Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Wanara Laba dan Lelabaan Samar di Pura Pulaki
Kamis, 23 September 2010
Semeton ingin meresapi dan melakoni ilmu keseimbangan hidup, baik kehidupan di dunia nyata maupun kehidupan di dunia kasatmata, datanglah dan berserah diri di Pura Pulaki. Ini bukan ajakan yang berlebihan, karena di Pura Pulaki kita bisa mendapat pencerahan tentang mahluk dan semesta yang benar-benar imbang, di mana segala makhluk diberi penghormatan dan penghargaan lewat upacara yang semestinya.

Yang lebih menakjubkan, melalui pura-pura pesanakan yang mengitari Pura Pulaki, hampir semua sendi kehidupan, mulai dari ekonomi, hukum dan kebudayaan, memiliki ruang religius untuk diberi sembah pemujaan secara iklas.

Pada Weraspati Watugunung, 23 September ini, adalah puncak pidodalan di Pura Pulaki. Umat Hindu yang ingin datang untuk bersembahyang bisa menemukan pura ini dengan mudah. Pura ini berlokasi di pinggir Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk, tepatnya di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat Kota Singaraja. Setelah bersembahyang di Pura Pulaki, umat bisa melanjutkan ke pura pesanakan lain, seperti Pura Agung Melanting, Pura Kerta Kawat, Pura Pabean dan Pura Pemuteran yang puncak piodalan-nya dilaksanakan secara berurutan setiap hari.

Dalam upacara piodalan di Pura Pulaki ini akan diketahui betapa sebuah dunia dan mahluk yang menjadi penghuninya harus diberi penghormatan yang seimbang. Sebab tak mungkin satu makhluk bisa meniadakan mahluk lain. Masing-masing memiliki eksistensi, dan masing-masing harus saling mengakui keberadaannya.

Sebelum pujawali digelar pada malam harinya, di Pura Pulaki diselenggarakan upacara Wanara Laba, sebuah upacara persembahan untuk ratusan kera yang selama ini menjadi penghuni perbukitan di areal Pura Pulaki. Yang lebih unik, saat itu juga digelar upacara lelabaan untuk wong samar atau gamang yang sejauh ini diyakini turut menjaga keajegan Pura Pulaki dan pura pesanakannya yang lain.

Panglingsir Pura Agung Pulaki, Ida Bagus Mangku Temaja, memaparkan Wanara Laba merupakan sebuah upacara persembahan bagi kera yang selama ini menjadi pengaja setia Pura Pulaki. Ini dilakukan agar pada saat pujawali para kera itu tetap setia menjaga kelancaran dan kerahayuan pujawali. Secara simbolis, upacara itu memang dilakukan bagi kera di Pura Pulaki. Namun, sesungguhnya upacara itu juga dihaturkan bagi kera yang ada di seluruh Bali agar selalu menjaga Bali tetap ajeg dan rahayu.

Pada saat upacara Wanara Laba, pengempon pura menghaturkan banten suci dan buah-buahan. Upacara itu biasanya dilakukan tepat pada siang hari sebelum digelar puncak pujawali pada siang harinya.

Selanjutnya, upacara lelabaan untuk wong samar dilaksanakan sebagai bentuk persembahan kepada makhluk yang tidak kelihatan di Pura Pulaki. Makhluk ini memang diyakini selalu setia menjaga parahyangan, menjaga Ida Batara dan menjaga umat di Pura Pulaki dan di pura-pura lain di Bali. Persembahan pada upacara lelabaan ini terdiri dari suci ageng, ajengan keplogan, klungah aijeng dan pisang aijeng yang diikat ibus (sejenis pohon). Upacara ini dimaksudkan sebagai sebuah bentuk kesadaran umat untuk selalu menjaga wong samar dan gamang sehingga jagat secara niskala dan sekala selalu seimbang dan rahayu.

Sejumlah umat mengakui, ratusan kera yang selama ini berkeliaran di Pura Pulaki akan menunjukkan sikap yang jinak setelah digelar upacara Wanara Laba. Umat bahkan menganggap keberadaan ratusan kera di Pura Pulaki merupakan pelengkap yang tak bisa dipisahkan dari aura religius yang dipancarkan oleh Pura Pulaki. Meski terkadang kera-kera itu menunjukkan perilaku nakal, namun umat mengaku keberadaan kera itu merupakan bentuk kesempurnaan dari prosesi persembahyangan di Pura Pulaki. ''Justru ketika tak ada kera di Pura Pulaki, kami merasa persembahyangan belum terasa lengkap,'' kata seorang umat saat bersembahyang di Pulaki belum lama ini.

Pura Pesanakan
Selain Pura Pulaki, terdapat sejumlah pura besar di sekelilingnya. Ida Bagus Mangku Temaja mengatakan terdapat empat pura lagi yang berada di sekitar Pura Pulaki. Lokasi pura itu sepertinya memang diatur secara rapi, sehingga Pura Pulaki berada di tengah-tengah atau kerap disebut sebagai pusat atau pusar.

Empat pura itu yakni Pura Melanting yang berada di sebelah selatan, Pura Kerta Kawat yang berada di sebelah timur, Pura Pemuteran di barat dan Pura Pabean yang berada di sebelah utara Pura Pulaki. Keempat pura itu memiliki ruang dan fungsi yang berbeda sesuai dengan bidang kehidupan yang dilakoni manusia.

Di Pura Pulaki berstana Bhetara Sakti Wawu Rauh dan Sri Padmi Keniten. Di Pura Melanting dipuja Ida Betari Ayu Mas Melanting yang menjadi sumber pencerahan bidang ekonomi. Lalu di Pura Kerta Kawat disembah Ida Betara Mentang Yuda yang menjadi sumber pencerahan bidang hukum. Kemudian di Pura Pemuteran berstana Ida Batara Manik Mencorong yang dihormati sebagai sumber yang memberi penerangan kepada dunia (nyorongin jagat). Dan Pura Pabean adalah tempat pemujaan Ida Ayu Mas Subandar yang dalam dunia nyata bisa dianggap sebagai sumber pencerahan bidang bea dan cukai.

Pujawali Pura Pulaki dan pesanakannya juga dilakukan secara berurutan setiap hari. Tahun ini, pujawali di Pura Pulaki pada 23 Sepetember. Besoknya, 24 September adalah pujawali di Pura Agung Melanting. Lalu 25 September pujawali di Pura Kerta Kawat, 26 September di Pura Pemuteran dan 27 September di Pura Pabean.

Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba bahkan menyebutkan ada tujuh pura di kawasan Pura Pulaki. Yakni Pura Pulaki, Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran. Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan itu memang tak bisa dipisahkan. Dan dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.

Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.

Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.

Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.

Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."

Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri . Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakan-nya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki. (ole)

Dudonan Upacara Pujawali di Pura Pulaki dan Pesanakannya

Rabu (8/9), negem dewasa, ngingsah beras, ngelinggihang Dewi Sri
Rabu (15/9), nancep
Senin (20/9), musanain, masang penjor, masang pangangge
Selasa (21/9), nunas tirta ke Pura Besakih miwah pura tiosan.
Rabu (22/9), melasti, masucian ring Pura Taman Banyupoh
Kamis (23/9), pukul 11.30 wita, upacara wanara laba
Kamis (23/9), pukul 20.00 wita, puncak karya pujawali
Jumat (24/9), pujawali ring Pura Melanting
Sabtu (25/9), pujawali ring Pura Kerta Kawat
Minggu (26/9), pujawali ring Pura Pemuteran
Senin (27/9), pujawali ring Pura Pabean
Selasa (28/9) sampai Kamis (30/9), Ida Batara nyejer
Kamis (7/10), ngaturang pakelem ke Ulun Danu Tamblingan
Sumber Bali Post.
posted by I Made Artawan @ 21.50   0 comments
Mesaiban Merupakan Bentuk Panca Yadnya Terkecil
Tesam kramena sarvasam

Niskrtyastham maha resibhih

Panca kripta maha yadnyah

Pratyahan grhamedhinam. (Manawa Dharmasastra.III.69).

Maksudnya: Untuk menebus dosa yang ditimbulkan pemakaian lima alat penyemblihan itu, para Maha Resi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya.

Manawa Dharmasastra III.68 menyatakan bahwa penggunaan lima tempat penyemblihan oleh kepala keluarga seperti tempat memasak, batu pengasah, sapu lesung dengan alunya dan tempat air. Pemakaian semuanya itu menimbulkan dosa. Hal inilah yang menyebabkan sloka Manawa Dharmasastra III.69 yang dikutip di atas itu menganjurkan agar setiap kepala keluarga melakukan Panca Yadnya setiap harinya. Bentuknya itu dibuat dari makanan yang mampu dimasak hari itu seperti nasi dengan lauk pauknya yang ada. Banten saiban itu bukanlah banten segehan dengan nasi dan bawang jahe sebagai perlengkapannya, tapi nasi dengan lauk pauk yang dimasak hari itu sebagai wujud Panca Yadnya terkecil.

Manawa Dharma Sastra III.117 menyatakan bahwa keluarga akan makan setelah mempersembahkan makanan itu pada para dewa, para leluhur (Dewa Pitara), pada para resi dan pada para dewa penjaga rumah. Dalam sloka selanjutnya dinyatakan keluarga yang makan tanpa persembahan dinyatakan ia makan dosa. Orang bijaksana memakan sisa dari yang dipersembahkan itu. Karena itu disebut Yadnya Sesa. Sejalan dengan konsep Yadnya Sesa yang dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra III.118 dinyatakan juga dalam Bhagawad Gita.III.12 bahwa orang-orang bijaksana akan makan apa yang tersisa dari yadnya, mereka itu akan terlepas dari dosa.

Akan tetapi mereka yang menyediakan makanan hanya untuk dimakannya sendiri sesungguhnya ia makan dosanya sendiri. Dalam Manawa Dharmasastra III.104 dinyatakan bahwa mereka yang mendapatkan makanan dengan mengambil hak orang lain secara tidak benar, kelak ia akan menjelma menjadi binatang ternak peliharan orang yang diambil haknya itu.

Memperhatikan berbagai ketentuan pustaka suci Hindu tersebut dapat disimpulkan bahwa upacara mesaiban itu adalah wujud Panca Yadnya terkecil yang seyogianya dilakukan setiap hari oleh setiap keluarga selesai ia masak. Mereka boleh makan setelah upacara mesaiban itu selesai dilakukan. Ritual keagamaan Hindu di Bali yang disebut mesaiban ini sepertinya amat sederhana dilihat dari tata cara penyelenggaraannya. Namun di balik kesederhanaan tersebut terdapat nilai-nilai falsafah kehidupan yang amat dalam yang seyogianya kita maknai lebih lanjut dalam meningkatkan kwalitas hidup kita di bumi ini.

Makan setelah beryadnya ini artinya kita tidak baik kalau makan tidak dari hasil kerja sendiri. Kita harus kerja untuk mendapatkan berbagai kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan atau perumahan tempat kita berteduh. Dalam tradisi Hindu-Jawa dinyatakan kebutuhan pokok hidup manusia adalah: wareg, waras, wastra, wisma, wasita. Artinya kebutuhan pokok manusia yaitu makanan, kesehatan, pakaian, perumahan dan pendidikan. Untuk memenuhi lima kebutuhan pokok orang harus bekerja sesuai dengan fungsi dan profesi berdasarkan yadnya. Kerja berdasarkan yadnya itu adalah kerja sebagai pesembahan. Kerja dengan dasar yadnya kepada Tuhan akan amat kuat motivasi spiritualnya.

Memelihara kelestarian alam dengan dasar ''asih'' mengabdi pada sesama dengan dasar ''punia''. Asih dan punia itu dilakukan sebagai wujud ''bhakti'' pada Tuhan. Kalau memelihara alam dan mengabdi pada sesama sesuai dengan fungsi dan profesi itu dilakukan sebagai wujud bhakti pada Tuhan hal itu akan dapat menimbulkan Cakra Yadnya atau yadnya yang timbal balik antara manusia dengan alam lingkungan dan antara manusia dengan sesama sebagai wujud bhakti pada Tuhan.

Melakukan yadnya dengan konsep cakra diajarkan dalam Bhagawad Gita III.16. Artinya Cakra Yadnya itu adalah manusia dapat kehidupan dari alam dan dari sesama manusia secara timbal balik dan itu diyakini sebagai karunia Tuhan.

Manusia yang dapat kehidupan dari alam dan dari sesama secara timbal balik itu atas karunia Tuhan disimbulkan dengan ritual Mesaiban. Ini artinya ritual mesaiban itu ada dua maknanya yaitu sebagai penebusan dosa karena menggunakan lima tempat penyemblihan dalam rangka memasak itu dan juga sebagai suatu peringatan bahwa manusia itu wajib beryadnya pada dewa manifestasi Tuhan, kepada para resi, kepada leluhur atau dewa pitara, pada dewa penjaga rumah seperti Watospati dan semua pihak yang mendukung kehidupan yang timbal balik itu.

Karena hidup manusia itu atas yadnya semuanya itu. Karena itu manusiapun wajib beryadnya pada semuanya itu. Mewujudkan nilai-nilai spiritual mesaiban itu dengan melakukan kerja dengan dasar yadnya sesuai dengan fungsi dan profesi. Setiap orang memiliki fungsi dan profesi. Ada fungsi berdasarkan Asrama dan ada profesi berdasarkan Catur Varna. Kalau kita hidup dalam tahapan hidup brahmacari lakukanlah swadharma brahmacari asrama seperti hidup berguru belajar mencari, memelihara dan mengembangkan ilmu pengetahuan sampai memberikan kontribusi positif pada kehidupan individu, kehidupan sosial dan pelestarian alam.

Demikian juga sebagai grhasta lakukanlah sesuai dengan swadharma grhastha membangun kehidupan yang mandiri. Dalam Agastya Parwa disebutkan grhastha ngarania sang yatha sakti kayika dharma. Artinya grhastha namanya orang yang sudah mandiri dalam mengamalkan dharma. Demikianlah cakra yadnya dilakukan secara timbal balik secara vertikal antargenerasi berdasarkan ajaran Catur Asrama. Sedangkan bekerja berdasarkan profesi melakukan pengabdian berdasarkan masing-masing varna. Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra bekerja dengan sinergis dengan dasar yadnya. Catur Varna bekerja dengan dasar yadnya secara timbal balik sinergi dan horizontal. Dengan demikian masyarakat akan terayomi mendapatkan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera. Oleh I Ketut Wiana
posted by I Made Artawan @ 21.21   0 comments
Otonan atau Weton
Senin, 06 September 2010
Otonan atau weton merupakan peringatan hari kelahiran. Bali memang unik dan menarik bagi semua orang, tidak hanya Bangsa sendiri tetapi juga Bangsa-bangsa di seluruh dunia membicarakan tentang “Bali”. Salah satu keunikan yang sudah menjadi tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada tidak pernah melupakan prihal Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

Berbeda dengan peringatan hari Ulang Tahun yang hanya menggunakan perhitungan tanggal dan bulan saja, dengan mengabaikan hari maupun wuku pada tanggal tersebut. Misalnya seseorang yang lahir tanggal 10 Januari, maka hari ulang tahunnya akan diperingati tiap-tiap tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya (12 bulan kalender).

Otonan diperingati sebagai hari kelahiran dengan melaksanakan upakara yadnya yang kecil biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan dan bila upakaranya lebih besar dipuput aleh pemangku (Pinandita). Sarana pokok sebagai upakara dalam otonan ini ada1ah; biyukawonan, tebasan lima, tumpeng lima, gebogan dan sesayut.

Menurut tradisi umat Hindu di Bali, dalam mengantarkan doa-doa otonan sering mempergunakan doa yang diucapkan yang disebut sehe (see) yakni doa dalam bahasa Bali yang diucapkan oleh penganteb upacara otonan yang memiliki pengaruh psikologis terhadap yang melaksanakan otonan, karena bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian simbol­-simbol sebagai telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut.

Sebagai contoh : Melingkarkan gelang benang dipergelangan tangan si empunya Otonan, dengan pengantar doa : “Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi” (Ini kamu memakai gelang benang, supaya ber otot kawat dan bertulang besi).

Ada dua makna yang dapat dipetik dari simbolis memakai gelang benang tersebut adalah pertama dilihat dari sifat bendanya dan kedua dari makna ucapannya. Dari sifat bendanya benang dapat dilihat sebagai berikut :

1. Benang memiliki konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Agar hati selalu di jalan yang lurus/benar.

2. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang otonan dan tidak mudah patah semangat.

Sedangkan dari ucapannya doa tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi kuat seperti memiliki kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam arti fisik seperti kuat tulang atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya, kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan kebenaran, kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup sebab hidup ini bagaikan usaha menyeberangi samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di dalamnya, tak terkecuali cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa karena kurang kuat hatinya.

Dalam rangkaian upacara otonan berikutnya sebelum natab, didahului dengan memegang dulang tempat sesayut dan memutar sesayut tersebut tiga kali ke arah pra sawia (searah jarum jam) dengan doa dalam bahasa Bali sebagai berikut: “Ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu “bencah” (Ini kamu memutar sampan, memutar perahu, batu makocok, tongkat bungbung, sampai di pantai menemui kapal terdampar).

Dari doa tersebut dapat dilihat makna:

1. “Ngilehang sampan ngilehang perahu” bahwa hidup ini bagaikan diatas perahu yang setiap hari harus kesana-kemari mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Badan kasar ini adalah bagaikan perahu yang selalu diarahkan sesuai dengan keinginan sang diri yang menghidupi kita.

2. “Batu makocok” adalah sebuah alat judi. Kita teringat dengan kisah Pandawa dan Korawa yang bermain dadu, yang dimenangkan oleh Korawa akibat kelicikan Sakuni. Jadi hidup ini bagaikan sebuah perjudian dan dengan tekad dan keyakinan yang kuat harus dimenangkan.

3. “Tungked bungbungan” (tongkat berlobang) adalah bambu yang dipakai kantihan yakni sebagai penyangga keseimbangan samping perahu agar tidak mudah tenggelam karena bambu bila masih utuh memang selalu terapung. “Perahu hidup ini” jangan mudah tenggelam oleh keadaan, kita harus selalu dapat mengatasinya sehingga dapat berumur panjang sampai memper­gunakan tongkat (usia tua).

4. “Teked dipasisi napetang perahu bencah” (sampai di pantai menemui perahu / kapal terdampar). Terinspirasi dari sistem hukum tawan karang yang ada pada jaman dahulu di Bali, yakni setiap ada kapal atau perahu yang terdampar di pantai di Bali, rakyat Bali dapat dengan bebas menahan dan merampas barang yang ada .pada kapal yang terdampar tersebut. Maksudnya supaya mendapatkan rejeki nomplok, atau dengan usaha yang mudah bisa mendapatkan rejeki yang banyak.

Demikian luhurnya makna doa yang diucapkan dalam sebuah upacara otonan bagi masyarakat Hindu Bali yang dikemas dengan simbolis yang dapat dimaknai secara fisik maupun psikologis, dengan harapan agar putra­-putri yang menjadi tumpuan harapan keluarga mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan. oleh I Wayan Ritiaksa, M.Ag (Denpasar)
posted by I Made Artawan @ 19.50   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas