Dalam ajaran Hindu tidak diperbolehkan menghina orang. Apalagi kalau sampai menghina orang suci. Orang suci itu tentu tidak melawan dengan kekuatan fisiknya. Mereka akan melakukan perlawanan dengan mantra tergantung tingkatnya, dari sekzdar mengingatkan sampai bersifat kutukan. Dalam kitab-kitab Purana dan Itihasa kita sering menjumpai adanya orang suci yang melakukan kutukan lewat kekuatan mantranya itu. Sebuah tradisi yadnya di Bali ada yang disebut kutukan Dalem Sidakarya. Inti kutukan ini adalah seberapa besar pun yadnya yang dibuat, seberapa banyak pun banten yang diaturkan, tidak akan ada artinya jika belum mendapat ''restu'' dari Dalem Sidakarya. Banten bisa menjadi sampah yang berbau busuk, dan yadnya bisa tidak sampai pada tujuannya. Karena itu diperlukan pamuput karya di luar sulinggih. Siapa dia? Bukan orang tetapi sebuah simbol dari kemunculan Dalem Sidakarya, yakni pementasan Topeng Sidakarya. Kita bisa melihat dalam kesehariannya, ada upacara potong gigi lalu ada pertunjukan Topeng Sidakarya. Ada upacara piodalan ada Topeng Sidakarya. Upacara ngaben pun ada pertunjukan Topeng Sidakarya. Pokoknya segala jenis yadnya, Topeng Sidakarya muncul, termasuk pada saat Tawur Agung Kesanga yang baru lalu. Namun, seperti halnya sebuah kepercayaan yang berdasarkan legenda dan bukan berdasarkan kitab suci, tidak semua umat Hindu percaya akan ''kutukan'' ini. Karena itu banyak yadnya yang tidak disertai pementasan Topeng Sidakarya. Bermacam alasannya. Ada yang menyebutkan tradisi keluarganya tidak pernah menyelenggarakan pementasan itu, ada yang tidak ingin menambah biaya untuk memanggil sekaa topeng, ada pula yang terus-terang menyebutkan tidak tahu legenda di balik pementasan Topeng Sidakarya. Bagi yang tidak tahu, ini sedikit ringkasannya. Kisahnya konon terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk muput upacara ini. Tersebutlah pandita (brahmana) sakti dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu, tetapi ingin terlibat muput karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan antara Keling di Jawa dan Gelgel di Bali. Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tanpa diundang ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina. Pandita Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan mantra yang isinya yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling untuk ikut muput upacara bahkan menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut pamuput Sidakarya. Karya besar dalam wujud yadnya pun sukses. Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah -- terutama mulut -- dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya. Kebanyakan masyarakat Bali yang tidak mementaskan Topeng Sidakarya untuk muput yadnya beralasan lain lagi, yakni tak ingin memanggil sekaa topeng. Pengeluaran bertambah dengan mementaskan topeng. Namun, Topeng Sidakarya sendiri sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa ''pementasan topeng''. Artinya, yang didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah berhak (secara ritual) membawakan topeng Dalem Sidakarya itu. Gamelan pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun gender biasa, disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan yadnya. Dalam hal ini penari Topeng Sidakarya disebut ''Topeng Pajegan'', karena dia harus menarikan berbagai peran. Dalem Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni ketika membuat tirtha. Karena itu sebelumnya ''penari pajegan'' ini melakukan improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan Dalem Sidakarya. Penari bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharma wacana, tergantung siapa penarinya. Sebagai seni ritual (seni wali) Topeng Sidakarya perlu dikembangkan dan dipopulerkan. Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya untuk mentradisikan legenda pamuput akhir dari yadnya, tetapi untuk media dharma wacana. Sekarang ini bukan hanya hama tikus yang meresahkan tetapi juga terjadinya kemerosotan moral pada generasi muda. Nah, siapa tahu Topeng Sidakarya bisa menjadi media perlawanan dalam mengatasi masalah moral ini. * Putu Setia |