Walmiki atau Balmiki atau sering ditulis Valmiki pujangga yang diakui sebagai pencipta Ramayana. Hidup sekitar permulaan lahirnya tahun Masehi, bertempat tinggal di Citrakuta.
Pada masa mudanya Walmiki yang bernama Ratnakar adalah seorang pemuda dari masyarakat kebanyakan. Sejak kecil Ratnakar adalah seorang pembunuh binatang buas dan terkenal sebagai anak nakal, suka merampok milik orang. Berangkat dewasa Ratnakar menjadi seorang penjahat besar, hatinya penuh kekejian dan membuat semua orang ketakutan. Pembunuhan dan pemerkosaan sudah menjadi bagian dari hidupnya yang keras.
Pada suatu hari ia menghadang korbannya. Kali ini yang dihadang adalah kelompok Saptaresi yang kebetulan sedang melakukan perjalanan suci melewati hutan tempat Ratnakar biasa menghadang mangsanya. Dengan bahasa halus Saptaresi berkata, "Sabarlah anak muda, sebelum anak muda mau merampok harta benda saya dan jiwa saya, aku ingin bertanya, siapakah yang menanggung dosamu kelak dikemudian hari ?â€. Ratnakar menjawab, "Ayahku dan keluargaku".
“Mengapa begitu?†"Ya, karena ayahku tidak melarang perbuatan ini", demikian jawabnya dengan geram. "Baiklah harta bendaku akan kuserahkan semuanya padamu tetapi sebelumnya aku minta padamu, cobalah bertanya lagi pada ayahmu, ibumu atau pada istrimu, benarkah mereka yang akan menanggung segala perbuatan dosamu itu. Jangan kawatir, aku akan setia menunggu kedatanganmu disini. Pergilah sebentar menemui mereka, aku tidak akan meninggalkanmu sebelum mendapat jawaban darinya".
Ratnakar lalu pergi menemui ayahnya, dan bertanyalah ia bagaimana dikehendaki Saptaresi. Maka jawab ayahnya, "Segala perbuatanmu dan dosamu tentu kau sendirilah yang akan menanggung, baik sekarang maupun pada hari kemudian". Ratnakar tercengang mendengar perkataan ayahnya. Ayahnya melanjutkan, "Perbuatanmu seperti apa yang kau sebar dan kau tanam. Karena itu, apa yang akan tumbuh dan berbuah tentulah menjadi milikmu".
Tidak puas dengan jawaban ayahnya, Ratnakar pergi menemui ibunya dan menanyakan hal serupa. "Hai, anakku Ratnakar, ibumu telah melahirkan kau, malah sebelum itu ibumu dalam delapan bulan selalu berprihatin memohonkan pada Maha Siwa agar kau lahir dengan selamat ke dunia, dan sesudah kau lahir, kupelihara kau dengan penuh kasih sayang, kuberi kau air susuku, kuasuh kau hingga dewasa begini. Kadang-kadang kau memberikan ibumu barang makanan dan pakaian, kiranya budi baikmu itu masih sangat kecil bila dibandingkan dengan apa yang telah kuperbuat untukmu, anakku. Kini kau datang menanyakan apa ibu suka menanggung dosa yang telah kau perbuat. Oh bagaimanakah pendapatmu sendiri Ratnakar, dosa itu tentu saja ditanggung oleh yang menjalani perbuatan itu sendiri, sama sekali bukan oleh orang lain, meskipun orang lain itu kau beri sesuatu dari hasil perbuatanmu". Kata ibunya dengan tenang.
Mendengar jawaban serupa, makin sedihlah hati Ratnakar lalu pergi menemui istrinya menanyakan hal yang sama. Jawab istrinya, "Kakanda, sejak kita kawin, telah kuserahkan badan dan jiwaku pada kanda, kuabdikan diriku untuk kanda, sebab bagi seorang istri tiada lain lebih besar dari hikmah pengabdian itu. Kebebasanku sudah hilang separuhnya, karena kuberikan untuk kanda, demikian juga kegembiraanku kubagi dengan kanda sebagai suami. Setiap haripun dinda melakukan pekerjaan sebaik mungkin guna kesenangan dan kepuasan hati kanda, belahan nyawa dinda. Kini kanda datang menanyakan, apakah dinda turut mengandung dosa yang kanda perbuat tanpa sepengetahuan dinda. Oh, dinda rasa bukan kewajiban dinda turut menangung dosa yang kanda perbuat, sebab itu sama halnya dengan melanggar hukum karma. Dosa pada intinya tidak bisa dilimpahkan kepada, orang lain, meskipun ia belahan hatinya. Itu sama sekali bukan haknya, sebab orang lain tak ikut dalam perbuatan itu".
Dengan muka yang suram, Ratnakar kembali menemui Saptaresi di dalam hutan. Orang suci tu masih tetap berdiri di tempat semula. "Apakah kata ayahmu dan keluargamu yang lain, wahai anak muda?†Ratnakar diam sejenak, lalu menyatakan tidak akan merampas harta milik Saptaresi. Orang suci itupun dipersilakan berjalan terus. Sejak itu Ratnakar sangat menyesali perbuatan-perbuatannya yang lampau. Ia sering tetingat akan dosa-dosanya dan kerap kali menyendiri di tepi sungai atau di dalam hutan. Ia insaf akan kesalahannya, dan makin lama ia menjadi makin sadar, dan menjadi orang baik-baik. Atas dosanya itu, Ratnakar menghukum dirinya dengan melakukan tapa yang sangat berat, bertahun-tahun ia berada di tempat yang sama, tidak bergeser sedikitpun dari tempatnya bertapa, sehingga seluruh badannya diselimuti gundukan tanah menjadi rumah anai-anai sampai ke lehernya. Kesungguhan Ratnakar melaukan tapa dengan keras menyebabkan Dewa Brahma turun membebaskan dosa-dosa Ratnakar, sehingga oleh Hyang Narada ia diberi nama Valmiki, artinya yang tubuhnya ditutupi oleh anai-anai.
Suatu hari Ratnakar sedang menikmati harum semerbak bunga-bunga yang sedang mekar di hutan. Ia tertarik melihat sepasang burung Krauncha, sejenis burung mahkota, sedang asik masyuk bercumbu-cumbuan. Sebentar yang seekor mendekati yang lain, paruhnya digosok-gosokkan satu sama lain, sebentar lagi yang seekor terbang, tetapi kemudian mendekati yang lain lagi. Hati Ratnakar sangat senang melihatnya. "Alangkah bahagia sepasang burung itu, ternyata bukan manusia saja yang dapat hidup bahagia, makhluk Tuhan yang sekecil itupun dapat pula menikmati hidup bahagia. Sungguh agung Tuhan yang menitahkan sekalian alam", demikian bisik hati Ratnakar.
Namun, selagi jiwanya penuh kebahagiaan karena larut dalam kebahagiaan sepasang burung tersebut, mendadak ia dikejutkan oleh suatu peristiwa yang sangat melukai hatinya. Panah seorang pemburu telah dilepaskan dari arah yang tidak diketahui olehnya dan tepat mengenai si burung jantan. Seketika itu matilah si burung jantan melayang jatuh tepat dipangkuan Ratnakar. Burung betina yang sangat terkejut akan peristiwa naas itu, menjerit-jerit dan beterbangan kian kemari karena penderitaan jiwa sangat berat dialaminya. Hancur luluhlah perasaan Ratnakar melihat pemandangan itu. Ia mengutuk perbuatan pemburu yang kejam itu, "Oh pemburu yang kejam, karena engkau telah membunuh burung yang sedang menikmati manisnya asmara, engkau tidak akan memiliki tempat tinggal yang tetap dan terus akan mengembara sepanjang hidupmu ".
Sesaat kemudian, Ratnakar sadar atas perbuatannya yang keliru. "Hak apakah yang kumiliki untuk mengutuk pemburu itu? Mengapa aku terlalu menuruti kehendak pikiran?" Hati Ratnakar menjadi semakin sedih, sejak saat itu Ratnakar menjadi seorang yang sangat halus perasaannya dan dikarangnya lagu yang dinyanyikan sendiri olehnya. Lagu sedih Ratnakar sangat mengharukan siapa saja yang mendengarnya, sebagai pernyataan belasungkawanya terhadap kesedihan yang diderita oleh sepasang burung Krauncha yang tadinya sangat bahagia itu.
Tiap kali hatinya sedih, Ratnakar menyanyikan lagu yang tersebut sehingga Hyang Narada yang ketika itu sedang mengelilingi dunia menjadi tertarik mendengar alunan suara Ratnakar yang menyayat. Hyang Narada menemui Ratnakar yang sedang duduk dibawah pohon. "Lagumu sangat mengharukan hati," kata Hyang Narada. "Siapakah tuan yang tiba-tiba datang kemari?" "Aku adalah Narada, aku datang kemari karena mendengar lagumu yang sangat indah itu. Apabila kau akan mengarang ceritra hendaknyalah kau karang dengan lagu-lagu yang seindah dan semerdu itu".
"Tetapi tuanku, apakah di atas dunia ini sudah ada orang-orang yang telah benar-benar suci hatinya dan benar-benar telah mengenyampingkan kenafsuan serta telah mengabdi pada kebenaran dan keadilan?" "Ada. Orang itu adalah seorang raja putra negeri Ayodya, bernama Rama", jawab Narada. Lalu diceritrakan kisah Rama olehnya. "Tetapi bagaimana mungkin hamba dapat mengarang ceritra itu?" "Kalau kau benar-benar ingin mengarang ceritra indah itu pujalah kebesaran dan kemurahan Hyang Widhi dengan sungguh-sungguh, pasti kelak akan tercapai juga keinginanmu itu".
Ratnakar lalu mengadakan Yoga Sastra, kemudian muncullah Dewa Brahma dan bersabda, "Ratnakar kau jangan cemas, kesedihan dan kehalusan perasaanmu adalah langkah awal bagimu untuk menyusun kisah Ramayana. Dari duhkita muncullah sloka. Dari irama sajak itulah kisah Rama hendaknya kau ceritrakan. Aku akan menganugrahkan penglihatan yang tajam agar kau dapat melihat semua kejadian dengan tajam. Engkau bahkan dapat melihat watak setiap orang dengan jelas, bagaikan seseorang dapat melihat sesuatu yang berada di atas telapak tangannya. Engkau harus menyanyikan syairmu itu demi kesejahteraan dunia".
Ratnakar berhasil menggubah ceritra besar itu, dan sekali lagi ia bertemu dengan Narada. Kali ini nama Ratnakar diganti menjadi Walmiki. Demikianlah kisah agung Ramayana menjadi karya pembebasan Walmiki, dan dia selalu ingat sabda Dewa Brahma, “Yawat sthsyanti girayah saritas qa mahitele tawat Ramayana katha lokequ pragarisyati", artinva: "Selama gunung-gunung berdiri tegak dan sungai mengalir di bumi, maka kisah Ramayana tiada akan sirna". ---- Diceritakan kembali oleh Wayan Westa, pada WHD. No. 336. April 1995 ----
|