Pura Kentel Gumi terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung itu memiliki peran strategis untuk mengamankan jagat Bali -- Indonesia pada umumnya -- dari berbagai marabahaya. Dengan posisinya yang berada di tengah-tengah (pusaran), Pura Kentel Gumi selain merupakan pusat dari Pura-pura yang ada di Bali, bahkan Jawa, juga merupakan sumber penghidupan masyarakat Bali. Bagaimana cikal-bakal Pura Kentel Gumi ini? enam bulan sekali, ribuan umat Hindu pedek tangkil memadati Pura Kentel Gumi. Bukan saja umat pengempon/pengeling pura yang berasal dari Banjarangkan dan sekitarnya, melainkan dari seluruh pelosok Bali. Mereka berduyun-duyun datang ke pura yang pada zamannya (abad XI-red) dikuasai para raja Bali itu, untuk bersembahyang serangkaian dengan piodalan. Piodalan di pura ini berlangsung pada Weraspati Umanis Dunggulan, setiap 210 hari sekali. Pura Kentel Gumi juga kerap dimanfaatkan umat untuk meresmikan sebuah perhimpunan/kelompok. Salah satunya adalah peresmian Yayasan Sabha Hindu Bali yang terbentuk tahun 2005 lalu. Bukti bahwa Pura Kentel Gumi merupakan pusat pura dan sumber penghidupan masyarakat Bali, terlihat dari keberadaan pelinggih-pelinggih atau pura-pura besar yang ada di Bali dan Jawa yang dibangun di pura tersebut. Di antaranya, Pura Sadha (Badung), Pura Gunung Agung, Pura Pengayengan Batara Besakih (Meru Tumpang 9, Karangasem), Batur Ulundanu (Bangli), Masceti (Gianyar), Pengayengan Pura di Majapahit dan lainnya, termasuk pelinggih Ratu Arca. ''Sejumlah pura ada di sini. Makanya Kentel Gumi diartikan sebagai pusat atau sumber dari segalanya,'' ungkap pengeling pura Cokorda Gde Oka Suryanegara. Meski demikian, Pura Kentel Gumi tetap tidak dapat dipisahkan dari satu-kesatuan Tri Kahyangan (Besakih, Batur dan Kentel Gumi). Setiap desa pakraman di Bali selalu memiliki Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem. Begitu juga dalam konteks Bali, Pura Kentel Gumi merupakan Pusehnya, Besakih merupakan Dalem dan Batur sebagai Pura Desanya. Pura yang berdiri di atas lahan seluas lima hektar itu terdiri atas dua bagian. Awalnya, pura tersebut hanya berupa gedong dan bale pesamuan yang berada di bagian Maos (Mas) Pahit. Yang pertama kali bermukim di bagian itu adalah Mpu Kuturan (abad XI). Mpu Kuturan bermukim dan kemudian membentuk sekaligus mengembangkan berbagai peraturan. Entah kenapa, pada bagian itu Mpu Kuturan tidak melengkapi pura tersebut dengan Padmasana. Baru pada zaman Raja Kresna Kepakisan pura itu dilengkapi dengan Padmasari dengan lokasi di bagian selatan Maos Pahit. Juga dilengkapi dengan Pura Sadha, Gunung Agung, Besakih dan lainnya sebagaimana disebutkan di atas. Meski demikian, kedua lokasi itu selalu bersatu padu dalam setiap pelaksanaan upacara. Setelah itu, seiring dengan perkembangannya, keberadaan pura itu dikuasai oleh raja-raja yang saat itu berkuasa di Bali. Terutama Kerajaan Klungkung (pergeseran Kerajaan Gelgel) sebagai pusat kerajaan di Bali pada zaman itu. Setelah Kerajaan Klungkung runtuh pada tahun 1677 (pertengahan abad XVII), kekuasaan di Bali selanjutnya terpecah belah. Tidak lagi terletak di bawah satu pimpinan (Kerajaan Klungkung). Begitu juga dengan Pura Kentel Gumi, bukan hanya dikuasai Raja Klungkung, tetapi juga pernah dikuasai Raja Gianyar. Sumanggen Keunikan lain Pura Kentel Gumi yakni keberadaan sebuah bangunan sumanggen. Bangunan tersebut biasanya terdapat di puri yang dimanfaatkan untuk upacara pitra yadnya maupun manusa yadnya. Dituturkan Cok Suryanegara, keberadaan sumanggen itu sendiri berawal dari seorang putri Raja Klungkung yang sakit. Sang putri menjalani pengobatan pada Dukuh Suladri di Tamanbali, Bangli. Selama dalam pengobatan, sang putri menetap di Bangli. Hingga akhirnya jatuh cinta dengan seorang putra Dukuh Suladri. Lama menjalin asmara, putri raja dan putra dukuh dinikahkan. Sebagaimana layaknya suami-istri umumnya, putri dan putra dukuh silih berganti mengunjungi mertua masing-masing. Hingga suatu saat, dalam perjalanan menuju Bangli (persisnya di depan Pura Kentel Gumi) sang putri mengalami keguguran. Mayat sang bayi kemudian disemayamkan di sekitar pura tersebut (tentu dengan kondisi belum sebagus sekarang). Seorang pengamat spiritual yang juga penyusun buku-buku tentang sejarah pura Dewa Ketut Soma menambahkan, keberadaan sumanggen itu kemungkinan ada kaitannya dengan konsep tata ruang puri. Mengingat, Pura Kentel Gumi dikuasai oleh raja-raja yang berkuasa. Sebagaimana konsep puri, kata Dewa Soma, setiap areal puri harus dilengkapi dengan bangunan sumanggen. ''Terkait keberadaan sumanggen di Kentel Gumi saat ini, fungsinya ya... sebagai tempat upakara. Kalau ada tamu penting yang pedak tangkil atau ada kegiatan upacara, bangunan itu juga bisa dimanfaatkan untuk penyimpanan sanganan,'' katanya. Pantangan bagi yang Berniat Jahat Kalau punya pikiran yang macam-macam, jangan coba-coba masuk ke areal Pura Kentel Gumi. Sebab, setiap pikiran jahat itu akan segera terdeteksi dan tidak akan mudah untuk menyembunyikannya. Dari penuturan pegempon/pengeling, Pura Kentel Gumi sangatlah tenget. Siapa pun yang berbuat curang, akan sangat mudah diketahui apabila nunasin (mohon petunjuk) di pura yang notabene tempat berstananya para dewa-dewa itu. ''Jangan coba-coba berani bersumpah di pura ini (Kentel Gumi-red) kalau memang melakukan kesalahan. Lebih baik mengakui kesalahan itu terlebih dahulu, karena sumpah yang dilakukan di sini sangat manjur,'' sebut seorang pengempon pura yang ditemui saat kerja bakti membersihkan areal pura usai tawur pakelem beberapa waktu lalu. Diceritakan, beberapa tahun silam ada sesorang yang berupaya melakukan niat jahat di pura tersebut. Orang itu mencoba membakar atap bale agung yang terbuat dari alang-alang. Meski terbuat dari bahan yang sangat mudah terbakar, upaya jahat orang itu tidak kesampaian, karena api tidak menjalar ke mana-mana. Karena niat jahatnya tidak terlaksana maksimal, orang itu pun putus asa. Dalam ketidaksadarannya, justru dia mengakui perbuatannya di hadapan warga. Sehingga warga tidak lagi bersusah payah mengejar orang yang berniat menghanguskan pura tersebut. ''Kalau dibilang kejadian aneh, sangat banyak di sini. Tetapi tidak usahlah diceritakan agar tidak menimbulkan kesan yang tidak-tidak,'' tambah Cok. Suryanegara. Kata Suryanegara, tidak ada pantangan bagi siapa pun yang ingin masuk, apalagi bersembahyang di Pura Kentel Gumi. Dengan catatan, tidak punya niat jahat dan berperilaku serta berpenampilan yang wajar. Tawur Pakelem dengan Upakara Nyanggar Tawang Dari tahun ke tahun, perkembangan selalu diikuti dengan berbagai kejadian. Berbagai peristiwa yang mengancam keberadaan Bali kerap terjadi. Bom Bali I dan II, perkelahian antarbanjar dan berbagai kerusuhan serta kejadian lainnya, muncul silih berganti mewarnai kehidupan warga di pulau seribu pura ini. Makanya, untuk mengembalikan jagat Bali sebagai alam yang bersih dan suci tanpa noda, untuk pertama kalinya Pemerintah Propinsi Bali menggelar upacara tawur pakelem, Rabu (29/3) lalu. Hal itu dilakukan sebagai upaya penebusan segala kebingaran yang terjadi saat ini. Upacara dengan upakara nyanggar tawang itu pun dipusatkan di Pura Kentel Gumi. Tentunya dengan berbagai pertimbangan, yakni Kentel Gumi yang notabene sebagai sumber pura dan pusat penghidupan serta sebagai pusat berstananya sebagaimana tercermin dari 25 arca yang terdapat dalam pelinggih ratu arca. Arca-arca itu sebagai perwujudan para dewa seperti Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, Durga, Ghanapati, Lingga dan banyak lagi patung-patung yang tidak dapat dinyatakan wujudnya. Tawur pakelem menggunakan sarana kerbau, kambing, angsa dan bebek. Untuk di Pura Kentel Gumi sendiri, sarana pakelem itu dikubur hidup-hidup di dalam areal pura. Beda dengan pakelem lain yang dirarung (dihanyut) di tengah laut. ''Itu merupakan perlambang kelahiran yang dikembalikan dengan segala kekurangan dan kelebihan ke tempat asalnya. Kegiatan itu juga merupakan bagian dari pencarian jati diri Bali untuk melakukan penyempurnaan,'' tandas Cokorda Gde Oka Suryanegara. Selain di Kentel Gumi, tawur pakelem juga dilaksanakan secara serentak di Pura Besakih dan Angkasa Pura, Tuban. Dirangkai dengan upacara tawur kesanga serangkaian pengerupukan menjelang hari raya Nyepi. Upacara itu di-puput tiga sulinggih yaitu, Pedanda Siwa dari Dawan Kaler, Pedanda Budha dari Buda Wanasari Karangasem dan Sri Mpu Pujangga dari Keramas Gianyar. |