Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Pura Agung Kentel Gumi
Minggu, 22 Agustus 2010
Pura Agung Kentel Gumi terletak di Desa Tusan Banjarangkan Klungkung Bali. Merupakan salah satu Pura kahyangan Jagat Bali, sungsungan umat Hindu sebagai stana Ida Sang Hyang Reka Bhuwana. Pura ini berfungsi sebagai tempat memohon kedegdegan jagat. Sebagaimana dipaparkan dalam lontar Raja Purana batur, Pura Agung Kentel Gumi merupakan Tri Guna Pura (Kahyangan Tiga-nya Jagat Bali). Pura Batur/Tampurhyang sebagai Pura Desa-nya (mohon kesuburan), Pura Kentel Gumi sebagai Puseh (Kedegdegan jagat) dan Pura Agung Besakih/Tohlangkir sebagai Dalem (kesucian sekala niskala). Terkait catatan tentang Tri Guna Pura, ternyata bukan ditemukan di Pura Agung Kentel Gumi, melainkan termuat dalam Raja Purana Batur yang tersimpan di Pura Batur, Kintamani, Bangli. Berdasarkan penelusuran tokoh agama dan pengurus PHDI bahwa Tri Guna Pura ini sebelumnya nyaris tak ada yang tahu, sehingga Pura Kentel Gumi seperti ikut terlupakan.

Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat mungkin dilakukan dengan mempertahankan "keaslian" pura — detail pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih tersimpan.

Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. Utamaning Utama Mandala terdiri atas 23 pelinggih di antaranya Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat, Meru Tumpang Solas (pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara Masceti.


Utàma Mandala - beda dengan utamaning utama mandala. Di sini terdapat sumanggen sebagai ciri utama. Ada juga perantenan suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat penetegan. Sedangkan di Madya Mandala (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. Nista Mandala (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.


Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan, Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.


Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/parahyangan Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga, dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima, Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai stana Ida Dewi Basundari.

Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi, luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi). Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih dan Pura Batur.

Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (Catur Bhuja). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, Eka Dasa Rudra di Besakih, Pancawali Krama di Batur dan Panyegjeg Jagat di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara Panyegjeg Jagat di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara Penyegjeg Jagat tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460.

SELAIN sebagai "Tri Guna Pura", sejumlah hal menarik lainnya juga terdapat di Pura Agung Kentel Gumi. Salah satunya, peninggalan sejarah dan purbakala menurut purana dibangun Mpu Kuturan masa pemerintahan Raja Sri Dharmodayana Warmawadewa-Gunapridharmapatni Makutawangsawardana (Putni Mahendradatta) pada 989 M.
Untuk diketahui, Pura Agung Kentel Gumi menyimpan puluhan area kuno. Ada yang masih utuh, ada juga berupa pragmen. Salah satu fragmen itu, sebuali lingga. Bisa disebut Lingga Reka Bhuwana karena berkaitan dengan sejarah, legenda dan mitologi. Lingga itu terletak di utama mandala. Dengan ukuran sangat kecil dibanding bangunan lainnya yang lebih besar dan menjulcing seperti meru, gedong danlainnya, sulit melihat Lingga Reka Bhuwana tersebut, jika tak diteliti. Letaknya persis di tengah-tengah jeroan pura. Tinggi lingga tak lebih 2 meter. Alasnya (Yoni) sekitar 2 meter persegi.

Namun, bentuknya terlihat lebih unik dibanding Lingga-Yoni umumnya. Lingga-Yoni umumnya berupa selinder berujung bulat. Lingga melambangkan purusa. Yoni berbentuk lesung segi empat sebagai simbol pradana.

Sementara Lingga Reka Bhuwana di Pura Agung Kentel Gumi ujungnya (puncak) tidak bulat, tetapi berbentuk pipih. Badan lingga berbentuk persegi. Begitupun Yoni (alas) Sebagai simbol pradana, sekilas tampak seperti punden berundak. Tidak ada yang tahu persis, terkait bentuk Lingga Reka Bhuwana yang berbeda dibanding Lingga-Yoni pada umumnya. Berdasarkan dugaan, itu dikarenakan berkaitan dengan riwayat (tatwa) Pura Agung Kentel Gumi.
Seorang penekun spiritual, urati lontar/babad/prasasti asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma, menyebutkan lazimnya Lingga-Yoni Reka Bhuwana disebut Linggih Pancer Jagat. Karena diyakini di tempat itulah Mpu Kuturan meletakkan tanda (titik awal) ketika mengawali pembangunan Pura Agung Kentel Gumi.

Berdasarkan purana, pendirian Pura Agung Kentel Gumi erat kaitannya dengan kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana dan istrinya Putri Mahendradatta. Mpu Kuturan datang ke Bali untuk dimintai nasehat sebagai purohito, menyusul adanya pertikaian antar sekte keagamaan di Bali. Untuk mengatasi itu.

Mpu Kuturan mengundang tokoh sekte dan menggelar pertemuan di sebuah tempat di Gianyar yang sekarang ini merupakan Pura Samuan Tiga. Menyusul kesepakatan leburnya paham sekte, disepakati juga pemujaan Batara Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Dan sini juga muncul konsep Kahyangan Tiga dan desa pakraman.

Sebuah lokasi, sekarang kawasan Pura Agung Kentel Gumi, dipilih Mpu Kuturan sebagai tempat yoga semadi. Berkat kesidhiannya, sosial keagamaan masyarakat Bali jadi kondusif, kokoh. Bebas dan pertikaian antar sekte. Itu yang kemudian disimbolkan dengan Linggih Pancer Jagat—berupa Lingga-Yoni khas Pura Agung Kentel Gumi.

Pura Agung Kentel Gumi juga menyimpan keunikan lain berkaitan dengan kepurbakalaan, Lusinan benda purbakala berupa area, fragmen area, pratima ada di sana. Untuk sementara disimpan di Gedong Murda Manik (palinggih sementara) sambil menunggu tuntasnya pemugaran. Selanjutnya dikembalikan pada pelinggih masing-masing, di mana benda-benda sakral itu berada sebelumnya.

Paling mencolok, bentuk area batu dengan catur muka (wajah ke empat penjuru mata angin). Ukurannya lebih besar dibanding area lain. Tingginya diperkirakan 1,2 meter. Berwarna keabu-abuan berbahan batu andesit selayaknya area kuna umumnya. Namun, tak ada yang tahu secara jelas, makna area tersebut terkait dengan keberadaan Pura Agung Kentel Gumi. Meski demikian, mengingat pura sebagai tempat suci/pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya, bukan hal yang salah area Catur Muka dimaksudkan sebagai penggambaran Dewa Brahma/Brahma Catur Muka. Dalam pemahaman Hindu, Dewa Brahma merupakan manisfestasi Tuhan Yang Maha Esa yang berwajah empat.

PURA Agung Kentel Gumi di Desa Tusan Kecamatan Banjarangkan, Klungkung adalah Pura Kahyangan Jagat sebagai media pemujaan Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Reka Bhuwana atau disebut juga Sang Hyang Pancering Jagat. Manifestasi Tuhan
dengan sebutan lokal Bali itu dipuja di Meru Tumpang Sebelas. Menurut Yajurveda XXXII.3 Tuhan itu tidak punya bentuk seperti ciptaan-Nya (Na tasya pratima asti). Para Vipra atau orang-orang suci yang ahli (Brahmana Sista) itulah yang menyebutkan dengan banyak nama —Ekam sat vipra bahuda badanti.

Demikian dinyatakan dalam Veda bahwa tujuan pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa dengan teguh adalah untuk mewujudkan kehidupan yang makmur secara adil. Hal ini dinyatakan dalam Atharvaveda VIII.2.25. Karena itu pemujaan pada Tuhan bukan untuk membuat umat semakin menderita. Karena itu Mantra Veda yang dikutip di atas menyatakan bahwa bumi ini diciptakan oleh Tuhan sebagai wadah kehidupan semua makhluk hidup. Apa yang boleh, baik dan benar dilakukan di bumi ini dinyatakan dalam mantra Atharvaveda, XII, 1.1.

Untuk melakukan perbuatan yang menjunjung kehidupan yang baik dan benar tidaklah mudah. Karena itu umat seyogianya memuja Tuhan untuk mendapatkan penguatan diri lahir bathin. Dalam hal inilah Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Reka Bhuwaria di Pura Kentel Gumi di Desa Tusan, Klungkung. Reka Bhuwana artinya suatu perencanaan matang yang seyogianya dilakukan di bhuwana atau bumi ini. Di Pura Agung Kentel Gumi ada upacara Reka Bhumi suatu upacara yadnya yang wajib dilakukan.

Tujuan upacara Reka Bhumi ini untuk mendapatkan Penyegjeg Jagat. Artinya, untuk mencapai tegaknya kehidupan dibumi ini. Ada enam hal yang wajib dibumi ini agar Ibu Pertiwi jegjeg yaitu Satya, artinya kebenaran Veda yang bersifat Sanatana Dharma yaitu kebenaran yang kekal abadi. Kebenaran yang disebut Satya itu adalah dasar untuk berperilaku untuk menuju jalan Tuhan. Berperilaku itu adalah berpikir, berkata dan berbuat menuju jalan Tuhan.

Dalam Slokantara 2 ada dinyatakan bahwa Satya itu lebih utama nilainya daripada seratus Suputra. Seorang Suputra seratus kali lebila utama nilainya daripada seratus kali upacara yadnya. Yakinlah kalau senantiasa berpegang dengan Satya hidup ini pasti mendapatkan anugerah atau karunia dan Tuhan.


Rta artinya hukum alam. Hiduplah dengan menggunakan sumber-sumber alam dengan tidak melanggar hukum alam itu sendiri. Alam ini terbentuk dan Panca Maha Bhuta yaitu tanah, air, udara, panas dan akasa. Swami Satya Narayana dalam buku "Anandadayi" menyatakan bahwa kejahatan yang paling besar di bumi ini adalah merusak unsur-unsur alam tersebut. Menggunakan sumber-sumber energi alam ini secara berlebihan akan menimbulkan kebakaran. Kalau langit atau akasa itu dikotori akan meñyebabkan manusia menderita penyakit gangguan mental, bahkan penyakit gangguan jiwa.

Semuanya ini memang sudah terbukti Sekarang banyak teijadi kebakaran hutan, panas menyembur clan dalam tanah, suhu bumi semakin meningkat dan berbagai kerusakan alam lainnya. Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, menyatakan sudah terjadi sepuluh kerusakan muka bumi ini. Hal ini disebabkan bergesernya hidup manusia modern dari needs ke wants. Artinya, hidup berdasarkan kebutuhan telah bergeser berdasarkan keinginan.

Keinginan itu tak ada batasnya. Diksa artinya penyucian atau pemberkatan. Dalam anti proses hendaknya setiap orang terus berusaha meningkatkan kesucian dininya dengan berusaha menguatkan kesadaran budhi-nya untuk mencerahkan kecerdasan pikirannya. Pikiran yang cerdas berfungsi mengendalikan indriya atau nafsunya. Nafsu yang terdidik dan terlatih itulah akan mengekspresikan perilaku suci. Kalau hal itu sudah dapat dicapai dan dibuktikan barulah dilakukan ritual diksa atau pentasbihan sebagai diksita. Melakukan diksa ini bukanlah hak suatu wangsa tertentu. Diksa itu adalah kewajiban dan hak setiap umat Hindu dengan tidak melihat asal-usul wangsa-nya.


Tapa artinya secara denotatif dalam bahasa Sansekerta adalah panas atau bersinar. Secara konotatif artinya pengendalian diri dengan cara membangkitkan kekuatan sinar Sang Hyang Atma dalam diri. Kalau sinar Atman dapat dilepaskan dan halangan kuatnya gejolak hawa nafsu maka tujuan tapa untuk mengendalikan diri itu dapat terwujud. Dengan tapa itu keinginan nafsu yang disebut Wisaya Kama itu dapat diubah menjadi Sreya Kama yaitu keinginan untuk selalu mendekatkan diri sesuai dengan tuntutan Tuhan.


Menunut Ayur Veda hal itu akan dapat dicapai dengan mengendalikan makanan, gaya hidup dan kesehatan fisik (Ahara, Wihara dan Ausada). Brahma artinya menumbuhkan diri dengan doa. Kata "brahma" dalam bahasa Sansekerta berasal dan akar kata "brh" artinya tumbuh atau mencipta. Karena itu sinar suci Tuhan dalam menciptakan disebut Dewa Brahma. Berdoa dengan melapalkan mantra-mantra Weda dengan tekun sebagai puja stawa akan dapat menguasai kesadaran budhi, kecerdasan pikiran dan kepekaan emosional dalam kesucian mantra Weda tersebut.

Candogya Upanishad menyebutkan, setiap han usahakan berdoa pagi saat raditya dina, siang saat madya dina dan sore saat sandhya dina. Yadnya artinya suatu keikhlasan untuk melakukan pengorbanan untuk tujuan yang suci. Inilah merupakan unsur yang utama dalam melangsungkan upacara keagamaan Hindu. Upacara dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Karena itu, upacara yadnya itu dilakukan dengan mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara bakti.

Mendekatkan diri pada sesama manusia dengan punia atau pengabdian. Mendekatkan diri pada alam lingkungan asih. Asih, punia dan bhakti inilah landasan melakukan yadnya. Yadnya itu bentuknya bukan upacara keagamaan semata-mata. Dengan menghemat penggunaan sumbersumber alam itu juga suatu yadnya. Tidak memaksakan kehendak itu juga yadnya. Mengendalikan hawa nafsu juga yadnya.

Dengan melakukan enam langkah yang disebut Sat Pertiwi Dharyante (enam upaya menyangga ibu pertiwi inilah sebagai upaya Reka Bhuwana mewujudkan Jejeg Jagat. Inilah yang terus-menerus dimohonkan pada Tuhan lewat Pura Kentel Gumi. Di Pura Besakih juga dilangsungkan upacara Penyejeg Jagat di Pura Gelap dan Pengurip Bumi di Pura Ulun Kulkul. Diambil dari berbagai sumber.

posted by I Made Artawan @ 05.41   0 comments
''Padma Tiga'' Pura Besakih Sumber Kesucian
Selasa, 17 Agustus 2010
PURA Besakih banyak mengandung filosofi. Menurut Piagam Besakih, Pura Agung Besakih adalah Sari Padma Bhuwana atau pusatnya dunia yang dilambangkan berbentuk bunga padma. Oleh karena itu, Pura Agung Besakih adalah pusat untuk menyucikan dunia dengan segala isinya.

Pura Besakih juga pusat kegiatan upacara agama bagi umat Hindu. Di Pura ini setiap sepuluh tahun sekali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama dan setiap seratus tahun diselenggarakan upacara Eka Dasa Rudra. Pura Agung Besakih secara spiritual adalah sumber kesucian dan sumber kerahayuan bagi umat Hindu.

Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah palinggih Padma (Padmasana) Tiga. Letaknya di Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih tersebut terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar.

Pengamat agama dan budaya Ida Bagus Gede Agastia mengatakan bangunan suci Padma Tiga yang berada di Pura Agung Besakih adalah tempat pemujaan Tri Purusa yakni Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa (Tuhan Yang Mahaesa).

Piodalan di Padmasana Tiga dilangsungkan setiap Purnama Kapat. Ini terkait dengan tradisi ngapat. Sasih Kapat atau Kartika, merupakan saat-saat bunga bermekaran. Kartika juga berarti penedengan sari. Padmasana tersebut dibangun dalam satu altar atau yoni.

Ida Bagus Agastia mengatakan palinggih padmasana merupakan stana Tuhan Yang Mahaesa. Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti teratai dan asana berarti tempat duduk atau singgasana. Jadi, padmasana artinya tempat duduk atau singgasana teratai.

Tuhan Yang Mahaesa secara simbolis bertahta di atas tempat duduk atau singgasana teratai atau padmasana. Padmasana lambang kesucian dengan astadala atau delapan helai daun bunga teratai. Bali Dwipa atau Pulau Bali dibayangkan oleh para Rsi Hindu zaman dulu sebagai padmasana, tempat duduk Tuhan Siwa, Tuhan Yang Mahaesa dengan asta saktinya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang membentang ke delapan penjuru (asta dala) Pulau Bali masing-masing dengan dewa penguasanya. Dewa Iswara berada di arah Timur, bersemayam di Pura Lempuyang. Brahma di selatan bersemayam di Pura Andakasa. Dewa Mahadewa di barat (Pura Batukaru), Wisnu di utara (Pura Batur), Maheswara di arah tenggara (Pura Goa Lawah), Rudra di barat daya (Pura Uluwatu), Sangkara di barat laut (Pura Puncak Mangu), Sambhu di timur laut (Pura Besakih), Siwa bersemayam di tengah, pada altar dari Pura Besakih dengan Tri Purusa-Nya yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.

Tri Purusa tersebut dipuja di Padmasana Tiga Besakih. Palinggih Padmasana Tiga tersebut merupakan intisari dari padma bhuwana, yang memancarkan kesucian ke seluruh penjuru. ''Karena itu, sumber kesucian tersebut penting terus dijaga, sebagai sumber kehidupan,'' ujarnya.

Sementara pembangunan Pura Agung Besakih dan Pura-pura Sad Kahyangan lainnya adalah berdasarkan konsepsi Padma Mandala, bunga padma dengan helai yang berlapis-lapis (Catur Lawa dan Astadala). Pura Besakih adalah sari padma mandala atau padma bhuwana. Pura Gelap, Pura Kiduling Kerteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batumadeg adalah Catur Lawa. Sedangkan Pura Lempuyang Luhur, Goa Lawah, Andakasa, Luhur Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, dan Pura Batur adalah Astadala. Pura-pura tersebut sangat disucikan dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Pura-pura tersebut pusat kesucian dan kerahayuan bagi umat Hindu.

Dosen IHDN Denpasar Ketut Wiana mengatakan Pura Besakih sebagai huluning Bali Rajya, hulunya daerah Bali. Pura Besakih sebagai kepala atau jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di bagian timur laut Pulau Bali.

Timur laut adalah arah terbitnya matahari dengan sinarnya sebagai salah satu kekuatan alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan di bumi. Pura Besakih juga hulunya berbagai pura di Bali. Kata Wiana, di Padma Tiga ini Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa, tiga manifestasi Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Tri artinya tiga dan purusa artinya jiwa. Tuhan sebagai Tri Purusa adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Siwa atau Parameswara.

Palinggih padma paling kanan tempat memuja Sang Hyang Parama Siwa. Bangunan ini biasa dihiasi busana hitam. Sebab, alam yang tertinggi (Swah Loka) tak terjangkau sinar matahari sehingga berwarna hitam. Bangunan padma yang terletak di tengah adalah lambang pemujaan terhadap Sang Hyang Sadha Siwa. Busana yang dikenakan pada padma tengah itu berwana putih. Warna putih lambang akasa. Sedangkan, bangunan padma paling kiri lambang pemujaan Sang Hyang Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa Bhur Loka. Busana yang dikenakan berwarna merah. Di Bhur Loka inilah Tuhan meletakkan ciptaan-Nya berupa stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia. Jadi, palinggih Padma Tiga merupakan sarana pemujaan Tuhan sebagai jiwa Tri Loka. Karena itu dalam konsepsi rwa-bhineda, Pura Besakih merupakan Pura Purusa, sedangkan Pura Batur sebagai Pura Predana.

Menurut Wiana, busana hitam pada palinggih Padma Tiga bukanlah simbol Dewa Wisnu, tetapi Parama Siwa. Dalam Mantra Rgveda dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan Yang Mahaesa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap, karena tidak dijangkau oleh sinar matahari.

Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman atau tanpa sifat. Manusia

tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu.

Padmasana yang berada di tengah, busananya putih-kuning sebagai simbol Tuhan dalam keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada padma paling kiri bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Sthitti dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti.

Sementara di kompleks Pura Besakih, manifestasi Tuhan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg, Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan Batara Iswara di Pura Gelap.

Di tingkat Pura Padma Bhuwana, Batara Wisnu dipuja di Pura Batur, simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Bhatara Iswara dipuja di Pura Lempuhyang Luhur, simbol Tuhan di arah timur dan Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa, simbol Tuhan Mahakuasa di arah selatan. Sementara di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Pura Kahyangan Tiga. sumber balipost
posted by I Made Artawan @ 00.15   0 comments
Manusia Durjana dan Sujana
Senin, 16 Agustus 2010
Vidyaamada dhanamadastritiyo

abhijanairmadah, madaahyete'valipta

anaameta eva sataam damah (Sarasamuscaya. 337).

Maksudnya: Hal yang menimbulkan kesombongan bagi si durjana adalah widya, dhana dan abhijana. Widya artinya ilmu pengetahuan. Widyamada artinya rasa bangga terus sombong karena ilmu pengetahuan. Dhana adalah segala rupa kekayaan seperti emas dan permata mulia. Dhanamada adalah kesombongan karena yang disebabkan oleh kekayaan. Abhijana artinya kewangsaan atau keturunan mulia. Abhijanamada menyebabkan sombongnya (mada) si durjana. Sebaliknya bagi Sang Sujana ketiga hal itu menyebabkan timbulnya kedamaian hati (kopasama).

Ilmu pengetahuan (widya), kekayaan (dhana) dan kebangsawanan (abhijana) adalah tiga hal yang sungguh mulia di dunia ini. Tetapi amat tergantung pada yang memiliki tiga hal itu. Beda halnya hal itu dimiliki oleh Sang Durjana dan Sang Sujana.

1. Widya: Artinya ilmu pengetahuan; ada para widya ilmu tentang kerokhanian dan ada apara widya ilmu tentang keduniaan. Karena itu ilmu pengetahuan sungguh sangat mulia bahkan dalam Bhuwana Kosa disebut sebagai utama saoca artinya ilmu pengetahuan itu sebagai sarana untuk penyucian yang paling utama di bumi ini.

Penyucian yang lainnya adalah patra (daun), jala (air), pertiwi (tanah), bhasma saoca (abu suci). Dalam Canakya Niti XII, 11 dinyatakan bahwa satya mata pita jnyana. Artinya kebenaran Weda itu adalah ibu dan jnyana atau ilmu pengetahuan suci itu adalah ayah. Bhagawad Gita IV.38 menyatakan: tidak ada sesuatupun di dunia ini yang menyamai kesucian ilmu pengetahuan (na hi jnyanena sadrsam, pavitram iha vidyate). Bhagawad Gita IV.33 menyatakan bahwa persembahan ilmu pengetahuan (jnyana yadnya) jauh lebih mulia dari pada persembahan harta benda (druvya yadnya). Dalam Sarasamuscaya 336 ada dinyatakan: Don Sang Hyang Aji ngaranira manghilangken mada, kunang ring durjana mangdadyaken amda sira. Artinya: Tujuan ilmu pengetahuan itu adalah menghilangkan kesombongan. Tetapi bagi si durjana justru ilmu pengetahuan itu membangkitkan kesombongannya.

Sastra suci ini seyogianya dijadikan renungan serius bagi para ilmuwan. Apa lagi ilmuwan yang bersifat formal dengan berbagai embel-embel titelnya. Hendaknya jangan mabuk karena sudah mencapai studi formal di perguruan tinggi. Di Bali Gubernur Made Mangku Pastika sering menyampaikan secara halus bahwa jumlah guru besar di Singapura seimbang dengan jumlah guru besar di Bali. Di Singapura berbagai permasalahan dapat diatasi dimana para ilmuwan itu memberikan solusi pemecahan berbagai masalah yang ada di Singapura yang pulaunya lebih kecil dari Bali.

Hal ini tentunya jangan dijadikan ajang saling menyalahkan antara para ilmuwan dengan pemimpin formal di pemerintahan. Seyogianya saling bersinergi untuk berdialog satu dengan yang lain yang lainnya untuk saling mengingatkan dan bekerja sama dengan sungguh-sungguh. Jangan hanya sama-sama kerja saja. Pemerintah juga hendaknya memperhatikan hasil-hasil penelitian dan kajian-kajian para ilmuwan. Tentunya juga nasib sosial ekonomi para ilmuwan. Ada kesan hasil kerja para ilmuwan dihargai terlalu murah oleh berbagai pihak.

2. Dhana sesuatu yang amat mulia kalau tepat caranya memberikan peran sesuai dengan fungsinya. Dhana artinya harta benda kekayaan. Bedakan artinya kata dhana dengan dana. Dhana artinya harta kekayaan sedangkan dana artinya memberikan. Dalam Wrehaspati Tattwa 25 dinyatakan: Dana ngaraning paweweh. Dana artinya memberikan. Dhana ini sering juga diartikan uang. Uang yang disebut dhana itu adalah uang yang belum terarah atau pure money atau istilah sekarang disebut ''anggaran non budgeter''. Dhana yang begitulah bisa menggoda orang bisa menjadi dhanamada artinya dhana yang bisa membuat orang menjadi sombong.

Dhana yang non budgeter ini mudah menggoda berbagai pihak sampai terpleset menjadi mabuk karena dhana tersebut. Dhana yang merupakan hasil kerja atau rejeki disebut arjana. Arjana itu sebagai uang yang sudah terarah disebut artha. Kata artha dalam bahasa Sansekerta artinya tujuan. Dengan demikian dhana yang sudah jelas tujuan penggunaannya disebut artha. Seorang durjana yang memiliki dhana akan membangkitkan mada atau kesombongannya. Dhana yang dimiliki bukan untuk dijadikan artha untuk mensukseskan tujuan hidupnya di dunia mencapai dharma, artha dan kama sebagai dasar mencapai moksha. Dhana yang dimiliki oleh Sang Durjana untuk mengikuti dorongan indrianya.

3. Abhijana artinya kewangsaan. Kemuliaan wangsa atau keturunan sesungguhnya sesuatu yang mulia. Lahir dari keturunan orang mulia terpandang sesungguhnya suatu karunia Tuhan. Tetapi karunia Tuhan itu bagi Sang Durjana akan digunakan untuk membangkitkan kesombongannya atau mada. Dalam Bhagawad Gita XVI.4 membangga-banggakan keturunan yang disebut abhijatasya tergolong salah satu dari sifat manusia yang tergolong asuri sampad atau manusia yang memiliki kecendrungan keraksasaan. Lahir dari keturunan yang mulia itu hendaknya dijadikan media untuk minimal mempertahankan nama baik dari leluhur yang melahirkan kita. Setidak-tidaknya abhijatasya itu sebagai modal untuk mengembangkan sifat-sifat baik.

Beda Sang Durjana dengan Sang Sujana. Kalau Sang Durjana menggunakan widya, dhana dan abhijana itu untuk membangkitkan mada atau kesombongan. Sedangkan Sang Sujana kesempatan memiliki widya, dhana dan abhijana itu akan dijadikan media untuk meningkatkan kualitas hidupnya sampai mencapai upasama yaitu hidup yang aman damai secara lahir dan bathin. Widya itu dijadikan media untuk mencapai jnyana yaitu ilmu pengetahuan suci sebagai media untuk meningkatkan supremasi kesadaran rokhani mengendalikan dinamika kehidupan duniawi. Dengan demikian dinamika kehidupan duniawi akan senantiasa berada di jalan dharma. Dhana yang dimiliki dinikmati dan di-dana-punia-kan. Dinikmati untuk menjaga kesehatan dan kebugaran hidup serta untuk mensukseskan Swadharma. Di-dana-punia-kan untuk membantu sesama meningkatkan kualitas hidup. penulis I Ketut Wiana

posted by I Made Artawan @ 23.52   0 comments
Merdeka Menurut Hindu
Lwirning mangdadi madaning jana sur pa guna dhana kula kulina yowana lawan tang sura len kas aran agawe wereh manahikang sarat kabeh, yang wwanten wang sira sang dhanewsara sur apa guna dhana kula yowana yan ta mada maharddhikeka panggarannia sira putusi sang pinandita.

(Nitisastra, IV. 18).

Maksudnya: Hal yang dapat membikin orang mabuk adalah keindahan rupa, kepandaian, kekayaan, kemudahan, kebangsawanan, keberanian dan air nira. Barang siapa tidak mabuk karena semuanya itu dialah yang dapat disebut merdeka (mahardika), bijaksana bagaikan Sang Pinandita.

SETIAP tanggal 17 Agustus sejak tahun 1945 bangsa Indonesia memperingati hari Kemerdekaan. Hal itu dilakukan karena pada hari itulah Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari penjajahan diproklamirkan oleh Bung Karno. Kemerdekaan yang kita peringati itu adalah baru tahap kemerdekaan politik dalam artian bangsa Indonesia sudah berdaulat tidak lagi diatur kehidupannya oleh bangsa lain.

Kedaulatan politik itu seyogyanya dijadikan kesempatan emas untuk menata kehidupan sendiri tanpa ada campur tangan bangsa lain. Kedaulatan tersebut hendaknya dijadikan jembatan emas untuk mewujudkan kemerdekaan individual dan kemerdekaan sosial dalam artian yang sesungguhnya bagi rakyat Indonesia.

Merdeka berasal dari bahasa Sansekerta dari kata ''maharddhika'' yang artinya berkuasa, bijaksana, orang berilmu. Dalam Kekawin Nitisastra IV.19 dijelaskan konsep ''mahardhika'' amat nyata. Ada tujuh penyebab orang bisa mabuk. Tetapi barang siapa yang tidak mabuk atau dapat menguasai tujuh penyebab mabuk itu dialah yang disebut hidupnya ''merdeka''.

Dialah orang bijaksana bagaikan Sang Pinandita. Ini artinya perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan itu adalah perjuangan untuk membangun tujuh hal yaitu surupa guna dhana kula kulina yowana, sura, kasuran. Yang penting ketujuh hal itu tidak membuat mabuk atau dapat menguasai tujuh penyebab mabuk itu. Adapun tujuh hal itu adalah:

- Surupa yaitu keindahan rupa seperti cantik bagi mereka yang perempuan dan ganteng bagi mereka yang laki-laki. Cantik dan ganteng ini tentunya tidak ada artinya dalam hidup ini kalau tidak disertai dengan sehat dan bugar. Kalau kebetulan berhasil lahir cantik atau ganteng tentunya amat membahagiakan. Ini artinya hidup ini boleh dan semestinya berusaha untuk menguatkan eksistensi cantik dan ganteng tersebut dengan usaha membina kesehatan diri yang bugar dan segar.

Yang penting hal itu tidak menyebabkan orang itu mabuk. Ada sementara fakta sosial yang kita jumpai bahwa ada orang yang cantik atau ganteng tetapi sulit mendapatkan pasangan yang ideal karena sering tampil sombong atau gelap hati karena kecantikan atau kegantengannya itu. Ini artinya dia dijajah oleh kecantikan atau kegantengannya.

- Guna artinya ilmu terapan yang telah memberikan makna pada kehidupan. Dalam Nitisastra II.5 ada dinyatakan: Norana mitra mengelewihaning wara guna maruhur. Artinya tidak ada sahabat yang melebihi bersahabat dengan ilmu pengetahuan yang luhur. Ilmu itu adalah tongkat penunjang kehidupan. Dalam susastra Hindu di Bali disebut: matungked tutur utama. Ini artinya ilmu itu adalah sarana untuk mensukseskan tujuan hidup. Kalau tongkat ilmu pengetahuan itu telah dimiliki, selanjutnya mereka tidak sombong atau mabuk karena ilmu pengetahuan itu, dialah yang disebut merdeka. Kalau mereka itu sombong bersikap ekslusif karena memiliki ilmu pengetahuan itu artinya mereka belumlah merdeka. Bahkan bisa menjadi budaknya ilmu pengetahuan.

-Dhana artinya memiliki kekayaan berupa harta benda. Hubungan kekayaan dengan manusia ibarat air dengan perahu. Perahu tidak bisa berlayar tanpa air. Tujuan perahu berlayar bukan mencari air, tetapi, mencari pantai tujuan. Kalau salah caranya perahu berlayar, air itulah yang menenggelamkan perahu tersebut. Ini artinya harta benda itu adalah sarana hidup untuk menyelenggarakan kehidupan. Janganlah sampai harta benda itu menenggelamkan hidup ini sehingga justru menggagalkan usaha mencapai tujuan hidup. Orang yang sombong dan mabuk karena merasa memiliki harta benda itu artinya mereka belum merdeka.

-Kula kulina artinya memiliki keturunan yang mulia. Lahir dalam keluarga yang mulia artinya dari keluarga orang suci, orang berjasa pada bangsa atau orang yang kaya dermawan adalah suatu karunia yang patut disyukuri. Yang penting tidak mabuk karena merasa memiliki wansga yang mulia itu. Apa lagi Bhagawad Gita menyatakan bahwa membangga-banggakan wangsa (abhijana) itu salah satu sifat manusia yang keraksasaan atau asuri sampad.

-Yowana artinya senantiasa punya semangat muda. Semangat muda didukung oleh kesehatan yang prima dan wawasan yang luas tentunya karunia yang amat utama. Apa lagi delapan sistem ajaran Ayurveda itu salah satu adalah Rasayana Tantra yaitu ilmu kesehatan untuk membina hidup sehat bugar awet muda. Yang penting tidak sombong karena kemudaan dan segalanya itu. Kalau sombong dan mabuk karena kemudaannya itu artinya ia belum juga merdeka.

-Sura artinya nira atau di Bali disebut tuak. Minuman itu mengandung alkohol. Memang ada obat tertentu yang membutuhkan alkohol sebagai salah satu unsur yang membentuk obat tersebut. Yang penting jangan sampai alkohol itu diminum di luar fungsinya sebagai obat sampai kecanduan. Kalau sampau mabuk-mabukan itu artinya mereka itu belum juga merdeka.

-Kasuran artinya pemberani karena memiliki kesaktian artinya memiliki ilmu dan kemampuan untuk mengamalkan ilmu tersebut dalam kehidupan empiris. Mereka yang sakti itu tentunya menjadi dambaan masyarakat pada umumnya. Yang penting mereka tidak sombong dan mabuk karena semuanya itu. Kalau mabuk artinya mereka belum merdeka.

Berdasarkan uraian tersebut di atas merdeka menurut Hindu adalah suatu upaya yang mampu membangun diri yang sehat, berilmu, sejahtera secara ekonomi, mampu menjaga harkat dan martabat keturunan, bersemangat karena sehat bugar dan berwawasan, tidak pemabuk, minum alkohol, memiliki keberanian karena memiliki ilmu dan kemampuan untuk mengamalkan ilmu yang dimiliki itu. Pengertian merdeka menurut Hindu itulah yang wajib kita wujudkan untuk mengisi kemerdekaan politik. penulis I Ketut Wiana

Label:

posted by I Made Artawan @ 23.42   0 comments
Canang
Rabu, 11 Agustus 2010
Canang merupakan upakara yang sangat sering digunakan dalam kehidupan beragama umat hindu khususnya di Bali. Hampir setiap hari dapat kita jumpai adanya umat yang menghaturkan canang sebagai wujud bhakti dan syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Walaupun bentuk dan ukuranya kecil, canang memiliki peranan yang sangat penting, sehingga canang juga disebut Kanista atau inti dari upakara. Sebesar apapun upakara tersebut maka tidak akan menjadi lengkap kalau tidak diisi dengan canang.
Canang terdiri dari dua suku kata yang berbahasa kawi yaitu "ca" yang berarti indah dan "nang" yang berarti tujuan. Jadi canang adalah sebuah sarana dalam bahasa Weda yang bertujuan untuk memohon keindahan (sundharam) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam ajaran agama Hindu di Bali, canang mempunyai beberapa bentuk dan fungsi sesuai dengan kegiatan upacara yang diadakan. Canang adalah sebuah penjabaran nilai - nilai Weda yang disimboliskan melalui unsur - unsur yang terdapat di dalam Canang, antara lain :
1. Ceper
Canang yang dialasi oleh ceper sebagai simbol Ardha Candra, sedangkan canang yang dialasi oleh tamas kecil adalah simbol dari Windhu
2. Porosan
Didalam canang terdapat sebuah porosan sebagai simbol silih asih, yang mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (posros) yang berisikan cinta kasih dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
3. Jajan, Tebu dan Pisang
Didalam ceper berisikan jajan, tebu dan pisang sebagai simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan Upetti, Stiti dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta
4. Sampan Urasari
Diatas raka - raka tadi disusunkan sebuah sampian urasari (di beberapa daerah disebut Duras) yang melambangkan kekuatan Windhu dan ujung - unjung sampian tersebut merupakan perlambangan Nadha
5. Bunga
Diatas sampian urasari disusunkan anekan bunga dengan susunkan sebagai berikut :
Bunga berwarna Putih disususnkan di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara
Bunga berwarna Merah disusunkan di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma
Bunga berwarna Kuning disusunkan di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa
Bunga berwarna Biru atau Hijau disusunkan di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu
Kembang Rampai disusunkan ditengah - tengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata

Dengan demikian Canang mempunyai makna sebagai sarana permohonan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi (berwujud Ogkara) dan memohon kekuatan beliau dalam manifestasi Sang Hyang Ista Dewata. sumber Ida Pedanda Gede Made Gunung
posted by I Made Artawan @ 18.11   0 comments
Perbuatan Susila
Jumat, 06 Agustus 2010
Apanikang dharma, satya, maryada yukti, sri

kasaktin, kaniscayan ika, sila hetunyan hana (Sarasamuscaya.158)

Maksudnya: Prilaku susila sebagai sumber datangnya kebajikan, kebenaran, kehidupan yang layak, kesejahtraan, kesaktian dan keteguhan hati.

Berbuat Susila di zaman Kali ini sungguh tidak mudah. Banyak hambatan dan godaan yang menghadangnya. Hal ini disebabkan pada zaman Kali ini dharma hanya di topang oleh satu kaki, sedangkan adharma di topang oleh tiga kaki. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra I.81 dan 82. Untuk menguatkan hidup di zaman Kali ini dibutuhkan bhakti pada Tuhan dan pelayanan yang tulus pada sesama atau puja dan seva.

Puja itu adalah bhakti pada Tuhan sedangkan seva adalah pelayanan dengan asih pada alam dan punya pada sesama. Dalam Cinakata ada diceritrakan bahwa ada seorang pandita dengan sisya-nya sedang berjalan-jalan di tepi sungai Gangga. Sedang asiknya pandita dengan sisya-nya menikmati panorama sungai Gangga hanyutlah seekor kala jengking. Salah satu swadharma pandita adalah menyelamatkan semua makhluk dari penderitaan.

Kala jengking itupun diselamatkan dari derasnya sungai Gangga dengan tanganya sendiri. Kala jengking saat diambil menyengat tangan pandita. Kala jengking pun lepas dari tangan pandita. Namun demikian pandita kembali mengambil kala jengking itu untuk diselamatkan. Kala jengking itu kembali menyengat tangan pandita. Meskipun berkali-kali tangan pandita disengat oleh kala jengking, pandita yang teguh hati itu tetap menyelamatkan kala jengking jangan sampai hanyut oleh derasnya aliran sungai Gangga.

Karena ketekunan sang pandita, kala jengking pun selamat meskipun tangan pandita itu sampai bengkak disengat kala jengking. Sisya pengiring pandita itupun bertanya. Mengapa guru pandita menyelamatkan kala jengking yang jahat itu yang telah berkali-kali menyengat tangan sang pandita. Pandita yang sabar itupun menjawab: kala jengking berbuat jahat saja ia punya ketetapan hati. Mengapa kita berbuat baik tidak punya ketetapan hati.

Jawaban pandita itu patut kita jadikan renungan bersama dalam hidup ini. Sarasamuscaya 158 di atas menjanjikan enam pahala bagi mereka yang konsisten berbuat susila. Enam pahala yang akan diperoleh bagi yang konsisten berbuat susila yaitu Dharma: Orang yang konsisten berbuat susila tidak mudah terpancing oleh propokasi seperti pandita yang disengat kala jengking itu akan mendapatkan pahala mulia akan senantiasa sukses menyelesaikan kewajibannya (dharma) selama hidupnya.

Dalam hidup ini setiap orang memiliki kewajiban. Dalam Watsyayana Smrti ada empat kewajiban dalam hidup ini yaitu: Asrama Dharma yaitu kewajiban sesuai dengan tingkatan hidup atau asrama masing-masing. Asrama Dharma adalah brahmacari, grihastha, wanaprastha dan sanyasin asrama. Varna dharma adalah kewajiban sesuai dengan profesi masing-masing. Ada brahmana varna, kastriya varna, waisya varna dan sudra varna. Ada juga guna dharma yaitu kewajiban bagi para ilmuwan untuk men-dharmabhakti-kan ilmu yang dimilikinya.

Sadharana Dharma adalah kewajiban umum yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Misalnya setiap orang wajib menolong sesama yang membutuhkan pertolongan sesuai dengan kemampuannya. Dalam Wrehaspati Tattwa 25 dinyatakan pengamalan dharma ada tujuh macam yaitu: sila, yadnya, tapa, dana, prawrajya, biku, yoga.

Satya: adalah kebenaran Weda. Pada zaman Kali ini tidak mudah menegakan kan kebenaran. Banyak dihadang oleh ancaman, gangguan, hambatan dan tangtangan menegakan kebenaran pada zaman Kali ini. Tetapi bagi yang konsisten melakukan susila, Tuhan akan menciptakan berbagai kemudahan baginya dalam melakukan satya tersebut. Apalagi menurut Slokantara 2 menyatakan bahwa satya itu lebih mulia dari seratus suputra. Seorang suputra lebih mulia dari seratus kali melangsungkan upacara yadnya.

Maryada yukti: artinya kehidupan yang layak. Untuk mendapatkan hidup yang layak juga tidak mudah. Tetapi bagi yang konsisten berpegang pada susila maka ia akan diberikan kemudahan oleh Tuhan dalam memproleh kehidupan yang layak. Hidup yang layak itu adalah hidup yang seimbang lahir batin, hidup yang mengutamakan kualitas dari pada kuantitas, mementingkan fungsi dari gensi. Secara sosial memiliki integrasi sosial yang baik.

Sri: artinya makmur secara ekonomi. Orang yang konsisten berlaku susila akan dimudahkan rezekinya oleh Tuhan. Sri bukan berati kaya raya. Karena kemakmuran tidak bisa diukur dari jumlah kekayaan yang berlimpah. Kekayaan berlimpah dapat membuat orang bersikap eksklusif. Sikap eksklusif dapat membawa orang hidup menderita banyak musuh karena kekayaan berlimpah kalau tidak disertai dengan moral dan mental yang baik dapat membawa orang jadi sombong.

Kasaktin: Orang yang tekun berbuat susila akan dipermudah oleh Tuhan mendapatkan kesaktian. Sakti menurut Wrehaspati Tattwa 14 adalah sang sarwa jnyana muang sang sarwa karya. Maksudnya; Sakti adalah orang yang banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu yang dimiliki. Dunia yang semakin global dengan tehnologi yang semakin canggih, semakin dibutuhkan SDM yang sakti. SDM yang sakti itulah yang akan dapat menolong masyarakat keluar dari berbagai kemelut yang semakin merisaukan.

Berbagai ilmu yang dimiliki oleh SDM sakti itu akan diwujudkan dalam kerja sebagai pengamalan dari ilmu yang dimiliki. SDM sakti itu tidak disebut sakti kalau hanya berhenti dalam teori semata. Dalam Canakya Nitisastra IV.15 dinyatakan sbb: Anabhyasa visam sastram. Artinya: ilmu pengetahuan yang tidak diterapkan dalam praktek kehidupan akan menjadi racun.

Kaniscayan: artinya keteguhan hati seperti pandita yang diceritrakan di atas. Pada zaman post modern ini dinamika hidup semakin flutuatif sering sulit diprediksi. Makna teguh dalam hal ini tidak mudah gede roso (GR) kalau dipuji dan tidak mudah putus asa kalau dicaci. Berbagai suka duka dihadapi dengan sama dan dhira artinya seimbang dan tahan uji. Artinya kuat memegang prinsip hidup. Penulis I Ketut Wiana

posted by I Made Artawan @ 00.13   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas