Dalam phalawakya prasasti Abasan tertulis, “Ksamakna hulun de Hyang Mami, mwang Dewa Bhatara makadi Hyang Kawitan, moghi hulun tan kneng upadrawa tulah pamidi, nimitaning hulun, ngutaraken katatwan ira, sang wusamungguh ring tmagawasa, lepihaning kawitan, kang wenang kasungsung de treh….” Yang artinya, “Maafkanlah hamba oleh junjungan hamba, dan para dewa-dewa pelindung, seperti halnya para leluhur, semoga hamba tidak mendapat kutukan, lancang, sebab hamba akan menuturkan perihalnya beliau, yang telah bersthana pada lempengan tembaga, lempiran leluhur, yang seharusnya dijunjung oleh turunan…” Demikianlah pendahuluan dalam mengutarakan suatu sejarah yang telah berwujud gaib, menyatu dengan Hyang Widhi, dengan harapan dapat dimaafkan atas kelancangannya menyebut-nyebut nama beliau, semoga tidak mendapat kutukan bagi penuturnya. Sejarah Bali dalam hal ini yang diutarakan terbatas pada kemampuan kami dalam mengumpulkan berbagai sumber sejarah, salah satunya adalah dalam buku yang “Leluhur orang Bali “ karya Drs. I Nyoman Singgih Wikarman yang terbatas pada orang-orang bali sebagai pewaris nilai-nilai yang diturunkannya. Jadi mereka adalah penduduk bali yang beragama Hindu, yang meyakini dan melaksanakan ajaran agama leluhurnya. Salah satu nilai-nilai yang diturunkan adalah ikatan kekeluargaan (klan) yang disebut dengan pungkusan, soroh atau wangsa, hal inilah yang menjadi petunjuk siapa nama leluhur mereka dan siapa yang menurunkannya. Menurut sumber babad, usada, prasasti, bancangah dan lain sebagainya, leluhur orang bali selalu dikaitkan dengan nama orang-orang besar dan suci dari kerajaan-kerajaan di Jawa seperti Majapahit, Singasari, Kediri dan lain sebagainya sepanjang dapat ditelusuri. Demikian pula dikaitkan dengan Dewa, bahkan Sang Pencipta (Dewa Brahma atau Hyang Pasupati). Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian leluhur orang bali, kecuali orang-orang Bali Mula berasal dari Jawa, hal ini terbukti dengan penggunaaan bahasa Jawa kuno yang sangat dominan dalam bahasa bali khususnya bahasa bali alus singgih. Contoh nilai-nilai lain yang diturunkan oleh leluhur orang-orang bali adalah penggunaan nama Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Dewa Gde, Anak Agung, Cokorda, Ida Bagus, dan nama-nama lainnya, hal ini merupakan salah satu petunjuk yang dapat ditelusuri sejarahnya. Sehingga saat ini, keturunannya hidup berkelompok dalam suatu ikatan kekeluargaan, satu kawitan. Ikatan kekeluargaan di bali terkecil dalam suatu sanggah kemulan, merajan, panti, dadia, merajan agung, dan pedarman. Keanggotaan kekeluargaan tidak selalu murni berasal dari satu keturunan sedarah. Jaman dahulu, leluhur orang bali yang datang, para ksatriya beserta prajuritnya, para bujangga beserta pengiringnya, dikarenakan sudah seperti keluarga sendiri, sehingga mereka hidup berkelompok dan bergabung dengan tuannya dalam satu kawitan. Bali, daerah kecil yang kaya dengan warisan budaya dan nilai-nilai keagamaannya khususnya Hindu, menurut beberapa tulisan dan peninggalan leluhur, memiliki sejarah yang panjang, sejak jaman pra sejarah, masa bali mula, bali aga, masa kerajaan, masa penjajahan hingga masa kemerdekaan saat ini. Kami berusaha mengikuti pesan Bung Karno dalam “Jas Merah” maksudnya “Jangan sekali-kali melupakan Sejarah”, semoga tulisan ini bermanfaat untuk masa depan yakni anak cucu kita. |