Tumpek Landep, dalam tradisi yang lama berkembang pada umat Hindu di Bali, adalah ritual untuk segala peralatan yang terbuat dari besi. Dulu, ketika masyarakat kita masih agraris murni, besi yang dimaksudkan itu lebih pada alat kerja dan alat perang. Misalnya, keris, tombak, pahat dan sejenisnya. Ada perkembangan cara menggali esensi dari Tumpek Landep ini. Salah satunya adalah mengaitkan Tumpek Landep ini pada hari raya sebelumnya, sejak Hari Saraswati. Hari Saraswati adalah hari ilmu pengetahuan. Kita memuja Dewa Brahma di Balai Agung (Pura Desa atau pura lainnya) memohon agar Dewi Saraswati (sakti Beliau) menurunkan ilmunya ke dunia. Usai kita memohon, kita melakukan pembersihan rohani agar kita bisa menyerap ilmu itu dengan baik, pada keesokan harinya, yang disebut banyu pinaruh. Kitab Weda menyiratkan, dalam menimba ilmu harus dilakukan penyucian diri dengan asuci laksana. Bila badan dan pikiran suci, ilmu itu akan mampu merasuk ke dalam hati dengan baik. Esoknya, somaribek, adalah proses pembelajaran. Esoknya lagi, hari sabuhmas adalah hari untuk menghimpun (menabung) semua ilmu yang diperoleh. Kalau ilmu pengetahuan sudah cukup dihimpun, maka resapi ilmu itu untuk benteng kehidupan pada hari Pagerwesi. Nah, hari-hari selanjutnya selama sepuluh hari adalah memroses ilmu yang diperoleh, dan pada saatnya kemudian, yakni pada Tumpek Landep, manusia yang telah memperoleh ilmu melakukan pewintenan, alias wisuda untuk bahasa modern. Kita memohon kepada Hyang Pasupati, supaya kita punya ketajaman pikiran bagaikan keris dan tombak. Jika kita seniman, kita memohon taksu di hari wisuda ini. Jadi, keris, tombak, gamelan adalah simbol-simbol yang sekaligus peralatan kerja. Begitu juga mobil, televisi, komputer dan semua peralatan dari besi lainnya. Salahkah dia diberi sesajen? Tidak salah, namun menurut saya, diri kita sendirilah yang lebih dulu "diupacarai", kita buat banten untuk menyucikan diri kita, apakah itu banten pewintenan atau yang lebih kecil lagi. Kita memohon taksu. Setelah itu, baru "peralatan kerja" diupacarai. Jangan dibalik, mobilnya diupacarai lebih dulu, yang punya mobil malah dilupakan. Gamelan dan keris diupacarai, orangnya main layangan. Begitulah saya menggali esensi dari Tumpek Landep, bukan kita mengupacarai mobil (di kampung saya populer kata otonan mobil) tetapi kita mengupacarai diri kita sendiri, kita meneguhkan keyakinan kita bahwa ilmu yang kita dapatkan berguna untuk masyarakat dan umat, setelah itu barulah perangkat kerja yang menunjang keberadaan ilmu ini kita ikut upacarai. Adakah dasarnya dalam Weda? Jelas ada, karena upacaranya itu yang utama adalah untuk kita sebagai manusia, bukan yang diutamakan itu benda-benda mati. Ida Pandita Mpu Nabe Parama Manik Dwija Kertha di Griya Taman Seririt, setiap Tumpek Landep membuat pewintenan masal. Siapa pun, tentu asal bilang sebelumnya, bisa mengikuti pewintenan masal itu. Beliau sudah lama menjalankan tradisi "hari wisuda kerohanian" ini. Kalau rumah Anda dekat Seririt, lebih baik ke sini dulu, sebelum mobil dipenuhi sesajen. Tapi jangan hari ini. Kalau saya tidak salah mencatat, pada Tumpek Landep hari ini, mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha I Ketut Pasek akan "diwisuda" sebagai Ida Pandita Mpu, bukan sekadar pawintenan, tetapi dwijati, dan Ida Pandita Mpu Seririt yang memimpin upacaranya. Kalau ini benar, saya mengucapkan selamat. Dan selamat juga bagi Anda yang hari ini "diwisuda", baik mewinten, nunas taksu, dan sebagainya. Jangan yang diingat cuma mobilnya. * Putu Setia |