Ilmu kedokteran mengenal istilah ‘prenatal education’ untuk membentuk watak anak baik. Agama Hindu sebenarnya telah mengenal konsep itu dan memaknainya dengan ritual angerujakin dan pagedong-gedongan saat kandungan berusia tiga bulan dan tujuh bulan.
Guna membentuk perwatakan agar jabang bayi kelak lahir menjadi anak yang baik (suputra) dalam ilmu kedokteran modern dikenal istilah ‘prenatal education’--- pendidikan saat bayi dalam kandungan. Pasalnya, bayi sejak dalam kandungan diyakini memiliki insting dan semacam memori guna menampung berbagai pengalaman hidupnya selama dalam kandungan. Maka muncullah berbagai pantangan bagi orang hamil. Sebab dikhawatirkan apapun yang dipikirkan ataupun dilakukan ibu saat hamil akan mempengaruhi sang jabang bayi.
Prenatal education ala Bali dikenal dengan upakara angerujakin dan pagedong-gedongan. Prenatal education ala Bali ini tersurat dalam Lontar Mpu Lutuk Patiurip. Upacara angrerujakin merupakan salah satu bentuk pelaksanaan manusa yadnya untuk pembentukan janin di dalam kandungan dengan tujuan agar sang bayi memperoleh kerahayuan dan menjadi anak yang suputra. Dalam lontar Janma Prawerti ada disebutkan tentang hakikat upacara angrerujakin. Pada saat yoganya Sang Hyang Semara Ratih yang merupakan inti dari makanan dan minuman (sarining pangan kinum) itulah permata kesenangan atau kebahagiaan. Dari pertemuan kama bang dan kama petak akan menjadi manik dan masuk ke dalam rahim ibu lalu berstana di dalam kunda cucupu manik (smara tapatra) bernama Sang Hyang Manik Sri Nukir. Keberadaannya di sana hanya mengisap intinya sad rasa (sarining sad rasa). Karena itu hendaknya di bantu dengan sarana sad rasa. Itulah sebabnya dilaksanakan dengan angrerujakin (ngidam). Yang dimaksud dengan sad rasa adalah enam rasa seperti : amla (asam), ksaya (sepet), tikta (pahit), ktuka (pakeh/asin), madhura (manis), lepana (pedas).
Inilah sarananya: Semua jenis pepaya, buah-buahan, gadung, kecubung, cuka, madu, sepasang permata mirah, disertai dengan kelengkapan upakaranya. Kemudian manik di dalam kandungan diberi puja mantra oleh sang pendeta agar memperoleh kerahayuan, kesempurnaan dan panjang umur.
“Makna pagedong-gedongan adalah pembersihan atau pembentukan manusia yang suputra,” papar Jero Mangku Made Yatna Wiguna. Kala pagedong-gedongan tiga sasih (angerujakin ) ibu yang mengandung dibuatkan upakara pabyakala, panglukatan, dan dapetan 1 tanding. Setelah itu barulah si ibu makan sad rasa. “Penyampi istilahnya,” ujarnya.
Kemudian setelah berumur tujuh sasih (bulan) dibuatkan upakara pagedong-gedongan. Upakara ini terdiri dari sebuah gedung tiangnya dari tebu atau kayu sakti (kayu dapdap), dinding dari janur atau ron. Gedong simbolis daripada buana agung. Diibaratkan sang atman yang akan turun bereinkarnasi. Ada panyeneng, daksina, peras tulung sayut alit. Pengulap pengambeyan (peras pengambeyan) terdiri dari suci dan pejati, di surya dan sangggah kemulan.
Namun dibeberapa tempat pagedong-gedongan dilakukan dengan sarana upakara, pamarisudha yaitu byakala dan prayascita. Banten tataban yang berisi sesayut, pengambean, peras panyeneng dan sesayut pamahayu tuwuh. Di depan sanggar pemujaan, benang hitam satu gulung, kedua ujungnya dikaitkan pada dua dahan dadap, bambu daun talas dan ikan air tawar, ceraken (tempat rempah-rempah). Biasanya upacara ini dilakukan di didalam rumah, pekarangan di tempat permandian darurat yang disediakan khusus untuk upacara itu serta dilanjutkan di depan sanggar pemujaan (sanggah kamulan).
Pelaksanaannya, ibu yang sedang hamil itu terlebih dahulu dimandikan (siraman) diparisudha, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita. Lalu si ibu menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup. Tangan kiri suami memegang benang dan tangan kanannya memegang bambu runcing, lalu sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing si istri sampai air ikannya tumpah. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan, terakhir ditutup dengan panglukatan dan natab.
Upacara pagedong-gedongan ini meliputi tiga tingkatan yaitu nista, madya dan utama. Banten tingkatan nista terdiri dari, byakala, peras, daksina, ajuman, prayascita, pagedong-gedongan (gedong), sesayut pengambeyan atau sesayut pemahayu tuwuh. Madya, byakala, peras, daksinan, ajuman, gedong, sesayut tulus dadi atau yang lainnya, pulagembal. Utama, byakala, peras, daksina, ajuman, 2 buah banten suci, dewa-dewi, prayascita, bebangkit, panglukatan, gedong, caru di kayehan, beberapa jenis sesayut dan tataban seadanya Fungsi banten byakala adalah sebagai sajen yang yang ditujukan pada para Bhuta kala agar si ibu yang diupacarai dengan banten itu tidak diganggu dan rangkaian upakara berjalan dengan lancar. Sedangkan peras, daksina dan ajuman adalah sajen yang berfungsi sebagai banten prasaksi yang ditujukan pada Bhatara Surya agar beliau berkenan menyaksikan upakara dan memberikan rakhmat-Nya. Dan banten prayascita sebagai lambang pembersihan secara rokhaniah.
Banten itu juga dilengkapi pula dengan be bawang merah mentah, jahe, uyah, areng, kapur, awon, beluluk, sampyan dari daun andong, panyeneng lis dan air yang ditempatkan pada sangku. Tujuan banten caru ini adalah sebagai pemeliharaan dan pembersihan. Perlengkapan lain yang diperlukan dalam upacara ini yaitu benang hitam 1 tukel yang ujungnya diikatkan pada cabang kayu dadap, bambu buluh runcing (gelanggang), daun kumbang diisi air dan ikan sawah yang hidup yaitu belut, nyalian, ketam, seraken dibungkus dengan kain yang baru. Kedua cabang kayu dadap yang terikat benang hitam ditancapkan pada pintu gerbang (arah benang agar menuju pada pintu gerbang). |