KUSAMBA, sebuah desa yang relatif besar di timur Smarapura hingga abad ke-18 lebih dikenal sebagai sebuah pelabuhan penting Kerajaan Klungkung. Desa yang penuh ilalang (kusa = ilalang) itu baru tampil ke panggung sejarah perpolitikan Bali manakala Raja I Dewa Agung Putra membangun sebuah istana di desa yang terletak di pesisir pantai itu. Bahkan, I Dewa Agung Putra menjalankan pemerintahan dari istana yang kemudian diberi nama Kusanegara itu. Sampai di situ, praktis Kusamba menjadi pusat pemerintahan kedua Kerajaan Klungkung. Pemindahan pusat pemerintahan ini tak pelak turut mendorong kemajuan Kusamba sebagai pelabuhan yang kala itu setara dengan pelabuhan kerajaan lainnya di Bali seperti Kuta. Nama Kusamba makin melambung manakala ketegangan politik makin menghebat antara I Dewa Agung Istri Kanya selaku penguasa Klungkung dengan Belanda di pertengahan abad ke-19. Sampai akhirnya pecah peristiwa perang penting dalam sejarah heroisme Bali, Perang Kusamba yang menuai kemenangan telak dengan berhasil membunuh jenderal Belanda sarat prestasi, Jenderal AV Michiels. Drama heroik itu bermula dari terdamparnya dua skoner (perahu) milik G.P. King, seorang agen Belanda yang berkedudukan di Ampenan, Lombok di pelabuhan Batulahak, di sekitar daerah Pesinggahan. Kapal ini kemudian dirampas oleh penduduk Pesinggahan dan Dawan. Raja Klungkung sendiri menganggap kehadiran kapal yang awaknya sebagian besar orang-orang Sasak itu sebagai pengacau sehingga langsung memrintahkan untuk membunuhnya. Oleh Mads Lange, seorang pengusaha asal Denmark yang tinggal di Kuta yang juga menjadi agen Belanda dilaporkan kepada wakil Belanda di Besuki. Residen Belanda di Besuki memprotes keras tindakan Klungkung dan menganggapnya sebagai pelanggaran atas perjanjian 24 Mei 1843 tentang penghapusan hukum Tawan Karang. Kegeraman Belanda bertambah dengan sikap Klungkung membantu Buleleng dalam Perang Jagaraga, April 1849. Karenanya, timbullah keinginan Belanda untuk menyerang Klungkung. Ekspedisi Belanda yang baru saja usai menghadapi Buleleng dalam Perang Jagaraga, langsung dikerahkan ke Padang Cove (sekarang Padang Bai) untuk menyerang Klungkung. Diputuskan, 24 Mei 1849 sebagai hari penyerangan. Klungkung sendiri sudah mengetahui akan adanya serangan dari Belanda itu. Karenanya, pertahanan di Pura Goa Lawah diperkuat. Dipimpin Ida I Dewa Agung Istri Kanya, Anak Agung Ketut Agung dan Anak Agung Made Sangging, Klungkung memutuskan mempertahankan Klungkung di Goa Lawah dan Puri Kusanegara di Kusamba. Perang menegangkan pun pecah di Pura Goa Lawah. Namun, karena jumlah pasukan dan persenjatan yang tidak berimbang, laskar Klungkung pun bisa dipukul mundur ke Kusamba. Di desa pelabuhan ini pun, laskar Klungkung tak berkutik. Sore hari itu juga, Kusamba jatuh ke tangan Belanda. Laskar Klungkung mundur ke arah barat dengan membakar desa-desa yang berbatasan dengan Kusamba untuk mencegah serbuan tentara Belanda ke Puri Klungkung. Jatuhnya Kusamba membuat geram Dewa Agung Istri Kanya. Malam itu juga disusun strategi untuk merebut kembali Kusamba yang melahirkan keputusan untuk menyerang Kusamba 25 Mei 1849 dini hari. Kebetulan, malam itu, tentara Belanda membangun perkemahan di Puri Kusamba karena merasa kelelahan. Hal ini dimanfaatkan betul oleh Dewa Agung Istri Kanya. Beberapa jam berikutnya sekitar pukul 03.00, dipimpin Anak Agung Ketut Agung, sikep dan pemating Klungkung menyergap tentara Belanda di Kusamba. Kontan saja tentara Belanda yang sedang beristirahat itu kalang kabut. Dalam situasi yang gelap dan ketidakpahaman terhadap keadaan di Puri Kusamba, mereka pun kelabakan. Dalam keadaaan kacau balau itu, Jenderal Michels berdiri di depan puri. Untuk mengetahui keadaan tentara Belanda menembakkan peluru cahaya ke udara. Keadaan pun menjadi terang benderang. Justru keadaan ini dimanfaatkan laskar pemating Klungkung mendekati Jenderal Michels. Saat itulah, sebuah meriam Canon ''yang dalam mitos Klungkung dianggap sebagai senjata pusaka dengan nama I Selisik, konon bisa mencari sasarannya sendiri'' ditembakkan dan langsung mengenai kaki kanan Michels. Sang jenderal pun terjungkal. Kondisi ini memaksa tentara Belanda mundur ke Padang Bai. Jenderal Michels sendiri yang sempat hendak diamputasi kakinya akhirnya meninggal sekitar pukul 23.00. Dua hari berikutnya, jasadnya dikirim ke Batavia. Selain Michels, Kapten H Everste dan tujuh orang tentara Belanda juga dilaporkan tewas termasuk 28 orang luka-luka. Klungkung sendiri kehilangan sekitar 800 laskar Klungkung termasuk 1000 orang luka-luka. Namun, Perang Kusamba tak pelak menjadi kemenangan gemilang karena berhasil membunuh seorang jenderal Belanda. Sangat jarang terjadi Belanda kehilangan panglima perangnya apalagi Michels tercatat sudah memenangkan perang di tujuh daerah. Meski akhirnya pada 10 Juni 1849, Kusamba jatuh kembali ke tangan Belanda dalam serangan kedua yang dipimpin Lektol Van Swieten, Perang Kusamba merupakan prestasi yang tak layak diabaikan. Tak hanya kematian Jenderal Michels, Perang Kusamba juga menunjukkan kematangan strategi serta sikap hidup yang jelas pejuang Klungkung. Di Kusamba, pekik perjuangan dan tumpahan darah itu tidak menjadi sia-sia. Belanda sendiri mengakui keunggulan Klungkung ini. Namun, kemenangan cemerlang di Kusamba 158 tahun silam itu kini tidaklah menjelma sebagai momentum peringatan yang dikenang generasi sekarang. Secara resmi Klungkung memilih peristiwa perang penghabisan di Puri Smarapura yang dikenal dengan Puputan Klungkung, 28 April 1908 sebagai tonggak peringatan perjuangan daerah menentang kolonialisme Belanda. Memang, Puputan Klungkung yang diakhiri dengan gugurnya Raja Klungkung, Ida I Dewa Agung Jambe bersama para kerabat, keluarga serta pengiring menunjukkan bagaimana semangat perjuangan rakyat Klungkung yang menempatkan kehormatan dan harga diri di atas segalanya. Ketika kata-kata tak lagi bertenaga dan pihak yang diajak bicara tak lagi punya matahati, jalan perang merupakan pilihan paling terhormat. Bukan kemenangan fisik yang dicari, tapi kemenangan kehormatan, harga diri dan spirit. Sampai di sana, kematian menjadi jalan kehidupan (mati tan tumut pejah). Namun, Perang Kusamba yang mengukuhkan kemenangan secara fisik serta menunjukkan kecerdasan, kecemerlangan, kecerdikan pun kematangan menyusun strategi putra-putri terbaik Klungkung juga suatu hal yang layak untuk dikenang. Pada peristiwa itulah Klungkung dan Bali secara umum dipandang sebagai lawan yang tangguh oleh Belanda. Pada peristiwa itu pula, secara diam-diam, harga diri orang Bali dikukuhkan setelah dua tahun sebelumnya juga tergurat dalam peristiwa Perang Jagaraga di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik. Jika selama ini Klungkung dan juga daerah-daerah lain di Bali terbiasa mengenang kekalahan, tidak salah kini memulai juga untuk mengenang kemenangan. Kita perlu berbangga pada prestasi gemilang pendahulu kita. Ketika kita bisa mengenang kekalahan, kenapa tidak punya keberanian untuk juga memperingati kemenangan. Dengan begitu, kebanggaan sebagai bangsa di kalangan generasi penerus bisa ditumbuhkan. Bukankah tradisi Hindu dengan begitu bersahaja mengajarkan untuk memperingati kemenangan dharma atas adharma seperti dalam hari raya Galungan? Kini, menuju Seabad Peringatan Puputan Klungkung, patutlah dipertimbangkan merajut benang sejarah antara Kusamba dan Smarapura. Kusambalah awal kebangkitan semangat perjuangan rakyat Klungkung menentang kolonialisme Belanda dan Smarapura dengan Puputan Klungkung menegaskan semangat itu pada puncak terindahnya.
|