Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Saraswati Sebagai Momentum Penguatan Tattwa
Sabtu, 27 Februari 2010
Tri Kerangka Agama Hindu adalah rancang bangun yang secara sistemik dan mekanik menjadi konstruksi sraddha-bhakti umat Hindu. Secara sistemik, Tri Kerangka Agama Hindu merupakan satu serial dari serangkaian sikap keberagamaan yang secara simultan menjadi pendorong bagi umat untuk memadukan secara gradual (bertahap) tingkatan-tingkatan yang sepatutnya dilalui dalam rangka pendakian spiritual.

Dimulai dari pemahaman tattwa (filosofi), lalu bergerak ke tataran susila (etika) dan kemudian diekspresikan ke dalam bentuk upacara (yadnya). Persoalannya, ketika merujuk pada realita, secara mekanik, Tri Kerangka Agama Hindu itu bergerak dan bahkan seakan berhenti di tingkat upacara (yadnya), dengan mengesampingkan tuntunan dan tuntutan susila, apalagi pendalaman tattwa-nya.

Konsekuensinya, ekspresi bhakti melalui praktik upacara bertambah kuat, sementara internalisasi tattwa dan implementasi susila nampak begitu lemah.

Jika dianalogikan dengan sebutir telur, unsur tattwa yang sesungguhnya adalah "kuning telur" sebagai elemen "inti" (substansi) agama, justru tidak nampak menjiwai dan menjadi penguat fondasi berke-susila-an yang adalah bagian "putih telur" sebagai elemen "isi" (esensi).

Yang nampak bergerak secara ekpresif adalah komponen upacara (ritual yadnya) yang sebenarnya merupakan "kulit telur" sebagai elemen "materi" atau kemasan praktik agama Hindu (Bali). Atas kenyataan itu, melalui tulisan "Pergeseran dalam Pelaksanaan Agama: Menuju Tattwa" (1994), Prof. Yudha Triguna berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk ekspresif yang hanya menonjolkan bagian luar dari tatanan agama, membuat agama Hindu yang mempolakan aktivitas seperti itu cenderung dianggap kering (lemah) dari ajaran-ajaran (tattwa) yang bersifat substantif dan konstruktif.

Bukan tanpa disadari, namun sudah menjadi performance umat Hindu, lebih-lebih di era peradaban kontemporer yang cenderung makin sekuler seperti sekarang ini, bahwa titik lemah umat Hindu sesungguhnya terletak pada ranah knowledge (tattwa-jnana) dan attitude (etika-susila), namun sangat ekspresif, demonstratif. Bahkan nampak konsumtif dalam aspek psikomotorik (praktik ritual yadnya).

Pertanyaan menelisik sekaligus menggelitik muncul ke permukaan, seberapa besarkah persentase umat yang mengetahui makna filosofis dari apa yang diekspresikan melalui praktik ritual yadnya? Lalu, sejauh mana terjadi perbaikan keadaan (alam lingkungan dan tingkah laku umat) ketika intensitas praktik ritual yadnya begitu tinggi frekuensinya? Adakah relevansi dan pengaruh signifikan yang menstimulus praktik ritual yadnya ke arah peningkatan kualitas sradha bhakti umat?

Dalam kegalauannya, rohaniwan Ida Pedanda Gde Made Gunung pada beberapa kali kesempatan dharma wacananya di Bali TV, acapkali mengeluhkan yen monto karya yadnya di Bali ten surud-surud ke margiang, adi gumi cara janine sayan sue nyancan nyelekang? (kalau upacara yadnya begitu sering dilaksanakan di Bali, seakan tak pernah terhenti, mengapa keadaan dunia ini tambah lama justru makin buruk?).

Inilah sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan mendasar yang menjadi indikator bahwa Tri Kerangkan Agama Hindu pada kenyataannya memang telah mengalami dekonstruksi sistemik (konsep), dan juga eliminasi mekanik yang bersifat "ritual sentris", yang dalam praktik keberagamaannya lebih mengedepankan. Bahkan, menonjolkan komponen tunggal dalam bentuk praktik ritual yadnya, sebagai media ekspresi religius yang sarat dengan muatan materialis (benda/barang), kapitalis (uang) dan semangat konsumeris (gaya hidup konsumtif) serta diselubungi motif hedonis, mencari kesenangan bukan ketenangan, semacam happy religion, bersenang-senang melalui media agama.

Fenomena itu oleh Chaney (1996) ditengarai sebagai menghujamnya pengaruh ideologi gaya hidup postmodern yang berakibat sensibilitas keagamaan mengalami komodifikasi (menjadi komoditas) di pentas konsumsi massa, dengan hanya mengambil bentuk-bentuk fisikal-material seperti halnya praktik ritual (yadnya) dengan tidak mementingkan hal-hal substansial-konseptual (tattwa). Dengan kata lain, Chaney merumuskan gaya hidup sebagaimana halnya gaya hidup beragama, telah berkembang menjadi semacam "industri penampilan". Bahwa "penampakan luar" telah menjadi salah satu situs penting dalam gaya hidup postmodern, yang lebih mementingkan kemasan (materi), dengan mengenyampingkan esensi (makna) dan substansi (tattwa).

Agaknya, peringatan hari suci Saraswati kali ini dapat dijadikan momentum untuk menggerakkan secara sistemik dan mekanik agar konsep Tri Kerangka Agama Hindu dapat diformulasikan sebagai satu-kesatuan organik, dengan penguatan elemen tattwa sebagai pilar utama yang kemudian menjadi motivasi berperilaku susila, sekaligus menjadi inspirasi dalam mengekspresikan praktik ritual yadnya secara konseptual, tidak sekadar tampilan seremonial yang tentunya akan makin menjauhkan umat dari tujuan mencapai kesadaran spiritual.


Gaya hidup sebagaimana halnya gaya hidup beragama, telah berkembang menjadi semacam "industri penampilan". Bahwa "penampakan luar" telah menjadi salah satu situs penting dalam gaya hidup postmodern, yang lebih mementingkan kemasan (materi), dengan mengesampingkan esensi (makna) dan substansi (tattwa).

Peringatan hari suci Saraswati kali ini dapat dijadikan momentum untuk menggerakkan secara sistemik dan mekanik agar konsep Tri Kerangka Agama Hindu dapat diformulasikan sebagai satu-kesatuan organik, dengan penguatan elemen tattwa sebagai pilar utama yang kemudian menjadi motivasi berperilaku susila, sekaligus menjadi inspirasi dalam mengekspresikan praktik ritual yadnya secara konseptual, tidak sekadar tampilan seremonial yang tentunya akan makin menjauhkan umat dari tujuan mencapai kesadaran spiritual.

Jika dianalogikan dengan sebutir telur, unsur tattwa yang sesungguhnya adalah "kuning telur" sebagai elemen "inti" (substansi) agama, justru tidak nampak menjiwai dan menjadi penguat fondasi berke-susila-an yang adalah bagian "putih telur" sebagai elemen "isi" (esensi). Yang nampak bergerak secara ekspresif adalah komponen upacara (ritual yadnya) yang sebenarnya merupakan "kulit telur" sebagai elemen "materi" atau kemasan praktik agama Hindu (Bali). Oleh I Gusti Ketut Widana
posted by I Made Artawan @ 03.38   1 comments
Bhakti Pakelem di Segara Batubolong Denpasar dan Segara Rupek Singaraja Bali
Masyarakat Bali khususnya umat hindu hari ini Saniscara Umanis wuku Watugung 27 Februari 2010 akan melaksanakan upacara bhakti pakelem di pantai Batubolong Canggu Badung. Bhakti pakelem dengan tingkatan Mapedudusan Alit, Nyatur Rebah tersebut menggunakan sarana wewalungan kerbau, sapi, kambing, babi, ayam, itik dan angsa.

Rangkaian upacara bhakti pakelem kali ini diawali dengan mengaturkan upakara banten pakelem Padudusan Alit Nyatur Rebah di Pura Dalem Kretti Bhuana (Gedung Pers Bali Ketut Nadha). Prosesi yang dimulai pukul 10.00 wita itu dipuput Ida Pedanda Siwa dari Griya Tampakgangsul Denpasar dan Ida Pedanda Buda dari Griya Tegal, Batuan, Gianyar. Setelah persembahyangan bersama, upacara akan diakhiri dengan ngaturang bhakti pakelem di tengah laut di Segara Batubolong. Upacara di segara akan dilaksanakan sekitar pkl. 13.30 wita. Upacara bhakti pakelem ini akan disiarkan langsung Bali TV.

Sementara itu, upacara bhakti pakelem juga akan dilaksanakan di Segara Rupek Buleleng. Upacara pakelem dengan tingkatan Mapedudusan Alit, Nyatur Rebah akan dilaksanakan Minggu, 28 Februari besok.

Prosesi yang dimulai pukul 10.00 wita di Pura Segara Rupek itu di-puput Ida Pedanda Siwa dari Griya Tampakgangsul Denpasar dan Ida Pedanda Buda dari Geriya Tegal, Batuan, Gianyar. Sumber Bali Post
posted by I Made Artawan @ 02.37   0 comments
Makan Sendiri - Menderita Sendiri
Rabu, 17 Februari 2010
Mogham annam vindate apracetah

satyam bravimi vadha it sa tasya

Naryamanam pusyati no sakhayam

kevalagho bhavati kevaladi

(Rgveda.X.117.6)


Artinya: Orang tolol mencari kekayaan dengan sia-sia. Aku mengatakan kebenaran bahwa jenis kekayaan ini benar-benar kematian untuk dia. Dia yang tidak menolong teman-temannya dan sahabat-sahabatnya. Dia yang makan sendirian, menderita sendirian juga.


MENCARI artha atau kekayaan dalam hidup ini memang merupakan salah satu tujuan hidup yang diajarkan oleh agama. Dengan artha, seseorang dapat berbuat dharma lebih nyata, mengendalikan kama atau keinginannya dari wisaya kama menuju sreya kama. Artha pun dicari dan digunakan berdasarkan dharma dan kama yang sreya.

Wisaya kama adalah keinginan untuk mengumbar hawa nafsu. Sedangkan sreya kama adalah keinginan yang mulia untuk selalu meletakkan keinginan berdasarkan dharma. Keinginan yang disebut sreya kama inilah juga disebut ista. Cara mencari kekayaan dan menggunakan kekayaan itulah yang sering tidak diperhatikan. Kekayaan itu hendaknya juga dipakai untuk membiayai upaya untuk mengembangkan keinginan yang mulia atau sreya kama.

Sarasamuscaya 262 menyebutkan, artha itu penggunaannya dibagi tiga -- sebagai sarana untuk mengamalkan dharma, (sadhana rikasiddhaning dharma), untuk mengembangkan keinginan mulia (sadhana rikasidhaning kama), dan untuk mengembangkan artha itu kembali agar terus berkembang (sadhana rikasidhaning artha).

Dewasa ini, banyak pihak mencari kekayaan yang sesungguhnya sia-sia. Sarasamuscaya 265 dan 266 menyatakan ada tiga cara mendapatkan artha yang dilarang yaitu anyaya artha (uang yang diperoleh dengan cara pemaksaan dengan kekerasan dan kasar), apariklesa artha (uang yang didapatkan dengan cara melakukan penggelapan seperti memalsu kwitansi, mengadakan proyek fiktif, memalsu barang baik kualitas maupun kuantitasnya), dan artha kasembahing satru (uang pemberian musuh seperti uang sogokan misalnya).

Ada birokrat dan konglomerat berkolusi untuk memperkaya diri. Setelah mereka kaya, bukan untuk mengembangkan dharma, artha dan kama secara seimbang, namun kekayaan yang mereka peroleh justru dipakainya mengembangkan kekayaan semata untuk dirinya sendiri. Karyawan dan buruh yang mereka ajak bekerja untuk mengembangkan kekayaannya itu justru diperas pikiran, waktu dan tenaganya. Mereka mendapatkan gaji atau upah sangat jauh dari keadilan.

Kehidupan pengusaha dan penguasa kalau dibandingkan dengan pegawai dan buruh, pada umumnya sangat senjang. Sekali-sekali memang mereka ber-dana punia ke tempat-tempat suci, ke panti asuhan, panti jompo, memberikan beasiswa dll. Namun banyak juga di antara mereka melakukan itu untuk tujuan promosi atau sebagai media kampanye dan sok pamer agar mereka dinilai orang bermoral yang penuh kearifan.

Ada juga birokrat mempermainkan uang rakyat yang dikuasainya untuk sok bermoral. Uang rakyat dipermainkan untuk di-dana-punia-kan ke berbagai tempat suci dan badan-abdan sosial lainnya. Hal itu dilakukan agar orang memandang dia sangat bermoral dan sangat berperikemanusiaan. Kiat itu dilakukan untuk menarik simpati rakyat demi melapangkan jalan bagi mereka mencari kekayaan yang lebih banyak lagi.

Pada zaman reformasi ini, konglomerat dan birokrat yang demikian itu satu persatu tumbang menerima pahala dari perbuataannya. Demikianlah orang yang hanya mencari kekayaan yang sia-sia itu sesungguhnya mengubur dirinya sendiri dalam kekayaan tersebut. Orang yang demikian itu sesungguhnya mencari kekayaan dengan cara yang tolol sebagaimana disebutkan dalam mantra Rgveda di awal tulisan ini.

Karena itu, kalau kita maknai lebih dalam makna mantra Rgveda tersebut, carilah kekayaan dengan cara yang benar menurut hukum positif dan hukum agama. Pergunakanlah kekayaan yang diperoleh dengan cara yang seimbang dan adil. Perhitungkanlah dengan adil pikiran, tenaga, waktu pengorbanan pada SDM yang diajak bekerja mengembangkan usaha sampai mencapai keuntungan tertentu.

Modal yang dikeluarkan oleh pengusaha, pikiran, tenaga, waktu dan pengorbanan lainnya yang dikeluarkan oleh karyawan haruslah ditimbang dengan adil. Kalau kita menghitung hal itu dengan adil, setelah ada keuntungan tentunya akan adil juga penggunaan keuntungan tersebut.

Pengusaha, karena berkuasa pada perusahaannya, sering hanya melihat dengan sebelah mata nasib karyawan yang bekerja dalam perusahaannya itu. Padahal pengusaha apapun pasti terkait dengan karyawan, dengan masyarakat sekitar dan pemerintah atau negara. Tanpa semua itu, tidak ada suatu usaha yang dapat eksis dalam suatu kegiatan bisnis.

Sesungguhnya, dengan hidup sederhana saja seorang pengusaha atau penguasa atau birokrat sudah memiliki nilai sosial. Kelebihan kekayaannya yang disimpan di bank saja sudah bernilai sosial ekonomi luas karena uang yang terkumpul bank akan disalurkan oleh bank ke sumber-sumber ekonomi potensial menuju ekonomi yang secara riil meningkatkan produksi yang dibutuhkan masyarakat, membuka lapangan kerja, memberi pajak untuk negara. penulis I Ketut Wiana
posted by I Made Artawan @ 05.27   0 comments
Karma
Jumat, 12 Februari 2010
Dalam kehidupan sehari - hari sering kita menemukan kata karma ya.. karma atau mungkin lebih lengkapnya KARMA PHALA karena dilahirkan di alam manusia, kita masih memiliki buah karma dari seluruh perbuatan masa lampau kehidupan kita. Dimana karma baik akan menjadikan kehidupan kita lebih bahagia, dan karma buruk akan membuat kehidupan kita lebih menderita.

Memiliki berkah karma baik dalam kehidupan ini, merupakan suatu berkah yang sangat luar biasa. Dengan memiliki berkah karma baik dalam kehiduan sekarang ini, berarti kita juga memiliki kesempatan untuk menanam kembali bibit karma baik sebanyak-banyak. Sehingga kehidupan yang akan datang, dapat lebih baik lagi.

Bagaikan seorang yang memiliki berkah rejeki karma baik, sehingga kehidupan yang sekarang memiliki berkah materi yang lebih. Berkah yang dimiliki seharusnya dapat digunakan kembali untuk menanam karma baik. Dengan rezeki yang sedikit berlimpah, berarti mereka mempunyai modal untuk dapat lebih beramal dan membantu mahluk lain yang membutuhkannya.

Sehingga segala perbuatan amal dan bantuan yang merekan lakukan, bagaikan mempersiapkan harta warisan untuk kehidupan yang akan datang. Dengan demikian, dirinya telah terus menjaga dan memiliki warisan berkah yang tidak putus disetiap kehidupan yang akan datang hingga Pencapaian Agung Sejati.

Tetapi bagaimana dengan karma buruk yang kita miliki dari kehidupan kita yang masa lampau ?

Pada awal kelahiran manusia, tubuh bagaikan satu gelas yang hanya masih memiliki sedikit air didalamnya dengan sedikit rasa asin.

Selanjutnya segala perbuatan, ucapan, dan pikiran manusia yang akan menentukan rasa yang sesungguhnya dari air didalam gelas ini.

Dengan berbuat kebaikan, kita mengumpulkan karma baik bagaikan menuang sesendok air putih kedalam gelas.

Dengan berbuat keburukan, kita mendapat karma buruk, bagaikan menuang sesendok garam kedalam gelas.

Walau kita telah memiliki rasa asin sejak awal kelahiran kita, tetapi kita jangan berputus asa untuk berusaha menuangkan air putih kedalam gelas kita. Walau garam yang telah didalam gelas tidak dapat dikeluarkan lagi, tetapi dengan lebih banyak air putih yang kita tuangkan ke dalam gelas ini. Rasa asin tersebut akan semakin jauh berkurang, bahkan tidak melepas kemungkian akan benar-benar dapat terasa bagaikan tawar kembali karena jumlah air yang semakin banyak.

Saya mengajak para umat untuk selalu merenungkan ini.

Sebagai manusia kadang telah berbuat kesalahan, jangan kita menyesalkan yang berkepanjangan. Tetapi selanjutnya harus berusaha mengumpulkan karma baik sebanyak-banyak untuk mengimbangi perbuatan buruk kita. Dan tentunya kita harus menghindari perbuatan buruk tersebut.
posted by I Made Artawan @ 02.49   0 comments
Dosa Bila Menyampaikan Aspirasi dengan Kekerasan
Senin, 08 Februari 2010
Wagdustattaskaraccaiwa

dandanaiwa ca himsatah

sahasya narah karta

wijneyah papakrtamah

(Manawa Dharmasastra. VIII.345).

Maksudnya: Ia yang menyampaikan hasratnya dengan kasar dan kekerasan hendaknya dianggap melakukan kesalahan besar dan lebih jahat dari yang memfitnah dari pada pencuri dan ia yang melukai dengan tongkat.

EUFORIA demokrasi dewasa ini memberikan rakyat kebebasan menyatakan pendapat atau aspirasinya. Kebebasan menyatakan pendapat atau aspirasi itu memang salah satu ciri adanya demokrasi. Namun, dalam hidup berdemokrasi juga ada tanggung jawab dan norma-normanya seperti landasan hukumnya, etikanya, dan demokrasi itu adalah cara menyelenggarakan suatu kehidupan bersama. Memang, kata "demokrasi" bermakna pemerintahan rakyat. Umumnya pengamalan demokrasi dalam suatu ketatanegaraan melalui suatu sistem perwakilan karena tidak mungkin seluruh rakyat dapat memerintah secara langsung.

Salah satu wujud penyelenggaraan demokrasi adalah dengan menjamin kemerdekaan rakyat untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Tata cara menyampaikan aspirasi maupun pendapat sering dilakukan oleh sementara pihak dengan kekerasan. Kata-katanya kasar, disampaikan dengan gejolak emosional, dan sering juga dilakukan dengan pengerusakan terutama fasilitas umum, membakar ban bekas di tengah jalan, menebangi pohon, dll.

Padahal, untuk mendapatkan pohon setinggi dua meter saja sudah susah payah. Pohon seyogianya dilindungi, apalagi kwantitas pepohonan di pertamanan kota dan keberadaan hutan kita sudah semakin menipis. Ada demo yang sampai membuat jalan umum macet, masyarakat ketakutan, berbagai pelayanan publik menjadi amat terganggu.

Kalau dihitung-hitung, sudah banyak kerugian publik ditimbulkan oleh cara demontrasi yang disertai dengan kekerasan seperti itu. Padahal, demo itu sudah ada aturannya yang pada intinya menyatakan tidak boleh dilakukan dengan kekerasan, dengan perilaku kasar dengan kata-kata maupun dengan tindakan perusakan -- yang nyata-nyata merusak harta benda dan perasaan masyarakat.

Kekerasan tidak saja merusak secara langsung yang kena kekerasan, tetapi yang di sampingnya juga akan merasakan dampak negatifnya. Perilaku kasar dengan kekerasan itu secara psikologis menimbulkan vibrasi buruk pada lingkungan rohani. Hal ini dapat merembet pada terganggunya suasana psikologi sosial di sekitarnya. Terlebih jika ditayangkan secara polos kekerasan itu di media televisi, lebih luas lagi dampak vibrasi negatifnya.

Oleh karenanya, demo untuk menyampaikan pendapat maupun aspirasi sebaiknya tidak dilakukan dengan kasar dan keras seperti itu. Sampaikan saja aspirasi dan pendapat kita itu secara baik-baik sesuai dengan aturan menyampaikan pendapat atau demo yang ada. Umpatan dengan menuduh orang seenaknya juga dapat merusak perasaan masyarakat.

Pejabat tinggi tentunya boleh saja dikritik dalam era demokrasi ini. Namun, kritik itu mesti disampaikan dengan bertanggung jawab dalam suasana damai dan dengan etika ketimuran. Kritik itu sesungguhnya untuk membuat orang menjadi baik atau lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, berbagai hal yang dianggap sebagai suatu masalah akan menjadi terang.

Kritik mestinya disertai dengan berbagai analisa dengan usul-usul alternatif pemecahannya. Masalahpun akan terpecahkan dengan baik dan suasana sosial psikologisnya tetap terpelihara dengan baik, harmonis dan dinamis, menuju keadaan yang semakin baik.

Melakukan kritik membangun adalah tergolong perbuatan dharma karena tujuannya untuk memperbaiki, apalagi yang menyangkut kepentingan publik. Dalam Manawa Dharmasastra VIII.15 ada dinyatakan dalam sebaris sloka-nya, "Dharmoraksati raksatah". Maksudnya, siapa melindungi dharma, maka ia juga akan dilindungi oleh dharma. Kalau benar-benar tujuan kita memperbaiki keadaan negara, bangsa atau masyarakat berdasarkan dharma, tentunya hal itu amatlah mulia. Namun, tujuan yang mulia itu jangan dilakukan dengan cara-cara melanggar dharma seperti hukum, etika dan moral.

Kritik dapat disebut sebagai pengamalan dharma kalau bertujuan mulia dan disampaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Kritik hendaknya berhasil memperbaiki keadaan secara menyeluruh, baik substansi yang dikritik maupun mereka yang dikritik. Apalagi misalnya mereka yang dikritik itu sadar dan tidak tersinggung pada pengkritik.

Saling kritik dengan tujuan untuk saling memperbaiki dalam suatu persahabatan sesungguhnya itulah persahabatan yang baik. Resi Vyasa menyatakan bahwa persahabatan yang tidak didasari oleh rambu-rambu etika moral yang dilandasi oleh daya spiritual dapat menimbulkan banyak keburukan.

Perilaku kasar sebagai wujud kekerasan itu oleh sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di awal tulisan ini menjadi sangat logis. Yang kena akibat negatif yang ditimbulkan oleh perilaku kasar sebagai wujud kekerasan itu tidak saja yang tertimpa kekerasan itu juga yang ada di sekitarnya. Karena itu, para pemimpin massa dalam masyarakat janganlah mudah terpancing untuk bertindak brutal dalam menyampikan aspirasi atau pendapat.

Marilah sadari bersama cara pemecahan dengan kekerasan demikian itu justru akan menimbulkan masalah baru sedangkan masalah pokoknya juga tidak akan terselesaikan. Pada setiap kenyataan yang dianggap tidak baik dan tidak benar, marilah lakukan analisa dengan mengedepankan dasar-dasar ilmu pengetahuan untuk mencari solusi.

Resi Patanjali mengajarkan adanya lima tahap dalam memecahkan suatu masalah. Tarka, mari kita perdebatkan persoalan yang kita ingin pecahkan. Nirwitarka, kita renungkan sedalam-dalamnya hasil diskusi atau debat tersebut. Sawicara, analisalah hasil Tarka dan Nirwitarka itu. Selanjutnya Nirwicara, renungkan kembali hasil Sawicara tersebut. Terakhir Samanta, ambillah keputusan setelah melalui empat proses tersebut. Penulis I Ketut Wiana Bali Post
posted by I Made Artawan @ 06.19   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas