Sanghyang Jaran sebagai salah satu bentuk penyampaian rasa syukur kepada Sanghyang Jaran Gading. Tarian ritual ini biasanya dimainkan pada hari-hari tertentu bersamaan dengan upacara di pura setempat, namun tarian yang mengandung nilai-nilai tradisi tinggi bagi masyarakat setempat tersebut saat ini sudah mulai jarang dimainkan. BILA sudah sampai nadi, dalam Sanghyang Jaran, tahap selanjutnya adalah menyanyikan lagu "Dewa Bagus". Liriknya lagunya, "dewa bagus dong ambil kudane mangkin/ kuda sampun mecancang/ mecangcang di kepuh randu". Jika lagu ini sudah berkumandang, penari yang sudah kerauhan akan berjingkrak-jingkrak mendekati kubangan bara api yang telah disiapkan. Begitu sanghyang menerjang api dan menendang ke sana ke mari, koor lagu kian bersemangat mengumandangkan, "kebo jambul bangun lemah galang kangin/ ngetok tangluk magrobogan ngetok tangluk magrobogan/ makekekes makekipu". Sementara itu koor kecak yang dicelotehkan puluhan pria ikut memberi semangat kepada Sanghyang Jaran. Sebuah lagu yang berjudul "Tut Pekatik Cangcang" dinyanyikan berikutnya agar sanghyang tidak lagi mengamuk dan berhenti bermain api. Kuda-kudaan yang terbuat dari rotan, kayu atau kulit sapi -- biasanya disakralkan -- kemudian dikenakan kepada penari. Sanghyang Jaran memekik girang dan menari bebas seirama dengan lagu koor wanita dan ritme koor kecak para partisipan pria. Sepanjang lagu dan kecak dikemandangkan, penari sanghyang akan terus bergerak yang kadang-kadang jauh di luar arena pentas, seolah-olah mengejar atau mengusir sesuatu. Biasanya para penonton mengikuti dari belakang. Pementasan Sanghyang Jaran cukup menegangkan. Api yang ditendang-tendang penari sanghyang dan berloncatan kian ke mari sering membuat penonton waswas dan takut. Penonton yang kedapatan sedang merokok akan dikejar Sanghyang Jaran, rokoknya ditepis dan diinjak-injak hingga apinya tak menyala lagi. Jarang ada penonton yang berani menunjukkan api bila ngiring Sanghyang Jaran. Upacara terakhir pada kesenian Sanghyang Jaran adalah ngaluwur yaitu ritual mengembalikan roh suci sanghyang ke alam asalnya. Tahap ini juga masih diiringi dengan lagu-lagu dan jalinan suara kecak. Setelah mendapat percikan tirta (air suci), penari sanghyang segera sadar dan merasakan tubuhnya letih. Ia kembali menjadi dirinya sendiri, orang biasa. Keberingasan dan kelincahannya seketika sirna.
|