Tesam kramena sarvasam
Niskrtyastham maha resibhih
Panca kripta maha yadnyah
Pratyahan grhamedhinam. (Manawa Dharmasastra.III.69).
Maksudnya: Untuk menebus dosa yang ditimbulkan pemakaian lima alat penyemblihan itu, para Maha Resi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya.
Manawa Dharmasastra III.68 menyatakan bahwa penggunaan lima tempat penyemblihan oleh kepala keluarga seperti tempat memasak, batu pengasah, sapu lesung dengan alunya dan tempat air. Pemakaian semuanya itu menimbulkan dosa. Hal inilah yang menyebabkan sloka Manawa Dharmasastra III.69 yang dikutip di atas itu menganjurkan agar setiap kepala keluarga melakukan Panca Yadnya setiap harinya. Bentuknya itu dibuat dari makanan yang mampu dimasak hari itu seperti nasi dengan lauk pauknya yang ada. Banten saiban itu bukanlah banten segehan dengan nasi dan bawang jahe sebagai perlengkapannya, tapi nasi dengan lauk pauk yang dimasak hari itu sebagai wujud Panca Yadnya terkecil.
Manawa Dharma Sastra III.117 menyatakan bahwa keluarga akan makan setelah mempersembahkan makanan itu pada para dewa, para leluhur (Dewa Pitara), pada para resi dan pada para dewa penjaga rumah. Dalam sloka selanjutnya dinyatakan keluarga yang makan tanpa persembahan dinyatakan ia makan dosa. Orang bijaksana memakan sisa dari yang dipersembahkan itu. Karena itu disebut Yadnya Sesa. Sejalan dengan konsep Yadnya Sesa yang dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra III.118 dinyatakan juga dalam Bhagawad Gita.III.12 bahwa orang-orang bijaksana akan makan apa yang tersisa dari yadnya, mereka itu akan terlepas dari dosa.
Akan tetapi mereka yang menyediakan makanan hanya untuk dimakannya sendiri sesungguhnya ia makan dosanya sendiri. Dalam Manawa Dharmasastra III.104 dinyatakan bahwa mereka yang mendapatkan makanan dengan mengambil hak orang lain secara tidak benar, kelak ia akan menjelma menjadi binatang ternak peliharan orang yang diambil haknya itu.
Memperhatikan berbagai ketentuan pustaka suci Hindu tersebut dapat disimpulkan bahwa upacara mesaiban itu adalah wujud Panca Yadnya terkecil yang seyogianya dilakukan setiap hari oleh setiap keluarga selesai ia masak. Mereka boleh makan setelah upacara mesaiban itu selesai dilakukan. Ritual keagamaan Hindu di Bali yang disebut mesaiban ini sepertinya amat sederhana dilihat dari tata cara penyelenggaraannya. Namun di balik kesederhanaan tersebut terdapat nilai-nilai falsafah kehidupan yang amat dalam yang seyogianya kita maknai lebih lanjut dalam meningkatkan kwalitas hidup kita di bumi ini.
Makan setelah beryadnya ini artinya kita tidak baik kalau makan tidak dari hasil kerja sendiri. Kita harus kerja untuk mendapatkan berbagai kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan atau perumahan tempat kita berteduh. Dalam tradisi Hindu-Jawa dinyatakan kebutuhan pokok hidup manusia adalah: wareg, waras, wastra, wisma, wasita. Artinya kebutuhan pokok manusia yaitu makanan, kesehatan, pakaian, perumahan dan pendidikan. Untuk memenuhi lima kebutuhan pokok orang harus bekerja sesuai dengan fungsi dan profesi berdasarkan yadnya. Kerja berdasarkan yadnya itu adalah kerja sebagai pesembahan. Kerja dengan dasar yadnya kepada Tuhan akan amat kuat motivasi spiritualnya.
Memelihara kelestarian alam dengan dasar ''asih'' mengabdi pada sesama dengan dasar ''punia''. Asih dan punia itu dilakukan sebagai wujud ''bhakti'' pada Tuhan. Kalau memelihara alam dan mengabdi pada sesama sesuai dengan fungsi dan profesi itu dilakukan sebagai wujud bhakti pada Tuhan hal itu akan dapat menimbulkan Cakra Yadnya atau yadnya yang timbal balik antara manusia dengan alam lingkungan dan antara manusia dengan sesama sebagai wujud bhakti pada Tuhan.
Melakukan yadnya dengan konsep cakra diajarkan dalam Bhagawad Gita III.16. Artinya Cakra Yadnya itu adalah manusia dapat kehidupan dari alam dan dari sesama manusia secara timbal balik dan itu diyakini sebagai karunia Tuhan.
Manusia yang dapat kehidupan dari alam dan dari sesama secara timbal balik itu atas karunia Tuhan disimbulkan dengan ritual Mesaiban. Ini artinya ritual mesaiban itu ada dua maknanya yaitu sebagai penebusan dosa karena menggunakan lima tempat penyemblihan dalam rangka memasak itu dan juga sebagai suatu peringatan bahwa manusia itu wajib beryadnya pada dewa manifestasi Tuhan, kepada para resi, kepada leluhur atau dewa pitara, pada dewa penjaga rumah seperti Watospati dan semua pihak yang mendukung kehidupan yang timbal balik itu.
Karena hidup manusia itu atas yadnya semuanya itu. Karena itu manusiapun wajib beryadnya pada semuanya itu. Mewujudkan nilai-nilai spiritual mesaiban itu dengan melakukan kerja dengan dasar yadnya sesuai dengan fungsi dan profesi. Setiap orang memiliki fungsi dan profesi. Ada fungsi berdasarkan Asrama dan ada profesi berdasarkan Catur Varna. Kalau kita hidup dalam tahapan hidup brahmacari lakukanlah swadharma brahmacari asrama seperti hidup berguru belajar mencari, memelihara dan mengembangkan ilmu pengetahuan sampai memberikan kontribusi positif pada kehidupan individu, kehidupan sosial dan pelestarian alam.
Demikian juga sebagai grhasta lakukanlah sesuai dengan swadharma grhastha membangun kehidupan yang mandiri. Dalam Agastya Parwa disebutkan grhastha ngarania sang yatha sakti kayika dharma. Artinya grhastha namanya orang yang sudah mandiri dalam mengamalkan dharma. Demikianlah cakra yadnya dilakukan secara timbal balik secara vertikal antargenerasi berdasarkan ajaran Catur Asrama. Sedangkan bekerja berdasarkan profesi melakukan pengabdian berdasarkan masing-masing varna. Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra bekerja dengan sinergis dengan dasar yadnya. Catur Varna bekerja dengan dasar yadnya secara timbal balik sinergi dan horizontal. Dengan demikian masyarakat akan terayomi mendapatkan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera. Oleh I Ketut Wiana