Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Wilayah Kewenangan Hukum Adat dan Hukum Nasional Oleh Dewa Made Tirta S. Pd
Rabu, 27 Januari 2010
KONFLIK dalam wilayah desa pakraman tumbuh dan berkembang sejalan dengan kondisi yang berkembang di suatu wilayah. Wujudnya beda pendapat, pertengkaran, bahkan hingga konflik berskala berat seperti bentrok fisik. Di Bali dikenal tiga jenis desa, yaitu desa pakraman, desa, dan kelurahan. Dalam beberapa desa dinas atau beberapa kelurahan bergabung menjadi satu desa pakraman sebaliknya dalam satu desa dinas atau kelurahan ada beberapa desa pakraman. Bahkan mungkin dari beberapa desa dinas dan kelurahan di dalamnya ada satu desa pakraman. Unik namun riskan memicu konflik adat mengenai batas-batas kewenangan di antara ketiganya. Tercatat 71 konflik terjadi tahun 2000 hingga 2004 dan 21 konflik termasuk kategori konflik adat. “Tak semua konflik yang terjadi di desa pakraman dimasukkan konflik adat. Tergantung latar belakang penyebabnya dan proses penyelesaian konflik,” kata Dewa Made Tirta, S.Pd, Petajuh Bendesa Madya Majelis Madya Desa Pakraman Kabupaten Klungkung. Konflik adat muncul akibat pelanggaran adat atas swadarma (kewajiban) dan swadikara (hak) di bidang sosial budaya Bali dan Agama Hindu. Kondisi itu menimbulkan terganggunya keseimbangan secara skala dan niskala.

Konflik adat tak terselesaikan secara tuntas. “Ibarat sakit, upaya yang diusahakan selama ini oleh desa pakraman maupun aparat yang berwenang sebatas menghilangkan rasa sakit. Tetapi, lukanya masih menganga dan rasa sakit itu bisa muncul kembali bahkan dengan rasa sakit yang lebih parah. Tindakkah operasi harus dilakukan. Itu pula yang perlu diterapkan dalam penyelesaian konflik di desa pakraman. Pihak-pihak yang terlibat konflik tak mempunyai keinginan kuat menyelesaikan konflik yang dihadapi,” jelas Dewa Tirta.

Di Bali, Majelis Desa Pakraman (MDP) merupakan lembaga yang berwenang menyelesaikan masalah adat sesuai dengan peraturan daerah (Perda) No. 3 Tahun 2001. Awal terbentuknya, MDP beranggotakan 1.417 desa pakraman di Bali. Jumlah ini terus bertambah seiring adanya pemekaran di beberapa wilayah. Tugas MDP memberikan saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan, kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalah-masalah adat. Made Tirta menjelaskan, konflik yang terjadi dalam wewidangan desa pakraman perlu dianalisis agar penyelesaian konflik ditangani pihak yang berwenang. MDP berwenang sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tak dapat diselesaikan di tingkat desa serta memusyawarahkan masalah adat dan agama untuk kepentingan desa pakraman.

Penanganan konflik di desa pakraman pertama-tama ditangani kerta desa. “Jika tak dapat dipecahkan, ditangani di tingkat majelis alit. Keputusan tak membuahkan hasil, diteruskan ke majelis madya. Terminal akhirnya majelis utama. Seperti itu penanganan konflik yang tergolong konflik adat,” jelas Made Tirta. Sebaliknya, konflik yang mengarah pidana menjadi kewenangan pihak berwajib melalui hukum nasional. “Suatu konflik yang melibatkan adat dan pidana diselesaikan dengan hukum adat dan pidana atau perdata. Contoh kasus pencurian pratima pura di wewidangan desa pakraman. Jika terbukti bersalah orang itu ditangani dengan awik-awik dan ada sanksi adat yang dijatuhkan kepada pencuri. Selanjutnya kasus itu diserahkan penanganannya ke pihak berwajib,” ujar Made Tirta.
Wilayah kewenangan adat dan hukum nasional jelas, tergantung substansi pelanggaran yang dilakukan. “Jika tak dapat ditangani dengan hukum nasional dan dilimpahkan ke wilayah kewenangan adat, adat pun siap mencarikan pemecahannya,” tambahnya.

Selain menyelesaikan konflik adat, MDP berfungsi mengayomi adat-istiadat, membantu menyusun awik-awik, melaksanakan keputusan paruman dengan peraturan yang ditetapkan serta melaksanakan penyuluhan adat-istiadat secara menyeluruh. Termasuk kewenangannya dalam membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. source Koran Tokoh
posted by I Made Artawan @ 04.24   0 comments
Adat Dapat Menyesatkan Tanpa Dasar Kitab Suci
Ya veda vahyah smrtayo

saryasca kasca kudrstayah

sarvasta nisphalah pretya

tamo nistha hitah smrtah

(Manawa Dharmasastra XII,95)



Maksudnya: Adat istiadat yang tidak berdasarkan kitab suci Veda (Sruti dan Smrti) yang disebut kudrsta tidak akan memberikan pahala mulia karena didasarkan pada kegelapan (guna tamas).




MENGAMALKAN ajaran suci Veda memang harus diadatkan atau dijadikan kebiasaan sehari-hari. Kebiasaan-kebiasaan hidup ajakan untuk mentradisikan ajaran Veda ini dinyatakan oleh Sarasamuscaya 260 dengan istilah Vedaabhyasa -- artinya tradisikanlah ajaran Veda tersebut.

Veda itu sabda suci Tuhan, tradisi itu dibuat oleh manusia. Veda itu kebenaran yang kekal abadi atau sanatana dharma, sedangkan penerapannya oleh manusia bersifat nutana yang artinya terus menerus diremajakan dalam metode penerapannya sehingga dapat mengikuti perkembangan zaman. Dalam adat itu harus terus menerus ada proses nutana.

Mengendalikan dinamika adat tidaklah gampang. Karena itu, dalam melakukan perubahan, adat itu harus terus menerus mendapatkan tuntunan dari Hyang Widhi Wasa. Hal inilah yang menyebabkan Mpu Kuturan menganjurkan cara di setiap Desa Pakraman didirikan pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pemujaan itu untuk menuntun agar umat Hindu di Desa Pakraman menjadikan ajaran tri kona itu sebagai dasar mengendalikan dinamika adat istiadat.

Ajaran tri kona adalah utpati (kreatif menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan), shiti (berupaya untuk memelihara dan melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi) dan pralina artinya berusaha keras untuk menghilangkan sesuatu yang sudah usang dan amat menjadi penghalang tegaknya dharma. Ajaran tri kona inilah yang memelihara dinamika adat-istiadat Hindu agar nutana itu menjaga sanatana dharma. Artinya, dinamika adat istiadat itu justru untuk menguatkan pengamalan ajaran suci Veda.

Karena itu, dinamika adat itu hendaknya dikendalikan dengan sikap yang didasarkan pada pemahaman kitab suci yang benar. Tujuan mengadatkan ajaran suci itu agar ajaran suci itu langgeng (sanatana dharma) menjadi landasan hidup dan kehidupan di bumi ini. Hidup ini adalah proses perubahan yang terus menerus, karena itu penerapannya pun harus terus diproses dengan konsep tri kona.

Dalam kasus adat umat Hindu di Bali, banyak hal yang seharusnya dikerjakan oleh berbagai pihak. Masih banyak adat-istiadat yang belum diproses secara sadar dengan baik dan benar berdasarkan konsep sanatana dharma, nutana dan tri kona. Misalnya menyangkut kedudukan wanita, masih banyak adat yang tidak mendudukkan wanita setara dengan kaum pria. Umumnya, dalam adat di kalangan umat Hindu di Bali wanita tidak boleh menjadi akhli waris.

Pun soal kesalahpahaman tentang konsep wangsa. Wangsa adalah sistem sosial umat Hindu berdasarkan keturunan untuk menguatkan bhakti pada leluhur (dewa pitara). Konsep wangsa bukan untuk menentukan tinggi rendahnya harkat dan martabat wangsa itu. Dalam setiap wangsa ada yang berprofesi sebagai brahmana, sebagai ksatriya, vaisya dan sudra. Tinggi rendahnya harkat dan martabat seseorang ditentukan oleh perbuatannya (vrtam eva itu karanam), bukan oleh wangsa-nya maupun varna-nya.

Pun setiap varna berasal dari berbagai wangsa. Umat Hindu yang menjadi pandita berasal dari berbagai wangsa atau keturunan. Pada kenyataannya, orang yang sama keturunannya tidak sama profesi atau varna-nya. Ada yang menjadi pandita, dosen, ada pengusaha, jadi birokrat, petani, buruh, dan seterusnya.

Pada kenyataannya, antara satu profesi dan profesi yang lainnya saling membutuhkan secara sinergis. Brahmana varna membutuhkan adanya ksatriya varna. Demikian juga pada varna-varna yang lainnya. Hubungan antar-varna dalam konsep catur varna itu adalah hubungan yang setara dan horizontal. Bukan hubungan vertikal genealogis seperti pengertian orang pada kasta dewasa ini.

Untuk tidak mengacaukan kehidupan umat oleh kesalahan dalam menerapkan adat istiadat itu, hendaknya dikembalikan konsepnya pada konsep wangsa, varna dan Kasta yang ditetapkan sesuai dengan konsepnya yang benar menurut ketentuan kitab suci. Dengan demikian, semua itu agar eksistensinya sesuai dengan konsepnya yang benar.

Ada anggota krama adat yang dianggap bersalah, ketika meninggal dunia, jenazahnya tidak boleh dikubur. Ada juga pelarangan mengubur karena sebab-sebab lain. Adat ini perlu direnungkan kembali agar tidak semakin jauh dari konsep ajaran pustaka suci. Menurut Lontar Gayatri, atma atau roh orang yang meninggal disebut preta. Selama ia belum di-aben, sang preta dikuasai oleh sedahan setra di kuburan.

Sementara kalau sudah di-aben, atma atau roh itu disebut pitara -- sudah boleh kembali ke rumah asal dan berada di balai gede. Maka setiap Galungan diaturkan sodahan di balai gede. Kalau sudah diupacara atma wedana, Sang Hyang Atma sudah disebut dewa pitara. Menurut Lontar Purwa Bumi Kamula dan lontar-lontar lainnya, Sang Hyang Atma yang sudah disebut dewa pitara distanakan dengan upacara dewa pitara pratista atau ngalinggihang Dewa Hyang di palinggih Kamulan.

Di palinggih Kamulan inilah stana Sang Hyang Atma menetap, bukan di kuburan. Kuburan hanya tempat sementara. Karena itu, tidaklah tepat adat menghukum umat dilarang mengubur. Penggunaan kuburan oleh orang yang meninggal bersifat tidak permanen. Demikian juga umat Hindu punya ajaran "tattwam asi" -- wasu dewa kutum bhakam. Semua manusia bersaudara.

Di Bali juga ada adat "penanjung batu". Artinya, orang boleh mengubur di kuburan dimana yang bersangkutan tidak sebagai krama Desa Adat di Desa Pakraman tersebut dengan cara melakukan tata cara adat "penanjung batu". Dengan demikian, umat Hindu yang tidak sebagai anggota krama di suatu Desa Adat dapat melaksanakan penguburan.

Nah, adat dalam hal ini menjadi tidak menakutkan. Marilah tinggalkan adat istiadat yang sudah usang itu dan bangun adat yang berdasarkan kitab suci. Penulis I Ketut Wiana source Bali Post.Justify Full
posted by I Made Artawan @ 03.54   1 comments
Menghindari Dosa dengan Renungan Rohani
Selasa, 19 Januari 2010
Indriyarthesu vairagyam

anahamkara evaca

janmamrtyujaravyadhi

dukha dosa anudarsanam

(Bhagawad Gita. XIII.8)



Maksudnya: Melepaskan diri dengan ikhlas dari ikatan objek indria, tidak mementingkan diri sendiri, senantiasa merenungkan adanya kelahiran (janma), kematian (mrtyu), umur tua (jara), sakit (vyadi), penderitaan (duhkha), dosa.

UNTUK mencapai kehidupan yang berkualitas, hendaknya diupayakan dengan ikhlas melepaskan diri ikatan objek-objek indria serta tidak sombong dan serakah (ahamkara). Di samping itu, senantiasa merenungkan secara rohani (anu darsanam) tentang kelahiran (janma), kemaian (mrtyu), umur tua (jara), sakit (vyadhi), penderitaan (duhkha) dan dosa.

Indria dalam diri manusia adalah sarana untuk melaksanakan swadharma hidup. Sebagai sarana, indria itu seharusnya berada di bawah kendali pikiran. Indria akan menimbulkan penderitaan jika indria itu justru memperalat pikiran. Dengan kendali pikiran, indria tidak terikat pada objek-objek. Untuk mencapai hal ini tentunya diperlukan berbagai latihan.

Kegiatan ritual dan seremonial keagamaan seyogianya menjadi media untuk melakukan latihan-latihan penguatan pikiran untuk mengendalikan indria. Jangan malahan sebaliknya, ritual dan seremonial keagamaan justru dijadikan ajang untuk membangunkan gejolak indria hidup berhura-hura.

Kualitas hidup akan dapat ditingkatkan dengan melakukan perenungan rohani dengan wawasan hidup yang dalam (anu darsanam) terhadap enam hal sbb.:

Janma Mrtyu - Janma Mrtyu artinya setiap ada kelahiran pasti ada kematian. Kapan kematian itu terjadi, tidak ada yang pasti tahu kecuali Hyang Widhi Wasa. Karena tidak tahunya kita secara pasti beberapa umur kita, maka janganlah menunda-nunda untuk melakukan sesuatu yang baik, benar dan berguna bagi diri kita sendiri maupun untuk orang lain. Upayakan saat kita hidup ini tidak berbuat yang meninggalkan beban menyusahkan bagi generasi yang kita tinggalkan.

Menyangkut kelahiran dan kematian ini, yang patut direnungkan dengan pandangan yang luas adalah terus berkonsentrasi mengusahakan agar setiap ada kesempatan melakukan sesuatu yang baik, benar dan berguna untuk diri dan untuk orang lain. Demikian juga terus berkonsentrasi untuk mencegah agar jangan sampai terjebak melakukan hal-hal yang tidak baik dan tidak benar, terlebih yang akan membebani keturunan kita sendiri.

Jara - Jara artinya umur tua. Setiap yang lahir ada dalam kungkungan ruang dan waktu. Tidak ada makhluk hidup yang bisa menghindari umur tua. Umur tua itu sesuatu yang pasti. Untuk memperkecil risiko buruk karena umur tua, sejak awallah segala sesuatunya dipersiapkan. Renungan menghadapi umur tua itu sangat diharapkan, saat umur semakin tua, sudah disadari risiko-risiko yang akan muncul karena jauh sebelum umur tua itu datang sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, derita karena umur tua itu dapat diperkecil.

Salah satu cara menghadapi umur tua adalah keikhlasan melepaskan berbagai kebiasaan saat masih muda. Kalau kita tidak ikhlas melepaskan itu, kita akan semakin menderita. Seperti kebiasaan makan, kebiasaan dalam hal kerja, rekreasi dan berbagai kebiasaan lainnya. Ajaran wanaprastha asrama-lah hendaknya dijadikan acuan membangun tradisi kehidupan kalau sudah semakin tua.

Vyadhi - Vyadhi artinya serangan penyakit. Kata-kata bijak dalam menghadapi penyakit adalah "lebih baik mencegah daripada mengobati". Ada tiga sumber datangnya penyakit. Adibautika vyadhi, penyakit yang bersumber dari luar diri, seperti diserang kuman, virus, kena cuaca buruk, kena pukul, kena penghinaan, kecewa atas suatu peristiwa dari luar diri sendiri, dan sejenisnya. Adyatmika vyadhi, penyakit karena penyebabnya dari usnur-unsur dari dalam diri sendiri. Sedangkan adi dewika vyadhi adalah penyakit yang muncul sebagai akibat dari karma pada penjelmaan di masa lampau. Sakit yang demikian ini sulit dicari penyebabnya dari kenyataan saat ini.

Duhkha - Duhkha adalah penderitaan atau kesedihan karena dorongan hidup yang disebut kama tak terpenuhi. Kalau kama terpenuhi sesuai dengan dinamikanya, maka keadaan diri menjadi sukha. Duhkha itu keadaan yang berlawanan dengan sukha. Dalam Bhagawad Gita II.15 ada sebaris sloka-nya menyatakan cara mengelola duhkha dan sukha. Baris sloka tersebut adalah "Samaduhkhamsukham dhiram" yang artinya "seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka".

Dalam perjalanan hidup ini, suka dan duka akan selalu silih berganti menghampiri dan menerpa hidup ini. Saat suka menghampiri, kita tetap tidak kehilangan keseimbangan diri. Senang tetapi tidak berlebihan. Cukup bersyukur pada Tuhan yang telah memberikan kita keadaan yang membuat kita suka. Saat duka menerpa, kita pun tetap seimbang, tak terlalu sedih. Duka juga karunia Tuhan.

Tuhan tidak akan mengizinkan duka menerpa hidup kita kalau kita tak pernah membuat orang lain duka sebelumnya. Dengan diterpa duka berarti sedang terjadi penyucian karma atas karma yang membuat orang lain duka yang pernah kita perbuat sebelumnya. Duka yang menerpa hendaknya diyakini sebagai pengambilan karma buruk kita. Karena itu, tidak perlu dendam pada orang yang membuat kita duka. Kalau duka itu sampai menimbulkan akibat hukum, maka hukum tetap ditegakkan, tanpa dendam. Dengan renungan ini, maka duka tidak terlalu menjadi beban yang memberatkan hidup ini.

Dosa - Dosa muncul karena karma yang asubha karma. Renungan spiritual pada Tuhan dapat menumbuhkan kewaspadaan untuk memperkecil perbuatan dosa. Untuk lepas sama sekali pada perilaku dosa mungkin sesuatu yang amat muskil. Pada zaman Dwapara saja Pandawa kena juga dosa meskipun kecil. Apalagi di zaman Kali ini, godaan untuk berbuat dosa atensinya amat tinggi. Karena itu, renungan rohani zaman Kali ini perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Oleh I Ketut Wiana
posted by I Made Artawan @ 03.33   0 comments
Dana Punia Prioritas Beragama di Zaman Kali
Jumat, 15 Januari 2010

Tapah param kerta yuge

tretayam jnyanamucyate

dwapare yajnyawaewahur

danamekam kalau yuge

(Manawa Dharmasastra, I.85)



Maksudnya: Bertapa prioritas beragama zaman Kerta, prioritas beragama zaman Treta Yuga dalam jnyana, zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya, sedangkan prioritas beragama zaman Kali dengan dana punia.


ADA lima hal yang wajib dijadikan dasar pertimbangan untuk mengamalkan agama (dharma) agar sukses (Dharmasiddhiyartha). Hal itu dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Lima dasar pertimbangan itu adalah iksha, sakti, desa, kala dan tattwa. Iksha adalah pandangan hidup masyarakat setempat, sakti adalah kemampuan, desa adalah aturan rohani setempat, kala (waktu) dan tattwa (hakikat kebenaran Weda).

Kala sebagai salah satu hal yang wajib dipertimbangkan dalam mengamalkan agama Hindu agar sukses. Waktu dalam ajaran Hindu memiliki dimensi amat luas. Ada waktu dilihat dari konsep Tri Guna. Karena itu ada waktu satvika kala, rajasika kala dan tamasika kala. Ada waktu berdasarkan konsep Yuga -- Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Keadaan zaman di tiap-tiap yuga itu berbeda-beda. Karena itu, cara beragama pun berbeda-beda pada setiap zaman.

Menurut Manawa Dharmasastra I.85 sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, prioritas beragama pun menjadi berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Kerta Yuga, kehidupan beragama diprioritaskan dengan cara bertapa. Pada Treta Yuga dengan memfokuskan pada jnyana. Pada zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya dan pada zaman Kali beragama dengan prioritas melakukan dana punia.

Melakukan dana punia diarahkan untuk membangun SDM yang berkualitas. Pustaka Slokantara Sloka 2 menyatakan, lebih utama nilainya mendidik seorang putra menjadi suputra daripada seratus kali upacara yadnya. Inilah idealisme ajaran Hindu yang semestinya dijadikan acuan pada zaman Kali Yuga dewasa ini.

Pada kenyataannya, umat Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya masih mengutamakan upacara yadnya sebagai prioritas beragama. Hal ini akan menimbulkan akibat yang kurang baik dalam kehidupan beragama. Dinamika umat dalam berbagai bidang kehidupan amat meningkat pesat. Kegiatan hidup yang semakin meningkat itu membutuhkan waktu, biaya, tenaga dan sarana lainnya. Amat berbeda dengan kehidupan pada zaman agraris tulen dimana umat umumnya lebih banyak di sawah ladang dan kebun untuk mencari nafkah.

Pada zaman industri ini, mobilitas umat makin tinggi dan kegiatan hidup makin beraneka ragam. Karena itu, amatlah tepat arahan Manawa Dharmasastra I.85 itu -- beragama yang lebih memprioritaskan kegiatan ber-dana punia. Ini bukan berarti upacara yadnya sebagai kegiatan beragama Hindu ditinggalkan. Upacara yadnya tetap berlangsung tetapi bukan merupakan prioritas. Justru upacara yadnya itu dilakukan dengan lebih menekankan aspek spiritualnya, bukan pada wajud ritualnya yang menekankan fisik material.

Apalagi bagi umat Hindu di Bali, ada sembilan tingkatan bentuk upacara yadnya yang pada dasarnya dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu upacara nista, madia dan utama. Nista, madia dan utama itu umumnya didasarkan pada wujud fisiknya upacara. Kalau besar dan banyak sarana yang digunakan disebut utama, kalau sedikit disebut madia, dan seterusnya. Yang kecil, menengah dan besar itu masing-masing dapat lagi dibagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, dari yang terkecil sampai terbesar dapat dibagi jadi sembilan.

Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, umat seyogianya menjadikan ajaran agama sebagai pegangan dalam menjaga keluhuran moral dan ketahanan mental. Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, sesungguhnya agama memegang peranan penting agar semuanya selalu berada pada jalan dharma. Substansi upacara yadnya adalah untuk membangun rasa dekat dengan Tuhan melalui bhakti, dekat dengan sesama manusia melalui punia atau pengabdian, dan merasa dekat dengan alam dengan jalan asih.

Mengapa disebut upacara yadnya? Kata "upacara" dalam bahasa Sansekerta berarti "dekat" dan yadnya berarti pengorbanan dengan ikhlas dalam wujud pengabdian. Karena itu, dalam kegiatan upacara yadnya ada "upacara" yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya pelayanan. Kita akan merasa dekat dengan Tuhan dengan sarana upakara sebagai sarana bhakti.

Penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara menurut Menawa Dharmasastra V.40 sebagai media pemujaan agar flora dan fauna itu menjadi lebih lestari pada penjelmaan selanjutnya. Ini artinya, penggunaan flora dan fauna itu sebagai media untuk memotivasi umat untuk secara nyata (sekala) melestarikan keberadaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut. Jadi, upacara yadnya bukan sebagai media pembantaian flora dan fauna.

Pada zaman Kali ini, keberadaan flora dan fauna sudah semakin terancam eksistensinya. Karena itu amatlah tepat kalau bentuk fisik upacara itu diambil dalam wujud yang lebih sederhana (nista), sehingga pemakaian flora dan fauna itu tidak sampai mengganggu eksistensi sumber daya alam tersebut. Justru upacara yadnya itulah seyogianya dijadikan suatu momentum untuk melakukan upaya pelestarian flora dan fauna.

Dalam Sarasamuscaya 135 ada dinyatakan, untuk melakukan bhuta hita atau upaya mensejahtrakan semua makhluk (sarwa prani) ciptaan Tuhan ini. Kesejahtraan alam (bhuta hita) itulah sebagai dasar untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha.

Ke depan, upacara yadnya hendaknya dimaknai lebih nyata dengan melakukan asih, punia dan bhakti. Asih pada alam lingkungan dengan terus menerus berusaha meningkatkan pelestarian keberadaan flora dan fauna, punia dengan melakukan pengabdian pada sesama manusia sesuai dengan swadharma masing-masing. Asih dan punia dilakukan sebagai wujud bhakti pada Tuhan. sumber I Ketut Wiana
posted by I Made Artawan @ 04.22   0 comments
Hari Siwaratri Merupakan Hari Penebusan Dosa Bagi Umat Hindu
Kamis, 14 Januari 2010
Hari suci Siwaratri datang setahun sekali yaitu pada hari ke-14 paruh gelap bulan ketujuh atau panglong ping 14 sasih kapitu. Pada tahun 2010 sekarang ini Siwaratri jatuh pada Kamis 14 Januari 2010. Umat Hindu pada hari suci itu melaksanakan brata Siwaratri yaitu jagra atau melek, upawasa atau puasa dan monabrata atau mengendalikan perkataan.

Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa.
Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga.Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri.

Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra.
Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran.

Brata Siwarâtri terdiri dari:
  • 1 Utama, melaksanakan:
    • 1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
    • 2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
    • 3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
  • 2. Madhya, melaksanakan:
    • 1. Upawasa.
    • 2. Jagra.
  • 3. Nista, hanya melaksanakan:Jagra.
  • Monabrata berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai malam (12 jam).
  • Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam). Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih dengan garam dan minum air putih (air tawar tanpa gula).
  • Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).

Tata cara melaksanakan Upacara Siwarâtri

  1. Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
  2. Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu.

Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
  1. Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin.
  2. Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.
  3. Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya.
  4. Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:- Sang Hyang Siwa.- Dewa Samodaya.Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarâtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
  5. Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upowasa dan jagra.Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
  6. Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.
posted by I Made Artawan @ 03.33   0 comments
Ramalan Mama Lauren 2010
Jumat, 01 Januari 2010
Pergantian tahun dari tahun 2009 ke tahun 2010 sudah berlangsung begitu pula kita mempunyai harapan baru di tahun 2010 ini. Tahun 2010 dikenal dengan tahun Macan Logam. Raja hutan ini memang dikenal sangat sensitif, buas, emosional tetapi juga terampil dalam bercinta. Selain itu, selalu mempertahankan pendapatnya mati-matian, keras kepala dan ingin menang sendiri. Tidak mengherankan kalau di tahun 2010, shio Macan Logam akan membuat suasana tidak menyenangkan dan selalu timbul kerusuhan.

Kondisi politik di Indonesia akan terus memanas dari awal permulaan Tahun Macan (Januari) hingga akhir tahun (Desember). Demikian hasil terawang peramal kondang Mama Lauren dalam percakapannya dengan Bali Post, baru-baru ini.

Kondisi politik, ekonomi dan hukum akan makin kacau di tahun 2010. Suasana tidak stabil dan bumi makin panas di mana alam tidak bisa menolong. Kelompok yang menjatuhkan juga makin banyak.

Gonjang-ganjing alias goro-goro politik telah menguras energi anak bangsa ini dan melupakan esensi sebenarnya dari kehidupan bernegara dan berbangsa. Kekacauan politik dan hukum mulai mencuat sejak adanya kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah serta skandal Bank Century yang sampai kini masih menjadi bola liar. Umumnya, kekacauan akan terjadi di kalangan atas dan dampaknya akan menimpa kalangan bawah. ''Saya melihat kalangan bawah akan makin menderita,'' tutur Mama Lauren.

Kekerasan, perselingkuhan dan percintaan makin marak terjadi di kalangan artis muda usia 21 - 40 tahun. Banyak artis di usia itu berurusan dengan polisi karena masalah narkoba. Beberapa peristiwa skandal kembali terulang seperti kasus Maria Eva yang heboh dengan foto dan video mesumnya dengan seorang pejabat partai politik.

Yang mengejutkan, seorang artis legendaris dan senior berusia 72 tahun tidak akan bertahan alias akan dipanggil Yang Maha Esa pada bulan April 2010. Itu kalau dia tidak hati-hati dengan kesehatannya. Memang, dia masih segar, walau usia sudah cukup tua, tetapi semangatnya luar biasa. Enam orang selebriti juga akan mendahului kita, empat artis senior dan dua orang artis muda usia.

Alam juga melanjutkan goro-goro berupa gempa bumi, banjir dan longsor yang makin intens. Hati-hati di bagian Sumatera masih terus terjadi gempa. Kecelakaan pesawat yang mirip Adam Air akan terjadi, begitu pula kecelakaan kereta api mirip kecelakaan besar di Bintaro bakal terjadi di kawasan Jawa Barat.



Anti-AIDS

Ada banyak penataan kebijakan yang mengarah pada penyelidikan, percobaan dan akhirnya tercipta obat antivirus dari beberapa penyakit berbahaya. Juga ditemukan suatu obat yang selama ini ditunggu oleh masyarakat banyak, yaitu obat anti-HIV/AIDS yang kemunculannya diragukan pihak-pihak terkait.

Di bidang olahraga, akan muncul seorang pemain muda berbakat dari olahraga bulu tangkis yang namanya akan mendunia. Bidang entertainment atau hiburan akan menjadi ladang usaha berprospek cerah, sementara bidang usaha lain mengalami kerontokan.

Meski bakal terjadi chaos dan goro-goro alam dan politik, ada kabar baik. Seorang tokoh nasional yang termasuk baru dan masih muda bakal memberi pencerahan bagi negeri ini. Ia akan menjadi sesuatu di pemerintahan. (pik)
posted by I Made Artawan @ 17.31   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas