Menuju Hidup Bersama dan Bersahaja Belakangan kian banyak orang Bali menelusuri kawitan-nya. Penelusuran asal-muasal leluhur, menjadi sesuatu yang penting. Bahkan, agama mengamanatkan agar umat percaya pada leluhur -- seperti yang tertuang dalam Panca Sradha. Seiring dengan itu, mulai banyak umat yang menghimpun diri dalam sebuah paguyuban atau perkumpulan warga-warga. Apabila diidentifikasi, di Bali terdapat sekitar 29 warga. Lalu, apa sisi positif dan negatifnya? ----------------------------------------------------- Sekjen Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Prof. Dr. Gede Pitana mengatakan, pencarian kawitan sangat baik, karena itu menyangkut identitas orang Bali. Identitas orang Bali pada intinya hormat kepada leluhur. Penghormatan kepada leluhur sudah diamanatkan oleh agama melalui konsep Panca Sradha, yang salah satunya percaya kepada leluhur. Pencarian kawitan juga merupakan pelestarian nilai-nilai lama yang terkandung dalam kekawin Ramayana -- ''Gunamanta sang Dasaratha, weruh sira ring Weda, bakti ring dewa, tarmalupeng pitra puja, masih ta sireng swagotra kabeh.'' Salah satu bait kakawin itu mengingatkan kepada orang bahwa selain bakti kepada Tuhan mesti ingat kepada leluhur atau kawitan. ''Karena itu pencarian dan penghormatan kepada Batara Kawitan sangatlah positif, dan memang agama mengajarkan hal itu,'' kata Prof. Pitana yang Kadiparda Bali ini. Dikatakan, secara sosiologis Bali akan menjadi sangat kuat didukung oleh banyak simpul budaya. Paling tidak ada enam simpul budaya di Bali yakni desa adat, warga (dadia, panti, paibon, dll.), subak, pemaksan, sekaa-sekaa, dan subak abian. Keenam pilar ini menghidupkan dan menumbuhkembangi kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali diimplementasikan melalui simpul-simpul tersebut. Bagaimana memaknai? Pitana mengatakan, harus diingat orang Bali memiliki identitas berganda. Di satu sisi seseorang terlibat dalam profesinya, terjun ke dalam desa adat ia akan menjadi krama adat atau krama desa. Dalam konteks ini muncul istilah konsep sesana manut linggih dan linggih manut sesana. Apakah perkumpulan warga atau trah ini tidak menimbulkan eksklusivisme? Pitana mengatakan, semua simpul budaya itu sesungguhnya eksklusif. Tetapi, eksklusivisme itu diharapkan tidak justru menimbulkan arogansi atau menihilkan orang lain. Yang mesti dipentingkan, menurutnya, adalah koeksistensi atau hidup bersama dalam hubungan yang harmonis, sehingga mencapai hidup yang bersahaja antar-soroh di Bali. Dengan adanya perkumpulan warga, kata Pitana, akan memudahkan pembinaan baik dalam bidang keagamaan maupun yang lain. Sungguh sangat menguntungkan pihak pemerintah atau lembaga keumatan dalam membina masyarakat melalui simpul-simpul budaya. Jadi, menurut Pitana, masyarakat tak usah khawatir dengan adanya paguyuban-paguyuban. Mengingat pentingnya sebuah paguyuban, katanya, warga Pasek membentuk Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) yang resmi berdiri 17 April 1951. Tujuannya, kata Pitana, untuk melakukan penyadaran kepada warga betapa pentingnya leluhur. Leluhur itu merupakan Dewa sekala yang dalam kitab suci disebut Maitri Dewa Bawa atau Pitra Dewa Bawa. Di samping itu pembentukan MGPSSR ini bertujuan untuk melakukan pemeliharaan, perbaikan dan pelaksanaan aci di pura-pura milik warga Pasek. Di samping itu, untuk meningkatkan solidaritas sesama umat khususnya melalui umat yang ada dalam satu trah. Hal itu menjadi penting, karena munculnya kerta negara dan kerta nusa diawali dengan kerta warga. Kesejahteraan negara dan kesejahteraan suatu wilayah dapat diukur dari kesejahteraan warganya. Sampai saat ini, kata Pitana, di Bali teridentifikasi sekitar 29 warga, di antaranya Bujangga Wesnawa, Pasek, Pande, Pulasari, Kresna Kepakisan, Arya Kepakisan, Dauh Bale Agung, Sidemen, Pasek Kayu Selem, Tangkas Kori Agung, Wang Bang Pinatih, Karang Buncing, dll. Dilihat dari segi sosiologis, peran warga sangat kuat di Bali. Hal itu dapat dari keberadaan pura-pura warga, bukan pura kasta. Demikian juga pembuatan kajang dalam upacara pitra yadnya. Yang dibuat justru kajang warga, bukan kajang kasta. Tak Eksklusif Sementara itu, dosen Unhi Denpasar Wayan Budi Utama mengatakan tak masalah, jika pencarian silsilah keluarga hanya sebatas ingin tahu garis keturunan. ''Itu wajar-wajar saja,'' katanya. Tetapi, diharapkan pencarian garis keturunan itu tidak digunakan untuk jor-joran, atau mengeksklusifkan diri. Terlebih untuk tujuan penggalangan massa, sehingga muncul pengkotak-kotakan. Budi Utama sepakat dengan Pitana bahwa umat mesti ingat pada Batara Kawitan (leluhur). ''Itu memang diajarkan oleh agama Hindu melalui dasar agama Panca Sradha,'' katanya. Mantan Sekjen Parisada Pusat Dr. IB Gunada, M.Si. mengatakan, munculnya warga-warga di Bali tidak terlepas dari sejarah masa lalu. Ketika para arya datang dari Jawa, kehidupan pemerintahan di Bali memiliki pola tersendiri. Penguasa kerajaan bermukim di tengah-tengah namanya puri, sementara dikelilingi oleh warga-warga seperti pasek, pande, senggu, sangging, dll. Warga-warga tersebut diberikan peran sesuai dengan keahliannya dan bertanggung jawab atas tugas yang diamanatkan. Semua warga tersebut hidup saling berangkulan dan saling memerlukan satu sama lain dalam kerangka untuk mencapai kesejahteraan. Munculnya fenomena dalam mencari jejak leluhur menemukenali asal-usul keluarga, kata IB Gunada, tidak masalah. Terlebih mereka mampu memerankan lebih profesional apa yang pernah diperankan oleh leluhurnya. Tetapi, jika itu sebatas nostalgia, dan lebih-lebih fanatik tidak pada tempatnya, justru perlu dipertanyakan. Dulu, kata Gunada, orang diberi ''gelar'' karena seseorang memang betul-betul berperan dan bermakna bagi masyarakat. Pemberian peran itu sesungguhynya untuk menciptakan keamanan, kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup. Sumber : http://www.balipost.com/balipostcetaK/2003/7/23/topik.html
|