Melasti ngarania ngiring prawatek Dewata anganyut aken laraning jagat papa klesa letuhing bhuwana, ngamet sarining amerta ring telenging segara. (Lontar Sang Hyang Aji Swamandala/Sunarigama) Maksudnya: Melasti namanya adalah meningkatkan bhakti pada Tuhan untuk menghilangkan penyakit sosial (laraning jagat), kekotoran diri (papa klesa) dan kerusakan alam (letuhing bhuwana) untuk mendapatkan sari kehidupan ditengah laut. Petikan teks dalam bahasa Jawa Kuno itu saya ambil dari Lontar Sang Hyang Aji Swamandala dan Lontar Sunarigama. Penggabungan pengertian Melasti dalam dua lontar tersebut akan dapat menjelaskan tentang konsep Melasti dengan lebih tepat. Upacara Melasti itu umumnya dilakukan oleh umat Hindu di Bali dalam desa pakramannya masing-masing. Upacara tersebut dilaksanakan oleh desa pakraman setiap tahun saat akhir Sasih Kesanga menurut tahun Candra dan bulan Cetra menurut tahun Surya. Tujuan utama dari upacara Melasti ini adalah untuk mengingatkan manusia agar terus-menerus meningkatkan baktinya kepada Tuhan melalui berbagai manifestasinya (Prawatek Dewata). Tujuan bakti kepada Tuhan itu untuk mendatangkan kekuatan suci dalam diri umat. Kekuatan suci itu untuk didayagunakan mengatasi penyakit sosial yang disebut laraning jagat, kenestapaan individual dan kerusakan alam yang disebut letuhing bhuwana. Tiga persoalan utama inilah yang harus selalu diupayakan oleh desa pakraman untuk menjaga kesucian desanya. Suatu desa disebut suci apabila penyakit sosial, kenestapaan individual dan kerusakan alam tidak marak dan selalu dapat diatasi dengan baik. Upacara Melasti dilakukan setiap tahun adalah sebagai suatu peringatan berulang-ulang dalam wujud ritual sakral. Tujuannya agar manusia itu semakin sadar bahwa setiap hari mereka berhadapan dengan tiga persoalan hidup tersebut. Ancaman penyakit sosial, penyakit individual (papa klesa) dan kerusakan alam harus menjadi pekerjaan sehari-hari manusia untuk terus-menerus mencegah dan mengatasinya. Kesenjangan sosial sumber penderitaan umat manusia yang semakin mengancam. Kesenjangan itu semakin maraknya kemiskinan di bawah gerlapnya mereka yang kaya. Mereka yang kaya tidak hirau pada yang miskin. Inilah yang disebut kemiskinan struktural. Mereka yang kuat berkuasa membuat kebijakan dengan cara bermanis-manis, tetapi akibatnya membuat panasnya kehidupan rakyat. Yang pandai memperbodoh mereka yang sudah bodoh. Hukum tidak menegakkan keadilan. Kekuasaan dan birokrasi tidak untuk melindungi dan melayani rakyat banyak. Kekuasaan dan birokrasi lebih banyak untuk melindungi dan melayani mereka yang kuat. Desa pakraman hendaknya berusaha terus-menerus bersama-sama para anggota krama untuk mengatasi penyakit sosial itu secara maksimal. Desa pakraman seharusnya memiliki program yang aktual untuk mencegah munculnya penyakit sosial di desa pakramannya. Dalam menyusun program tersebut desa pakraman dapat minta bantuan para ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing. Bantuan dana yang didapatkan dari masyarakat umat maupun bantuan pemerintah janganlah dihabiskan untuk ritual dan untuk fisik pura semata. Dana tersebut hendaknya digunakan untuk mengembangkan berbagai potensi desa pakraman untuk menjaga tegaknya kesucian setiap desa pakraman di Bali. Pemujaan kepada berbagai manifestasi Tuhan hendaknya benar-benar dijadikan kekuatan untuk membangun gerakan spiritual untuk diaktualkan dalam kehidupan sosial secara luas. Kekuatan rohani itu harus mampu membangun kesadaran sosial untuk secara bersinergi mengatasi penyakit sosial, individual, dan kerusakan alam. Kekuatan spiritual itu harus mampu membangun kehidupan politik, birokrasi, ekonomi, hukum dll. yang mengabdi pada kebenaran dan kesucian. Pembangunan ekonomi yang tidak memberikan kesejahteraan yang adil adalah dosa. Apalagi di desa pakraman umat yang mengurus desa pakraman hidupnya penuh dedikasi. Sedangkan mereka yang punya kuasa dan modal terus sibuk memperkaya diri. Kemajuan politik, ekonomi, budaya, dllnya itu harus juga memperhatikan nasib mereka yang aktif mengabdi di desa pakraman. Apakah mereka menjadi pengurus, pemangku, nyastra dan berkesenian lainnya harus juga terjamin hidupnya dalam menjaga kesucian desa pakraman. Mengapa harus peduli dengan mereka? Karena aktivitas merekalah nilai-nilai luhur budaya akan terus terjaga untuk menguatkan daya spiritual masyarakat. Karena daya spiritual yang terpelihara secara baik akan dapat terus-menerus menjadi pendorong utama untuk mewujudkan langkah-langkah nyata terencana untuk mengatasi laraning jagat, papa klesa dan letuhing bhuwana. Kalau tiga hal itu selalu dapat diatasi maka setiap orang akan dapat menikmati sari kehidupan ini. * I Ketut Gobyah |