Tidak menggunakan nama Bali seperti Wayan, Putu, Luh dan sebagainya. Tidak setia pada “tradisi Bali”? Oh, tentu tidak. Kami sangat bangga lahir menjadi orang Bali. (Pilihan untuk tidak menggunakan nama tersebut) Ini merupakan pilihan logis kami untuk menyatakan rasa bhakti kami kepada leluhur. Mengapa? Nama Wayan, Putu, Made dan sebagainya identik sebagai representasi kasta; bahwa seseorang datang dari kalangan “Sudra”. Nyatanya, kami adalah sentana Sotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Apakah sentana Sapta Rsi adalah wangsa Sudra? Ini yang kami ingin perjelas. Di Bali, Kasta memang fenomenal. Banyak orang bilang bahwa kasta adalah primordial, namun kenyataannya (masih tetap) kontemporer dan menarik untuk disimak. “Belenggu Kasta” mengingatkan saya pada tragedi pemerkosaan beberapa gadis etnis Cina, medio 1998 di Jakarta . Dalam satu kisah kelam tragedi tersebut diilustrasikan perasaan khawatir dari seorang gadis (narasumber) yang benci, marah dan menyesal terlahir sebagai anak etnis Cina. Jika boleh memilih, Lie Tsu Yeh (nama samaran) tidak akan mau lahir di keluarga Cina. Bagi dia, lahir di etnis tersebut dan besar di Indonesia (red: Jakarta ) akan menjadi beban bagi dia dan anak-anak yang dia lahirkan kelak. Seakan menjadi pembenaran bahwa etnis Cina sudah sepantasnya menerima perlakuan tersebut (kekerasan, pemerkosaan dsb) - begitu menurut Lie Tsu Yeh saat itu. Tidak bisa memilih dikeluarga mana seorang anak dilahirkan adalah aksioma. Saya sendiri tidak ingin lahir dikeluarga seorang petani miskin dari kalangan - yang disebut sebagai - sudra di Dusun Gunungrata, Klungkung. Jika memang bisa memilih, saya pastinya ingin lahir dikeluarga Karaskalao ataupun Punjabi sehingga berkesempatan untuk kencan dengan Nafa Urbach - yang ada tatoo sinchan di pangkal pahanya (yang terpublikasi hanya tatoo di udelnya saja. Hanya orang special yang dapat “akses” melihat taoo sinchan-nya. =)). Terlahir di keluarga petani miskin memang termasuk golongan Sudra - secara warna (fungsi/profesi) setidaknya. Namun saat saya sadar bahwa “petani’ bukanlah hereditas, pun demikian halnya dengan sudra, maka saya berjanji dalam diri untuk tidak menjadi petani - dus seorang sudra (lagi), paling tidak untuk saat sebelum pensiun. Yang kemudian menjadi label atas kasta adalah bahwa saya “I Wayan Kusir” anak dari I Wayan Nang Lontong dan tidak punya hubungan kekerabatan apapun dengan Ida Bagus Genjing ataupun Gusti Putu Rangda dsb. “Family Name” yang saya bawa sejak kecil adalah family name golongan (yang disebut sebagai) “Sudra”, bukan perwakilan dari nama leluhur ataupun tetua saya. Jika “hanya” permasalahannya adalah nama, maka - sedikit rasanya yang tidak setuju bahwa - nama adalah pemberian gratis (bukan dari hasil membeli sehingga tidak perlu meminjam kredit di LPD) dari orang tua kita. Namun mengapa mereka tidak melakukannya? Mengapa mereka tetap memberi nama “I Wayan”, “I Made” yang samasekali bukan perwakilan dari keluarga mereka? Di Bali, sudra adalah representasi dari keluarga Pasek Sapta Rsi - mengingat dari segi jumlah KK-nya yang mayoritas. Saya justru menyesal dan mohon ampun atas “dosa” kami yang menganggap “trah Sapta Rsi” sebagai golongan Sudra, karena tidak demikian senyatanya. Dalam Babad Pasek, kata “I” dan “NI” yang identik dengan pernyataan gender, mulai di pakai setelah generasi Mpu Ketek (harap jangan salah baca); I Gusti Agung Pasek Subadra (yang bergelar I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa) yang besaudara dengan Ni Luh Pasek. Sedangkan nama sebagai urutan kelahiran (Wayan=wayahan, Made=madya (tengah), Nyoman - Anoman (bungsu) dan Ketut=Kitut (tambahan=tidak diingankan, he…)) mulai muncul saat setelah generasi Ni Luh Pasek. Saat kita tahu bahwa Ni Luh Pasek adalah adik kandung dari I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, ataupun Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa mempunyai anak kandung dengan nama yang saat ini “membawa aroma Sudra” seperti (Luh Taru, Luh Gadung, Made Jaya dsb) kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa nama Gusti dan I Made BUKAN merupakan cermin dari garis keturunan apalagi kasta. Saat kita naik pada undag para Mpu, warga Pasek sekarang adalah keturunan Mpu Gnijaya ( satu dari 5 Mpu bersaudara; Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan Mpu Beradah) sedangkan warga Brahmana (misalnya di Bali); Ida Bagus Gnejing, Ida Ayu Mongkeg dsb adalah keturunan Danghyang Dwijendra, anak dari Mpu Bradah (adik dari Mpu Gni Jaya). Secara logika sentana Pasek adalah Brahmana wangsa, karena Mpu Gni Jaya adalah seorang Brahmana (jika kita melihat dari segi heredity). baca : http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2007/7/11/bd1.htm Jika memang demikian nyatanya, mengapa dimasyakarat kita masih lumrah dikotomi Sudra - Brahmana. (Generasi) siapakah yang akan menjadi volunteer untuk menyelesaikan satu hal yang kusut ini? Bagaimana cara kita meluruskan sejarah yang sudah “terlanjur Memes” ini… Bisakah kita hanya menunggu gemilangnya jaman pendidikan dan dengan demikian fanatisme klan akan pudar dengan sendirinya? Tentu tidak. Karena sejarah dari ‘tetangga kita” kaum militan adalah (sebagian dari) mereka adalah justru pernah mengenyam dan memperoleh pendidikan tinggi dari dunia barat. Atau melakukan “demo” kepada kaum “berkasta” untuk tidak menggunakan representasi kasta pada namanya? Jika demikian, jangan2 kita (yang disebut sebagai golongan sudra) termasuk kelompok “the looser syndrome” - orang kalah cenderung otoriter. Kita (orang Bali ) cenderung “lalah tabya” dan enggan “nyiksik bulu”. Padalah kasta telah diturunkah puluhan generasi dan tidak akan mungkin bisa diselesainkan oelh bisama PHDI misalnya - meski itu sangat diperlukan. Dengan kesadaran ini, saya setuju dengan prinsip umum Ibu Gedong bahwa kesadaran dan tindakan nyata harus kita mulai dari diri dan keluarga kita sendiri. Secara pribadi, saat saya sadar bahwa masalah kasta adalah (salah satunya adalah) masalah nama, maka saya tidak lagi mencantumkan, maaf, label sudra “I Wayan” atau bahkan “I Gde” atau “I Putu” pada putri (putra) saya (kelak). Mohon maaf kepada rekan2 yang sudah punya anak dan telah memberi nama tersebut. Bukan berarti “cara” saya lebih benar daripada yang rekan2 lakukan. Namun bagi kami bertiga - saya istri dan anak - itu adalah satu cara kami berbakti pada “leluhur” kami yang notabenne bukan seorang sudra. Sumber : http://ayudhya.wordpress.com |