Bhuta yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh.
Matangnyan prihen tikang bhuta hita, aywa tan maasih-ring sarwa prani... (kutipan Agastia Parwa dan Sarasamuscaya 135).
Maksudnya: Bhuta Yadnya namanya mengembalikan unsur-unsur alam itu dengan menghormati tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu usahakanlah kesejahteraan alam itu (Bhuta Hita) jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk hidup (sarwa prani).
Untuk meningkatkan kualitas dan memperluas pengamalan agama Hindu ada baiknya diadakan pengkajian ulang dan terus menerus agar pengamalan ajaran agama Hindu itu selalu dinamis dalam mengantarkan perkembangan zaman ke arah yang semakin baik dan benar sesuai dengan petunjuk sastra suci. Pengkajian itu bukan untuk mencari-cari kesalahan-kesalahan penerapan agama Hindu yang dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita sebelumnya. Dengan kondisi yang serba terbatas leluhur umat Hindu dimasa lampau sudah mewariskan tradisi beragama Hindu yang masih sangat baik dan masih banyak yang relevan dengan isi pustaka suci sabda Tuhan. Namun demikian dalam beberapa hal perlu ada penyempurnaan-penyempurnaan dalam beberapa aspeknya.
Weda itu memang ''sanatana dharma'' atau kebenaran yang kekal abadi. Tetapi penerapannya terus ''nutana'' artinya ada proses peremajaan agar dapat mengikuti dan mengarahkan perkembangan zaman ke arah yang semakin baik dan semakin benar sesuai dengan teksnya yang dinyatakan dalam pustaka suci. Karena yang disebut agama menurut Sarasamuscaya 181: Agama ngarania kawarah Sang Hyang Aji. Artinya: Agama namanya apa yang dinyatakan oleh kitab suci. Dalam Wrehaspati Tattwa 26 juta dinyatakan: Kawarah Sang Hyang Aji kaupapatian de Sang Guru Agama ngarania. Artinya: Apa yang dinyatakan dalam pustaka suci dan diajarkan oleh Pandita Guru itulah agama namanya.
Mengenai Bhuta Yadnya seperti dinyatakan dalam Agastia Parwa dan Bhuta Hita seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 135 di atas tidak ada dinyatakan pelaksanaan Bhuta Yadnya dan Bhuta Hita dengan penyemblihan hewan. Justru yang ditekankan melakukan upaya untuk mensejahterakan alam itu yang disebut dengan istilah Bhuta Hita. Bhuta artinya unsur-unsur alam dan kata Hita artinya sejahtera. Bahkan ditekankan lagi agar mengasihi atau menyayangi semua makhluk hidup itu (sarwa prani) dalam Sarasamuscaya 135.
Demikian juga Agastia Parwa menekankan bahwa pelaksanaan Bhuta Yadnya itu mengembalikan kemurnian eksistensi unsur-unsur alam itu. Kata ''Bhuta'' dalam bahasa Sansekerta bukan berarti setan, jin atau iblis. Bhuta itu artinya unsur-unsur yang membentuk alam yang disebut dengan Panca Maha Bhuta (Pertiwi, Apah, Teja, Bayu dan Akasa). Lima unsur alam itulah yang wajib dijaga kemurnian eksistensinya sesuai dengan hukum Rta.
Rta adalah salah satu dari Sad Pertiwi Dharyante yaitu enam prilaku untuk mendukung kelestarian ibu pertiwi yang dinyatakan dalam Atharvaveda XII.1.1. Rta adalah hukum ciptaan Tuhan yang menata dinamika alam. Bhuta Yadnya sesungguhnya menjaga agar manusia senantiasa berbuat sesuai dengan hukum Rta tersebut agar alam senantiasa lestari. Ibu pertiwi akan goncang apabila Sad Petiwi Dharyante itu tidak dijadikan pedoman berprilaku di dunia ini.
Dalam rangka memaknai pengertian Bhuta Yadnya dan Bhuta Hita itu seyogianya umat Hindu mentradisikan pelaksanaan Bhuta Yadnya itu dengan melakukan langkah nyata mengembangkan kesuburan tanah, menjaga kebersihan sumber-sumber air seperti mata air, danau, sungai-sungai. Hal itu dapat dilakukan dengan melarang keras orang membuang berbagai limbah dan kotoran lainnya ke sumber-sumber air tersebut. Demikian juga harus ada berbagai upaya menjaga kesuburan tanah seperti kualitas humus tanah benar-benar dijaga dengan meminta analisa para akhli dibidang itu.
Demikian juga dengan pengotoran udara dengan memberikan batas dengan teknologi modern agar bengkel mobil, pengguna mesin yang mengeluarkan asap atau gas buang mengelola asap yang ditimbulkan oleh mesin itu dikelola agar jangan terlalu tinggi pengotoran udara yang ditimbulkan. Penataan ruang seperti pemukiman yang bersih dan hijau dengan menguatkan terus menerus sosialisasikan hidup bersih dengan lingkungan yang hijau penuh pepohonan yang rindang.
Undang-undang pelestarian alam ini diwujudkan sebagai tradisi beragama Hindu dalam pelaksanaan Bhuta Yadnya. Tentunya dengan tidak usah mempertentangkan dengan tradisi Bhuta Yadnya yang telah ada. Bagi umat masih kuat keyakinannya melaksanakan Bhuta Yadnya seperti yang biasa berlangsung dewasa ini biarkan berjalan sebagai mana mestinya karena memang ada juga sumber acuannya dalam berbagai lontar tradisi beraama Hindu di Bali.
Upaya pelestarian alam sebagai wujud Bhuta Yadnya sebagai perluasan pengamalan Bhuta Yadnya dan Bhuta Hita sebagai mana ditetapkan dalam kutipan sastra agama Hindu tersebut di atas harus terus disosialisasikan sebagai pengamalan Bhuta Yadnya karena memang hal itu yang paling utama ditekankan dalam sastra agama. Dalam Manawa Dharmasastra V.40 ada dinyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan dan hewan yang digunakan dalam upacara agama dalam penjelmaannya yang akan datang akan meningkat dalam kualitas yang lebih tinggi.
Tetapi dalam Sloka tersebut tidak secara tegas penggunaan hewan itu harus disemblih. Di Bali pun sudah ada pandita yang mengizinkan saat ada upacara ''nyambleh'' hewan yang dijadikan sarana nyambleh seperti itik, ayam dan anak babi (kucit) tidak dipotong lehernya. Cukup saat upacara bulu kepala hewan itu dicabuti secara simbolis terus hewannya dilepas. Bahkan ada juga bhisama yang dapat mengganti hewan korban itu dengan simbol jajan cecalcalan. Hal ini juga dibenarkan karena ada acuannya dalam Manawa Dharmasastra. Sesungguhnya dalam pengamalan ajaran Hindu sudah disiapkan banyak pilihan mengamalkan agama Hindu yang terkenal fleksibel itu. Penulis I Ketut Wiana