Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Mitos Kala Rau
Senin, 26 Januari 2009
Kala Rau merupakan perwujudan setan dalam mitologi Bali. Setan ini hanya terbentuk dari sebuah kepala tanpa badan. Pada suatu ketika ia hendak minum air dari Tirta Amertha atau air kehidupan abadi, walau sesungguhnya air ini hanya diperuntukkan bagi para dewa-dewi. Dewi Ratih yang mengetahui hal itu memberitahukannya kepada Dewa Wisnu, yang kemudian melemparkan Cakranya dan memenggal kepala setan itu. Tetapi pada waktu itu juga kepala hingga di bagian leher telah menyentuh Tirta Amertha, sehingga dapat hidup abadi. Kepala itu kemudian hendak membalas dendam kepada Dewi Ratih dan mengejarnya di Kahyangan. Terkadang Dewi Ratih tertangkap dan menurut mitos ini terjadilah Gerhana Bulan.
posted by I Made Artawan @ 16.54   0 comments
Menyambut Siwaratri 24 Januari 2009
Senin, 19 Januari 2009
SIWA RATRI - DALAM KONSEPT - KEKINIAN

Hari Siwaratri yang jatuh pada Purwaning Tilem Kapitu, Sabtu 24 Januari 2009 mendatang, merupakan momen yang sangat tepat untuk merenung dan mengendalikan diri. Pada hari suci penuh pengampunan itu, umat Hindu diajak untuk bisa mengekang hawa nafsu dan keinginan yang bersifat duniawi. Nilai-nilai apa yang bisa dipetik dari malam Siwaratri dalam konteks kekinian? Kemudian, apakah figur si pemburu Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri masih relevan dengan kehidupan sekarang.

Hidup manusia sebenarnya dibelenggu oleh bhuta kala. Dalam usaha melepas belenggu bhuta kala itu, manusia hendaknya berusaha mendapatkan keseimbangan jasmani dan rohani yang bisa dicapai secara perlahan-lahan dan bertahap. Tidak dimungkiri banyak hambatan yang menghadang ketika manusia ingin mencapai keseimbangan itu. Hambatan itu datangnya tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam diri manusia itu sendiri perhatikan pupuh dibawah ini.

RAGADI MUSUH MAPARO,

RING HATI YA TUNGGUWANNYA TAN MADOH RING DEWEK

Hawa nafsu, ego adalah musuh yang sangat dekat

Didalam hati letaknya tak jauh dari dalam diri kita sendiri

Siwaratri pada hakikatnya merupakan sebuah ajaran untuk membangkitkan perjuangan umat Hindu untuk selalu sadar akan dirinya yang selalu diancam oleh berbagai hambatan. Upacara Siwaratri bertujuan memberikan pengetahuan kepada manusia agar menyadari bahwa dalam dirinya selalu ada pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, sebaik-baiknya manusia, pasti pernah berbuat dosa selama hidupnya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia, pasti pernah berbuat baik selama hidupnya. Hanya saja sejauh mana diri kita mampu untuk mengambil hikmah dari voyeges ini.

Menyadari hal itu, Siwaratri dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada setiap umat Hindu untuk selalu sadar dan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan selalu berikhtiar untuk memperbanyak perbuatan dharma. Meskipun manusia sulit menghindari perbuatan dosa, bagaimana pun besarnya perbuatan dosa yang telah diperbuatnya, tidak tertutup jalan untuk menuju dharma. Dalam artian jgn ada kalimat kepalang ahh

Siwaratri memotivasi manusia untuk tidak berputus asa kembali ke jalan dharma. Pintu dharma selalu terbuka lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatan dosanya. Cerita Lubdaka, si pemburu yang pekerjaan sehari-harinya berburu binatang, sebagai salah satu contoh. Tetapi, masih relevankah figur Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri dengan kehidupan sekarang

Dari kalangan para peminat spiritual, cerita Lubdaka itu diterjemahkan sebagai berikut : Jika seseorang sudah mampu membunuh sifat kebinatangannya, maka timbullah rasa ingin dekat dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Rasa keinginan atau hasrat (kerinduan) itu diwujudkan dengan berbagai cara (berjapam/mengulang-ngulang nama suci Tuhan), beryajna dan sebagainya.

Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.

Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, akhirnya menyebabkan orang menjadi tersinggung. Karena dlm kasus ini melakukan tapa mona-brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati lantaran mereka tidak tau kita lagi monobrata. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian. Nah itu pun jaman dulu kan begitu, nah sebanarnya kalau kita ambil inti sari dari Monobrata, bagaimana kita meminimize ucapan yg negative point kpd orang lain, kurangi berbicara, perbanyak Asmaranam menyebutkan Nama-nama Hyang widhi ( Om Na, Ma, Ci, Wa, Ya ) dsb.

Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya. Konsept kekinian makan jangan sampai berlebihan, sedangkan disatu sisi banyak sekali kita melihat saudara kita barangkali bisa makan nasi satu kali sudah angayubagia, nah kalau demikian bagaimana kita melakukan yadnya kita dg menyisihkan makan yg berlebihan itu kita sisihkan / yadnyakan kepada saudara kita yg sangat membutuhkannya, atau dananya kita jadikan dana pendidikan.dllnya

Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Tetapi konsept kekinian kita pergunakan berdiskusi, belajar tentang Tatwa, tentang tutur-tutur pinehayuan lan ke ahdiatmikaan, atau barangkali bedah Bhagawagt bisa jadi Manawa dharmasastra, Sarasamuscaya, kekidung lan kekwain dsbnya. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh ahamkara nafsu-nafsu indrianya/raganya, serta kegelapan yang tak mampu untuk mengintrospeksi dirinya, sehingga kabut gelap yang selalu menyelimutinya.

Itulah sebabnya sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri pada Tilem Kepitu yaitu sehari menjelang Tilem Kepitu. Yang tujuannya semata-mata untuk mengurangi kepapaan dari nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh umat manusia.

Terutama sekali yang berupa Peteng Pitu (7/tujuh) kegelapan yg disebut dgn ”Sapta Timira” (tujuh macam kemabukan). Diantaranya adalah, Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).

Ternyata bukan minuman keras saja yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk, melainkan juga ke enam keberuntungan itu. Jika tidak hati-hati membawa dan menjaga keberuntungan itu, justru membuat seseorang menjadi sombong dan terjerumuslah dia kedalam kegelapan.

Ingat Penyakit orang Ganteng : Kecendrungannya menjadi Ply Boy / Girl, Penyakit Orang Kaya = adalah Kikir punya makanan lebih baik busuk daripada diberikan kpda orang lain, meskipun sangat dibutuhkannya. Penyakit orang Dharmawan = adalah suka mengungkit ungkit pemberian.

Penyakit orang banyak omong = adalah Gosif dan terkadang berbohong, kalau tidak begitu tidak asyiikkk....he.....he,

Makna hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani.

Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.

Itulah keutamaan Hyang Siwa, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.

Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.

Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa” buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka karmawasananya akan selalu diperhitungkan oleh sang Surat-atma, kurangi dosa, perbanyaklah bertobat.

Rsi Empu Tanakung juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.

Niyasa yang terungkap dalam Lubdaka Kalpa adalah :

Tilem ke pitu adalah malam yang tergelap dari malam malam lainnya, karena tiada yang lebih gelap dari ”SAPTATIMIRAPETENG PITU”


JAGRA : Mengurangi durasi tidur dengan jalan memperbanyak improvisasi diri dengan memplejari ilmu ilmu keagamaan yang kita yakini ”HINDU”

MONOBRATA : Mengurangi pembicaraan yang tidak baik, mempitnah, menipu, gosif, serta berbohong, perbanyak dengan ASMARANAM Melakukan japa mala.

UPAWASA : mengurangi makan yang berlebihan, serta meyadnyakan dananya untuk disumbangkan kepada oran orang yang jauh lebih papa dari kita, baik itu berupa makanan, maupun berbentuk dana-dana yang lainya seperti Rumah- sakit, sekolah, serta buku buku agama. Dllnya.

Pemburu Satwa : Mencari tatwa, dengan membunuh sifat himsa karma ( kebinatangannya, dengan meningkatkan sifat sifat satwan dlm triguna sakti )

Naik Kayu dimalam hari : Munggah kayun dengan statement menghilangkan kegelapan, mulai sejak Siwa linggam dimalam hari, commit untuk selanjutnya harus berubah, karena hari esok harus lebih baik dari yang sekarang, itu prinsip

Inggih suksme pisan niki wantah aturan titiang maring Ide dane pare darmika sinamian, mogi wenten pikenohnyane.

Namaste.

posted by I Made Artawan @ 21.57   0 comments
Otonan atau Weton
Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

Berbeda dengan peringatan hari Ulang Tahun yang hanya menggunakan perhitungan tanggal dan bulan saja, dengan mengabaikan hari maupun wuku pada tanggal tersebut. Misalnya seseorang yang lahir tanggal 10 Januari, maka hari ulang tahunnya akan diperingati tiap-tiap tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya (12 bulan kalender).

Otonan diperingati sebagai hari kelahiran dengan melaksanakan upakara yadnya yang kecil biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan dan bila upakaranya lebih besar dipuput aleh pemangku (Pinandita). Sarana pokok sebagai upakara dalam otonan ini ada1ah; biyukawonan, tebasan lima, tumpeng lima, gebogan dan sesayut.

Menurut tradisi umat Hindu di Bali, dalam mengantarkan doa-doa otonan sering mempergunakan doa yang diucapkan yang disebut sehe (see) yakni doa dalam bahasa Bali yang diucapkan oleh penganteb upacara otonan yang memiliki pengaruh psikologis terhadap yang melaksanakan otonan, karena bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian simbol-simbol sebagai telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut.

Sebagai contoh :
Melingkarkan gelang benang dipergelangan tangan si empunya Otonan, dengan pengantar doa : “Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi” (Ini kamu memakai gelang benang, supaya ber otot kawat dan bertulang besi).

Ada dua makna yang dapat dipetik dari simbolis memakai gelang benang tersebut adalah pertama dilihat dari sifat bendanya dan kedua dari makna ucapannya. Dari sifat bendanya benang dapat dilihat sebagai berikut :

1. Benang memiliki konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Agar hati selalu di jalan yang lurus/benar.

2. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang otonan dan tidak mudah patah semangat.

Sedangkan dari ucapannya doa tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi kuat seperti memiliki kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam arti fisik seperti kuat tulang atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya, kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan kebenaran, kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup sebab hidup ini bagaikan usaha menyeberangi samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di dalamnya, tak terkecuali cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa karena kurang kuat hatinya.

Dalam rangkaian upacara otonan berikutnya sebelum natab, didahului dengan memegang dulang tempat sesayut dan memutar sesayut tersebut tiga kali ke arah pra sawia (searah jarum jam) dengan doa dalam bahasa Bali sebagai berikut: “Ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu “bencah” (Ini kamu memutar sampan, memutar perahu, batu makocok, tongkat bungbung, sampai di pantai menemui kapal terdampar).

Dari doa tersebut dapat dilihat makna:

1. “Ngilehang sampan ngilehang perahu” bahwa hidup ini bagaikan diatas perahu yang setiap hari harus kesana-kemari mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Badan kasar ini adalah bagaikan perahu yang selalu diarahkan sesuai dengan keinginan sang diri yang menghidupi kita.

2. “Batu makocok” adalah sebuah alat judi. Kita teringat dengan kisah Pandawa dan Korawa yang bermain dadu, yang dimenangkan oleh Korawa akibat kelicikan Sakuni. Jadi hidup ini bagaikan sebuah perjudian dan dengan tekad dan keyakinan yang kuat harus dimenangkan.

3. “Tungked bungbungan” (tongkat berlobang) adalah bambu yang dipakai kantihan yakni sebagai penyangga keseimbangan samping perahu agar tidak mudah tenggelam karena bambu bila masih utuh memang selalu terapung. “Perahu hidup ini” jangan mudah tenggelam oleh keadaan, kita harus selalu dapat mengatasinya sehingga dapat berumur panjang sampai mempergunakan tongkat (usia tua).

4. “Teked dipasisi napetang perahu bencah” (sampai di pantai menemui perahu / kapal terdampar). Terinspirasi dari sistem hukum tawan karang yang ada pada jaman dahulu di Bali, yakni setiap ada kapal atau perahu yang terdampar di pantai di Bali, rakyat Bali dapat dengan bebas menahan dan merampas barang yang ada .pada kapal yang terdampar tersebut. Maksudnya supaya mendapatkan rejeki nomplok, atau dengan usaha yang mudah bisa mendapatkan rejeki yang banyak.

Demikian luhurnya makna doa yang diucapkan dalam sebuah upacara otonan bagi masyarakat Hindu Bali yang dikemas dengan simbolis yang dapat dimaknai secara fisik maupun psikologis, dengan harapan agar putra-putri yang menjadi tumpuan harapan keluarga mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.
posted by I Made Artawan @ 08.28   0 comments
Piodalan Batara Hyang Guru
Hari ini Minggu, 18 Januari 2009 umat hindu mengadakan persembahyangan untuk Batara Hyang Guru atau Piodalan Batara Hyang Guru.

Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma,ring Kamulan tengen bapa ngaran paratma,ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Hyang Siwatma,ring Kamulan tengah ngaran raganta, metu Brahmadadi meme bapa meraga Sang Hyang Tuduh.(Dipetik dari Lontar Usana Dewa)

Maksudnya:
Di Kamulan disebutkan Sang Hyang Atma, di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebut Sang Hyang Paratma, di ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatma, di ruang tengah Kamulan raganta menjadi Brahma sebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.
Di hulu pekarangan di setiap rumah umat Hindu di Bali umumnya ada tempat pemujaan keluarga yang disebut Sanggah atau Merajan Kamulan. Dalam Lontar Siwagama dinyatakan bahwa Bhagawan Manohari dari Siwapaksa atas penugasan Sri Gondarapati agar membangun pemujaan yang disebut Kamulan di setiap hulu pakarangan rumah tempat tinggal. Sepuluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Pretiwi. Dua puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Ibu. Empat puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Panti. Hal inilah menyebabkan setiap pekarangan umat Hindu di Bali ada tempat pemujaan Kamulan yang umumnya dibangun di hulu pekarangan rumah tinggal.
Menurut beberapa sumber pustaka Hindu di Bali, yang dipuja di Pelinggih Kamulan itu adalah Sang Hyang Atma. Di samping dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa yang dikutip di atas juga dinyatakan dalam Lontar Gong Wesi sbb: ...ngarania Sang Hyang Atma, ring Kamulan Tengen bapanta ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalin raga.
Demikian pula dalam Lontar Siwagama Sargah sepuluh menyatakan sba: ...kramania Sang Pitara mulihing batur Kamulania nguni. Karena itulah sang Pitara Sang Pitpara pulang ke asal Kamulannya dulu. Hal yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa Pelinggih Kamulan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Atma adalah Lontar Purwa Bumi Kamulan. Lontar ini menguraikan tata cara upacara Nuntun Dewa Hyang di Kamulan. Lontar ini menguraikan amat rinci tentang tata cara menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan.
Dalam Lontar Gayatri dinyatakan saat orang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah melalui prosesi upacara ngaben roh tersebut disebut Pitra. Setelah melalui upacara Atma Wedana dengan Nyekah atau Mamukur roh itu disebut Dewa Pitara. Upacara ngaben dan upacara Atma Wedana digolongkan upacara Pitra Yadnya. Sedangkan upacara Ngalinggihang atau Nuntun Dewa Hyang dengan menstanakan Dewa Pitara di Pelinggih Kamulan sudah tergolong Dewa Yadnya.
Roh yang disebut Dewa Pitara itu adalah roh yang telah mencapai alam Dewa. Karena Sang Hyang Atma yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara diyakini setara dengan Dewa. Menstanakan Dewa Pitara di Kamulan juga dinyatakan dengan sangat jelas dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dan Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa.
Dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dinyatakan sbb: ...muwang ngunggahang dewa pitara ring ibu dengen ring kamulan. Sedangkan dalam Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa dinyatakan sbb: muwah banten penyuda mala karahaken pitra ngarania angunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengen muang ring Kamulan ngaran. Kedua lontar tersebut menyatakan bahwa menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan dengan istilah muwang ngunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengan ring Kamulan.
Dalam tradisi Hindu di Bali Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru. Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru yaitu Agni, yaitu sinar suci Hyang Widhi, Atman yaitu unsur yang tersuci dalam diri manusia yang berasal dari Brahman, Mata yaitu ibu yang melahirkan kita, Pita yaitu ayah menyebabkan kita lahir dan Acarya yaitu guru yang memberikan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang nampaknya di Bali menjadi ajaran Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wesesa.
Karena Atman sebagai salah satu Guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa itulah nampaknya menjadi dasar pendirian Kamulan sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Batara Hyang Guru. Atman dalam Upanisad adalah Brahman yang ada dalam diri makhluk hidup yang diselubungi oleh Panca Maya Kosa. Untuk menjadikan Atman itu Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara. Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Atman yang disebut Panca Maya Kosa itu. Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga.
Upacara tersebut bagaikan menghilangkan selubung mendung di langit biru yang menutupi sinar matahari sehingga sinar matahari tersebut dapat langsung memberikan penerangan pada bumi ini. Demikianlah proses upacara ngaben untuk melepaskan Atman dari selubung Stula Sarira. Upacara Atma Wedana melepaskan Atman dari selubung Suksma Sarira. Sedangkan upacara Danda Kalepasan adalah upacara untuk mengambil dosa-dosa leluhur oleh keturunannya. Dengan demikian Sang Hyang Atma tanpa selubung lagi sehingga disebut Dewa Pitara.
Upacara Danda Kalepasan di Bali ada yang menyebutnya upacara Maperas yang artinya keturunan orang yang diupacarai itu mengadopsi utang-utang karma leluhur yang diupacarai tersebut. Yang diwarisi oleh keturunan itu bukanlah berupa kekayaan materi saja. Berbagai utang karma dari leluhur itu juga harus diwarisi juga.
Ini artinya pemujaan pada leluhur dalam tradisi Hindu di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan. Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya. Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya.
Pengalaman adalah guru terbaik, demikian orang menyebutkan. Pengalaman yang baik dan buruk dari leluhur itu dijadikan guru dalam hidup ini. Itulah pentingnya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.
posted by I Made Artawan @ 06.46   0 comments
Makna Tumpek Landep
Sabtu, 17 Januari 2009
Hari ini Sabtu 17 Januari 2009 merupakan Hari Raya Tumpek Landep bagi umat Hindu, adapun makna tumpek landep akan diuraikan dalam tulisan berikut : Saniscara Kliwon Wuku Landep, seperti biasa umat Hindu merayakan Tumpek Landep. Dalam konteks ritual, umumnya umat Hindu memohon ke hadapan Hyang Widi Wasa agar tiap peralatan teknologi dapat berfungsi tepat guna, memudahkan umat dalam beraktivitas.

Di balik itu, apa sesungguhnya makna Tumpek Landep? Plt. Rektor Institut Hindu Dharma (IHD) Negeri Denpasar Drs. I Gede Rudia Adiputra, M.Ag. mengatakan perayaan Tumpek Landep pada hakikatnya memohon kepada Tuhan agar umat diberikan ketajaman senjata kehidupan. ''Landep itu mengandung makna runcing atau tajam. Jadi yang ditajamkan adalah senjata kehidupan kita. Tumpek Landep dipakai momen untuk menajamkan senjata kehidupan,'' ujar Rudia Adiputra.

Senjata kehidupan itu, kata Rudia, tak lain adalah pikiran. Agar pikiran cerdas, perlu ditajamkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Melalui pikiran yang tajamlah umat diharapkan mampu menghadapi berbagai musuh dalam diri. Musuh itu yakni persoalan-persoalan kehidupan, antara lain kemiskinan, kebodohan, kegelapan dan sebagainya. ''Berbagai musuh itulah yang mesti kita lawan dengan tajamnya pikiran dan hati nurani,'' ujarnya.

Kata Rudia, menajamkan pikiran itu melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Melalui perayaan Hari Saraswati-lah umat Hindu bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa karena telah diturunkannya ilmu pengetahuan. Sementara, dalam Tumpek Landep umat ''mengevaluasi'' apakah tajamnya pikiran lewat penguasaan ilmu pengetahuan sudah mampu digunakan dengan baik.

Kata Rudia, salah besar jika ada anggapan bahwa Tumpek Landep dimaknai otonan kendaraan. Pada Tumpek Landep umat sejatinya memohon keselamatan agar senjata kehidupannya bisa bermanfaat demi kesejahteraan umat manusia. Pun kendaraan, senjata dan alat-alat teknologi tercipta dari olah pikir manusia. Dalam ritual Tumpek Landep, alat-alat itu diharapkan dapat berfungsi untuk memudahkan aktivitas manusia sekaligus bermakna bagi kehidupan bersama.

Makna bagi Seniman
Tumpek Landep pun memiliki makna tersendiri bagi para seniman. Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Negeri Denpasar Prof. Dr. Wayan Rai S, M.A. mengatakan Tumpek Landep sebagai momen penting untuk mempertajam kemampuan seni bagi seorang seniman.

Perayaan Tumpek Landep itu hendaknya dijadikan tonggak untuk memantapkan diri dalam berkesenian yakni menajamkan penciptaan, teknik garapan dan sebagainya. Untuk bisa membuat garapan yang betul-betul metaksu, perlu ada upaya dari dalam maupun luar diri seniman.

Kata Rai, Tumpek Landep erat sekali hubungannya dengan taksu. Secara umum, para seniman sudah melakukan pemujaan saat memulai berkesenian. Tetapi dalam perayaan Tumpek Landep, para seniman lebih memantapkan diri melakukan penajaman melalui persembahyangan agar metaksu. Dengan mengosongkan pikiran untuk memuja Tuhan, diharapkan muncul inspirasi dan spirit baru.

Sebagai bentuk ritual memuja Dewa Kesenian dalam Tumpek Landep, para seniman biasanya mengupacarai atribut tari seperti gelungan, keris, tombak dan lain-lain. ''Dengan melangsungkan ritual seperti itu para seniman berharap agar selalu diberikan ketajaman dalam berkesenian,'' katanya.

Penajaman itu tak hanya lewat keterampilan atau latihan, tetapi juga spiritual. Sehingga para seniman mampu tampil tajam atau metaksu. ''Untuk bisa metaksu, seorang seniman harus meraihnya melalui kedua aspek yakni fisik maupun mental,'' katanya.

Aspek fisik melalui latihan-latihan menabuh dan menari. Aspek mental melalui pendalaman-pendalaman keilmuan dan kaitannya dengan keyakinan terhadap Ida Sang Hyang Widi, sehingga mampu tajam atau metaksu dalam penampilan.
posted by I Made Artawan @ 00.05   0 comments
Makna Meru di Penataran Agung Besakih
Kamis, 15 Januari 2009
Saddosah puruseneha
hatavya bhutimicchata
nidra tandra bhayam
krodham alsyam dirgasutrata
(Udyogaparva. 33.78)
Maksudnya:
Orang yang menginginkan hidup sejahtera di dunia ini, hendaknya meninggalkan enam sifat-sifat yang tidak baik yaitu suka tidur (nidra), malas (tandra), selalu takut (bhaya), marah (krodha), tidak bersemangat (alasaya), suka mengulur waktu untuk menyelesaikan pekerjaan (dirgasutrata).

Di Pura Penataran Agung Besakih pada Mandala kedua agak ke kanan berdiri dua bangunan suci atau pelinggih berbentuk Meru Tumpang Sebelas dan Tumpang Sembilan. Tumpang dalam hal ini artinya tumpukan tau tingkat. Meru Tumpang Sebelas artinya bangunan berbentuk Meru tumpukan atau tingkatan atapnya sebanyak sebelas tumpuk atau tingkat. Dua meru ini juga sangat menjelaskan tentang arti dan makna memuja Tuhan bagi umat Hindu.

Dalam ajaran Hindu, Tuhan dipuja bukan untuk sekadar memujanya. Pemujaan pada Tuhan untuk didayagunakan untuk membina kehidupan di bumi ini agar menjadi semakin bahagia lahir batin.

Meru Tumpang Sebelas di Pura Penataran Agung Besakih umumnya umat Hindu menyebutkan sebagai tempat pemujaan Ratu Manik Maketel. Dari sudut arti kata hal itu memiliki arti yang sangat baik. Manik dalam bahasa Bali adalah suatu jenis permata yang sangat berharga dan sangat mulia. Maketel artinya tertumpah. Dari memuja Tuhan sebagai Ratu Manik Maketel ini memiliki padanan dengan istilah Manik Sakecap artinya apa pun yang diucapkan, dilaksanakan orang berdasarkan pikiran yang utama bagaikan manik selalu memiliki nilai yang sangat tinggi.

Dari segi sebutannya sebagai Ratu Manik Maketel di Meru Tumpang Sebelas, Tuhan dipuja untuk memohon diturunkannya SDM yang memiliki kemampuan Manik Maketel atau Manik Sakecap.

Artinya SDM yang bukan asal bunyi dan ngomong sembarangan saja. Dengan memuja Tuhan di Meru Tumpang Sebelas berarti memuja Tuhan untuk memohon agar manusia mendapatkan karunia Tuhan dalam menyelenggarakan pendidikan SDM baik formal, nonformal dan informal.

Ini berarti makna pemujaan Tuhan tersebut akan bermanfaat untuk membangkitkan kekuatan diri agar menjadi manusia yang memiliki kekuatan utama bagaikan ''Manik Maketel atau Manik Sakecap''. Tujuan pemujaan Tuhan agar memiliki kekuatan bagaikan manik itu tidak akan menjadi kenyataan kalau hanya berhenti pada memuja Tuhan di Meru Tumpang Sebelas di Pura Penataran Agung Besakih. Pemujaan Tuhan sebagai Ratu Manik Maketel di Penataran Agung Besakih itu baru tahap membangun kekuatan spiritual yang berasal dari hubungan manusia dengan Tuhan. Hal itu akan menjadi kenyataan apabila dilanjutkan dengan upaya manusia sendiri untuk membangun kekuatan intelektual dan kehalusan emosionalnya.

Intelektual yang cerdas dan emosional yang halus akan dapat bersinergi dengan keheningan spiritualitas. Sinergi antara emosional, intelektual dan spiritual itulah yang akan melahirkan SDM yang berkualitas bagaikan Manik Maketel. Ini artinya membangun SDM yang berkualitas itu hendaknya mendayagunakan nilai-nilai keagamaan (Ketuhanan), ilmu pengetahuan dan apresiasi seni budaya.

Dengan agama atau Ketuhanan manusia menguatkan spiritualitasnya untuk mengarahkan hidupnya secara benar dan tepat. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia membangun kecerdasan intelektualitasnya untuk mencapai berbagai kemudahan hidup. Dan, dengan apresiasi seni budaya manusia membangun kepekaan emosionalnya untuk mencapai kehalusan rasa.

Dengan sinergi itu seseorang akan bisa menghilangkan enam sifat yang wajib ditinggalkan bagi mereka yang menghendaki hidup sejahtera di dunia ini. Enam hal yang seyogianya ditinggalkan dinyatakan dalam Udyogaparwa yang dikutip dalam tulisan ini. Kalau enam hal itu masih melekat dalam diri seseorang maka tidak mungkin ia menjadi SDM yang Manik Sekecap atau SDM yang berkualitas.

Meru Tumpang Sembilan di Pura Penataran Agung Besakaih itu terletak di sebelah kanan Meru Tumpang Sebelas stana Tuhan sebagai Ratu Manik Maketel. Di Meru Tumpang Sembilan di Pura Penataran Agung Besakih itu disebut sebagai stana Ratu Kubakal. Menurut I Gusti Agung Gede Putra (alm), mantan Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, menyatakan kata Kubakal itu berasal dari bahasa Bali kuna yang artinya bekal atau logistik.

Ini artinya memuja Tuhan sebagai Ratu Kubakal dengan media Pelinggih Meru Tumpang Sembilan itu adalah bermakna untuk memohon kelestarian sumber daya alam sebagai sumber tersedianya kebutuhan akan pangan, sandang dan papan yang memadai. Tentunya sama juga halnya dengan memuja Tuhan sebagai Ratu Manik Maketel. Hal itu hanyalah bersifat awal menguatkan aspek spiritual.

Kalau tidak dilanjutkan dengan menguatkan aspek intelektual dan kepekaan emosional maka hal itu hanyalah akan berhenti pada gagasan yang sangat idealis. Ia harus dilanjutkan dengan langkah-langkah nyata dengan bekal mental spiritual tersebut. Meski demikian, lewat pemujaan Tuhan sebagai Ratu Kubakal itu dapat disosialisasikan bahwa memuja Tuhan itu juga menguatkan gagasan-gagasan murni untuk mengembangkan sumber daya alam sebagai landasan membangun ekonomi agraris. Ekonomi agraris itu sebagai landasan semua sistem ekonomi. Dengan kuatnya ekonomi agraris itulah manusia baru bisa menuju ekonomi industri, baik berupa barang maupun jasa.

Dengan adanya pemujaan Tuhan sebagai Ratu Manik Maketel dan Ratu Kubakal di Meru Tumpang Sebelas dan Tumpang Sembilan ini berarti dalam sistem beragama Hindu di Bali sudah ada perhatian yang seimbang antara pengembangkan sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk kehidupan yang semakin sejahtera lahir batin.

Dengan dharma sebagai landasan filosofi membangun SDM yang berkualitas dan dengan Rta sebagai landasan filosofi menjaga sistem alam yang lestari sepanjang masa. Tanpa dharma dan Rta manusia dan alam akan saling menghancurkan. Tentunya yang akan paling merasakan derita itu adalah manusia itu sendiri. Karena itu marilah makna lebih nyata pemujaan kita pada Tuhan untuk meningkatkan keseimbangan antara gaya hidup kita dengan daya dukung alam demi kelangsungan hidup ini.
posted by I Made Artawan @ 13.19   0 comments
Hari Raya Pagerwesi
Selasa, 06 Januari 2009
Hari raya Pagerwesi jatuh pada hari Budha Keliwon Wuku Sinta. Dalam kalender hari suci di Bali, hari ini adalah hari ke 5 dari serangkaian hari raya penting, yaitu :
Hari ini adalah payogan Hyang Pramesti Guru, disertai para Dewa dan Pitara, demi kesejahteraan dunia dengan segala isinya dan demi sentosanya kehidupan semua makhluk.

Pada saat itu umat hendaklah ayoga semadhi, yakni menenangkan hati serta menunjukkan sembah bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Juga pada hari ini diadakan widhi widhana seperlunya, dihaturkan dihadapan Sanggar Kemimitan disertai sekedar korban untuk Sang Panca Maha Butha.

Pada hari ini kita menyembah dan sujud kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, Hyang Pramesti Guru beserta Panca Dewata yang sedang melakukan yoga. Menurut pengider-ideran Panca Dewata itu ialah:

Sanghyang Içwara berkedudukan di Timur.
2. Sanghyang Brahma berkedudukan di Selatan
3. Sanghyang Mahadewa berkedudukan di Barat.
4. Sanghyang Wisnu berkedudukan di Utara.
5. Sanghyang Çiwa berkedudukan di tengah

Ekam Sat Tuhan itu tunggal. Dari Panca Dewata itu kita dapatkan pengertian, betapa Hyang Widhi dengan 5 manifestasiNya dilambangkan menyelubungi dan meresap ke seluruh ciptaanNya (wyapi-wiapaka dan nirwikara). Juga dengan geraknya itulah Hyang Widhi memberikan hidup dan kehidupan kepada kita. Hakekatnya hidup yang ada pada kita masing-masing adalah bagian daripada dayaNya. Pada hari raya Pagerwesi kita sujud kepadaNya, merenung dan memohon agar hidup kita ini direstuiNya dengan kesentosaan, kemajuan dan lain-lainnya.

Widhi-widhananya ialah: suci, peras penyeneng sesayut panca-lingga, penek rerayunan dengan raka-raka, wangi-wangian, kembang, asep dupa arum, dihaturkan di Sanggah Kemulan (Kemimitan). Yang di bawah dipujakan kepada Sang Panca Maha Bhuta ialah Segehan Agung manca warna (menurut urip) dengan tetabuhan arak berem. Hendaknya Sang Panca Maha Bhuta bergirang dan suka membantu kita, memberi petunjuk jalan menuju keselamatan, sehingga mencapai Bhukti mwang Mukti.

posted by I Made Artawan @ 17.37   0 comments
Banyu Pinaruh
Banyu Pinaruh Bermakna sebagai air atau banyu pengetahuan atau pinih-weruh, yakni ilmu pengetahuan diibaratkan bagaikan air yang serba guna. Air bisa digunakan sebagai tirtha, diminum, untuk mandi/membersihkan, untuk nyiram w.c, untuk campuran racun, menghidupkan tanaman, dll. Ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi semesta adalah ilmu pengetahuan yang digunakan di jalan dharma. Oleh karena itu maka pengetahuan yang sudah diperoleh pada hari Saraswati hendaknya disucikan. Sarana pensucian yang utama adalah air dari sungai Gangga. Oleh karena kita tidak mungkin bisa setiap saat mandi di sungai Gangga, sedangkan keyakinan pengetahuan bahwa sungai Gangga bermuara di laut, dan laut diseluruh dunia adalah menyatu, maka segala air di dunia sudah disucikan oleh sungai Gangga. Pada umumnya dihari Banyupinaruh kita melaksanakan pensucian/metirthayatra ke laut atau ke sumber-sumber mata air, danau, sungai. Disamping itu melakukan upacara pensucian diri dengan simbol sajen Prayascita.
posted by I Made Artawan @ 17.17   0 comments
Hari Raya Saraswati
Jumat, 02 Januari 2009
Hari Raya Saraswati yaitu hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, jatuh pada tiap-tiap hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Pada hari itu kita umat Hindu merayakan hari yang penting itu. Terutama para pamong dan siswa-siswa khususnya, serta pengabdi-pengabdi ilmu pengetahuan pada umumnya.

Dalam legenda digambarkan bahwa Saraswati adalah Dewi/ lstri Brahma. Saraswati adalah Dewi pelindung/ pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah dewi Saraswati, kita menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan.

Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik bertangan empat, biasanya tangan- tangan tersebut memegang Genitri (tasbih) dan Kropak (lontar). Yang lain memegang Wina (alat musik / rebab) dan sekuntum bunga teratai. Di dekatnya biasanya terdapat burung merak dan undan (swan), yaitu burung besar serupa angsa (goose), tetapi dapat terbang tinggi .

Upacara pada hari Saraswati, pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai.

Widhi widhana (bebanten = sesajen) terdiri dari peras daksina, bebanten dan sesayut Saraswati, rayunan putih kuning serta canang-canang, pasepan, tepung tawar, bunga, sesangku (samba = gelas), air suci bersih dan bija(beras) kuning.

Pemujaan / permohonan Tirtha Saraswati dilakukan mempergunakan bahan-bahan: air, bija, menyan astanggi dan bunga.

  • Ambil setangkai bunga, pujakan mantra: Om, puspa danta ya namah.
  • Sesudahnya dimasukkan kedalam sangku. Ambil menyan astanggi, dengan mantram "Om, agnir, jyotir, Om, dupam samar payami".
  • Kemudian masukkan ke dalam pedupaan (pasepan).
  • Ambil beras kuning dengan mantram : "Om, kung kumara wijaya Om phat".
  • Masukkan kedalam sesangku.
  • Setangkai bunga dipegang, memusti dengan anggaranasika, dengan mantram:
Mantra
Artinya
Om, Saraswati namostu bhyam Warade kama rupini Siddha rastu karaksami Siddhi bhawantu sadam. Om, Dewi Saraswati yang mulia dan maha indah,cantik dan maha mulia. Semoga kami dilindungi dengan sesempurna-sempurnanya. Semoga kami selalu dilimpahi kekuatan.
Om, Pranamya sarwa dewanca
para matma nama wanca.
rupa siddhi myaham.
Om, kami selalu bersedia menerima restuMu ya para Dewa dan Hyang Widhi, yang mempunyai tangan kuat. Saraswati yang berbadan suci mulia.
Om Padma patra wimalaksi
padma kesala warni
nityam nama Saraswat.
Om, teratai yang tak ternoda, Padma yang indah bercahaya. Dewi yang selalu indah bercahaya, kami selalu menjungjungMu Saraswati.

Sesudahnya bunga itu dimasukkan kedalam sangku. Sekian mantram permohonan tirta Saraswati. Kalau dengan mantram itu belum mungkin, maka dengan bahasa sendiripun tirta itu dapat dimohon, terutama dengan tujuan mohon kekuatan dan kebijaksanaan, kemampuan intelek, intuisi dan lain-lainnya.

Setangkai bunga diambil untuk memercikkan tirtha ke pustaka-pustaka dan banten-banten sebanyak 5 kali masing-masing dengan mantram :

  • Om, Saraswati sweta warna ya namah.

  • Om, Saraswati nila warna ya namah.

  • Om, Saraswati pita warna ya namah.

  • Om, Saraswati rakta warna ya namah.

  • Om, Saraswati wisma warna ya namah.

Kemudain dilakukan penghaturan (ngayaban) banten-banten kehadapan Sang Hyang Aji Saraswati.

Selanjutnya melakukan persembahyangan 3 kali ditujukan ke hadapan :

  • Sang Hyang Widhi (dalam maniftestasinya sebagai Çiwa Raditya).

  • Sang Hyang Widhi (dalam manifestasinya sebagai Tri Purusa)

  • Dewi Saraswati.

Ucapkan mantra berikut:

Mantramnya
Artinya
Om, adityo sya parajyote rakte tejo namastute sweta pangkaja madyaste Baskara ya namo namah.
Om, rang ring sah Parama Çiwa Dityo ya nama swaha.
Om, Tuhan Hyang Surya maha bersinar-sinar merah yang utama. Putih Iaksana tunjung di tengah air, Çiwa Raditya yang mulia.
Om, Tuhan yang pada awal, tengah dan akhir selalu dipuja.
Om, Pancaksaram maha tirtham, Papakoti saha sranam Agadam bhawa sagare. Om, nama Çiwaya. Om, Pancaksara Iaksana tirtha yang suci. Jernih pelebur mala, beribu mala manusia olehnya. Hanyut olehnya ke laut lepas.
Om, Saraswati namostu bhyam,
Warade kama rupini,
Siddha rastu karaksami,
Siddhi bhawantume sadam.
Om Saraswati yang mulia indah, cantik dan maha mulia, semoga kami dilindungi sesempurna-sempurnanya, semoga selalu kami dilimpahi kekuatan.



Sesudah sembahyang dilakukan metirtha dengan cara-cara dan mantram-mantram sebagai berikut :

  • Meketis 3 kali dengan mantram:
    • Om, Budha maha pawitra ya namah.
    • Om, Dharma maha tirtha ya namah.
    • Om, Sanghyang maha toya ya namah.

  • Minum 3 kali dengan mantram:
    • Om, Brahma pawaka.
    • Om, Wisnu mrtta.
    • Om, Içwara Jnana.

  • Meraup 3 kali dengan mantram :
    • Om, Çiwa sampurna ya namah.
    • Om, Çiwa paripurna ya namah.
    • Om, Parama Çiwa suksma ya namah.

  • Terakhir melabahan Saraswati yaitu makan surudan Saraswati sekedarnya, dengan tujuan memohan agar diresapi oleh wiguna Saraswati.
Setelah Saraswati puja selesai, biasanya dilakukan mesarnbang semadhi, yaitu semadhi ditempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan menernukan pencerahan Ida Hyang Saraswati.

Puja astawa yang disiapkan ialah : Sesayut yoga sidhi beralas taledan dan alasnya daun sokasi berupa nasi putih daging guling, itik, raka-raka sampian kernbang payasan. Sesayut ini dihaturkan di atas tempat tidur, dipersembahkan ke hadapan Ida Sang Hyang Aji Saraswati.

Keesokan harinya dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni asuci laksana dipagi buta berkeramas dengan air kumkuman. Ke hadapan Hyang Saraswati dihaturkan ajuman kuning dan tamba inum. Tamba inum ini terdiri dari air cendana, beras putih dan bawang lalu diminum, sesudahnya bersantap nasi kuning garam, telur, disertai dengan puja mantram:

  • Om, Ang Çarira sampurna ya namah swaha.

Semua ini mengandung maksud, mengambil air yang berkhasiat pengetahuan.

posted by I Made Artawan @ 17.43   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas