Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Mantra Saraswati
Rabu, 27 April 2011
Mantra Saraswati

Om, Brahma Putri Maha Dewi,
Brahmanya Brahma wandini,
Saraswati sayajanam, praja naya Saraswati.
Om, Saraswati dipata ya namah.

Om Saraswati namastubhyam
Varade kama rupini
Siddharambha karisyami
Siddhir bhawantu me sada
Stuti & Stava 839.1

Om Hyang Widhi, Sakti-Mu selaku Maha Dewi dari Brahma,
Pancaran Pradana dari Brahma.
Saraswati, Dewi kemampuan berpikir, Saraswati tiada tara kebijaksanaanNya
AUM, Dewi Saraswati hamba menyembah-Mu.
Aum, Saraswati sebagai pemberi Anugrah, dalam bentuk yang didambakan
Semogalah atas segala dharma yang hamba lakukan sukses selalu atas karunia-Mu.
posted by I Made Artawan @ 18.33   0 comments
Hari Raya Saraswati
Dalam waktu dekat ini, tepatnya Sabtu 23 April 2011 umat hindu akan merayakan Hari Raya Saraswati. Saraswati adalah nama Dewi yaitu Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan "Hyang Hyangning Pangewruh."

Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai. Dewi Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.

Hari raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari Sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati. Perayaan Saraswati berarti mengambil dua wuku yaitu wuku Watugunung (wuku yang terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu penge-tahuan pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati.

Pada hari Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah ditata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula ditambah dengan banten sesayut Saraswati, dan banten tumpeng dan sodaan putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari.

Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi.

Besoknya pada hari Radite (Minggu) Paing wuku Sinta dilangsungkan upacara Banyu Pinaruh. Kata Banyu Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara yang dilakukan yakni menghaturkan laban nasi pradnyam air kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam rasa). Pada puncak upacara, semua sarana upacara itu diminum dan dimakan. Upacara lalu ditutup dengan matirtha. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan.

Filosofi dan Mitologi
Upacara dan upakara dalam agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai penjabaran dari ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa Sansekerta yakni dari kata Saras yang berarti "sesuatu yang mengalir" atau "ucapan". Kata Wati artinya memiliki. Jadi kata Saraswati secara etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis mes-kipun tiap hari ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia.

Sebagaimana disebutkan, Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda. Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan Brahman.

Dalam upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan lontar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu pengetahuan lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia - juga di Bali - tidak ada pelinggih khusus untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang Hyang Aji Saraswati.

Gambar atau patung Dewi Saraswati yang dikenal di Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada digambarkan duduk dan ada pula versi yang berdiri di atas angsa dan bunga padma. Ada juga yang berdiri di atas bunga padma, sedangkan angsa dan burung meraknya ada di sebelah menyebelah dengan Dewi Saraswati. Tentang perbedaan versi tadi bukanlah masalah dan memang tidak perlu dipersoalkan. Yang terpenting dari penggambaran Dewi Saraswati itu adalah makna filosofi yang ada di dalam simbol gambar tadi. Dewi yang cantik dan berwibawa menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang amat menarik dan mengagumkan. Kecantikan Dewi Saraswati bukanlah kemolekan yang dapat merangsang munculnya nafsu birahi.

Kecantikan Dewi Saraswati adalah kecantikan yang penuh wibawa. Memang orang yang berilmu itu akan menimbulkan daya tarik yang luar biasa. Karena itu dalam Kakawin Niti Sastra ada disebutkan bahwa orang yang tanpa ilmu pengetahun, amat tidak menarik biarpun yang bersangkutan muda usia, sifatnya bagus dan keturunan bangsawan. Orang yang demikian ibarat bunga merah menyala tetapi tanpa bau harum sama sekali. Sedangkan cakepan atau daun lontar yang dibawa Dewi Saraswati merupakan lambang ilmu pengetahuan. Sedangkan genitri adalah lambang bahwa ilmu pengetahuan itu tiada habis-habisnya. Genitri juga lambang atau alat untuk melakukan japa. Ber-japa yaitu aktivitas spiritual untuk menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Ini pula berarti, menuntut ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini berarti pula, ilmu pengetahuan yang mengajarkan menjauhi Tuhan adalah ilmu yang sesat.

Wina yaitu sejenis alat musik, yang di Bali disebut rebab. Suaranya amat merdu dan melankolis. Ini melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung keindahan atau estetika yang amat tinggi. Bunga padma adalah lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti ilmu pengetahuan yang suci itu memiliki Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Teratai juga merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu pengetahuan.

Angsa adalah jenis binatang unggas yang memiliki sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi dan suka hidup harmonis. Angsa juga memiliki kemampuan memilih makanan. Meskipun makanan itu bercampur dengan air kotor tetapi yang masuk ke perutnya adalah hanya makanan yang baik saja, sedangkan air yang kotor keluar dengan sendirinya. Demikianlah, orang yang telah dapat menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan wiweka. Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan yang jelek dan yang benar dengan yang salah.

Bunga Padma atau bunga teratai adalah bunga yang melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata anginnya (asta dala) sebagai stana Tuhan. Burung merak adalah lambang kewibawaan. Orang yang mampu menguasai ilmu pengetahuan adalah orang yang akan mendapatkan kewibawaan. Sehubungan dengan ini, Swami Sakuntala Jagatnatha dalam buku Introduction of Hinduisme menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh seseorang akan menyebabkan orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena itu ilmu itu harus diserahkan pada Dewi Saraswati sehingga pemiliknya menjadi penuh wibawa karena egoisme atau kesombongan itu telah disingkirkan oleh kesucian dari Dewi Saraswati. Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan kepada manusia dan alam serta untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Di dalam upakara yang disebut Banten Saraswati salah satu unsurnya ada disebut jajan Saraswati. Jajan ini dibuat dari tepung beras berwarna putih dan berisi lukisan dua ekor binatang cecak. Mata cecak itu dibuat dari injin (beras hitam) dan di sebelahnya ada telur cecak. Dalam banten Saraswati itu mempunyai arti yang cukup dalam. Menurut para ahli Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan bahwa binatang melata seperti cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan pada getaran-getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak memberi pelajaran bahwa ilmu pengetahuan itu jangan hanya berfungsi mengembangkan kekuatan ratio atau pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong manusia untuk memiliki kepekaan intuisi sehingga dapat menangkap getaran-getaran rohani.

Dalam lontar Saraswati juga memakai daun beringin. Daun beringin adalah lambang kelanggengan atau keabadian serta pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu bermaksud mengantarkan kepada kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga berarti pengayoman.

Tentang Dewi Saraswati ada cerita menarik yang terdapat dalam Utara Kanda bagian dari epos Ramayana. Dalam cerita tersebut dikisahkan Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di lidah Kumbakarna sehingga dunia terhindar dari kekacauan. Alkisah Resi Waisrawa beristri Dewi Kaikaisi. Pasangan Resi ini berputra empat orang, tiga orang laki dan seorang perempuan. Putra sang resi yang pertama bernama Dasa Muka (Rahwana), kedua Kumbakarna, ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang terkecil bernama Gunawan Wibhisana. Sang Resi menugaskan putra laki-lakinya supaya bertapa di gunung Gokarna. Ketiga putra Resi Waisrawa itu kemudian membangun tempat pertapaan yang terpisah-pisah di gunung Gokarna. Bertahun-tahun mereka bertapa dengan teguh dan tekunnya. Karena ketekunannya itu, lalu Dewa Brahma berkenan memberikan anugrah.

Pertama-tama Dewa Brahma mendatangi Rahwana. Dewa Brahma menanyakan tentang apa yang diharapkan dalam tapanya ini. Rahwama mengajukan permohonan dapat kiranya Dewa Brahma menganugrahkan kekuasaan di seluruh dunia. Semua dewa, gandarwa, manusia dan seluruh makhluk di dunia ini tunduk padanya. Permohonan Rahwana ini dikabulkan.

Selanjutnya Dewa Brahma menuju pertapaan Gunawan Wibhisana dan menyatakan pula akan memberikan anugrah atas tapanya. Gunawan Wibhisana menyampaikan permohonannya dapat kiranya Dewa Brahma memberikan anugrah berupa kesehatan dan ketenangan rohani, memiliki sifat-sifat utama dan taat melakukan pemujaan kepada Tuhan. Dewa Brahma mengabulkan permohonan Wibhisana. Begitu Dewa Brahma akan beranjak menuju pertapaan Kumbakarna para dewa berdatang sembah kepada Dewa Brahma. Para dewa memohon agar Dewa Brahma tidak menganugrahkan permohonan Kumbakarna. Pasalnya, Kumbakarna berbadan raksasa yang maha hebat. Kalau ia punya kesaktian, sungguh sangat membahayakan keselamatan manusia di dunia. Meskipun ada permohonan para dewa itu, Dewa Brahma bertekad memberikan anugrah. Sebab, jika tidak, Brahma merasa berlaku tidak adil kepada ketiga putra Resi Waisrawa. Apalagi Kumbakarna juga melakukan tapa yang tekun sehingga layak mendapat anugrah. Namun untuk memenuhi permohonan para dewa itu, Dewa Brahma punya akal. Istri atau saktinya yaitu Dewi Saraswati diutus supaya berstana di lidah Kumbakarna dan bertugas untuk membuat lidahnya salah ucap.

Setelah itu Dewa Brahma datang memberikan anugrah pada Kumbakarna. Kumbakarna memohon anugrah yakni agar selama hidupnya selalu senang. Karena itu ia semestinya mengucapkan "suka sada". Namun akibat Saraswati membelokkan lidah Kumbakarna, ucapan yang terlontar dari mulut raksasa tinggi besar itu adalah "supta sada" yang artinya selalu tidur. Suka artinya senang dan supta artinya tidur. Andaikata Kumbakarna mendapatkan anugrah hidup bersenang-senang, maka besar kemungkinannya ia selalu meng-humbar hawa nafsu. Raksasa yang menghumbar hawa nafsu tentu akan dapat mengacaukan kehidupan di dunia. Demikianlah peranan Dewi Saraswati, dengan kata-kata yang tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan dunia dari kekacauan.

Di dalam kesusastraan Weda, Saraswati adalah nama sungai yang disebut Dewa Nadi artinya sungainya para dewa. Sungai Saraswati terletak di selatan daerah Brahmawarta atau Kuruksetra. Di sebelah utara Kuruksetra ada sungai bernama sungai Dasdwati. Kedua sungai itu diyakini berasal dari Indraloka. Karena itulah disebut Dewa Nadi. Keterangan ini juga diuraikan dalam Manawa Dharmasastra II,17. Karena itulah sungai Saraswati amat dihormati dalam puja mantra agama Hindu seperti dalam mantra Sapta Tirtha atau Sapta Gangga uang menyebutkan tujuh sungai utama di India. Tujuh sungai itu yaitu sungai Gangga, Saraswati, Shindu, Wipasa, Kausiki, Yamuna dan Serayu. Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati dipuja pula dalam Catur Resi yaitu Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan Saraswati.

Dewi Saraswati diyakini pula sebagai pemelihara kitab suci Weda. Hal ini diceritakan dalam Salya Parwa sebagai berikut. Di lembah sungai Saraswati, terdapat tujuh resi ahli Weda yaitu Resi Gautama, Bharadwaja, Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa dan Atri. Ketika musim kemarau datang, keadaan di lembah sungai Saraswati itu kering. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik. Bahan makanan pun menjadi sulit didapat. Karena keadaan alam yang gersang seperti itu, Sapta Resi itupun pindah ke tempat lain. Sedangkan putra Dewi Saraswati yang bernama Saraswata masih setia bertempat tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena kesetiaannya tinggal di tempat itu, Saraswata mendapat perlindungan dari ibunya. Saraswata tetap mendapat bahan makanan dari lembah sungai itu. Para Resi yang meninggalkan lembah sungai Saraswati, lambat laun tidak tahan pada keadaan yang dialaminya. Karena di tempatnya yang baru, mereka sulit juga mengubah nasib. Lagi pula para resi tadi telah lupa pada isi Weda. Padahal, memahami Weda merupakan suatu kewajiban yang mutlak sebagai identitas seorang resi. Gelar resinya akan tanpa makna kalau sampai lupa pada isi Weda.

Keadaan itu menyebabkan sang Sapta Resi kembali ke lembah sungai Saraswati. Di lembah sungai Saraswati itulah para resi mohon kesediaan Dewi Saraswati membangkitkan kesadarannya untuk kembali dapat memahami isi Weda yang merupakan tugas pokoknya. Dewi Saraswati memberi anugrah apabila para resi bersedia menjadi siswanya. Para resi bertanya, apakah patut orang yang lebih tua berguru pada yang muda karena Dewi Saraswati masih sangat muda. Terhadap pertanyaan ini, Dewi Saraswati menjelaskan, seorang guru kerohanian tidaklah tergantung pada umurnya, kekayaannya, kebangsawanannya. Seorang guru kerohanian patut dilihat dari kemampuannya menguasai dan menyampaikan isi Weda. Kedewasaan spiritual Wedalah yang menjadi patokan utama. Penjelasan itu yang menyebabkan semua resi tetap berguru pada Dewi Saraswati.

Setelah kejadian itu, datang lagi enam puluh ribu orang menghadap Dewi Saraswati agar diterima sebagai murid karena ingin mendalami lautan rohani Weda. Lewat para resi dan siswa tadi, Dewi Saraswati mengidupkan dan menyebarkan isi Veda ke seluruh pelosok dunia.

Mitologi Dewi Saraswati dijelaskan pula dalam kitab Aiterya Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta bernama Resi Kawasa keturunan Sudra Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin suatu upacara yajña. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah padang pasir yang gersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir, Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan, turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan Weda mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik. Kesucian dan kemampuan Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya.

Dewi Saraswati menganggap, kemampuan Resi Kawasa sudah luar biasa. Sang resi pun diizinkan kembali ke tempatnya oleh Dewi Saraswati. Setelah ia sampai di tempatnya semula, pendeta dari Wangsa Brahmana itu amat kagum atas keberhasilan Resi Kawasa. Resi Kawasa memang mampu menujukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku yang bersusila tinggi. Akibat keutamaannya itu, Resi Kawasa diakui semua umat dan semua resi sebagai brahmana pendeta sejati.

Demikianlah kekuasaan Dewi Saraswati akan dapat memberikan peningkatan kesucian dan kehormatan kepada mereka yang memujanya dengan sungguh-sunguh.

Pada Hari Raya Saraswati Tentang bunga padma yang di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu tangan patung atau gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang tersendiri. Di dalam Kakawin Saraswati disebutkan, bunga padma putih yang sedang kembang merupakan lambang jantung di Bhuana Alit. Padma merah ada dalam hati, padma biru ada dalam empedu. Budi suci sebagai aliran sungai Sindhu selalu meyakini kesuburan bunga-bunga padma yang berwarna-warni itu. Kecakapan bagaikan aliran sungai Narmada. Kemurnian hatiku sebagai sungai Gangga. Dewi Saraswati berstana di lidah dan Dewi Irawati berstana di mata. Demikianlah tujuan pemujaan Dewi Saraswati. Kalau tujuan pemujaan Dewi Saraswati dapat tercapai maka terhindarlah kita dari godaan penyakit, kelakuan jahat dan buruk.

Semua perumpamaan itu adalah suatu metoda seni sastra agama untuk mendatang kehalusan budi. Agama mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan memudahkan hidup, sedangkan seni menghaluskan hidup. Karena itulah, memuja Tuhan Yang Maha Esa menurut pandangan Hindu juga menggunakan aspek seni. Pemujaan kepada Dewi Saraswati tiada lain adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai sumber ilmu pengetahuan suci Weda. Menggapai kesucian Weda hendaknya juga melalui seni budaya yang indah. Khususnya yang didasarkan oleh keindahan seni itulah yang akan dapat dijadikan dasar untuk mencapai kesucian Sang Hyang Weda.


Hari Saraswati merupakan manifestasi Hyang Widhi sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan, Kekuatan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya ini dilambangkan dengan seorang Dewi, Dewi membawa alat musik, Genitri,, Pustaka suci, Teratai, serta duduk di atas angsa.

1. Dewi simbol, bahwa ilmu Pengetahuan itu indah, cantik, menarik, dan lemah lembut dan mulia
2. Alat musik simbol, bahwa ilmu Pengetahuan itu seni budaya yang agung
3. Genetri simbol, bahwa ilmu pengetahuan itu tak terbatas dan kekal abadi
4. Pustaka suci simbol, bahwa itu sumber ilmu pengetahuan yang suci
5. Teretai simbol, bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan kesucian Hyang Widhi
6. Anga adalah simbol kebijaksanaan, Angsa bisa membedakan antara yang baik dan buruk.

posted by I Made Artawan @ 18.28   0 comments
Weda Wakya
Jumat, 15 April 2011
Ya atmada balada yasya visva

upasate prasisam yasya devah

yasya chaya-amrtam yasya mrtyuh,

kasmani devaya havisa vidhema.(Rgveda.X.121.2)


Maksudnya: Tuhan Yang Mahaesa memberikan kekuatan spiritual (rohani) dan fisikal (jasmaniah). Semua sinar sucinya yang disebut Deva berfungsi atas kehendak Tuhan. Kasih-Nya adalah keabadian, menjauhi kasihnya adalah kematian. Kami semuanya menghaturkan sembah kepada-Nya.

Hakikat beragama adalah sraddha dan bhakti kepada Tuhan. Mempercayai dan berbakti kepada Tuhan bukan berhenti pada percaya dan bhakti dengan sikap yang pasif. Tuhan itu menurut keyakinan Hindu adalah maha ada, mahaesa, maha kuasa, maha pengasih dan banyak sekali keagungan Tuhan yang tidak dapat dijangkau oleh kemampuan manusia yang serba terbatas.

Berbagai keagungan dan kemahakuasaan Tuhan itu dalam ajaran Hindu disebut Deva yang jumlahnya tak terhingga. Deva artinya sinar suci Tuhan yang senantiasa menuntun ciptaan-Nya semakin meningkat menuju ke arah yang benar, baik, suci dan mulia.

Manusia yang hidup di dunia sekala ini mengalami proses dari lahir, hidup dan akhirnya kembali ke dunia niskala. Di dunia sekala manusia mengharapkan hidupnya bahagia yaitu aman damai dan sejahtera. Sedangkan di alam niskala diharapkan mencapai sorga, terus moksha sebagai tujuan tertinggi. Manusia hidup di dunia sekala ini diberikan jiwa dan raga atau purusa dan pradana oleh Tuhan. Untuk mencapai hidup bahagia itu manusia harus berusaha menyeimbangkan proses purusa dan pradananya secara terpadu. Tuhan juga menjadi Dewa dan Dewi untuk menuntun keseimbangan pertumbuhan rohani dan jasmani manusia.

Tuntunan dinamika rohani dan jasmani itu dinyatakan dalam Mantra Rgveda dalam kutipan di atas. Umat yang mampu mendayagunakan pemujaannya pada Tuhan dengan sungguh-sungguh akan berhasil mendapatkan kekuatan spiritual dari kasih Tuhan. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa dan Dewi seyogianya dimaknai dengan membangun dinamika rohani yang tenang dinamis mengarahkan atau menjiwai kehidupan duniawi. Dengan demikan akan terjadi proses kehidupan fisik yang semakin sehat dan bugar. Kehidupan fisik yang sehat dan bugar itu sebagai modal dasar untuk membangun kehidupan yang aman damai (raksanam) dan sejahtra (dhanam).

Tuhan sebagai objek Yang Maha Suci itu dipuja untuk mendapatkan daya spiritual untuk mendukung dinamika intelektual dan kepekaan emosional agar senantiasa berada pada jalan dharma. Demikianlah seyogianya pemujaan Tuhan dimaknai.

Kalau memuja Tuhan hanya karena tradisi ikut-ikutan, pemujaan seperti itu lambat laun akan dirasakan sebagai beban yang memberatkan hidup. Apalagi bhakti atau pemujaan Tuhan itu disertai dengan ritual wajib tanpa dasar sastra agama Hindu yang jelas akan banyak menimbulkan berbagai persoalan. Hal itu umumnya dibuat oleh sementara pihak yang kebetulan punya pengaruh dan wewenang tradisional atau pengaruh politik dan ekonomi dalam masyarakat serta tidak dibekali pengetahuan sastra agama yang memadai. Hal inilah banyak menimbulkan berbagai kesenjangan kehidupan beragama Hindu. Kesenjangan antara konsep agama dalam sastra suci dengan pelaksanaanya masih banyak yang berlawanan. Seperti upacara dan upakara yadnya. Kata ''upacara'' dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Kata ''upakara'' dalam bahasa Sansekerta artinya melayani dan kata ''yadnya'' artinya ikhlas berkorban demi tujuan suci. Ini artinya dengan upacara upakara yadnya kita merasa semakin mendekatkan diri pada Tuhan dalam wujud bhakti, mendekatkan diri pada sesama dalam wujud pengabdian atau punia dan mendekatkan diri pada alam lingkungan (sarwa prani) dengan wujud kasih. Karena itu makna ''banten'' menurut Lontar Yadnya Prakerti: ''Sehananing bebanten pinaka ragan ta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka Anda Bhuwana''. Artinya, semua banten artinya lambang diri manusia itu sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang alam (bhuwana). Ini artinya banten sebagai simbol sakral dalam agama Hindu seharusnya dimaknai untuk mendekatkan diri pada Tuhan dalam wujud bhakti, pada sesama manusia dalam wujud punia atau pengabdian yang tulus dan mendekatkan diri pada ''sarwa prani'' dalam wujud asih.

Pengamalan beragama dalam wujud bhakti pada Tuhan harus dapat dibuktikan dengan semakin lestarinya alam lingkungan. Lingkungan yang lestari itu dalam Sarasamuscaya 135 dinyatakan dengan istilah bhuta hita. Agar alam itu lestari lakukanlah bhuta yadnya. Konsep bhuta yadnya dalam Lontar Agastia Parwa sebagai berikut: ''Bhuta yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh.'' Artinya, bhuta yadnya adalah mengembalikan kelestarian alam itu dengan menyayangi tumbuh-tumbuhan. Konsep bhuta yadnya ini sudah diimplementasikan dalam berbagai kegiatan beragama Hindu dalam wujud ritual sakral yang bersifat niskala. Namun wujud sekala-nya masih belum banyak dilakukan. Karena itu pada musim hujan terjadi kebanjiran dan pada musim kemarau kekeringan. Ini artinya hutan kurang berfungsi sebaimana mestinya. Semestinya upacara bhuta yadnya itu diwujudkan secara niskala dan sekala. Wujud niskala-nya dengan ritual sakral untuk menguatkan daya spiritual. Sedangkan wujud sekala-nya dengan mendayagunakan daya spiritual untuk diaktualkan dalam langkah nyata yang kontektual menjaga kelestarian tanaman hutan dan tumbuh-tumbuhan lainya sehingga kehidupan manusia menjadi serasi dengan alam yang bersih dan hijau. Tetapi nyatanya upacara Bhuta Yadnya amat semarak di lain pihak pegerusakan hutan juga semarak. Usaha-usaha penghijauan di berbagai tempat memang ada dilakukan tetapi belum banyak dilakukan dalam rangka pengamalan agama atau Bhuta Yadnya. Artinya semaraknya Bhuta Yadnya belum seimbang dengan upaya melestarikan lingkungan dengan diawali dengan meningkatkan kwantitas dan kwalitas tananman hutan dan tumbuh-tumbuhan lainya sebagai wujud bhakti pada Tuhan.
posted by I Made Artawan @ 21.18   0 comments
Menyuap - Berjudi - Menipu Wajib Dihukum
Sabtu, 02 April 2011
Utkocakaascanpadhikaa

wancakah kitawastatha

manggalaadesa wrttasca

bhadraasceksanikaih saha. (Manawa Dharmasastra,IX,258)


Maksudnya adalah sebagai kejahatan mereka yang menerima suap, menipu, penjudi, mengajarkan upacara suci dengan munafik dan berpura-pura.

Berbuat yang bertentangan dengan dharma seperti menerima suap, menipu, berjudi apalagi mengajarkan upacara suci dengan munafik dan berpura-pura seperti dinyatakan dalam kutipan di atas tergolong kejahatan.

Dalam Manawa Dharmasastra IX.263 kejahatan itu amat sulit dikendalikan kecuali dikenakan hukuman yang keras tetapi tetap adil. Perilaku yang dinyatakan sebagai kejahatan yang sulit dikendalikan itu termasuk mengajarkan upacara suci tetapi munafik dan berpura-pura.

Perilaku yang demikian adalah suatu kejahatan. Perbuatan yang bertentangan dengan dharma itu umumnya menurut anggapan umum sepertinya bukan suatu kejahatan. Penjual barang yang palsu, memberikan uang oknum birokrat saat rakyat berurusan, berjudi dan lainnya itu banyak pihak yang merasakan tidak suatu tindakan kejahatan. Yang paling dirasakan bukan sebagai kejahatan adalah mengajarkan upacara agama yang suci itu dengan cara munafik dan berpura-pura.

Melangsungkan upacara yadnya memang wajib dicermati dengan seksama, karena itu tergolong persembahan.

Dalam Manawa Dharmasastra III.97 ada dinyatakan bahwa persembahan yang dilakukan oleh orang yang tidak paham akan peraturannya adalah sia-sia. Ini artinya kalau ada umat yg tidak tahu akan suatu arti dan makna suatu persembahan dapat dituntun oleh mereka yang tahu dengan baik. Kalau menuntun umat melangsungkan upacara yadnya dengan baik dan benar tentunya akan memberikan pahala mulia. Dalam hal inilah kalau penuntun itu munafik pura-pura paham tentang persembahan yang baik, tetapi sesungguhnya mereka tidak paham. Perilaku inilah sebagai kejahatan.

Dewasa ini semakin banyak umat Hindu di Bali mengeluhkan besarnya biaya upacara yadnya. Mereka sulit sekali menghindar karena mereka tidak paham mengapa biayanya begitu besar. Tentunya dalam hal ini tidak mudah membuktikan adanya kemunafikan dan prilaku berpura-pura itu secara sekala. Kalau ada kemunafikan dan keberpura-puraan yang sulit dibuktikan secara sekala, tetapi akan berakibat pada upacara tersebut secara niskala. Upacara persembahan itu akan sia-sia tak memberi manfaat spiritual bahkan dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra III.97 itu tidak ada bedanya dengan abu belaka. Untuk menanggapi keluhan sementara pihak tentang besarnya biaya upacara yadnya, perlu direnungkan kembali prioritas beragama yang dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra I.86 yang menyatakan prirotas beragama zaman Kali ini adalah dana punia bukan upacara yadnya.

Apalagi upacara yadnya yang boros waktu, tenaga, dana maupun boros flora fauna sebagai bahan upakaranya. Kalau dana punia itu diarahkan pada pendidikan membangun suputra amatlah mulia. Karena Slokantara 2 menyatakan mendidik seorang suputra jauh lebih mulia dari seratus kali upacara yadnya.

Dalam kehidupan beragama Hindu dalam tradisi Bali bejudi saat ada upacara yadnya seperti sudah demikian mentradisi. Padahal menurut berbagai ketentuan susastra Hindu berjudi itu amat dilarang bahkan dinyatakan sebagai suatu kejahatan Apa latar belakang pada zaman dahulu setiap ada upacara yadnya umumnya ada judian. Apa mungkin berjudi saat upacara yadnya di areal jaba tengah Pura sebagai suatu metode untuk menuntun umat agar meninggalkan kebiasaan berjudi itu hilang atas panggilan nuraninya sendiri. Dengan adanya bandingan kegiatan rohani di Pura dan judi di jaba tengah atau jaba sisi. Dengan demikian umat dengan suka rela meninggalkan judi setelah terpanggil oleh kegiatan rohani di jeroan Pura. Tetapi kenyataan dewasa ini sudah tidak sesuai, karena nyatanya berjudi itu terus dilangsungkan dan tidak begitu surut. Untuk tidak mengotori kegiatan upacara yadnya di Pura sebaiknya judi dalam segala bentuknya ditiadakan. Demikian juga kebiasaan menipu sepertinya saat berkembangnya industrialisasi dalam berbagai aspek kehidupan mereka yang memiliki niat nipu sepertinya mendapat peluang empuk. Mereka menipu dengan menggunakan perkembangan industrialisasi .Ada yang menipu masyarakat dengan menjual makanan yang diisi zat kimia berbahaya. Hal itu dilakukan demi keuntungan yang berlipat lipat. Ada juga yang menipu dengan mempermainkan timbangan suatu barang dagangan demi keuntungan. Penipuan juga dilakukan dengan menipu kemasan barang dagangan. Barang dagangan dengan kemasan yang antara label luar dan isi dalamnya tidak sesuai. Inipun menipu pembeli demi keuntungan pribadi. Ada sayuran yang kelihatannya hijau mulus karena disemprot pembasmi hama berisi lem prekat. Dengan lem itu pembasmi hama itu akan tetap lengket di sayur meskipun sudah dicuci.

Ada sementara oknum birokrat akan berkerja cepat kalau sudah menerima suap. Oknum yang bertugas dalam suatu birokrasi sudah mendapat gaji sebagaimana mestinya. Kalaupun ada suatu biaya yang harus dipungut dari masyarakat yang berurusan itupun sudah ada ketentuan oleh institusi birokrasi bersangkutan.Tugas oknum yang berada di birokrasi tersebut adalah melayani masyarakat yang berurusan dengan birokrasi di institusi bersangkutan. Tidak banyak oknum yang bertugas di birokrasi itu yang memiliki komitmen sebagai pelayan masyarakat. Yang sering terjadi adalah masih banyak oknum birokrat yang mau bekerja kalau sudah diberi suap oleh masyarakat yang berurusan. Secara ekonomi masyarakat mendapat beban ekonomi dan juga ada beban psikologis.

Kalau tidak punya koneksi pribadi di jajaran birokrasi mereka sulit mendapat pelayanan prima kalau tidak mau memberi suap pada oknum birokrat. Dengan tradisi suap baru mendapat pelayanan, hal ini menimbulkan beban ekonomi dan beban psikologis. Sebagai contoh dalam proses mensertifikatkan tanah warisan benar-benar amat sulit dalam pratiknya. Penerima suap seperti inilah yang harus dihukum berat oleh negara.
posted by I Made Artawan @ 21.49   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas