaitu PHDI, Lurah, Klian Adat (jika di Bali), saudara, ayah/ibu, teman dll.
3.
Minta seorang rohaniawan (Pandita atau Pinandita) memimpin upacara.
4.
Sesajen yang diperlukan minimal banten pejati dua buah dan beakala. Pejati satu untuk pesaksi Siwa Raditya (Dewa saksi), dan yang satu untuk penganteb rohaniawan. Beakala kecil untuk Bhuta saksi. Bentuk upakara lain dibolehkan asal terdiri dari unsur-unsur: bunga, biji-bijian/ buah, daun-daunan, api dan air (panca upakara)
5.
Suddhi Wadani dilakukan dengan meniru ucapan mantram dari rohaniawan: OM I BA SA TA A OM YA NAMA SIWAYA OM ANG UNG MANG, OM SA BA TA A I OM YA NAMA SIWAYA OM MANG UNG ANG. Artinya: OM = AUM, I = Isana, BA = Bamadeva, Sa = Sadiyojata, TA = Tatpurusha, A =Aghora, (semuanya adalah "nama-nama" Hyang Widhi sesuai manifestasi-Nya). Ya nama siwaya = atas kehendak/ kebesaran/kekuasaan Hyang Widhi.

Untuk menjadi Hindu cukup dengan upacara Suddhi Wadani ini saja, tidak perlu dilengkapi dengan upacara manusa yadnya, sesuai dengan Keputusan Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu yang sudah disahkan PHDI.

Sumber : http://stitidharma.org/main/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=255
posted by I Made Artawan @ 19.51   0 comments
Pura Campuhan Windhu Segara
Pura Campuhan Windhu Segara Agung terletak di sebelah timur laut Taman Festival Bali, Padanggalak, Kesiman sehari-hari berada di atas air laut. Pura ini berdiri di tengah campuhan atau pertemuan air laut dan Sungai Ayung.

Pura ini kini mendapat perhatian sebagian umat di Bali. Pasalnya, pura ini mendadak muncul dan dipadati umat. Para pemedek sebagian besar mereka yang telah mendapat kesembuhan dari berbagai penyakit di pura ini. Makanya, Jero Mangku Gede Alit Adnyana sebagai pengempon pura sampai tak mengerti darimana datangnya uang untuk membangun pura sekaligus menggelar upacara ngenteg linggih, padudusan, macaru, dan upacara nyejeg gumi pada purnama kadasa lalu. Upacara nyibeb dilakukan, Sabtu (15/4) kemarin di-puput Ida Pedanda Dalem Keniten dari Griya Mambal. Menurut Jero Mangku, pura ini sehari-hari biasa dihantam gelombang pasang, namun tetap tegar. Makanya ia berani mengatakan pura ini berada di atas air laut.

Ia mencontohkan pada 3 April lalu air pasang laut Padanggalak mampu merusak sarana di areal Taman Festival Bali, anehnya pura ini tetap berdiri tegak. ''Kalau tidak kehendak Tuhan, mungkin semua palinggih sudah hancur berantakan,'' ujarnya.

Jero Mangku Gede Alit Adnyana didampingi Jero Mangku Aji Darma menjelaskan pura ini setahun lalu hanya berupa turus lumbung. Saat itu, Alit Adnyana menderita gagal ginjal hingga melakukan cuci darah. Berkat anugerah Ida Bhatara di lokasi ini ia sembuh total dan berjanji ngayah seumur hidup. Ia pun mendapat pewisik untuk memelihara pura ini. Kesidian pura ini cepat terkenal hingga dipadati umat. Semua dana punia umat dipakai untuk membangun pura tersebut.

Yang menarik dari pura ini, ada tempat pemujaan bagi umat Buddha berupa patung Dewi Kwam In dan patung Buddha. Makanya Jero Mangku Gede Alit Adnyana mengungkapkan pura ini menyatukan Siwa dan Buddha. Di sini juga ada pelinggih Ratu Gede ring Nusa, Bhatara Segara, Dewa Wisnu dan Pengayatan Gunung Agung. Sementara umat Buddha mempercayai pura ini dipakai tempat para syahbandar berlabuh.

Bagi mereka yang mengalami stres, sedang dilanda penyakit keras atau sakit medis dan nonmedis lainnya, barangkali perlu mencoba mohon doa restu ke Pura Campuhan Windhu Segara, Padanggalak, Kesiman, Denpasar Timur. Ida bhatara di pura yang berada di atas air laut (karena kena gelombang pasang, red) kini makin sidhi karena banyak memberi kesembuhan bagi masyarakat. Mereka pun kini sukarela menjadi pengemong pura.

Makanya jangan heran, selain umat Hindu, banyak juga tangkil dari umat lain. Mereka umumnya memohon kesembuhan, keselamatan, rezeki dan jabatan. Tiap hari, puluhan umat makemit di pura itu, apalagi pada purnama-tilem, jumlahnya bisa mencapai ratusan orang.

Banyak berita kesembuhan ditemukan di sini. Ada yang sembuh dari penyakit kanker menahun, lumpuh, stroke dan nyaris gila. Ada juga yang memohon taksu dan kelancaran usaha dagang. Makanya, banyak juga dukun alias balian mohon kekuatan di lokasi ini.

Di situ tak ada obat khusus, yang penting orang sering tangkil ke situ dan pasrah diri. Jero mangku akan ngalukat, selanjutkan orang disuruh mandi di campuhan, kemudian barulah nunas tirtha kesembuhan. Menurut Jro Mangku Alit Adnyana, rahasia kesembuhan justru terjadi sebelum matahari terbit. Umumnya pemedek mapinunas tengah malam atau menjelang pagi.

Disebut campuhan karena lokasi pura ini memang di pinggir pertemuan sungai Ayung dan Pantai Padanggalak. Kini umat sudah dibuatkan jalan khusus lewat bagian timur Taman Festival Bali menuju arah utara.

Sebatang Kayu

Jro Mangku Gede Alit Adnyana sendiri mendapat mukjizat bisa sembuh dari menyakit gagal ginjal sebelum ia diperintahkan secara niskala untuk membangun pura ini pada 2005. Ceritanya pun berbau magis. Ketika ia pasrah dan putus asa menderita gagal ginjal, ia mendapat pewisik untuk membangun parahyangan. Ia menemukan sebatang kayu di pinggir Pantai Padanggalak. Ketika itu kayu itu mengeluarkan asap dan api sebagai pertanda adanya kebesaran Tuhan. Makanya di lokasi itu dijadikan tegak pura sekalipun hanya berlantaikan pasir laut.

Lantas, sebagian kayu itu diminta oleh seorang warga. Namun belakangan warga itu mengembalikannya berupa patung Durga yang kini berstana di pura ini. "Orang ini mengaku tak berhak memiliki patung itu karena terus mengeluarkan asap dan api," ujar Jro Mangku.

Di pura ini banyak manifestasi Tuhan yang dipuja. Paling timur ada palinggih Dewa Baruna (Ratu Kanjeng) sebagai penguasa laut. Makanya jenis sesangi warga di sini serba warna hijau. Di sebelah barat ada padmasana dan batu besar (gunung). Di lokasi ini serang dipakai upacara ngangkid dan nyegara- gunung. Juga ada Ratu Gede Mas Mecaling yang mengajak Jro Mangku "terbang" ke Nusa Penida. Juga ada Dewi Durga, Siwa, Budha dan Dewi Kwam Im. Semuanya aturan karena pemiliknya sadar bukan hak dia menyimpan.

Setelah tiga tahun berupa turus lumbung, pura ini kini mau dibangun permanen dengan memohon 14,5 are tanah timbul di campuhan kepada pemerintah. Lahan ini di luar Taman Festival Bali. Anehnya, dari 13 palinggih yang akan dibangun, 12 sudah disumbangkan oleh umat (pengemong), hanya satu yang belum yakni Pancering Jagat.
posted by I Made Artawan @ 05.24   0 comments
Pura Pulaki
Kamis, 16 Oktober 2008
Pura Pulaki merupakan Tempat Suci Peninggalan Prasejarah di kawasan suci yang bisa disebut sangat sempurna yang berada di Kabupaten Buleleng Bali. Selain memiliki pemandangan alam menakjubkan, aura religius dan kesucian yang berpendar di kawasan pura dan sekitarnya akan terasa jelas, seakan masuk di sela pori-pori kulit. Sebagian umat yang sempat sembahyang ke pura itu bahkan kerap mengaku bulu tipis di lehernya sesekali akan tegak. Mungkin karena takjub yang berlebihan pada keindahan alamnya atau amat terkesan pada aura religius yang dirasakannya.

PURA Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yang hanya sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat sulit. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya tarik tersendiri.

Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah.

Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.

Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.

Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.

Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.

Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya'' susunan Ketut Ginarsa. Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."

Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.

Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.

Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. "Karena tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalaman," katanya.

Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.

Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.

SEJARAH Pura Pulaki tak bisa dilepaskan dari tempat-tempat pemujaan lainnya di Bali. Menurut Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba, Buleleng terletak di antara gunung dan laut. Karena jarak pegunungan dan laut sangat dekat maka datarannya yang dimiliki sangat sempit. Ini disebut wilayah nyegara-gunung, suatu daerah yang penuh dengan pusat spiritual dan tempat pemujaan, baik di gunung maupun di tepi laut.

Ketut Simba menjelaskan, bentuk Pulau Bali itu tak ubahnya seperti seekor itik. Kepala menghadap ke barat berhadapan dengan Jawa, punggung ke utara berhadapan dengan laut Jawa dan Laut Bali, ekornya ke timur menghadap ke Lombok. Sementara leher, tembolok, dada, perut, berhadapan dengan Samudera Hindia. Di bagian punggung Pulau Bali terbentang sederetan daerah pegunungan dari barat, daerah Desa Cekik hingga ke timur di Lempuyang Karangasem sehingga Bali seolah dibelah menjadi dua. Bali Selatan dan Denbukit. Denbukit juga dibagi dua, di mana bagian barat biasa disebut dauh enjung dan dangin enjung, di mana batasnya adalah enjung sanghyang.

Ekor itik ini punya makna bahwa Bali punya nilai kesucian yang sangat tinggi. Karena itik binatang suci, terbukti jika orang membikin banten (aturan suci), terutama suci gede, maka binatang ini adalah sarana yang sangat menentukan kesucian banten tersebut. Begitu pula pegunungan yang memanjang dari barat ke timur adalah punggung itik, di mana pada tulang punggung mengandung sumsum dan unsur kehidupan pada dimensi spiritual. "Pada tempat inilah ditemukan garis kundalini," katanya.

Pura-pura yang ditemukan di sepanjang pantai antara lain Pura Bakungan, Pura Teluk Terima, Labuhan Lalang, Pura Gede Pengastulan, Labuhan Aji, Celuk Agung, Penimbangan, Beji, Puradalem Puri, Gambur Anglayang, Kerta Negara Mas, Pojok Batu, Pura Pulaki dengan pesanakannya dan pura lainnya. Sedangkan di pegunungan dari barat ke timur ada Pura Pucak Manik, Pura Bujangga, Asah Danu, Batukaru, Tamblingan, Puncak Mangu, Bukit Sinunggal, Indrakila, Penulisan, Besakih, Gunung Andakasa, Lempuyang dan lain-lain.

Nah, Pura Pulaki yang dibangun pada tempat perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk. Maka tata letak, struktur dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur antara segara dan gunung yang menyatu.

posted by I Made Artawan @ 02.53   0 comments
Peredaran Alam dan Hari Baik
Dari kitab suci Veda lahir banyak ilmu pengetahuan. Salah satunya Jyothesa Vedāngga yaitu ilmu astronomi berdasarkan konsep Veda. Dalam astronomi Hindu ini keadaan di bumi dihitung berdasarkan peredaran planet-planet isi ruang angkasa.

Secara umum sastra Hindu memiliki dua konsep tentang peredaran planet yang mempengaruhi keadaan di bumi. Dua konsep itu, Chandra Premana dan Surya Premana. Chandra Premana menghitung waktu berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Menurut astronomi modern bulan mengelilingi bumi tiap bulan selama 29 hari, 12 jam, 44 menit .Dalam setahun, 12 bulan/sasih, 354/355 hari. Surya Premana menghitung waktu berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari dalam setahun, 365 hari, 5 jam, 48 detik. Ini artinya tiap tahun sistem Chandra Premana lebih cepat sepuluh hari daripada sistem Surya Premana. Dalam tiga tahun sistem Chandra Premana lebih cepat 30 hari.

Agar sistem Chandra Premana dan Surya Premana ada penyesuaian, maka dalam astronomi Hindu di Bali dikenal konsep “nampih sasih”. Konsep ini dilakukan dengan cara tiap tiga tahun sistem Chandra ada sasih yang berumur dua kali lipat yaitu enam puluh hari. Misalnya kalau menggunakan konsep Purwaning Wariga sasih yang dilipatgandakan itu hanya Sasih Desta dan Sasih Sada. Dengan sistem ini Sasih Kesanga selalu akan berdekatan dengan bulan Caitra menurut sistem Surya Premana. Bulan Caitra itu identik dengan bulan Maret tahun Masehi.

Cuaca dalam bulan ini umumnya hujan tidak lebat dan jarang-jarang. Bentuk tetesan hujan yang jatuh umumnya lebih besar daripada pada sasih lainnya.

Peredaran bulan mengelilingi bumi dan bumi mengelilingi matahari ini menimbulkan siang dan malam atau pagi, siang, sore dan malam. Ilmu astronomi Bali disebut “wariga”. Dalam ajaran “wariga” bulan disebut sasih atau “masa”. Keberadaan sasih yang jumlahnya 12 itu dibagi menjadi dua “masa” yaitu “lahru masa” artinya musim panas sedangkan musim dingin disebut “rengreng masa”.

Pada Sasih Karo sekitar Juli umumnya cuaca agak dingin, kering, sehingga kulit manusia mengkerut yang di Bali disebut “klaskasan”. Pada Sasih Ketiga sekitar Agustus cuaca benar-benar kemarau kering kerontang. Pada Sasih Kapat sekitar September hujan mulai turun gerimis, baik untuh tumbuhnya beberapa jenis tanaman. Bunga-bungaan mulai mengeluarkan sarinya. Pada Sasih Kapat itu disebut Sasih Kartika menurut sistem penanggalan Saka. Demikian seterusnya tiap sasih memiliki cirinya.

Umat Hindu di Jawa dan Bali memiliki empat sistem kalender yang umumnya berorientasi pada sistem Chandra dan Surya Premana itu. Di samping tetap menggunakan sistem Chandra dan Surya umat Hindu di Jawa dan Bali juga memiliki sistem Wuku dan sistem Kertamasa. Kehidupan beragama, bertani, berdagang dan kehidupan sehari-hari umumnya waktunya yang baik dihitung berdasarkan empat sistem kalender tersebut. Misalnya untuk melakukan pekerjaan di pertanian dikenal dengan tiga sistem bertani yaitu : Sistem Kerta Masa yaitu musim menanam jenis padi-padian dilakukan serempak oleh semua petani warga subak; umumnya dilakukan pada Sasih Kapat, Kapitu dan Kedasa (sekitar Oktober, Januari dan April). Sistem Ngagadon penenaman tanaman selingan seperti palawija, umbi-umbian dan sayur-sayuran. Ngagadong itu dilakukan juga pada Sasih Kapat, Kapitu dan Kedasa. Hal ini dilakukan serentak oleh petani subak untuk mengembalikan kesuburan tanah. Sistem Tulak Sumur, sistem bertani yang dilakukan tidak serempak oleh petani. Artinya ada yang menanam padi, ada palawija dan ada juga lainya. Umumnya hal ini tidak baik karena dapat menyuburkan hama yang sangat merugikan petani.

Di samping untuk menata waktu bertani dan sistem kehidupan berekonomi lainnya, sistem wariga juga menata waktu baik atau “dewasa” untuk melakukan kehidupan beragama seperti melangsungkan upacara Panca Yadnya. Umat Hindu di Bali dalam melakukan Panca Yadnya umumnya menggunakan sistem Wuku dan Sasih yang dipadukan dengan sistem Surya Premana dan sisterm lainnya seperti Wewaran atau Dauh. Sistem Wuku mengenal Anggara Kasih (Anggara Kliwon), Buda Kliwon, Buda Wage (Buda Cemeng), Buda Manis dan Tumpek (Saniscara Kliwon). Sistem Chandra mengenal adanya Purnama dan Tilem. Purnama umumnya untuk Dewa Yadnya. Tilem umumnya untuk Bhuta Yadnya.

Untuk Dewa Yadnya, sasih yang paling menonjol digunakan umumnya Purnama Sasih Kapat dan Purnama Sasih Kedasa. Untuk Buta Yadnya paling menonjol Tilem Kesanga. Sasih Kesanga ini bertemu dengan bulan Caitra menurut perhitungan Tahun Saka yang menggunakan sistem Surya Premana. Saat Tilem Kesanga ini dilangsungkan Upacara Taur Kesanga oleh umat Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya. Di tingkat sentral masyarakat atau negara dilakukan upacara Taur Kesanga dengan tingkatan Tawur Agung. Di tingkatan ini dipuja tiga kelompok pandita. Ada pujanya untuk ke alam bawah yang disebut Bhuwah Loka. Ada puja pandita yang ditujukan ke alam tengah yang disebut Bhuwah Loka dan ada puja pandita yang ditujukan ke alam atas disebut Swah Loka.

Upacara Taur Kesanga tergolong Upacara Bhuta Yadnya. Dalan Lontar Agastia Parwa dinyatakan dalam bahasa Jawa Kuno sbb: Bhuta Yadnya ngaran taur muang kapujan ring tuwuh. Artinya: Bhuta Yadnya adalah mengembalikan dan menghormati tumbuh-tumbuhan. Yang dimaksud “taur” adalah mengembalikan keadaan alam agar lestari lagi setelah digunakan untuk keperluan hidup manusia. Misalnya tanah yang digunakan untuk bertani setelah panen.kesuburan tanah itu harus dikembalikan seperti semula. Caranya dengan menanam tumbuhan lain yang berfungsi untuk menyuburkan tanah tersebut. Karena itu dalam sistem bertani di Bali dikenal sistem Kerta Masa dan Sistem Ngegadon. Tujuannya, mengembalikan kesuburan tanah. Dalam Sarasamuscaya 135 dinyatakan untuk mewujudkan tujuan hidup mencapai Dharma, Artha, dan Kama di bumi ini pertama-tama agar dilakukan upaya Bhuta Hita artinya mensejahtrakan keadaan alam.

Upacara Taur Kesanga dengan pemujaan yang dipimpin tiga kelompok pandita untuk menanamkan sikap hidup tidak melakukan sesuatu yang merusak tiga tingkatan alam bawah, tengah dan alam atas tadi. Namun, kenyataannya ritual sakral itu berhenti pada tingkat ritual dengan hura-hura dan tidak mampu membangkitkan daya spiritual untuk diaktualkan dalam kehidupan individual dan sosial dalam upaya tidak berbuat merusak kelestarian lingkungan alam. Seharusnya upacara Taur Kesanga dilanjutkan dengan upaya nyata seperti menghemat pengunaan sumber daya alam, aktif melakukan konservasi sumber daya alam. Dengan demikian Upacara Taur Kesanga tidak justru menjadi beban hidup yang memberatkan alam dan manusia di bumi ini.

Kenyataannya pada zaman modern ini manusia sangat rakus mengeksploitasi alam demi kenikmatan hidup sesaat. Pemanfaat sumber daya alam dan upaya konservasi sumber daya alam dilakukan sangat tidak seimbang. Penggunaan air tawar yang berlebihan, sementara luas dan kualitas hutan sangat menurun. Hidup dengan serba mesin manghasilkan CO2 yang melimpah ke udara. Hal ini telah menimbulkan polusi udara. CO2 yang menggumpal di angkasa menutup pantulan panas bumi menuju ruang angkasa. Hal ini menimbulkan pemanasan global terus meningkat yang menyebabkan kutub utara dan selatan makin mencair. Proses alam yang tidak alami ini menimbulkan polusi udara makin meningkat. Hal ini menimbulkan apa yang disebut “acid rain” yaitu hujan asam. Udara yang kotor penuh zat kimia berbahaya, bertemu mendung turunlah hujan asam. Hujan asam ini banyak merusak pucuk tananam seperti pisang dan kelapa. Tanaman hutan dan pertanian pun menjadi rusak.

Penggunaan zat prion yang berlebihan menyebabkan makin tipisnya lapisan ozon yang menyaring sinar matahari ke bumi. Sinar matahari tidak lagi alami memberikan sinar kesehatan pada makhluk hidup. Cuaca juga makin sulit diperhitungkan berdasarkan konsep astronomi atau wariga yang ada. Marilah tingkatan terus eksistensi hak-hak asasi alam dan hak-hak asasi manusia secara seimbang. Sumber daya alam yang dirusak manusia akan berbalik merusak kehidupan umat manusia di bumi ini.

• I Ketut Wiana
Pengamat Agama dan Adat
posted by I Made Artawan @ 02.19   0 comments
Rahasia Dibalik Galungan
Senin, 13 Oktober 2008
Hari raya Galungan yang dirayakan setiap 210 hari sekali, menyisakan beberapa hal yang terlewatkan dan amat vital fungsinya bagi umat hindu. Hal ini mungkin disebabkan karena ketidaktahuan dan juga kurangnya pemberitahuan yang didapat oleh umat.

Disini bukan diulas mengenai rentetan galungan dan kuningan, tapi akan diulas mengenai pada saat Buda Kliwon Pahang ( Pegatwakang/muncal balung) yang banyak umat tidak tau dan mengerti apa yang harus dilakukan.

Pada saat membongkar penjor, penjor hendaknya jangan langsung di bongkar begitu saja, melainkan terlebih dahulu dipersembahkan canang dan mohon izin untuk membongkar penjor tersebut. hal ini disebabkan karena pada saat Galungan penjor tersebut diupacarai secara otomatis itu berarti dipasupati ( berisi energi). Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekacauan energi (disharmoni) yang dapat menimbulkan vibrasi buruk bagi lingkungan dan orang yang membongkarnya.

Setelah dibongkar hendaknya penjor dan atribut-atributnya dibakar, kemudian abunyadi masukkan ke dalam bungkak nyuh gading yang dikasturi . Kemudian di bungkus dengan kain kasa dan ditanam di pekarangan rumah serta diatas tetanaman tersebut diisi canang dan segehan manca warna. Serta tidak lupa memohon agar Durga mewali ke Pertiwi.

Hal ini disebabkan karena Galungan tersebut adalah hari Raya pemujaan terhadap Ibu Durga, (di India disebut Durga Wijaya Dasami) sedangkan Kuningan adalah pemberian restu Oleh Siwa mahadewa. Sehingga pada saat Galungan Beliau turun dengan Kala Tiganya dan pada saat Buda Kliwon Pahang Kembalinya Lewat Pertiwi.

Jika Ritual ini dilaksanakan dengan sukses, niscaya akan memperoleh kemakmuran, panjang umur ( pada lontar wijaya kasunu disebutkan bahwa umur dinasti wijaya kasunu pendek karena melupakan merayakan galungan hingga akhirnya beliau mendapat pawisik setelah bermeditasi di Pura dalem Puri), kejayaaan, berkurangnya gangguan yang disebabkan oleh energi negatip (kala tiga dan anak buahnya). Dan Ritual ini Diulang setiap 210 hari sekali pada saat buda kliwon pahang.

posted by I Made Artawan @ 09.42   0 comments
Api Takep
Api Takep adalah Api yang ditutup di dalam serabut kulit kelapa yang dicakupkan secara menyilang (berbentuk Tapak dara yang merupakan inti dari swastika), berfungsi sebagai Pengharmonis, pembersihan dan pemurnian lingkungan. Api Takep sering kita jumpai dibali pada saat diadakannya ritual. Tetapi Api Takep ini mulai perlahan-lahan menyurut jika kita amati pada saat rerahinan Kajeng Kliwon, terutama didaerah perkotaan. Mungkin disebabkan semakin susahnya mencari serabut kelapa untuk api takep atau memang tidak tahu fungsinya sehingga banyak umat cenderung mencari pembenar bahwa api takep cukup digantikan dengan dupa saja. Padahal fungsi keduanya tidak sama. Asap Dupa berfungsi sebagai sarana untuk mengantarkan permohonan / mantra.

Api Takep berbentuk Tapak dara yang merupakan inti dari swastika. Energi yang dikeluarkan akan membentuk swastika yang berputar untuk melaksanakan tugasnya. Biasanya didalam Inti dari Energi tersebut bersemayam Brahma sebagai Pendetanya, yang berpakaian putih keperakan-perakan. Dan secara umum kita ketahui bahwa setiap kajeng kliwon terjadi disharmoni energi cosmos yang vibrasinya akan berpengaruh juga pada manusia dan lingkungannya. Makanya orang di kota kebanyakan lebih banyak masalahnya dibandingkan dengan orang pedesaan seperti : kenakalan remaja, narkoba, kriminalitas dan sebagainya. Mungkin salah satu penyebabnya energi negatip yang membawa pikiran buruk sudah merasuki pikiran kita tanpa sempat kita cegah. Dengan Ritual yang sederhana ini diharapkan kita bisa mencegah permasalahan yang semakin komplek. Dan diharapkan pikiran kita bisa jernih dalam mengambil keputusan untuk diri kita sendiri dan lingkungannya.

posted by I Made Artawan @ 09.25   2 comments
Japa
Di zaman kegelapan ini (kali yuga) untuk memperoleh perlindungan dari yang Maha Kuasa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa dapat dilakukan dengan cara mengulang-ulang nama Suci Tuhan ( Smaranam ) dengan japamala.

Berjapa dengan mengulang nama suci Tuhan jika dilakukan dengan hati yang tulus dan tekun akan memberikan vibrasi kedalam suksma / badan halus dimana Jiwa yang bersangkutan akan selalu melakukan japa dengan mengulang nama Tuhan, Walaupun Badan kasarnya sedang dalam kesibukkan bekerja untuk hidupnya. Disini kekuatan japa telah meresap kedalam Suksma sarira dan kedalam Jiwa.

Dan Jika Sang Jiwa telah berjapa otomatis akan ada penampakan suci dari Tuhan itu sendiri untuk memberikan perlindungan dan restunya. Pada saat tersebut kekuatan negatip apapun tidak bisa menyentuh atau menyakitinya suksma sarira atau badan halus yang sedang melaksanakan japa, sedangkan kekuatan positip / kebaikan selalu bisa masuk guna memberikan restunya juga. Pada saat sang jiwa berjapa, yang bersangkutan adalah kesayangan Tuhan yang tidak bisa diganggu oleh siapapun.

Umumnya nama suci Tuhan yang sering dipakai seperti : Om Nama Siwa Ya, Om Namo Bhagawate Wasudewa ya, Gayatri Mantra, dsbnya. Lakukanlah Japa dengan tekun dan rasakan manfaatnya, sehingga terhindar dari gangguan niskala.

posted by I Made Artawan @ 09.08   0 comments
Purnama Kapat
Purnama Kapat adalah Purnama yang terjadi pada Sasih Kapat, Purnama memberikan vibrasi lembut untuk jiwa dan untuk meningkatkan spiritualitas.Karena energi bulan sebagai penyeimbang dari energi surya ketika kita trisandya atau nyurya sewana. karena kalau kelebihan energi surya disamping akan cepat meperoleh kemajuan juga akan cepat memperoleh kehancuran, disamping memberikan semangat dan motivasi juga membentuk karakter menjadi lebih keras. Oleh karena itu odalan dibali sering pada saat purnama untuk melembutkan karakter manusia bali, sehingga terjadi keseimbangan.

Para penganut meditasi sering biasanya juga mengakses energi bulan untuk penyeimbang energi matahari ( keseimbangan antara nadi ida dan pingala) dan untuk menstabilkan kundalini di jalur sumsumna hingga bagus berstana di siwa dwara.

Disamping itu membuat jiwa lebih halus, jiwa energi bulan membuat awet muda. mungkin hal ini banyaknya air di bulan yang telah berubah menjadi helium.Coba dipandangi bulan ketika purnama dan mohon kepada Ida Sang Hyang widhi wasa agara diberikan energi bulan, niscaya wajah akan kelihatan lebih berseri dan awet muda.

Pada purnama kapat akses energi bulan sangat besar didapat, berhubung matahari berada tepat di khatulistiwa sehingga pantulan cahaya matahari lewat bulan sampai ke bumi sangat tinggi dan gravitasi bulan pada saat purnama kapat sangat bagus dipakai untuk mulai belajar mengenal sang diri lewat meditasi lewat inisasi dari sang guru. Mulai belajar melembutkan kharakter sehingga bisa memberikan kesejukkan bagi semua mahluk.

Selain itu pada purnama kapat biasanya hujan telah mulai turun, dan bunga-bunga pada bermekaran yang menyebabkan beraneka satwa pada menyiapkan masa berkembang biak seiring dengan indahnya bunga dan ketika bunga telah menjadi buah yang masak anak-anak mereka telah lahir dengan kecukupan makanan yang telah disediakan oleh alam. Dan bagi pasangan yang akan menikah mengikuti sistem sasih, maka sasih kapat adalah yang terbaik buat menikah agar dapat menurunkan keturunan yang suputra.

posted by I Made Artawan @ 08.58   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas