Samairhi wisamam yastu
caredwai mulyato 'pi wa
Sampnuyad dhamam purwam
naro madhyamamewa
(Manawa Dharmasastra IX.287)
Artinya: Pedagang yang berbuat tidak jujur kepada pembeli atau pelanggan yang jujur, menipu harga-harganya atau kualitas dagangannya, itu adalah perbuatan dosa yang patut dihukum.
---
DI Bali ada tradisi lisan dalam bisnis yang menyatakan bahwa "berdagang boleh berbohong dan tidak dosa". Meskipun tradisi dagang "tidak berdosa kalau berbohong" sudah makin redup dalam wacana, tetapi pada kenyataannya memang ada pedagang yang tidak merasa berdosa kalau berbohong.
Di era post modern kini, wacana "berdagang tidak berdosa kalau berbohong" perlu dicermati berdasarkan konsep moral etik dan dinamika bisnis. Kalau berbohong dalam berbisnis diteruskan dalam wacana maupun dalam praktik bisnis, maka pedagang itu akan ditinggalkan oleh pembeli atau custumer-nya. Terlebih dalam era persaingan yang makin ketat kini. Karena itu, ada baiknya diupayakan tahap demi tahap wacana "pedagang boleh bohong dan tak berdosa" dihilangkan. Hal itu akan dapat merusak pedagang itu sendiri. Meskipun pada kenyataannya dewasa ini bohong dalam bisnis itu masih banyak terjadi.
Berdagang memang disebutkan dalam Canakya Niti sebagai pekerjaan yang utama untuk memelihara kehidupan sehari-hari. Dalam Baghawad Gita juga disebutkan berdagang (vanijyam) adalah salah satu dari tiga Swadharma Vaisya Varna sebagai upaya untuk membangun kemakmuran ekonomi. Di samping berdagang untuk membangun kemakmuran ekonomi, juga bertani (krsi) dan beternak (goraksya).
Menjadi Keseharian
Dalam dunia perdagangan, saling tipu menipu seperti sudah menjadi keseharian. Padahal, tipu menipu itu tidaklah benar dilakukan dalam dinamika bisnis. Sangat tepatlah Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa bisnis tanpa moral akan menimbulkan dosa sosial. Tipu menipu dalam dunia perdagangan sudah tidak memikirkan dosa dan derita orang lain. Yang dipentingkan adalah keuntungan uang yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kerugian masyarakat yang ditimbulkan.
Terlebih dalam kehidupan yang makin maju dewasa ini. Barang-barang kebutuhan masyarakat sudah diproduksi dengan kemampuan Iptek yang makin canggih. Kemajuan Iptek sudah banyak disalahgunakan untuk menipu masyarakat dengan barang-barang palsu. Hampir setiap hari kita dengar ada beredar di pasaran obat palsu, oli palsu, kaset VCD bajakan, roti oplosan, tahu berformalin, dll.
Sungguh sangat memprihatinkan, berapa besar derita dan nilai kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat ulah tipu menipu dengan barang-barang palsu yang menentukan harga tidak menggunakan logika bisnis yang sehat dan adil itu. Pun ada dokumen palsu atau uang palsu yang mencekam kehidupan manusia dalam dunia yang dikuasai kemajuan Iptek ini.
Sesungguhnya, hal ini terjadi bukan karena kesalahan Iptek. Letak kesalahan itu pada orang yang menyalahgunakan kemajuan Iptek. Ilmu pengetahuan adalah anugerah Tuhan kepada umat manusia. Umat manusialah yang menyalahgunakan anugerah yang mulia itu. Ilmu pengetahuan dianugerahkan Tuhan sebagai sarana agar manusia dapat lebih mudah menempuh menuju jalan Tuhan. Karena salah arah, justru kemajuan itu dipakai sarana untuk menjauhi jalan Tuhan.
Guna mencegah saling tipu itu, sudah juga ada pengawasan dari pemerintah maupun lembaga lainnya. Pengawasan ini ternyata sangat tidak seimbang. Pengawasan baru dilakukan dari luar. Pengawasan dari dalam diri manusialah yang sangat kurang.
Meskipun dinamika kehidupan beragama nampaknya demikian meriah dan ditunjang oleh lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga keumatan, namun belum mampu menyentuh aspek spiritual yang paling hahiki dari manusia. Tingkat pemahaman agama umumnya masih dalam tingkat mengagung-agungkan agama yang dianut dan menganggap rendah agama yang tidak dianut. Agama belum dipahami untuk menerangi hati nurani dari kegelapan egoisme untuk menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain.
Harus Diubah
Untuk mengatasi ramainya tipu menipu dalam dunia bisnis, arah pembinaan kehidupan beragama haruslah diubah. Arah pembinaan kehidupan beragama lebih banyak ditujukan pada masyarakat kecil yang tidak punya akses banyak untuk melakukan tipu menipu itu. Arah pembinaan kehidupan beragama hendaknya lebih banyak ditujukan kepada para pelaku bisnis kelas penentu. Kesibukan mereka hendaknya seimbang antara mengembangkan bisnisnya untuk meraup laba dan membina keluhuran moral dan daya tahan mentalnya.
Dengan demikian, semangat para pebisnis itu untuk meraup laba selalu dilakukan berdasarkan hukum dan moral yang luhur. Tidak mudah tergoda meraup laba dengan melakukan tipu menipu yang merugikan rakyat banyak. Pun dalam mempergunakan laba dari bisnisnya itu tidak meninggalkan azas-azas keadilan.
Mengubah arah pemahaman agama tentunya membutuhkan sistem dan metode tersendiri. Tidak cukup hanya dengan ceramah dan menyebarkan buku-buku agama semata. Apalagi ceramah agama itu bersifat menggurui, tentunya tidak akan mampu menyentuh hati nurani mereka yang serba sibuk dan umumnya sangat egois. Hendaknya sistem dan metode pemahaman agama tersebut berasal dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Dengan cara demikian, sifat tipu menipu itu akan makin luntur dan supremasi hukum dalam bisnis pun akan menjadi tegak.
Kini, perdagangan barang dan jasa sudah makin meningkat demikian pesat dan persaingan pun ketat. Siapa yang jujur dengan langganan, dialah yang akan memenangkan persaingan itu. Masyarakat konsumen pun sudah makin cerdas memilih produk. Ia akan meninggalkan produk yang produsernya menipu atau memalsu barang, apalagi dengan harga yang melambung, bisnis seperti itu akan ditinggalkan masyarakat konsumen.
Lakukanlah kejujuran pada langganan kalau ingin maju. Jadikanlah upaya bisnis itu sebagai media saling melayani. Pedagang harus memberikan produk yang jujur kepada masyarakat konsumen. Sedangkan masyarakat konsumen memberi sejumlah uang untuk memberikan keuntungan kepada pengusaha. Pemerintah pun dapat pajak dari usaha bisnis itu secara wajar. Masyarakat penghasil bahan baku dapat juga dari usaha tersebut. Hakikat bisnis adalah untuk saling menguntungkan semua pihak.