Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Hindari Empat Hal Demi Kebaikan dan Kenyamanan Hidup
Kamis, 20 Januari 2011
Artham dadyaanna caastsu

Gunaan bruyaanna caatmanah

Aadadyaacca na saadhubhyo

Naasatpurusa maasrayayet. (Sarasamuscaya 185).

Maksudnya: Demi kenyaman hidup hindarilah empat hal yaitu jangan berdana punia pada orang jahat, jangan menceritakan kebajikan diri sendiri dengan berlebihan, jangan menerima dana punia dari orang yang tidak berbudi luhur, jangan mencari perlindungan pada orang yang licik dan jahat.

MANUSIA di samping sebagai mahluk individu juga mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia baru akan menampilkan ciri-ciri dirinya sebagai manusia apabila manusia itu berhubungan dengan sesama manusia lainnya. Ada kata-kata bijak menyatakan dalam sunyi bakat dilahirkan dalam dunia ramai munculah tabiat. Bagaimana sesungguhnya orang itu secara umum akan dapat dipahami bagaimana tabiatnya atau wataknya. Menurut ajaran Hindu gerak dan bentuk masyarakat itu ada dua yaitu Sat Sangga dan Dursangga. Sat Sangga itu adalah gerak dan bentuk kehidupan sosial yang mengarah pada tegaknya kebenaran Weda yang sebut ''Sat atau Satya''. Artinya kejujuran dan kebenaran yang dikandung oleh Weda sabda suci Tuhan.

Sedangkan Dursangga pergaulan yang mengarah pada gerak sosial yang berlawanan dengan kebenaran dharma. Untuk mengembangkan kebaikan dan kenyamanan hidup orang tidak boleh bergaul sembarangan. Untuk menghindari pergaulan dursangga atau pergaulan kearah yang adharma menurut Sarasamuscaya 185 maka hindarilah berhubungan dalam empat hal yaitu:

Pertama: Haywa tan maweh daana ring tan sajjana. Artinya janganlah berdana punia pada orang yang jahat atau tidak berbudi luhur. Kalau dana punia itu diberikan pada orang jahat maka dana punia itu akan dimanfaatkan untuk mengembangkan kejahatannya. Bahkan dalam Bhagawad Gita XVII.20 menyatakan bahwa dana punia yang berkualitas (satvika daana) adalah dana yang diberikan berdasarkan desa, kala dan paatra artinya diberikan sesuai dengan aturan setempat, pada waktu yang satvika kala dan diberikan pada orang yang tepat (pPaatra). Kata Paatra dalam kontek desa, kala dan paatra tidaklah berarti keadaan. Berbagai sastra Hindu menyatakan bahwa paatra itu adalah orang baik yang patut diberikan daana punia; Seperti Sarasmuscaya 181 dan 271 ada menyatakan: Paatra ngarania sang yogia wehana daana. Artinya: Patra namanya orang yang sepatutnya diberikan dana punia. Karena itu hindari sekali berdana. Sloka Bhagawad Gita selanjutnya adalah menyatakan adanya daana punia yang rajasika dan tamasika yang merupakan daana punia yang nilainya dengan kualinyas rendah.

Kedua: Haywa tan mucap guna ring awakta: Janganlah menyanjung-nyanjung kepandaian atau kebajikan diri sendiri didepan umum. Maksudnya hendaknya jangan menyombong-nyombongkan diri di depan umum. Swami Satya Narayana menyatakan untuk menurunkan sifat egoisme hendaknya dengan serius melihat kekurangan dan kelemahan diri sendiri dan tidak menonjol-nonjolkan kelebihan dan kebaikan diri sendiri.

Dalam bahasa ali disebut ''eda demen ngajum dewek''. Bangga sih boleh saja pada prestasi diri, tetapi cukup dibawa ke dalam hati saja. Umumnya orang yang suka menyanjung-nyanjung diri tidak disukai orang banyak. Karena dapat diasosiasikan merendahkan lawan bicara. Orang yang suka menyanjung diri sendiri menderita apa yang disebut godaan mental berpuas diri, karena menganggap diri sudah hebat dan berada diatas orang lain. Orang yang begini hidupnya sering kecewa kalau melihat orang lain dalam kenyataannya lebih hebat pada dirinya.

Ketiga: Haywa taananggap daana punia saking tan sadhu: Artinya jangan menerima daana punia dari orang yang tidak berbudi luhur. Orang yang tidak berbudi luhur ber-daana punia ada maunya. Daana punia yang diberikan dengan penuh dengan dikemudian harinya dan diberikan dengan kesal itu disebut dalam Bagawad Gita XVII.21 daana punia yang rajasika. Sedangkan Bhagawad Gita XVII,22 daana punia yang diberikan dengan bertentangan dengan desa, kala dan patra disebut daana punia yang tamasika. Ada calon pemimpin yang menyumbang ke suatu komunitas agar ia dipilih. Begitu ia kalah sumbangannya ditagih, hal ini jelas daana punia yang rajasika dan tamasika tanpa kualitas. Meskipun tidak ditagih money politics itu jelas daana punia yang tanpa kualitas. Karena itu amat tepatlah money politics itu dilarang oleh hukum negara di Indonesia.

Dalam berbagai kegiatan hidup terutama dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia masih banyak daana punia yang melanggar etika moral agama dan hukum. Hasil judian seperti tajen di-daana punia-kan untuk bikin pura itu juga tergolong bukan daana punia yang baik yang kualitasnya amat rendah. Karena itu Sarasamuscaya 186 menyatakan janganlah sembarang memberikan daana punia. Bahkan anggaran negarapun di-daana punia-kan untuk menyukseskan kepentingan diri oknum penguasa dengan teknik sangat licin, sehingga sulit membuktikan secara hukum. Seperti dana bantuan sosial diberikan saat sang incumbent kembali jadi calon pemimpin di wilayahnya. Seperti ada bupati jadi calon untuk jabatan kedua kalinya.

Keempat: Haywa ta maraasraya ring tan sajjana: Janganlah mohon perlindungan pada orang yang berbudi tidak luhur/orang jahat. Berlindung pada orang jahat dapat dijadikan teman untuk membantu mengembangkan kejahatannya. Bahkan yang berlindung pada orang jahat itu dapat dijahati juga oleh orang jahat itu. Karena itu janganlah mencari perlindungan pada orang jahat. Yang sangat sulit dihindari adalah mereka yang bekerja sebagai bawahan dalam suatu instansi yang dipimpin oleh orang yang jahat. Dalam hal inilah bisa terjadi korupsi yang kolektif atau ada juga yang mengistilahkan korupsi berjamaah. Kalau tidak ikut korupsi karena atasan yang memberi contoh. Yang kadang-kadang aneh kita lihat atasan yang korupsi, bawahan yang kena hukum. Karena itu dalam penegakan hukum di Indonesia ada istilah tebang pilih. Dewasa ini banyak pihak tidak mau menghindari empat hal itu, karena itu keadaan negara dalam berbagai hal masih banyak yang carut marut. Seperti penegakan hukum, kesenjangan ekonomi atau terjadi kemiskinan struktural, birokrasi yang tidak melayani, masih banyak ada banyak pungutan liar dalam berbagai pelayanan publik dll. Hal inilah yang menjadi sumber tidak nyaman hidup di negara yang sudah hampir 66 tahun merdeka.Penulis
I Ketut Wiana.
posted by I Made Artawan @ 18.43   0 comments
Mengatasi Penderitaan dengan Jnana Bala
Rabu, 05 Januari 2011
Prajnya yaa maanasam duhkham hanyaacchariramausadhaih
Etaddhi jnyana samarthayam na balaih samaatamiyaat. (Sarasamuscaya 501)

Maksudnya: pikiran yang penuh dengan ilmu kebijaksanaan (Prajnya) sebagai sarana yang paling andal untuk mengatasi penderitaan, sebaliknya tumbuh-tumbuhan bahan obat-obatan untuk mengatasi sakitnya badan. Ilmu kebijaksanaan itu disebut Jnyana Bala kekuatannya lebih utama dari Kaya Bala yaitu kekuatan badan jasmani.

Manusia memiliki badan jasmani dan badan rohani sebagai jiwa. Perpaduan dua hal itulah menjadi pendukung berlangsungnya kehidupan manusia di bumi ini mencari kebahagiaan. Hasil penemuan iptek sudah demikian banyak memberikan berbagai kemudahan pada umat manusia memenuhi keinginannya. Dalam kenyataannya masih saja banyak umat manusia yang merasakan adanya berbagai penderitaan hidup di bumi ini.

Pada hakekatnya ada dua sumber penderitaan. Ada penderitaan struktural dan ada penderitaan kultural. Kebijaksanaan untuk publik oleh yang berwewenang yang menimbulkan penderitaan, itu dapat disebut penderitaan struktural. Idealnya kebijakan untuk publik itu demi kebaikan dan kebahagiaan semua orang. Namun demikian ada saja yang tercecer tak tersentuh dan tidak menikmati kebaikan dan kebahagiaan dari kebijakan untuk publik itu. Penderitaan kultural adalah penderitaan yang disebabkan oleh sikap budaya individu masing-masing.

Mereka yang tertimpa penderitaan struktural itu kalau tidak memiliki kemam puan yang prima mengelola diri dapat menderita kekecewaan dan kedukaan yang mendalam. Penderitaan kultural juga demikian dapat menimbulkan tindakan merusak orang lain atau merusak diri sendiri seperti bunuh diri dan sejenisnya. Rasa kecewa dan duka mendalam dengan kebijakan publik kalau kurang waspada dapat ditunggangi oleh kepentingan politik sempit memunculkan keonaran yang dapat merugikan berbagai pihak. Hendaknya dihindari penggunaan kekuatan fisik yang di gerakan oleh luapan emosi yang meledak-ledak sebagai cara mengatasi ketidak puasan itu.

Hal itu dapat merusak tatanan dan norma yang sudah baik. Untuk itu diperlukan peran serius para ilmuwan yang bijak untuk senantiasa bekerja terpadu menggunakan visi dan misinya sebagai ilmuwan mengatasi berbagai persoalan hidup bersama ini. Berbagai ketidakpuasan dan kekecewaan publik seyogianya diatasi dengan Jnyana Bala yaitu kekuatan para ilmuwan yang bekerja terpadu. Hal itulah yang dinyatakan dalam Sarasamuscaya 501 sebagai Jnyana Bala yang lebih utama dari pada mengatasi berbagai kedukaan dengan kekuatan badan jasmani yang disebut Kaya Bala. Apa lagi Kaya Bala itu lebih digerakkan oleh rasa kecewa dan ketidakpuasan belaka tanpa analisa Jnyana Bala. Kekuatan badan jasmani yang disebut Kaya Bala itu akan positif apa bila ditata untuk membangun fisik yang sehat, segar dan bugar dalam rangka mendukung Jnyana Bala mengekspresikan kearipan ilmu pengetahuan mencerahkan masyarakat.

Dewasa ini ilmuwan sudah sedemikian banyak bertebaran dimana-mana, tetapi berbagai persoalan yang membuat penderitaan publik masih saja terjadi bahkan ada yang kuantitas dan kualitasnya terus meningkat. Para ilmuwan di samping jumlahnya semakin meningkat jenis keakhliannyapun juga semakin banyak. Dalam Kekawin Nitisastra,IV.19 ada menyatakan adanya tujuh hal yang menyebabkan orang mabuk yaitu: Surupa, Dhana, Guna, Kula Kulina, Yowana, Sura dan Kasuran.

Barang siapa yang tidak mabuk karena tujuh hal itu dialah orang yang disebut merdeka (mahardika). Ini artinya tujuh hal itu wajib dicari yang penting jangan mabuk pada ke tujuh hal itu. Salah satu dari tujuh hal itu adalah guna atau ilmu pengetahuan. Mengapa para ilmuwan belum berhasil bekerja terpadu secara maksimal. Mungkin masih banyak ilmuwan yang mabuk atau kehilangan diri karena ilmunya itu. Kalau masih banyak ada ilmuwan mabuk tentunya sulit kerja terpadu mengatasi berbagai prilaku dan kebiasaan hidup yang menyimpang dalam masyarakat. Ilmuwan yang demikian itu ilmunya menjadi mubazir.

Dalam Canakya Nitisastra ada dinyatakan sbb: Anabhyase visam sastram. Artinya ilmu pengetahuan yang tidak diterapkan memperbaiki prilaku dan kebiasaan hidup akan menjadi racun (visa). Negara hendaknya menetapkan kebijakan yang memposisikan fungsi ilmuwan untuk senantiasa bekerja saling terpadu memecahkan berbagai persoalan hidup di bumi ini. Dengan demikian kehidupan bersama di bumi ini menjadi semakin maningkat kearah yang semakin baik dan benar. Dalam Canakya Nitisaastra XII.11 dinyatakan: Satyam mata pita jnyanam. Artinya kebenaran (satya) adalah ibuku, ilmu pengetahuan yang disebut jnyana itu adalah ayahku. Selanjutnya Canakya Nitisastra XVII.12 ada menyatakan sbb: Jnyanena muktir na tu mandenena. Artinya: Pembebasan dari kesengsaraan hidup ini diperoleh dengan ilmu pengetahuan suci (jnyana) bukan dengan menghias badan. Canakya Nitisastra IV.5. menyatakan sbb: Ilmu pengetahuan ibarat kama-dhenu, setiap saat dapat memenuhi segala keinginan. Pada saat orang berada di negara lain ilmu pengetahuan bagaikan seorang ibu yang selalu memelihara kita. Orang bijaksana mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang rahasia, harta tak kelihatan.

Pernyataan Canakya Nitisastra tersebut demikian jelas dan tegas menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan yang disebut jnyana demikian utama sebagai teman hidup. Kalau hal itu menjadi kenyataan dalam masyarakat maka masyarakat akan terbebas dari berbagai penderitaan. Namun sampai saat ini masih banyak prilaku dan kebiasaan hidup yang belum sesuai dengan ilmu pengetahuan. Contoh sederhana saja. Masih banyak masyarakat yang memasak makanan dengan bungkusan plastik, Plastik yang dimasak itu menimbulkan zat berbahaya bagi kesehatan. Minum teh secara langsung setelah makan nasi. Hal ini akan menghalangi tubuh menyerap zat besi, protein dan vitamin kedalam tubuh.

Tetapi kalau minum teh setelah empat jam makan nasi maka teh itu berguna untuk menurunkan lemak negatif dalam makanan. Membuang limbah sabun detergen ke tanah dapat merusak humus tanah tsb. Sesungguhnya banyak sekali kebiasaan hidup kita yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Apalagi menyangkut soal ritual, kemanusiaan dan spiritual banyak sekali yang tidak sesuai dengan apa yang dinormakan dalam ilmu dalam pustaka acuannya. Gandi menyatakan: Ilmu tanpa kemanusiaan menimbulkan dosa sosial.Oleh I Ketut Wiana
posted by I Made Artawan @ 21.38   1 comments
Bhuta Yadnya Melestarikan Alam Bukan Pembantaian
Bhuta yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh.
Matangnyan prihen tikang bhuta hita, aywa tan maasih-ring sarwa prani... (kutipan Agastia Parwa dan Sarasamuscaya 135).

Maksudnya: Bhuta Yadnya namanya mengembalikan unsur-unsur alam itu dengan menghormati tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu usahakanlah kesejahteraan alam itu (Bhuta Hita) jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk hidup (sarwa prani).

Untuk meningkatkan kualitas dan memperluas pengamalan agama Hindu ada baiknya diadakan pengkajian ulang dan terus menerus agar pengamalan ajaran agama Hindu itu selalu dinamis dalam mengantarkan perkembangan zaman ke arah yang semakin baik dan benar sesuai dengan petunjuk sastra suci. Pengkajian itu bukan untuk mencari-cari kesalahan-kesalahan penerapan agama Hindu yang dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita sebelumnya. Dengan kondisi yang serba terbatas leluhur umat Hindu dimasa lampau sudah mewariskan tradisi beragama Hindu yang masih sangat baik dan masih banyak yang relevan dengan isi pustaka suci sabda Tuhan. Namun demikian dalam beberapa hal perlu ada penyempurnaan-penyempurnaan dalam beberapa aspeknya.

Weda itu memang ''sanatana dharma'' atau kebenaran yang kekal abadi. Tetapi penerapannya terus ''nutana'' artinya ada proses peremajaan agar dapat mengikuti dan mengarahkan perkembangan zaman ke arah yang semakin baik dan semakin benar sesuai dengan teksnya yang dinyatakan dalam pustaka suci. Karena yang disebut agama menurut Sarasamuscaya 181: Agama ngarania kawarah Sang Hyang Aji. Artinya: Agama namanya apa yang dinyatakan oleh kitab suci. Dalam Wrehaspati Tattwa 26 juta dinyatakan: Kawarah Sang Hyang Aji kaupapatian de Sang Guru Agama ngarania. Artinya: Apa yang dinyatakan dalam pustaka suci dan diajarkan oleh Pandita Guru itulah agama namanya.

Mengenai Bhuta Yadnya seperti dinyatakan dalam Agastia Parwa dan Bhuta Hita seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 135 di atas tidak ada dinyatakan pelaksanaan Bhuta Yadnya dan Bhuta Hita dengan penyemblihan hewan. Justru yang ditekankan melakukan upaya untuk mensejahterakan alam itu yang disebut dengan istilah Bhuta Hita. Bhuta artinya unsur-unsur alam dan kata Hita artinya sejahtera. Bahkan ditekankan lagi agar mengasihi atau menyayangi semua makhluk hidup itu (sarwa prani) dalam Sarasamuscaya 135.

Demikian juga Agastia Parwa menekankan bahwa pelaksanaan Bhuta Yadnya itu mengembalikan kemurnian eksistensi unsur-unsur alam itu. Kata ''Bhuta'' dalam bahasa Sansekerta bukan berarti setan, jin atau iblis. Bhuta itu artinya unsur-unsur yang membentuk alam yang disebut dengan Panca Maha Bhuta (Pertiwi, Apah, Teja, Bayu dan Akasa). Lima unsur alam itulah yang wajib dijaga kemurnian eksistensinya sesuai dengan hukum Rta.

Rta adalah salah satu dari Sad Pertiwi Dharyante yaitu enam prilaku untuk mendukung kelestarian ibu pertiwi yang dinyatakan dalam Atharvaveda XII.1.1. Rta adalah hukum ciptaan Tuhan yang menata dinamika alam. Bhuta Yadnya sesungguhnya menjaga agar manusia senantiasa berbuat sesuai dengan hukum Rta tersebut agar alam senantiasa lestari. Ibu pertiwi akan goncang apabila Sad Petiwi Dharyante itu tidak dijadikan pedoman berprilaku di dunia ini.

Dalam rangka memaknai pengertian Bhuta Yadnya dan Bhuta Hita itu seyogianya umat Hindu mentradisikan pelaksanaan Bhuta Yadnya itu dengan melakukan langkah nyata mengembangkan kesuburan tanah, menjaga kebersihan sumber-sumber air seperti mata air, danau, sungai-sungai. Hal itu dapat dilakukan dengan melarang keras orang membuang berbagai limbah dan kotoran lainnya ke sumber-sumber air tersebut. Demikian juga harus ada berbagai upaya menjaga kesuburan tanah seperti kualitas humus tanah benar-benar dijaga dengan meminta analisa para akhli dibidang itu.

Demikian juga dengan pengotoran udara dengan memberikan batas dengan teknologi modern agar bengkel mobil, pengguna mesin yang mengeluarkan asap atau gas buang mengelola asap yang ditimbulkan oleh mesin itu dikelola agar jangan terlalu tinggi pengotoran udara yang ditimbulkan. Penataan ruang seperti pemukiman yang bersih dan hijau dengan menguatkan terus menerus sosialisasikan hidup bersih dengan lingkungan yang hijau penuh pepohonan yang rindang.

Undang-undang pelestarian alam ini diwujudkan sebagai tradisi beragama Hindu dalam pelaksanaan Bhuta Yadnya. Tentunya dengan tidak usah mempertentangkan dengan tradisi Bhuta Yadnya yang telah ada. Bagi umat masih kuat keyakinannya melaksanakan Bhuta Yadnya seperti yang biasa berlangsung dewasa ini biarkan berjalan sebagai mana mestinya karena memang ada juga sumber acuannya dalam berbagai lontar tradisi beraama Hindu di Bali.

Upaya pelestarian alam sebagai wujud Bhuta Yadnya sebagai perluasan pengamalan Bhuta Yadnya dan Bhuta Hita sebagai mana ditetapkan dalam kutipan sastra agama Hindu tersebut di atas harus terus disosialisasikan sebagai pengamalan Bhuta Yadnya karena memang hal itu yang paling utama ditekankan dalam sastra agama. Dalam Manawa Dharmasastra V.40 ada dinyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan dan hewan yang digunakan dalam upacara agama dalam penjelmaannya yang akan datang akan meningkat dalam kualitas yang lebih tinggi.

Tetapi dalam Sloka tersebut tidak secara tegas penggunaan hewan itu harus disemblih. Di Bali pun sudah ada pandita yang mengizinkan saat ada upacara ''nyambleh'' hewan yang dijadikan sarana nyambleh seperti itik, ayam dan anak babi (kucit) tidak dipotong lehernya. Cukup saat upacara bulu kepala hewan itu dicabuti secara simbolis terus hewannya dilepas. Bahkan ada juga bhisama yang dapat mengganti hewan korban itu dengan simbol jajan cecalcalan. Hal ini juga dibenarkan karena ada acuannya dalam Manawa Dharmasastra. Sesungguhnya dalam pengamalan ajaran Hindu sudah disiapkan banyak pilihan mengamalkan agama Hindu yang terkenal fleksibel itu. Penulis I Ketut Wiana
posted by I Made Artawan @ 19.34   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas