Barhma sreg jayate lokam
Wisnawe plaka stitam
Rudra twe sangharas cewam
Tri Murti nama ewaca. (Bhuwana Kosa III. 76)
Lwir Bhatara Siwa Magawe jagat. Brahma rupa siran panrsti jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat, Rudra rupa sira mralayaken rat, naham taawakta nira tiga bheda nama.
Maksudnya: Bhatara Siwa saat menciptakan alam disebut Bhatara Brahma, saat memelihara atau melindungi alam disebut Bhatara Wisnu dan disebut Bhatara Rudra saat melebur alam ini. Beliau sesungguhnya esa, hanya sebutan-Nya yang berbeda.
Tuhan itu esa. Orang-orang suci (vipra) memberikan sebutan dengan berbagai nama (Om ekam sat vipra bahuda vadanti). Hindu yang Siwaistik menyebut Tuhan Yang Maha Esa itu Parama Siwa, Hindu Waisnawa menyebut-Nya Maha Wisnu atau Narayana, sedangkan Hindu Waisnawa Bhagawata menyebut Tuhan itu Sri Krisna. Hindu yang Siwaistik dalam menjiwai Swah Loka dan menjadi sumber segala disebut Parama Siwa. Sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa Bhur Loka disebut Siwa. Di Bhur Loka ini Siwa disebut Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Rudra. Wisnu menjadi Krisna sebagai Awatara. Siwa sebagai Tuhan sumber segala-galanya dinyatakan dalam beberapa purana yang bercorak Siwa Purana. Ini artinya dalam paham Hindu Siwaistis, Sri Krisna itu Awatara Wisnu.
Dalam Hindu Waisnawa Bhagawata, Sri Krisna bukan Awatara tetapi sebagai Awatari yaitu sumber Awatara dan sumber segala-galanya. Sri Krisna sebagai sebutan Tuhan sumber segala-galanya dinyatakan dalam beberapa purana, seperti Bhagawata Purana, Brahma Vivarta Purana dan purana lainnya yang bercorak Waisnawa Bhagawata. Dalam Waisnawa Bhagawata menurut Prabhu Sundaram Siwa adalah seorang Waisnawa teladan kesayangan Sri Krisna. Dari 18 Maha Purana dibagi menjadi tiga kelompok. Satvika Purana menyatakan Maha Wisnulah sebagai sebutan Tuhan tertinggi. Rajasika Purana, Param Brahmalah sebagai sebutan Tuhan tertinggi, sedangkan dalam Tamasika Purana, Parama Siwa sebagai sebutah Tuhan tertinggi. Ketiga sebutan Tuhan itu juga memiliki ribuan sebutan atau disebut Sahasra Nama. Bagi umat yang meyakini salah satu nama dari ribuan sebutan nama Tuhan Yang Esa itu, yakinilah nama tersebut dengan sungguh-sungguh. Pujalah Tuhan dengan sungguh-sungguh dengan sebutan nama Tuhan yang paling diyakini itu. Yang patut dihindari adalah tidak merendahkan dan menyalahkan sebutan nama Tuhan yang tidak dipilih. Misalnya yang memilih sebutan nama Siwa jangan menyalahkan dan merendahkan mereka yang memilih nama Tuhan dengan sebutan Maha WIsnu atau Sri Krisna.
Demikian juga yang memilih nama Tuhan dengan sebutan Maha Wisnu, Narayana atau Sri Krisna jangan menyalahkan dan merendahkan mereka yang memilih nama Tuhan dengan sebutan Parama Siwa.
Dalam Matsya Purana 53, Sloka 68 dan 69 ada dinyatakan bahwa Dewa Wisnu adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai penuntun manusia mengendalikan guna sattwam. Dewa Brahma sebagai penuntun manusia mengendalikan guna rajah dan Dewa Siwa sebagai penuntun manusia mengendalikan guna tamas. Ini artinya pemuja Siwa bukan berarti memuja dan mengembangkan sifat-sifat tamasik, pemujaan Tuhan sebagai Siwa Rudra justru untuk mendapatkan kekuatan rohani mengendalikan, menguasai dan melepaskan diri dari guna tamas.
Dalam Bhagawad Gita XIV. 25 dinyatakan tri guna itu harus dilepaskan dengan istilah gunaatiita artinya menguasai tri guna. Hal ini amat sejalan dengan apa yang dinyatakan Pustaka Wrehaspati Tattwa 21 dan 22 bahwa kalau guna satwam dan rajah sama kuat menguasai pikiran (manah), maka guna satwam menyebabkan orang terdorong berniat baik dan guna rajah mendorong orang berbuat baik, maka orang tersebut akan mencapai sorga tetapi bukan moksha.
Kalau hanya berniat baik saja dan tidak nyata berbuat baik tentunya mubazir jadinya. Kalau ketiga guna itu menguasai pikiran secara seimbang maka orang akan menjelma berulang-ulang ke dunia ini. Karena tujuan tertinggi adalah moksha karena itu tri guna itu harus dikendalikan saat brahmacari dan grhastha. Dikuasai saat wana prastha dan dilepaskan saat sudah mencapai sanyasin asrama. Hal ini menyebabkan setiap kelompok Hindu yang disebut sampradaya atau para ilmuwan sosial menyebutnya sekte umumnya memuja Tuhan sebagai Tri Murti. Tujuannya agar mampu mengendalikan, menguasai dan akhirnya melepaskan tri guna. Tri guna itu ibarat kuda kereta yang harus dikendalikan dengan tali kekang kuda oleh kusir kereta agar jalannya kereta menjadi lancar. Tetapi setelah sampai di tujuan, kuda dengan kereta dilepas. Demikianlah dapat dianalogikan keberadaan tri guna itu dalam hidup ini. Penonjolan salah satu dari pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti adalah sebagai kebebasan pilihan. Yang penting yang tidak dipilih jangan disalahkan dan direndahkan.
Swami Siwananda menyatakan agama Hindu menyajikan hidangan spiritual pada setiap orang sesuai dengan perkembangan rohaninya. Karena itu tidak ada pertentangan dalam perbedaan Hindu yang indah ini. Demikian Swami Siwananda menyatakan dalam bukunya yang berjudul ''All About Hinduism.''
Hal itu amat sejalan dengan UUD 1945 yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk menganut agama dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Hal ini menyebabkan ada Penpres No: 1 1965 dan juga KUHP 156 A akan mengancam dengan hukuman maksimal lima tahun penjara bagi yang menodai kehidupan beragama, seperti melecehkan dan menyalahkan pemujaan suatu Ista Dewata tertentu. Misalnya ada melecehkan dan menyalahkan umat memuja Siwa, Wisnu atau Sri Kresna sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Pelecehan itu dapat digolongkan sebagai penodaan keyakinan beragama. Perilaku penodaan beragama dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan tersebut di atas. Karena itu janganlah saling mengganggu kemerdekaan umat beragama. Misalnya dengan saling menjelek-jelekan sistem yang tidak dianut. Berbagai berbedaan sistem kepercayaan dalam beragama itu adalah ciptaan Tuhan sebagaimana dinyatakan juga dalam Bhagawad Gita.