Dalam edisi terdahulu, kami telah membahas tentang adanya ramalan kemunculan Nabi Muhammad dalam kitab-kitab suci Weda. Apa tujuannya? Menurut hemat kami, penting untuk kita ketahui konteks waktu, situasi sosial keagamaan, dan perilaku masyarakat yang melatarbelakangi kemunculan Nabi Muhammad beserta ajaran yang beliau sebarluaskan. Hal itu akan membantu kita menyabarkan diri dalam menghadapi kritik-kritik pedas yang sekilas memang terdengar logis dan masuk akal tersebut.Sebagai generasi muda Hindu, kita tentu kenyang dengan pengalaman menghadapi pertanyaan yang sering membuat kita jadi merasa nggak percaya diri untuk mengaku beragama Hindu.
Tidaklah mengherankan jika sebagian dari saudara Hindu kita pada akhirnya tertarik untuk “diselamatkan”. Kita tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja. Sepintas lalu, kita memang bisa goyah dengan argumen-argumen valid yang memojokkan cara pemujaan yang kita lakukan. Masak sih, Tuhan seperti batu? Tidakkah berarti kita membatasi Tuhan kalau Tuhan kita puja dalam wujud tertentu? Apakah bukan pelecehan besar kalau kita mempersamakan Tuhan dengan benda-benda ciptaan-Nya? Apakah Tuhan orang Hindu terus-terusan lapar, hingga tiap hari harus disuguhi dan di persembahi aneka makanan? Apalagi kalau mereka melihat banten-banten di Bali yang diisi Cola Cola atau Sprite dan buah-buahan serba impor, mereka akan berkomentar, “Wah, tinggi juga selera Tuhan orang Hindu, ya?” Sewajarnya mereka akan menantang kita dengan mempertanyakan konsep ketuhanan kita, yang kelihatannya jauh berbeda dengan konsep yang mereka miliki : tidakkah Tuhan Maha Kaya? Bukankah Tuhan tidak berwujud?
Suatu kesempatan, saat ditanya mengenai cara sembahyang orang Hindu yang pakai patung itu, saya pernah menjelaskan bahwa menurut Weda, Tuhan ada di mana-mana. Karena itu, Beliau juga ada dalam setiap “patung” yang kita puja. Mendengar jawaban itu, lawan bicara saya yang kebetulan seorang Kristiani, dan kandidat doktor pada salah satu universitas terkemuka di Yogya ini, mengejar saya dengan pertanyaan memojokkan. “Lho, kalau Tuhan ada di mana-mana, seperti Anda bilang, bukankah Tuhan juga ada di lantai yang kita injak ini? Mengapa lantai ini boleh seenaknya kita injak, tapi patung-patung itu kita sembah? Apa bedanya? Apakah itu bukan diskriminasi?” sanggahnya penuh nada kemenangan.
Saya sempat terdiam juga mendengar itu. Pertanyaannya masuk akal, wajar sekali. Boleh juga logika dan nalarnya. Lalu, bagaimana menjawab pertanyaannya yang memojokkan itu? Adakah jawaban yang lebih tepat untuk menjelaskan mengapa kita menghormati bentuk-bentuk tertentu, sedangkan bentuk lainnya tidak? Adakah penjelasan menurut uraian kitab suci Weda untuk menjawab kritikan itu? Dalam Newsletter Sanatana Dharma edisi-edisi mendatang, kami akan membahas mengenai hal itu. Sebagai pengantar ke arah itu, dalam edisi ini kita akan menyimak sejarah agama-agama bangsa Arab Kuno, yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang melarang pemujaan terhadap segala perwujudan apapun sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan.Tujuannya lainnya adalah agar kita memperoleh gambaran tentang latar belakang situasi moral masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Muhammad pada saat beliau harus mengajarkan amanat Al Qur’an.
Latar belakang sejarah tersebut menjawab pertanyaan, mengapa Islam tegas-tegas melarang pemujaan terhadap “berhala-berhala.” Selamat menyimak, terima kasih atas kesediaan Anda membaca newsletter ini.
Sejarah Berdirinya Ka’bah
Menurut tradisi kuno bangsa-bangsa Arab, ketika Allah mengusir Adam dan Hawa dari surga, Adam mendarat disebuah pegunungan di Sri Lanka, dan Hawa jatuh di gunung Arafat. Setelah mengembara selama seratus tahun, keduanya bertemu di Mekah. Di tempat itulah, atas petunjuk dan bimbingan Allah, Adam mendirikan sebuah tempat pemujaan yang disebut Ka’bah. Pada pondasi bangunan itu diletakkanlah Hajar Al-aswad (Batu Hitam) yang juga turut jatuh ke bumi pada saat mereka diusir dari surga. Menurut salah satu tradisi, batu itu semula warnanya seputih susu, namun lama kelamaan berubah jadi hitam, karena dosa-dosa para pejiarah yang menyentuh dan mencium Batu hitam itu sesungguhnya adalah seorang malaikat penjaga Adam dan Hawa. Karena kelalaiannya, Adam dan Hawa berhasil dibujuk oleh Iblis untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Dengan demikian, Ka’bah dibangun oleh Adam, dan sepeninggalnya dibangun kembali oleh Seth, salah satu anak Adam sendiri (Jabir, 1997).
Lebih lanjut disebutkan bahwa Mekkah adalah sebuah tempat yang tepat berada di bawah singgasana Allah di surga, dan Ka’bah dibangun sebagai replika sebuah tempat sembahyang di surga yang dijadikan sebagai tempat para malaikat memanjatkan doa dan memuja Allah. Menurut sejarah bangsa Arab, setelah terjadinya Banjir Besar, Sim yang merupakan keturunan Nabi Nuh, mendirikan rumahnya di semenanjung Arab dan selanjutnya menjadi nenek moyang dari berbagai suku yang ada di sana. Salah satu cicit Sim ini adalah Yarab, yang merupakan pendiri kerajaan Yaman. Kata Arab berasal dari nama Yarab itu (Gudratov, 1990).
Pada saat terjadinya Banjir Besar, Ka’bah yang dibangun kembali oleh Seth tersebut turut hancur. Ka’bah dibangun kembali oleh Nabi Ibraham dan putranya Ismail. Untuk membangun kembali Ka’bah, Malaikat Jibril memberikan pada Abraham sebuah batu pipih yang dapat dijadikan sebagai tangga penyangga yang dapat dipindah-pindahkan selama mendirikan Ka’bah. Batu tersebut dapat muncul dan hilang dari kaki Abraham, sesuai dengan kebutuhan. Dewasa ini, masih dapat dijumpai jejak kaki Ibraham pada batu tersebut, yang saat ini tersimpan dalam sebuah sangkar besi. Para peziarah yang datang memanjatkan doa dihadapan batu itu (Menezez, 1911).
Ketika pembangunan Ka’bah hampir selesai, Nabi Ibrahim memutuskan untuk menempatkan sebuah batu di salah satu sudut bangunan itu, sebagai pertanda dari titik mana para peziarah harus memulai ritual mereka mengelilingi Ka’bah. Pada waktu itulah, Malaikat Jibril muncul dan menunjukkan kepada Nabi Ibrahim sebuah Batu Hitam (Hajar Al-aswad) yang dulu sempat hilang pada saat Ka’bah dihancurkan oleh Banjir Besar.
Batu Hitam tersebut ditempatkan di pojok tenggara (south-eastern) Ka’bah. Selanjutnya, Ka’bah dibangun kembali oleh keturunan Amalikah, keturunan Nabi Nuh. Kemudian dibangun lagi oleh Banu Jurhum, yang juga keturunan Nabi Nuh melalui Katan. Beberapa ratus tahun sebelum pewahyuan Al-Qur’an, Ka’bah dibangun kembali oleh Kusay ibn Qilab, yang telah memimpin suku bangsa Quraysh menuju Mekkah. Menurut ahli sejarah Azraqi, pada masa itu Ka’bah berukuran setinggi 4,5 meter tanpa atap, dan terdapat 4 batu mulia di keempat sudutnya.
Dewasa ini, Batu Hitam dan Ka’bah mewujudkan sebuah tempat pemujaan kepada Tuhan sejak jaman prasejarah, dan Ka’bah menjadi orientasi arah (kiblat) umat Islam seluruh dunia dalam bersembahyang. Ka’bah merupakan pusat orientasi spiritual, merupakan pendukung bagi pemusatan kesadaran terhadap kehadiran Yang Maha Ada. Jika orang melakukan sembahyang di dalam Ka’bah, mereka boleh menghadap ke arah mana saja. Al-aswad atau Batu Hitam itu saat ini berada di pojok Tenggara, ditempatkan setinggi 1,5 dari tanah. Warnanya hitam kemerah-merahan dan terdapat partikel kekuning-kuningan, berbentuk oval, tinggi sekitar 15 inchi (38 cm), dan lebarnya lebih kurang 11 inchi (28 cm), ditempatkan dalam sebuah kotak terbuat dari perak. Pada sudut yang bersebrangan, terdapat batu lain yang berwarna kemerah-merahan yang disebut sebagai Hajar As-Sa’Adah (The Stone of Felocity). Ia merupakan titik pusat Ka’bah yang menandai arah qiblah, titik fokus kegiatan sembahyang (Jabir, 1997).
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Ka’bah dibangun oleh Adam dengan tujuan untuk memuja Tuhan Yang Esa. Ka’bah disebut pula sebagai “Rumah Allah”. Dikenal pula sebagai Al-Bayt Al-Haram (“The Holy House”) dan juga Al-Bayt Al-‘Atiq, “The Ancient House”.
Dengan demikian, bangsa Arab kuno percaya pada Satu Tuhan dan memuja Tuhan Yang Esa itu. Namun mereka juga percaya, bahwa beberapa manusia tertentu memiliki hubungan yang istimewa dengan Allah, dan memiliki kemampuan sebagai perantara bagi orang lain yang diterima oleh Allah. Untuk mencapai Allah adalah sesuatu yang tidak mudah bagi manusia biasa, karenanya masyarakat harus mempunyai perantara untuk menarik perhatian dan pertolongan dari Allah. Oleh karena itu, masyarakat Mekkah pada waktu itu membuat patung-patung orang-orang suci dan saleh dan memujanya. Mereka juga memberikan berbagai persembahan kepada patung-patung itu dengan maksud untuk memuaskan Allah melalui perantara mereka (Bashir-Ud-Din, 1954).
Bangsa Arab kuno meyakini bahwa Allah telah mempercayakan berbagai urusan yang berhubungan dengan fungsi dan tugas-tugas mengurus alam semesta ini kepada berbagai dewa dan dewi. Oleh karenanya orang beralih kepada para dewa dan dewi ini untuk memohon berkah mereka dalam berbagai hal. Mereka berdoa kepada para dewa itu sebagai perantara dan penyampai keinginan-keinginan mereka di hadapan Allah. Bangsa Arab di Gurun Syiria menganggap Al-Manat, “Dewi Fortuna” sebagai permaisuri Allah, dan ibu dari semua dewa. Beberapa dewa seperti Al-Lat ”Dewi Langit” dan Al-Uzza, “Dewi Venus”, dianggap sebagai putri-putri Allah (Jabbarov, 1990). Orang-orang suku Yaman memuja matahari. Suku-suku lainnya menyembah bulan, sedangkan yang lainnya memuja berbagai bintang. Namun sebagian besar mereka memuja berhala. Hampir setiap suku memiliki berhalanya sendiri. Di daerah Dumat-ul-Jandal, disebelah utara Hijaz, terdapat tempel Wadd. Berhala yang dipuja disana berupa patung manusia terbuat dari batu, ditutupi oleh dua mantel. Ia membawa pedang dan busur pada bahunya, sebuah tempat penuh anak panah tergantung pada punggungnya, dan memegang sebuah tombak terhiasi bendera kecil diujungnya.
Dewi Al-Manat memiliki sebuah tempat pemujaan baginya di Qudaid di pesisir laut, di tengah-tengah antara kota Mekkah dan Madinah. Patung Al-Manat membawa dua pedang di tangannya. Dewi Al-Lat berada di daerah Taif, dan dipuja oleh suku Bani Saqif yang tinggal di kota tersebut. Patungnya terbuat dari batu berbentuk persegi. Begitupun Al-Uzza, tempat pemujaannya terdapat di daerah lembah Nakhla, tidak jauh dari Mekkah. Ketiganya begitu populer dikalangan suku-suku Arab (Khan, 1931).
Di Hijaz dan Hajd, bangsa Arab memuja batu-batu yang disebut betil, “Rumah Allah”. Mereka mengitari batu-batu itu lalu menyentuhnya, dengan tujuan agar kekuatan yang tersimpan dalam batu itu dapat berpindah ke dalam diri mereka. Terdapat betils yang ditempatkan secara menetap, ada pula betil yang dibawa kemana-mana. Suku-suku pengembara membawa betil dipunggung-punggung onta mereka, dan memujanya dengan cara memukul gendang dan menyanyikan doa-doa pujian. Selain itu terhadap batu dan dewa-dewa itu, suku-suku Arab juga memuja para leluhurnya (Anri Masse, 1992).
Bangsa Arab kuno percaya bahwa dengan membentuk wujud-wujud para dewa dan dewi, dan dengan melakukan pemujaan yang benar terhadap mereka, mereka dapat menyebabkan dewa dan dewi yang sebenarnya bermanifestasi ke dalam wujud-wujud itu. Mereka tidak hanya melakukan penghormatan kepada patung-patung buatan, tapi juga menghormati segala jenis makhluk dan benda-benda alam. Malaikat, jinns, atau roh-roh jahat, dan berbagai bintang adalah obyek pemujaan mereka.
Mereka percaya bahwa para malaikat adalah putra-putri Allah, dan jin merupakan partner Beliau dalam sifat ilahi. Mereka bahkan memuja bebatuan, pepohonan, dan gundukan pasir. Mereka menjatuhkan diri menyembah dihadapan batu; mereka memuja gundukan-gundukan pasir setelah memerah susu-susu ontanya di sana. Bila mereka sedang dalam perjalanan, mereka akan membawa 4 buah batu; yang tiga untuk membuat tungku perapian, batu keempat digunakan sebagai obyek pemujaan. Kadang-kadang mereka tidak membawa batu terpisah sebagai obyek pemujaan. Sehingga setelah selesai memasak, mereka mengambil salah satu dari tiga batu itu untuk dipuja (Maulana Muhammad Ali, 1993).
Beberapa suku bangsa Arab memuja api, yang lainnya memuja bentuk alat kelamin lelaki dan perempuan, sementara orang-orang yang perkasa dan tenar membuat patung-patung diri mereka sendiri dan memaksa orang lain untuk memuja patung-patung itu. Suku-suku lainnya memiliki kebiasaan yang mengerikan. Misalnya mereka mengorbankan bayi perempuannya yang baru lahir, atau menguburnya hidup hidup. Berangsur-angsur, Ka’bah kehilangan pengaruhnya, dan Mekkah tak lagi memiliki wibawa. Untuk mengatasi hal itu, penguasa kota Mekkah memutuskan untuk menempatkan sebuah patung yang sangat perkasa dan berpengaruh yang bernama Hubal di dalam Ka’bah (Talibov, 1991). Patung itu dibawa dari daerah Moab di Palestina. Tujuh buah anak panah di tempatkan digenggaman tangannya. Ka’bah merupakan tempat peziarahan yang terkenal. Dan untuk membuatnya lebih menarik bagi suku-suku bangsa Arab, orang-orang Mekkah secara bertahap mulai mengumpulkan banyak patung. Tidak berselang lama, terkumpulah 360 berhala yang ditempatkan di dalam Ka’bah dan halamannya Patung-patung Al-Manat, Al-Lat dan Al-Uzza dihiasi dengan pakaian-pakaian dan perhiasan indah. Patung-patung lain yang juga terkenal adalah Wadd, Sava, Yagus, Yauk dan Nasr. Para ahli sejarah Muslim mengklaim bahwa patung-patung tersebut memang dibenarkan untuk disembah, bahkan sejak sebelum masa Banjir Besar. Wadd adalah sebuah personifikasi langit dalam wujud seorang pria, Sava berwujud seorang wanita, Yagus memiliki wujud seekor singa, Yauk berwujud seekor kuda, dan Nasr berbentuk layang-layang. Ada patung lain dalam bentuk burung merpati berukuran besar, terbuat dari kayu. Bangsa Arab kuno memuja para dewa tersebut dengan cara mempersembahkan dupa, makanan, hadiah-hadiah yang mahal, dan sebagainya. Mereka memandikan patung para dewa itu dengan air kumkuman bunga, madu, dan darah hewan yang dikorbankan.
Di depan Ka’bah, terdapat patung sepasang pria dan wanita, yang bernama Isaf dan Naila. Menurut tradisi, suatu hari sepasang anak muda ini ingin melakukan hubungan badan, dan tidak dapat menemukan tempat lain yang aman. Mereka masuk ke dalam Ka’bah dan mencemarinya dengan perilaku asusila.Karena perbuatan biadab itu, Allah menghukum sepasang muda-mudi itu dengan mengutuknya menjadi patung batu. Orang-orang menjumpai tubuh sepasang manusia yang membatu itu teronggok di halaman Ka’bah. Sebenarnya peristiwa tersebut merupakan peringatan dari Allah bagi siapapun yang berani berbuat tidak senonoh dalam Ka’Bah. Namun, masyarakat pada masa itu begitu merosotnya, sehingga bahkan sepasang batu itupun mereka anggap sebagai arca yang patut disembah dan dihormati bersama berhala-berhala lainnya.
Di dalam Ka’bah, terdapat lukisan-lukisan dinding, termasuk lukisan sosok Nabi Ibrahim, dan lukisan Bunda Maria bersama bayi Yesus (Hamidullah, 1974). Bangsa Arab kuno juga mempunyai tradisi mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali dengan telanjang bulat. Para pria melakukannya siang hari, sedang wanitanya pada malam hari.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa bangsa Arab Kuno telah memiliki keimanan kepada Allah, Tuhan pencipta langit dan bumi, tetapi mereka tidak menyembah-Nya. Melainkan mereka menyembah berbagai berhala, dengan anggapan berhala-berhala itulah yang melakukan segala sesuatu untuk mereka, misalnya memberikan hujan, kekayaan, atau menyampaikan doa-doa mereka kepada Allah.
Dari sejarah bangsa Arab kuno tersebut dapat kita ketahui bahwa seiring berlalunyazaman, prinsip-prinsip agama sejati telah disimpangkan. Masyarakat memuja segala benda dan segala sesuatu yang lain selain Tuhan Yang Maha Esa. Sri Krishna menyatakan dalam Bhagavad-gita (4.7 – 8), bila hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela (abhyutthânam adharmasya), Tuhan akan mengirimkan utusannya untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma (dharma-samsthāpanārthāya).
Dalam situasi seperti di Semenanjung Arab itulah, Nabi Muhammad S.A.W diturunkan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma. Beliau menerima wahyu Al- Qur’an melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan diangkat sebagai rasul Allah. Masyarakat pada masa itu menyembah berbagai berhala hasil penggambaran rekaan dan khayalan manusia Oleh karena itu, Nabi Muhammad secara tegas melarang penyembahan berhala seperti itu. Tetapi Beliau tidak melarang pemujaan terhadap penggambaran wujud-wujud yang dibenarkan menurut kitab suci. Pada saat Nabi Muhammad berhasil menguasai kota Mekkah, Beliau dan para pengikutnya memasuki bangunan Ka’bah. Ada banyak penggambaran manusia pada tembok-tembok Ka’bah pada waktu itu. Nabi Muhammad memerintahkan agar semuanya dihapus, kecuali penggambaran Perawan Maria dan bayi Yesus (Akif Manaf Jabir, 1998).
Namun seiring dengan berlalunya waktu, secara tradisi Islam melarang pemujaan dan penyembahan terhadap bentuk apapun, tanpa kecuali. Termasuk melarang pemujaan terhadap arca-vigraha atau murti Tuhan yang dibenarkan oleh kitab suci Weda sekalipun. Menurut ajaran Islam, penggambaran bentuk Allah diciptakan oleh setan dan disebut byut (berhala). Pemujaan kepada byut atau berhala dilarang secara tegas, dan pelakunya akan mendapat hukuman yang pantas dari Allah.Tinjauan terhadap ajaran Al-Qur’an dan Injil yang telah kita lakukan menunjukkan bahwa pemujaan berhala adalah sesuatu yang terlarang. Semua larangan tersebut dinyatakan dengan tegas, jelas, dan disertai dengan ancaman hukuman bagi yang melanggarnya. Wajar kalau kemudian muncul pertanyaan dalam hati kita. Tuhan Maha Esa, Tuhan hanya Satu. Kalau dalam kitab suci lain Tuhan melarang pemujaan kepada berhala atau bentuk-bentuk lainnya, apakah Weda tidak melarangnya? Apakah pemujaan arca di pura atau kuil orang Hindu tidak tergolong sebagai pemujaan berhala? Tidakkah orang Hindu pemuja patung? Orang Hindu juga memuja dan menghormati pohon tulasi, pohon beringin, dan juga sapi! Tidakkah itu tergolong dinamisme dan animisme yang oleh umat lain jelas-jelas digolongkan sebagai pemujaan masyarakat primitif prasejarah?? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita masih akan menganalisa kembali pemahaman sesuai konteks terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Injil tersebut. Perlu kita ingat kembali bahwa menurut Weda, setiap utusan Tuhan akan mengajarkan kepada umat manusia menurut waktu, tempat, dan kecerdasan spiritual yang dimiliki oleh umat tertentu. Contoh yang paling mudah dipahami adalah sebagai berikut. Seorang dosen matematika pastilah menguasai ilmu Trigonometri, yang berbicara tentang konsep Sinus, Cosinus, Tangen, Cotangen, dan sebagainya. Kalau dosen seperti itu mengajar, tentu ia harus pandai-pandai mempertimbangkan kemampuan orang yang akan dia ajari. Saat mengajar mahasiswa jurusan matematika, tentu tidak masalah kalau dia memberikan rumus-rumus Trigonometri itu. Secara psikologis dan keilmuan, seorang mahasiswa telah siap menerima ilmu yang sifatnya abstrak seperti itu. Tapi kalau saat mengajar anak umur Sekolah Dasar, dosen itu ngotot mengajarkan konsep Trigonometri itu, apa yang terjadi?
yang perempuan, dan saudara perempuanmu...”. Mengapa ada ayat yang berbunyi demikian? Dapat dipastikan, semua kebiasaan zinah dengan anggota keluarga sendiri itu telah terjadi pada bangsa Arab masa itu. Dapatkah Anda bayangkan, bagaimana mentalitas masyarakat yang harus dihadapi oleh Nabi Muhammad? Kemerosotan moral itu sudah sedemikian hebatnya, sehingga masyarakat saat itu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan pujaan mereka.
Nabi Muhammad melarang pemujaan terhadap berhala, namun pada saat yang sama beliau juga tidak memberikan penjelasan atau gambaran bagaimana ’wujud’ Tuhan yang sesungguhnya. Secara terbuka beliau tidak pernah berbicara tentang bentuk Tuhan, namun dalam beberapa ayat Al-Quran beliau memberikan secara tersirat atau tersembunyi tentang wujud Tuhan. Mengapa? Bangsa Arab saat itu membuat dan memuja berhala dengan bentuk-bentuk semau mereka sendiri. Kalau Nabi Muhammad menyebut dan menjelaskan bentuk Tuhan, pastilah mereka akan membuat berhala-berhala baru. Padahal, pelarangan pemujaan berhala itulah yang menjadi misi utama kehadiran Nabi Muhammad.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh Sang Buddha, yang muncul di India saat orang-orang secara keliru memahami ajaran Weda dan secara salah melakukan korban suci hewan dengan mengatasnamakan Weda, hanya demi kepuasan indria-indria mereka sendiri. Guna menghentikan semua itu, Sang Buddha mengajarkan filsafat ahimsa, yang berarti tidak melakukan kekerasan terhadap semua makhluk hidup. Buddha meminta kepada semua pengikutnya untuk menolak ajaran Weda. Seperti juga Nabi Muhammad, beliau mengajarkan sesuai tempat, waktu, dan kecerdasan spiritual masyarakat pada saat itu.
Jadi dapat dimengerti bahwa karena kemerosotan prinsip-prinsip keagamaan orang-orang Arab, Nabi Muhammad telah di utus oleh Allah, Tuhan Yang Maha Esa, guna membangun agama yang benar dan menghentikan semua bentuk pemujaan atas patung-patung yang diciptakan atas dasar angan-angan manusia yang keberadaannya sangat menonjol pada waktu itu. Tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa Nabi Muhammad menolak pemujaan kepada arca yang dibenarkan menurut aturan kitab suci, dan hal itu dapat kita temukan apabila kita secara dekat mengkaji kehidupan Nabi Muhammad.
Menurut Geo Wedengren (1995), menurut tradisi Muslim, suatu waktu, saat Nabi Muhammad mengalami Isra Miraj (naik ke planet-planet sorga), dan setelah memasuki lapis ke tujuh dari planet sorga, beliau menghadap singgasana Allah. Hal ini terjadi saat Nabi Muhammad menerima ilmu pengetahuan rohani dari Allah. Pengetahuan rohani yang diterima oleh Nabi Muhammad ini ada 3 jenis : 1) pengetahuan yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad untuk disembunyikan; 2) pengetahuan yang Allah persilahkan kepada Nabi Muhammad apakah hendak diungkapkan atau disembunyikan; 3) pengetahuan yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad untuk dikomunikasikan kepada semua anggota ummah.
Pada saat Nabi Muhammad naik ke sorga dan berjumpa dengan Allah, Allah sedang duduk di atas singgasana-Nya. Setelah peristiwa itu, ketika kemudian orang-orang bertanya kepada Nabi Muhammad : ”Apakah Anda telah melihat Allah?” Sang Rasul menjawab : ”Saya hanya melihat cahaya, cahaya yang begitu kemilau, di mana Allah berada di balik 20.000 tirai korden. Jika korden itu dibuka dan seseorang melihat wajah Allah maka dia akan segera terbakar menjadi debu” (Baku, 1993). Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Tuhan memiliki wujud, yang merupakan dasar bagi umat Hindu dalam melakukan pemujaan kepada Tuhan dalam bentuk arca atau murti.
Selain dalam Al-Qur’an, pelarangan pemujaan terhadap berhala juga dapat kita temukan dalam kitab Injil, khususnya Perjanjian Lama (Old Testament) yang merupakan kitab suci bagi umat Yahudi, Kristen, dan agama-agama serumpun. Terdapat larangan tegas untuk menciptakan arca atau berhala dan menyembah bentuk-bentuk itu. Dalam Exodus 20.3 terdapat perintah :”Thou shalt have no other gods before Me (Kamu tidak boleh mempunyai Tuhan lain di hadapan-Ku)”. Larangan itu dipertegas lagi dalam ayat-ayat selanjutnya (Exodus 20.4-5): “Thou shall not make unto thee any graven (carved) image of any likeliness of anything that is in the sky above, or that is on the earth beneath, or that is in the water under earth…Thou shall not bow down to them, nor serve them ; for I the Lord thy God am a jealous God.”
Artinya : “Kamu tidak akan membuat atasmu patung berhala, atau keserupaan dengan apapun, yang ada disurga di atas, atau yang ada di atas bumi, atau yang ada dalam air; kamu tidak akan tunduk pada mereka, tidak pula melayani mereka, karena aku Tuan Tuhanmu adalah seorang Tuhan pencemburu”.
Dalam hubungannya dengan kitab Perjanjian Lama, larangan terhadap pemujaan berhala muncul dalam konteks untuk mempertahankan pemuja Yahweh, Tuhan Yang Maha Esa, agar tidak tunduk dan menyembah Baals, Ishtars,dan lain-lain, yang merupakan nama-nama dewa-dewa pujaan umat pada masa itu. Dengan kata lain, terjadi pemujaan kepada berbagai dewa pada waktu itu, dan dalam upaya menghindari hal itu, diberikan larangan keras untuk memuja ”lesser gods” atau tuhan-tuhan yang lebih rendah, termasuk pemujaan kepada arca atau patung.
Ayat tersebut merupakan salah satu dari sepuluh perintah yang termashyur. Dengan dasar ayat-yat itu, umat Judeo-Kristen mengembangkan sikap kebencian yang kuat terhadap kegiatan pemujaan arca. Selanjutnya, larangan itupun dimaknai sebagai larangan untuk memuja wujud Tuhan yang yang dibenarkan menurut uraian kitab-kitab suci sekalipun. Larangan-larangan itulah yang mengilhami penghancuran tempat-tempat sembahyang umat Hindu khususnya di India, pada masa kekuasaan umat-umat beragama lain tersebut.
Sebagai umat Hindu, sewajarnya kita merasa terpanggil untuk memahami konsep pemujaan terhadap wujud-wujud yang dianggap sebagai ”berhala dan patung” bagi di mata umat lain itu. Benarkah tuduhan mereka? Benarkah kita memang memuja berhala? Bukankah wujud-wujud itu terbuat dari benda-benda material? Tidakkah ’Tuhan orang Hindu’ menjadi ”cemburu” terhadap wujud-wujud yang kita puja itu, seperti yang dikatakan dalam Exodus 20. 4-5???
Arca dan Berhala : Apa Bedanya????
Pemujaan terhadap arca Tuhan menurut Hindu, sering dituduh sebagai pemujaan berhala oleh umat beragama lain. Mereka sering lupa, bahwa kalau kita memuja arca Sri Wishnu yang berlengan empat, kita sedang memuja sesuatu bentuk yang tidak memiliki ‘keserupaan dengan apapun, yang ada disurga di atas, atau yang ada di atas bumi, atau yang ada dalam air;. Apakah ada makhluk ciptaan Tuhan ditempat-tempat yang disebutkan itu, yang memiliki bentuk dan menyerupai Sri Wishnu?? Adakah makhluk lain yang memiliki lengan empat, masing-masing memegang chakra, gada, sanka dan bunga padma?? Dengan demikian, larangan dalam ayat Exodus 20. 3-5 itu, dan ayat-ayat lainnya kehilangan maknanya ketika dihadapkan pada pemujaan kepada Sri Wishnu oleh umat Hindu. Orang yang agak jeli akan memprotes : Bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa Tuhan berlengan empat dan memiliki atribut-atribut Hindu begitu??? Bukankah Tuhan tidak berwujud?? Untuk menjawab itu, kita bisa menjawabnya dengan mengatakan Apa sesungguhnya tujuan kita bersembahyang dan memuja Tuhan? Kalau kita mau jujur, kebanyakan orang sembahyang hanya karena ingin menjadikan Tuhan sekedar sebagai “order supplier” atau “tempat pesan & penyedia” barang-barang kebutuhan kita. Kita sembahyang dan mendekatkan diri kepada Tuhan karena butuh sesuatu, dan karenanya dengan enteng kita main perintah kepada Tuhan :”Tuhan, berikan kami rejeki pada hari ini….beri kami perlindungan, jauhkan kami dari segala bahaya, jangan beri kami cobaan, dst….dst…..”
Atau, orang bersembahyang kepada Tuhan hanya karena ingin mendapat pahala, takut pada ancaman dijebloskan ke dalam api neraka kalau tidak melakukannya. Yang paling banyak, orang ingat pada Tuhan hanya saat dia dalam duka dan kesedihan.
Dalam Bhagavad-gita (7.16) Sri Krishna menyatakan :
catur-vidhä bhajante mäà janäù sukåtino ’rjuna ärto jijïäsur arthärthé jïäné ca bharatarñab
Wahai yang paling baik di antara para Bharata (Arjuna), empat jenis orang saleh mulai mendekatkan diri kepada-Ku – orang yang berduka cita, orang yang menginginkan kekayaan, orang yang ingin tahu, dan orang yang mencari pengetahuan tentang Yang Mutlak.
Ayat Bhagavad-gita tersebut telah mengisyaratkan kepada kita, bahwa umumnya manusia akan menoleh kembali, dan mulai mendekatkan diri kepada Tuhan saat ia berada dalam kesedihan, ataupun karena secara ekonomi sedang tidak menguntungkan. Lalu, setelah semua duka dan kesedihan berlalu, setelah semua doa permintaan terkabul, orang kembali melupakan Tuhan. Sedikit sekali yang benar-benar berusaha mengenal dan mencintai, serta berbhakti kepada Tuhan.
Tujuan tertinggi kehidupan sebagai manusia adalah untuk mencapai moksa atau pembebasan. Yang dimaksud dengan pembebasan adalah terlepasnya atman dari perputaran kelahiran dan kematian yang dialami berulangkali ke dunia material ini, atau terbebas dari samsara. Pembebasan itu hanya dapat dicapai, bila seseorang telah berhasil kembali pulang ke dunia rohani, atau memasuki kerajaan Tuhan. Mengenai sifat alam rohani tersebut, diuraikan dalam Bhagavad-gita sebagai berikut :
Dari planet tertinggi di dunia material sampai dengan planet yang lebih rendah, semuanya tempat-tempat kesengsaraan, tempat kelahiran dan kematian dialami berulangkali. Tetapi orang yang mencapai tempat tinggal-Ku tidak akan pernah dilahirkan lagi, wahai Arjuna (8.16) Tempat tinggal-Ku yang paling utama itu tidak diterangi oleh matahari, bulan, api, maupun listrik. Orang yang mencapai tempat tinggal itu tidak pernah kembali lagi ke dunia material ini (15.6)
Sesudah mencapai kepada-Ku, roh-roh yang mulia, yogi-yogi dalam bhakti, tidak pernah kembali lagi kedunia fana yang penuh kesengsaraan, sebab mereka sudah mencapai kesempurnaan tertinggi. (8.15)
Kalau tidak ada lagi cinta, pasti akan berantem melulu! Tapi ingat, pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang” ataupun “To Know is To Love” juga berlaku dalam hubungan kita dengan Tuhan. Bagaimana kita bisa jatuh cinta kepada Tuhan, kalau kita tidak pernah kenal Beliau? Bukankah “cinta” adalah “take and give” – memberi dan menerima?
Lalu pertanyaannya, bagaimana kita bisa mencintai Tuhan, kalau ternyata Tuhan tidak berwujud, tidak memiliki sifat, tidak terkatakan, tidak terdeskripsikan dan tidak…tidak….tidak….lainnya? Inilah persoalannya. Bagaimana kita bisa “memberi” sesuatu kepada Tuhan, kalau mata kita tidak bisa melihat-Nya? Kita sering mendengar ada orang yang langsung “fall in love on the first sight”, jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu karena ada obyek yang dapat dilihat dan dapat dipandang. Dari mata turun ke hati…..
Bagaimana proses “dari mata turun ke hati” ini bisa kita terapkan pada Tuhan? Mustahil, karena berbagai alas an. Pertama, keterbatasan panca indera kita. Tuhan mungkin sudah hadir di depan mata kita, tapi mata kita memang tidak mampu melihatnya. Telinga kita tak mampu mendengar bisikan lembut Tuhan, yang mungkin sudah sangat dekat ke telinga kita. Mengapa? Karena frekuensinya berbeda, panjang gelombangnya berbeda! Maksudnya? Ingat, dalam ilmu fisika dikenal istilah cahaya tampak dan cahaya tak tampak. Mata hanya bisa melihat cahaya dengan panjang gelombang antara 20 Amstrong sampai 20 kilo Amstrong. Telinga kita hanya bisa mendengar suara yang panjang gelombangnya antara 20 Hz sampai dengan 20 kHz. Kalau mau jujur, kemampuan telinga kita kalah dengan telinga kelelawar dan telinga anjing. Di mata kita, matahari hanya sebesar bulatan bola kaki, padahal ukuran matahari sebenarnya 14 kali ukuran bumi. Bintang-bintang seolah hanya muncul pada malam hari, menghilang pada siang hari. Padahal kenyataannya bintang-bintang tidak pernah menghilang.
Di atmosfer sekitar kita sebenarnya berseliweran ratusan film, siaran televisi, siaran radio, orang lagi asyik mojok pakai telpon, dan lain-;ain. Tapi, toh mata dan telinga kita tidak mampu melihat dan mendengarnya. Setelah kita memanfaatkan televisi, menyetel radio atau menggunakan alat bantu lainnya, barulah kita akan bisa menangkap semua siaran itu. Jadi, jelaslah bahwa indera kita memiliki begitu banyak keterbatasan, bahkan untuk memahami hal-hal yang sifatnya masih material sekalipun. Dengan segala keterbatasan itu, bagaimana kita bisa melihat dan mencintai Tuhan?
Itulah sebabnya, selama ini secara umum manusia menyimpulkan bahwa Tuhan tidak berwujud, tidak terpikirkan, tidak terbayangkan, dan diluar segala sifat yang dapat diterapkan pada diri manusia. Tuhan disebut Acintya, tak terpikirkan.
Lalu, bagaimana solusinya? Padahal, kalau mau jujur, kita tidak pernah bisa bersembahyang pada kekosongan. Saat berdoa, sembahyang, ataupun melakukan pemujaan, pastilah pikiran kita membayangkan suatu figur, sosok, bentuk, wujud, konsep, atau gambaran tertentu, yang kita jadikan sebagai obyek untuk pemusatan pikiran. Bukankah demikian? Entah itu berupa “cahaya menyilaukan”, “orang tua yang agung dan bijak”, “omkara”, “gambar Jesus”, “Kaligrafi Allah” tanda salib, dan sebagainya dan seterusnya. Selalu ada sesuatu yang kita wujudkan – baik secara sadar ataupun tidak sadar – dalam pikiran kita, sebuah obyek yang dapat kita jadikan sebagai tempat mencurahkan kesedihan, duka cita, ataupun permohonan-permohonan kita. Bukankah umat Islam juga diwajibkan untuk menghadap ke arah “kiblah” yaitu berupa Ka’bah yang berada di kota Mekah, Arab Saudi? Arah menghadapnya bisa ke barat, timur, utara, selatan, tenggara, dan sebagainya, tergantung pada arah mana kota Mekah kalau dilihat dari negara di mana umat Islam berada. Bukankah, Islam yang mengajarkan agar orang tidak menggambarkan wujud Allah pun, masih menganjurkan agar umatnya sembahyang dengan menghadap ke arah Ka’bah sebagai pusat konsentrasi?
Demikianlah, pada dasarnya, orang tidak bisa sembahyang pada kekosongan. Kalau kita pelajari secara mendalam dan menyeluruh ayat-ayat Weda, maka akan kita temukan uraian-uraian bahwa Tuhan memiliki wujud rohani, Tuhan memiliki badan rohani. Kebenaran Tertinggi menurut Weda adalah dalam bentuk Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavan). Sebagaimana sebuah negara memiliki pemerintahan, maka akan ada seseorang yang bersifat individu yang menjadi kepala pemerintahan.
Salah satu keunikan dan kelengkapan kitab Weda adalah, ia menguraikan secara sangat lengkap sifat-sifat, wujud dan kegiatan Tuhan, yang tidak dapat ditemukan dalam kitab suci lainnya. Mungkin ada yang bertanya, tidakkah wujud Tuhan itu hanyalah hasil penggambaran dan imajinasi manusia semata? Jawabannya tidak. Menurut Weda, Tuhan tahu pasti bahwa manusia tidak akan pernah mampu memikirkan atau membayangkan wujud-Nya. Itu semua berada diluar batas kemampuan manusia. Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Bukankah manusia tidak akan bisa mencintai Tuhan, kalau tidak manusia tidak memiliki gambaran apapun tentang Tuhan?
Tentu saja, semua itu bisa teratasi, bila Tuhan yang berinisiatif, Tuhan yang harus “mengalah”, dengan menampakkan diri kepada manusia. Tuhan memiliki hak prerogatif untuk melakukan itu kepada yang dikehendaki-Nya. Pihak Tuhan lah yang harus berinisiatif untuk memberitahu manusia tentang sifat-sifat, wujud dan kegiatan-Nya, tentu sejauh dan sebatas yang dapat dimengerti dan dipahami oleh otak manusia yang serba terbatas ini.
Itulah yang terjadi dalam kitab Weda, yang tidak dapat dijumpai dalam kitab-kitab lainnya di dunia. Kalau kita orang mau secara obyektif mempelajari dan membandingkan kelengkapan informasi atau pengetahuan tentang Tuhan, alam rohani, dan kegiatan-kegiatan Tuhan yang tersajikan dalam berbagai kitab suci di dunia, maka kitab Weda lah yang menyediakan informasi paling lengkap mengenai hal itu. Jangan mengatakan tidak sebelum Anda membuktikannya. Pernyataan ini bukan sekedar ungkapan rasa fanatik buta, tapi memang telah dibuktikan oleh mereka yang memang menekuni bidang-bidang seperti itu.
Jadi, kalau umat Hindu bersembahyang dengan membuat dan menggambarkan wujud dan bentuk Tuhan, hal itu dilakukan dengan mengikuti uraian mengenai wujud dan penggambaran badan rohani Tuhan sebagaimana yang diuraiakan dalam kitab-kitab Weda. Ada kitab Weda khusus yang bernama silpa sastra, yang berisi panduan lengkap bagaimana seharusnya orang membentuk arca atau murti Tuhan. Ada upacara-upacara tertentu yang harus dilakukan, dan ada mantra mantra tertentu yang digunakan untuk “mengundang” Tuhan agar berkenan “bersemayam” dalam murti atau arca yang dipuja.
Sekali lagi, indera manusia hanya bisa menangkap dan memahami hal-hal yang bersifat material, sedangkan Tuhan bersifat rohani atau spiritual. Oleh karena itu, Tuhan berkenan hadir dalam wujud arca atau murti yang terbuat dari bahan-bahan material, yang dapat dilihat dan diraba oleh indera manusia. Arca atau murti boleh dibuat dari bahan kayu, batu, logam, tanah liat, cat, dan sebagainya. Tuhan Maha Hebat, Beliau mampu mengubah sesuatu yang bersifat material menjadi bersifat spiritual, begitu pula sebaliknya, sesuai dengan kehendak-Nya. Apa sulitnya bagi Tuhan untuk “masuk” ke dalam arca atau murti itu, untuk menerima bhakti dan persembahan dari pemuja-Nya yang berbhakti dengan hati dan keinginan yang tulus? Bukankah batu, kayu, logam, atau bahan-bahan lainnya semuanya adalah ciptaan Tuhan Sendiri? Apakah kita akan disebut menghina dan menyekutukan Tuhan, kalau kita manfaatkan benda-benda ciptaan Tuhan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada-Nya?
Kalau kemudian saya bertanya : “ Tuhan ada di mana-mana. Apakah itu berarti Tuhan juga ada di dalam arca? Mampukah Tuhan masuk, berada dan bersemayam dalam arca yang dipuja oleh umat Hindu itu?”
Biasanya, ada yang dengan bersemangat menjawab : “Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tuhan Maha Suci, Tidak mungkin Tuhan berada dalam benda-benda ciptaan manusia!”
Lalu, kita bisa mengejar jawaban itu dengan menyimpulkan begini: “Oh, jadi Tuhan kalah dengan manusia? Manusia lebih hebat dari Tuhan, karena mampu menciptakan sesuatu yang membuat Tuhan tidak mampu memasukinya? Tuhan yang tadinya ada dimana-mana, Maha Ada, menjadi tidak berdaya menghadapi benda-benda ciptaan manusia! Bukankah itu berarti Tuhan juga tidak mampu berada dalam masjid, gereja, pura, atau wihara, karena semua tempat-tempat itu adalah ciptaan manusia?”
Menggelikan bukan? Pada dasarnya, Tuhan mampu berada di dalam segala sesuatu! Asal, Beliau Mau! Kalau tidak, apa hebatnya Tuhan? Karena itulah, salah satu nama Tuhan dalam bahasa Sanskerta adalah “Wishnu”, yang artinya “Dia yang meresap dan bersemayam dalam segala sesuatuBukankah ternyata justru manusia yang membatasi Tuhan? Tuhan tidak mungkin begini, Tuhan tidak boleh begitu. Tuhan bukan ini dan bukan itu! Karena itu, kalau kita menyembah Tuhan dalam wujud arca atau pratima, kita dianggap membatasi Tuhan. Masak sih Tuhan seperti batu? Pertanyaannya, benarkah Tuhan memang akan terbatasi oleh batasan-batasan manusia? Mampukah batasan-batasan kita itu benar-benar membatasi Tuhan yang Tanpa Batas itu?
arcäyäà sthaëòile 'gnau vä sürye väpsu hådi dvijaù dravyeëa bhakti-yukto 'rcet sva-guruà mäm amäyayä
A twice-born person should worship Me, his worshipable Lord, without duplicity, offering appropriate paraphernalia in loving devotion to My Deity form or to a form of Me appearing upon the ground, in fire, in the sun, in water or within the worshiper's own heart.
Seorang dvija (orang yang sudah dilahirkan dua kali) harus menyembah-Ku, Tuhan yang patut dipuja, sepenuh hati (tanpa sikap mendua), mempersembahkan berbagai perlengkapan dengan cinta Bhakti kepada wujud-Ku sebagai arca, atau kepada wujud-Ku yang muncul dalam tanah, dalam api, dalam matahari, dalam air, atau dalam hati penyembah itu sendiri.(Bhagavatam 11.27.9)
sandhyopästyädi-karmäëi vedenäcoditäni me püjäà taiù kalpayet samyak- saìkalpaù karma-pävaném
Dengan memusatkan pikirannya kepada-Ku, seseorang hendaknya memuja-Ku dengan melakukan tugas kewajiban yang telah ditetapkan baginya. Misalnya dengan mengucapkan gayatri mantra tiga kali sehari (pagi, siang, dan senja hari). Kegiatan seperti itu diperintahkan dalam Weda, dan akan menyucikan hati orang yang melakukannya dari keinginan untuk mendapatkan hasil dari perbuatannya.
Mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membuat arca Krsihna menyebutkan sebagai berikut :
çailé däru-mayé lauhé lepyä lekhyä ca saikaté mano-mayé maëi-mayé pratimäñöa-vidhä småtä
Dinyatakan bahwa Arca Tuhan dapat muncul dalam delapan jenis bahan : dari batu, kayu, , logam, tanah, cat, pasir, pikiran, dan permata. (Bhagavatam 11.27.12).
Jelaslah dalam hal ini, bahwa pada saat umat Hindu membuat arca Tuhan dari batu atau logam, tidak berarti bahwa mereka sedang menghina Tuhan karena mempersamakan Tuhan dengan batu. Toh, batu dan bahan-bahan lainnya, semuanya adalah ciptaan Tuhan. Dan Tuhan sendiri yang mengijinkan D iri Beliau dipuja dalam bentuk yang dapat dilihat oleh mata manusia yang terbatas ini. |