Suputra Kata "putra" berasal dari bahasa Sanskerta yang pada mulanya berarti kecil atau yang disayang. Kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga : "Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu ia disebut Putra" (Manavadharmaúàstra IX.138). Penjelasan yang sama juga dapat kita jumpai dalam Àdiparva Mahàbhàrata 74,27, juga dalam Vàlmìki Ràmàyaóa II,107-112. Kelahiran Putra Suputra ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan. Kata yang lain untuk putra adalah: sùnu, àtmaja, àtmasaýbhava, nandana, kumàra dan saýtàna. Kata yang terakhir ini di Bali menjadi kata sentana yang berarti keturunan. Seseorang dapat menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan yang abadi dengan kelahiran cucu-cucunya (Àdiparva,74,38). Pandangan susastra Hindu ini mendukung betapa pentingnya setiap keluarga memiliki anak. Àdiparva, Mahàbhàrata memandang dari sudut yang berbeda tentang kelahiran anak ini. "Disebutkan bahwa seorang anak merupakan pengikat talikasih yang sangat kuat di dalam keluarga, ia merupakan pusat menyatunya cinta kasih orang tua. Apakah yang melebihi cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya, mengejar mereka, memangkunya, merangkul tubuhnya yang berdebu dan kotor (karena bermain-main). Demikian pula bau yang lembut dari bubuk cendana, atau sentuhan lembut tangan wanita atau sejuknya air, tidaklah demikian menyenangkan seperti halnya sentuhan bayi sendiri, memeluk dia erat-erat. Sungguh tidak ada di dunia ini yang demikian membahagiakan kecuali seorang anak"(74,52,55,57)."Seseorang yang memperoleh anak, yang merupakan anaknya sendiri, tetapi tidak memelihara anaknya dengan baik, tidak mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi. Para leluhur menyatakan seorang anak melanjutkan keturunan dan mendukung persahabatan, oleh karena itu melahirkan anak adalah yang terbaik dari segala jenis perbuatan mulia(74,61-63). Lebih jauh maharsi Manu menyatakan pandangannya bahwa dengan lahirnya seorang anak, seseorang akan memperoleh kebahagiaan abadi, bersatu dengan Tuhan Yang Mahaesa (II.28). Tentang anak yang Suputra, Maharsi Càóakya dalam bukunya Nìtiúàstra menyatakan: "Seluruh hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang Suputra" (II.16). "Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai teman"(II.18). Sebaliknya tidak semua orang beruntung punya anak yang Suputra. "Di dalam menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan seseorang memperoleh kedamaian, yaitu : anak, istri dan pergaulan dengan orang-orang suci"(IV.10). Kenyataannya kita menjumpai beberapa anak yang durhaka kepada orang tua, jahat dan melakukan perbuatan dosa yang menjerumuskan dirinya sendiri dan masayarakat sekitarnya ke dalam penderitaan. Anak yang demikian disebut anak yang Kuputra (bertentangan dengan Suputra). Tentang anak yang Kuputra ini, maharsi Càóakya menyatakan "Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula seorang anak yang Kuputra, menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga" (II.15). "Apa gunanya melahirkan anak begitu banyak, kalau mereka hanya mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan. Walaupun ia seorang anak, tetapi ia berkeperibadian yang luhur (Suputra) membantu keluarga. Satu anak yang meringankan keluarga inilah yang paling baik"(II.17). Hal yang sama seperti juga dikutipkan pada awal tulisan ini diulangi kembali dalam Nìtiúàstra IV.6. yang antara lain menyatakan: "Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik". "Lebih baik mempunyai anak begitu lahir langsung mati dibanding mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh. Karena anak yang begitu lahir langsung mati memberikan kesedihan sebentar saja. Sedangkan anak yang berumur panjang, bodoh dan durhaka, sepanjang hidupnya memberikan penderitaan (IV.7). Seperti telah disebutkan di atas, mempunyai anak, lebih-lebih lahirnya putra yang Suputra adalah dambaan setiap keluarga. Setiap orang dalam hubungan suami-istri mengharapkan kelahiran seorang anak, namun tidak semuanya selalu beruntung untuk mendapatkan hal itu. Keluarga yang tidak mempunyai anak (sonless) disebut: Aputraá, Niputrika dan Nirsaýtàna. Kepada mereka yang tidak mempunyai anak ini tidaklah berarti jalan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, bersatu dengan Tuhan Yang Mahaesa telah tertutup. Keluarga-keluarga ini dapat mengangkat anak, melakukan adopsi yang di dalam bahasa Sanskerta disebut: Parigraha atau Putrìkaåaóam dan anak yang diangkat disebut: Kåtakaputra, Datrimasuta atau Putra Dattaka. Tentang anak angkat yang di Bali disebut anak Sentana ini, Manavadharmasastra menyatakan: "Jika orang laki-laki yang mempunyai anak angkat laki-laki yang mempunyai sifat-sifat mulia, anak angkat ini mempunyai hak yang sama, ia akan mewaris walaupun berasal dari keluarga lain. Anak angkat tidak pernah memakai nama keluarga dan harta warisan dari orang tua yang sebenarnya. Tarpana (upacara persembahan kepada orang tua yang meninggal), ia harus mengikuti nama keluarga (yang mengangkat) serta menerima warisan dari orang tua angkat (setelah Tarpana kepadanya) (IX.141-142). Berdasarkan kutipan di atas, jelas seorang anak angkat (adopsi) mempunyai hak yang sama seperti halnya anak yang dilahirkan oleh orang tua melalui perkawinan yang sah. Lebih jauh tentang anak angkat ini, G. Pudja menyatakan : "Anak angkat menduduki tempat sebagai ahli waris dari keluarga yang mengangkatnya dan bukan sebagai ahli waris dari ayah-ibu asalnya. Untuk dapat melakukan pengangkatan anak diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu : a. Anak yang diangkat harus laki-laki. b. Anak yang diangkat harus masih kecil (umumnya belum berumur 6 tahun). c. Keluarga yang mengangkat harus tidak mempunyai anak laki-laki. d. Harus terang dan formal menurut agama. Mengenai anak angkat ini diisyaratkan secara terbatas, tetapi dianjurkan untuk mengangkat dari keluarga terdekat dari pewaris. Hal ini tidaklah mutlak karena anak yang bukan keluarga sendiripun dapat diangkat sebagai anak angkat, hanya saja lebih jauh hukum Hindu membedakan dalam prakteknya dua sistem pengangkatan anak : a. Pengangkatan anak sendiri sebagai anak laki-laki, yaitu anak perempuan yang statusnya sebagai anak laki-laki. Pengangkatan ini dalam hukum Adat sebagai Angkat Sentana. Dengan demikian maka dalam sistemAngkat Sentana,yang diangkat adalah anak sendiri.
c. Pengangkatan anak orang lain,bukan anak sendiri. Pengangkatan ini disebut Adopsi atau Peras. Di dalam hukum waris, anak yang diangkat adalah anak orang lain, baik dari keluarga sendiri maupun dari anak orang lain, bukan keluarga sendiri.(Pudja, 1977:93). Pernyataan G.Pudja di atas tentunya masih dapat didiskusikan kembali, misalnya bagaimana kalau yang diangkat itu anak perempuan ? Hal ini menurut hemat penulis dapat dibenarkan, bila nantinya anak perempuan ini status hukumnya sebagai anak laki-laki yang disebut Angkat Sentana di atas atau disebut pula Sentana Putrika. Kenyataannya, di dalam masyarakat kita jumpai pula keluarga yang telah memiliki beberapa anak, baik laki-laki maupun perempuan juga mengangkat anak, hal ini juga dibenarkan sepanjang pengangkatan itu terang dan formal menurut hukum agama dan bila mungkin dikuatkan sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini dapat berperanan sebagai salah satu solusi mengatasi anak-anak yang lahir, yang dibuang oleh ibunya karena hamil pranikah. Kiranya sudah perlu dipikirkan sebuah badan atau yayasan dalam Hindu untuk menangani anak-anak yang lahir pranikah yang bersedia menjadi penghubung untuk mencarikan orang tua yang bersedia mengadopsinya.
Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani, insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat. Canakya Nitisastra III.16.
|