Penipuan diri atau pengelabuan terhadap persepsi khalayak —yang juga merupakan ekspresi dari ketidak-jujuran ini— membuktikan kepada kita betapa lemah dan rapuhnya manusia di hadapan Maya, ilusi kosmis; sementara pada saat yang bersamaan, ini juga membuktikan betapa sakti dan digjayanya Maya bagi kita.
Meloloskan-diri dari Cengkeraman Maya? Anda semua terhipnotis oleh Maya dan Avidya (kebodohan)dan Anda menerima dunia tak-nyata ini sebagai suatu realitas yang utuh.~Sri Swami Sivananda. Mudahnya bertekuk-lutut di hadapan Maya. Sementara kita menyukai sesuatu ‘yang baru’, kita takut, merasa waswas, menatap dengan penuh rasa curiga pada ‘yang benar-benar baru’. Sebetulnya, kita tidak benar-benar menyukai ‘yang benar-benar baru’. Yang kita sukai selama ini sebetulnya hanyalah yang kita ‘sangka’ baru, yang kita ‘anggap’ baru —hanya lantaran model atau bentuknya baru, kemasan atau gayanya baru, coraknya baru, padahal tidaklah benar-benar baru. Ia hanya modifikasian dari yang sudah dikenal sebelumnya. Yang ‘benar-benar’ baru adalah yang ‘tidak dikenal’, yang selama ini tidak akrab dengan kita, sepenuhnya asing bagi kita. Dan ini, memang seringkali menakutkan. Kenapa? Karena, bagi kebanyakan dari kita, di dalam yang ‘benar-benar’ baru terbentang hamparan luas ketidak-pastian. Ketidak-pastian inilah yang kita takuti, cemaskan, menimbulkan kekhawatiran. Ketimbang bersua dengan sesuatu yang ‘benar-benar’ baru, kita merasa merasa nyaman terperangkap dan terkurung di antara yang usang. Bahkan, sekedar untuk menambah kenyamanan kita itu, kita mengutak-atik yang usang, memodifikasinya dan mengemasnya sedemikian rupa, sehingga kelihatan baru. Itulah yang dilakukan oleh kebanyakan dari kita selama ini bukan? Menyangka —untuk kemudian menganggap— yang usang sebagai yang baru, merupakan bukti dari betapa mudahnya kita bertekuk-lutut di hadapan Maya, di hadapan ilusi dan delusi; membuktikan betapa gampangnya kita terkecoh untuk kemudian mengelirukan sesuatu sebagai yang lainnya. Ia juga membuktikan kalau kita hanya punya potensi yang sangat kecil untuk bisa bertemu dengan Kesujatian Itu. Untuk bisa benar-benar berhadapan, bertatap-muka dengan yang ‘benar-benar’ baru dibutuhkan keberanian, dibutuhkan ketahanan dari “shock” yang diakibatkan oleh perjumpaan itu, dibutuhkan suatu sikap-mental yang menyukai penjelajahan dan oleh karenanya bisa dengan mudah melepaskan yang usang. Hanya mereka yang memiliki kualifikasi-kualifikasi inilah —yang senyatanya tidak banyak— punya kemungkinan dan peluang besar untuk berjumpa dengan yang ‘benar-benar’ baru. Tanpanya, Anda boleh saja menjelajah jagat-raya, namun tetap saja menemukan yang itu-itu juga, yang usang. Apakah yang disebut Maya?* Untuk memperoleh gambaran yang sedikit lebih jelas lagi tentang apakah yang disebut dengan Maya itu, berikut dicuplikkan dan diinterpretasikan sebuah esei dari kitab “May I Answer That?” karya Sri Swami Sivananda. Apa yang sesungguhnya ‘bukan’, namun ‘tampak seakan-akan ...’, adalah Maya. Yang menyebabkan kebingungan atau moha adalah Maya. Maya adalah suatu tampakan. Ia kemiripan. Ia merupakan kekuatan ilusif dari Tuhan. Ia adalah pencipta dari semesta material ini. Ia memproyeksikan alam ini bagi Lila Tuhan. Pikiran, kecerdasan, tubuh dan sensasi-sensasi indriawi adalah bentuk-bentuknya. Ia adalah enerji atau aspek keibuan dari Tuhan. Seperti halnya panas tak terpisahkan dari api, dingin dari es, Maya tak terpisahkan dari Brahman. Ia tergantung pada Brahman. Maya punya potensi-potensi yang tiada terhitung banyaknya. Soliditas dari batu adalah satu kekuatan Maya. Fluiditas dari air adalah kekuatan lainnya dari Maya. Teja merupakan kekuatan membakarnya. Bayu adalah kekuatan bergerak dari Maya. Akasha adalah kekuatan ruang dari Maya. Anda tahu bahwa Anda akan mati, tapi Anda lebih suka menyangka kalau Anda akan hidup selamanya. Ini Maya. Anda tahu bahwa dunia ini penuh derita, namun Anda memilih untuk mengukuhi objek-objek rapuh ini dan tak mau melepaskannya. Ini Maya. Anda tahu bahwa tubuh manusia terbuat dari segala macam kekotoran, daging, tulang-belulang, air seni dan tahi, namun masih saja Anda terlena dalam buaian nafsu. Ini juga Maya. Maya menyebabkan kemegahan palsu dan menjebak Jiva (jiwa individual) yang dalam kegelapan. Ia melakukan suatu pekerjaan “electroplating” kecil. Manusia terjebak di dalamnya. Terperangkap dalam lingkaran kelahiran dan kematian. Maya bukan benar dan bukan pula salah. Ia bukan nyata dan bukan pula tak-nyata. Ia tidak serealistis Brahman; menghilang ketika seseorang telah mencapai Pengetahuan Sejati. Ia tidak nyata, tak-ubahnya seorang anak laki-laki dari wanita mandul atau cula kelinci, namun terasa kehadirannya. Maya adalah sejenis sulapan. Anda terheran-heran selama si pesulap tidak tampak. Segera setelah si pesulap diketahui, semuanyapun di mengerti sebagai tak-nyata; kekagumanpun sirna seketika. Ketika si pemikat menghipnotis seluruh audiens, semua orang percaya bahwa orang itulah yang mengangkat tambang itu ke udara. Semua orang melihat bahwa si pemikat melahap sebuah pedang panjang dan memotong tubuh dari seorang kacung di dalam kotak. Demikian juga halnya, kalian semua terhipnotis oleh Maya dan Avidya (kebodohan) dan kalian menerima dunia tak-nyata ini sebagai suatu realitas yang utuh. Bila Anda menyadari Brahman, kerja Maya yang mengagumkanpun berakhir. De-hipnotis-lah diri Anda dengan cara memperoleh Brahma-Jñana. Maka dengan sendirinya Anda akam mengerti permainan sulap megah dari Maya ini. Tiga Corak Utama Ke-Maya-an. Di dalam Sankhya, Ke-Maya-an disebut Maya-tattwa. Disamping punya keturunan langsung yang disebut Pradhana dan keturunan lanjutan Tri Guna, ia juga juga mempunyai tiga corak utama. Tiga corak utamanya adalah: Anitya, Anatha, dan Dukha. Nah, ketiga corak utama inilah yang mesti dipahami dan disadari betul tentang Ke-Maya-an ini. Inilah pijakan awal dari pendamba Atma-tattwa. Secara terbatas, dalam kesempatan ini marilah kita mencoba untuk mendekatkan pemahaman kita terhadap ketiga corak ini. Anitya; adalah kesementaraan, ketidak-kekalan, yang senantiasa berubah-ubah (gam) bergerak secara aktif dan dinamis. Sebagai dinamika, ia juga berkreasi. Apa yang ‘ada’ menurut amatan kita, adalah kreasinya. Ia juga proses dari segala kreasi maupun penciptaan. Kekuatannya, memungkin penciptaan berlangsung. Bilamana semuanya ajeg dan tak dapat berubah, apa yang mungkin tercipta dari padanya? Demikianlah filosofinya; semuanya berubah dan berubah, tanpa perubahan tak ada penciptaan, tak ada kreasi, dinamika sirna. Anatha; tak ada inti yang kekal dan tetap ajeg sepanjang masa. Masapun berubah dalam suatu alur yang teratur, yang juga kita kenal dengan Mahakala. Mahakala melahap semuanya. Mahakala disebut-sebut sebagai putra Siwa. Adakah yang terbebas daripadanya? Ada, itulah Siwa, itulah Wishnu dan juga Brahma. Proses butuh waktu; waktu berjalan seiring penyelesaian proses. Usainya suatu proses, terhentinya dinamika. Kondisi inilah yang disebut pralina. Bilamana telah ter-pralina semuanya, tentu tiada lagi yang tersisa. Inilah kondisi Anatha. Semua telah ter-pralina, tiada lagi inti; yang ada hanyalah ketiadaan yang tanpa inti itu. Dukha; yang mengecewakan, tak patut dipegang sebagai suatu yang benar. Ia hanya melahirkan derita. Kenapa? Karena ia tak ajeg, tak mungkin dikukuhi, bersifat sementara. Iapun tanpa ‘inti yang kekal abadi’, ia hanyalah satu momentum dari suatu proses nan mahapanjang. Melekatinya, mengharapkannya untuk dapat dikukuhi, mengombang-ambingkan kita di samudera “suka—duka—lara—pati”. Itulah coraknya yang hakiki. Ke-Maya-an dan tiga coraknya ini, mengusai Mayapada —alam (loka) dimana segala bentuk ciptaan berada. Terhenti Proses Agung Penciptaan dan Pemeliharaan, dipastikan oleh Pralina. Manifestasi-Nya, dalam hal ini, kita sebut Siwa. Beliau memiliki kekuatan peniada; pengembalian segala unsur dasar ke asalnya, pe-recycle. Shakti, adalah sebutan untuk kekuatan-Nya itu. Ia juga dipersonifikasikan sebagai Durgha. Adakah Anda melihat keterkaitan antara faham Siwaistik dan Buddhistik di dalamnya? Nah, inilah salahsatu faham mendasar dari filosofi Siwa-Buddha atau Hindu-Buddha Nusantara. Inilah yang kini kita sebut sebagai Hindu Indonesia. Hindu dengan kekhasannya, yang tak bisa persamakan dengan Hindu yang dianut dimanapun di belahan bumi ini. Hendak meloloskan-diri dari cengkeraman Maya? Gagak merupakan burung hitam yang menjadikan dirinya khas, lantaran suara seraknya yang sumbang dan menyebut-nyebut namanya sendiri. Nama “gagak” itu sendiri —yang di Bali disebut “goak”— diambil dari suara serak nan sumbangnya itu. Masyarakat Bali, umumnya mengenal nasehat orang-orang tua yang kurang-lebih berbunyi: “Hendaknyalah kamu tidak menamai diri sendiri seperti burung gagak itu”. Memuji diri dan menunjukkan diri agar kelihatan baik di mata orang-orang, atau mengatakan bahwa diri baik kepada orang agar disangka benar baik, merupakan cara-cara negatif yang lumrah dilakukan banyak orang untuk membentuk citra-dirinya di mata orang lain. Tak banyak yang melakukannya secara positif, yakni dengan memperbaiki diri atau menjadikan diri benar-benar baik, yang bukan hanya sebatas penampilan atau bentuk-bentuk unjuk diri lainnya. Di dalam kehidupan yang kian penuh persaingan di berbagai sendi-sendinya, cara negatif menjadi tampak lebih menjanjikan. Dan lantaran samarnya kesemuannya dan terasa instannya hasil dari bentuk-bentuk penipuan-diri ini, banyak orang yang yang mempraktekkannya, sehingga menjadikannya lumrah. Namun mereka yang mendambakan kesujatian dan kebaikan itu sendiri —yang bukan sekedar agar kelihatan dan disangka baik— tak akan pernah sudi melakukan penipuan-diri dan penipuan khalayak seperti ini. Yang benar-benar baik tak perlu ingin kelihatan atau disangka baik, atau bahkan tak butuh citra-diri itu samasekali. Mengupayakan agar kelihatan atau disangka baik, hanya merupakan bentuk-bentuk penipuan-diri serta ketidak-jujuran, yang hanya kian menjauhkan seseorang dari kebaikan yang sebetulnya ia inginkan. Walaupun kelihatannya demikian, pada dasarnya, citra-diri tidaklah perlu dibentuk. Dirilah yang perlu dibentuk. Citra-diri secara otomatis akan mengikutinya, terlepas dari apakah orang-orang mengetahuinya atau tidak. Dengan kata lain, pembentukan citra-diri adalah pembentukan diri ini sendiri adanya. Kita tak perlu meniru jurus si gagak. Mengawali dengan “melihat ke dalam”. Merasa berhasil memperdayai persepsi banyak orang, lebih merangsang seseorang untuk terus melakukan penipuan demi penipuan-diri. Cepat atau lambat, seperti juga orang-orang yang ditipunya, iapun dibuat percaya pada tipuannya sendiri. Alhasil, tanpa sepenuhnya ia sadari, ia malah menjadi mangsa dari tipu-dayanya sendiri. Dan bilamana musibah ini benar-benar terjadi pada seseorang, ini menjadi bukti sangat otentik dari ungkapan: “Menipu orang lain sama artinya dengan menipu diri sendiri”. Pengharapan akan pengakuan pihak-pihak luar atas keberadaan diri telah menggiring kebanyakan dari kita untuk memandang perlu membentuk citra-diri. Sebagai rentetan atau konsekuensi logisnya, kitapun dibuatnya merasa perlu mempertanggung-jawabkan setiap ucapan dan perbuatan kita ke luar, yang juga berarti merasa harus selalu mengarahkan perhatian ke luar. Padahal, dengan selalu mengarahkan perhatian ke luar, melihat ke luar, meniadakan kesempatan untuk melihat ke dalam diri sendiri. Tanpa pernah melihat ke dalam diri sendiri Anda tak pernah akan mengetahui diri Anda sendiri. Dan tanpa mengetahui diri Anda sendiri, bagaimana Anda akan memperbaiki diri Anda?; bagaimana mungkin Anda bisa benar-benar menjadi baik seperti yang Anda harapkan? Penipuan diri atau pengelabuan terhadap persepsi khalayak —yang juga merupakan ekspresi dari ketidak-jujuran ini— membuktikan kepada kita betapa lemah dan rapuhnya manusia di hadapan Maya, ilusi kosmis; sementara pada saat yang bersamaan, ini juga membuktikan betapa sakti dan digjayanya Mayamayakosha) yang selama ini kita sangka dan klaim sebagai diri kita, berasal daripadanya. bagi kita. Amat sangat sedikit manusia yang benar-benar bisa lolos dari cengkeramannya. Betapa tidak, kalau bahan-baku dasar yang membentuk jasmani berikut segenap indria dan perangkat mental-psikologis —yang sedemikian rumitnya— ini berasal daripadanya. Berbagai selubung maya ( Makanya, karena Maya tiada lain adalah Shakti-Nya, hendaknya kita jangan pernah berkhayal untuk bisa lolos dari cengkeramannya, tanpa restu dan anugrah-Nya. Hanya atas restu dan anugerah-Nya sajalah manusia bisa lolos dari cekeraman Maya. Lolos dari cengkeramannya, menempatkan siapapun di gerbang Kesujatian, Kasunyataan. Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita. Semoga kedamaian dan kebahagiaan menghuni kalbu semua insan. |