|  Lontar Pengayam Ayam dan Dharma Pejuden Sabung     ayam, alias tajen, sudah lama tumbuh dan berkembang di Pulau Dewata. Sejak     belasan generasi sebelumnya hingga kini, tajen telah merasuk ke sebagian     warga, terutama laki-laki. Dulu     tajen biasa dilakukan di tempat khusus, yakni di wantilan yang umum     ada di setiap desa. Gedung beratap “bertumpang” (kubah ganda) itu,     bagian lantainya terdiri atas beberapa undak, mengerucut miring ke     pelataran, yang jadi arena adu ayam. Dengan demikian, semua pengunjung dalam     wantilan dapat dengan jelas menonton pertarungan tersebut.      Tapi     sejak ada larangan pemerintah terhadap segala bentuk perjudian di tahun     1981, tajen tak lagi bertempat di wantilan. “Adu jotos” ayam jago     pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi di rerimbunan kebun kopi, ladang     jagung, tumpukan jerami usai panen, bahkan ... sudut pekuburan.                 Datangnya     era reformasi memberi angin segar. Tajen tak lagi perlu “mengungsi”.     Malah, belakangan tajen menjadi sarana untuk menggalang dana.                             Godek     di kaki
       Sebagaimana     tak sembarang jagoan bisa terjun di ring tinju, demikian pula ayam aduan. Ia     harus memiliki ciri dan syarat khusus. Selain bentuk kaki, jambul, atau jejuangan     (keturunan), juga dilihat apakah ia berasal dari trah ayam     berkualitas. Warna bulu, bentuk leher, bahkan komposisi warna bulu (ules)     pun dipertimbangkan.                  Malah     ada kepercayaan mistis berkaitan dengan ayam seperti apa saja yang diizinkan     masuk ring tajen. Tapi asal daerah ayam bukan masalah. Tak heran saat ini     ayam aduan dalam tajen tidak melulu ayam lokal bali, tetapi juga ayam     lombok, jawa, jepang, filipina, bahkan ... amerika! Yang penting ia tidak     mempunyai satu flek hitam di kakinya yang disebut raja wilah, atau     tidak bercirikan warna merah di seluruh urat, lidah, maupun kulit, yang     disebut ayam camah (Brahma). Kedua ayam itu pantang diadu dalam     tajen.                 Bila     pemilik ayam nekad, risikonya bisa berupa perkelahian, atau serangan     penyakit dadakan. Tak hanya si pemilik, anggota keluarganya pun bisa menjadi     korban.
 Dalam     kitab anutan bebotoh (petaruh), disebut sebagai Lontar     Pengayam-ayam, banyak disinggung tentang ayam yang dijamin tidak keok     saat diadu. Selain ciri bawaan ayam yang mendatangkan keberuntungan, hari     pertandingan pun berpengaruh. Siapa sangka, setiap jenis ayam memiliki hari     baik tersendiri?                  Soal     perawatan menjadi faktor penting lainnya. Menjelang hari bertarung perhatian     ekstra dicurahkan mulai soal makanan, perawatan dengan cara memandikan,     mengurut, membedaki kakinya, menjemur, serta melatih si jago agar siap     tempur di arena tajen.                  Yang     unik, arena aduan membedakan ayam berdasar warna dan keadaan bulu sekaligus.     Buik (bulunya berwarna-warni), kelau (berbulu abu-abu), bihing     (berbulu merah), wangkas (dadanya berbulu putih, sayapnya     berwarna merah). Brumbun untuk “petarung” dengan kombinasi bulu     merah, putih, dan hitam. Ayam berbulu putih disebut sa.                  Sedangkan     berdasarkan keadaan bulu, ayam dengan bulu leher sangat lebat dinamai ook.     Bila tumbuh bulu (jambul) di kepala, disebut jambul. Godek,     untuk ayam yang berbulu di ... kaki!                                   “Kode”     bertaruh       Konon,     keberadaan bebotoh amat menentukan ramai-tidaknya tajen. Bahkan tajen     dan bebotoh ibarat dua sejoli yang tak terpisahkan.                  Betapa     tidak, karena arena tajen sering diramaikan teriakan-teriakan istilah yang     tak lazim, antara lain gasal, cok, pada, telude, apit, dan kedapang.     Gasal adalah sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat. Cok,     sistem taruhan tiga lawan empat, pada (sama) adalah taruhan satu     lawan satu. Telude, dua banding tiga, apit menggunakan satu     banding dua, sedangkan kedapang sembilan banding sepuluh.                  Biasanya     sebelum pertarungan dimulai, dua pakembar, “petugas” yang melepas     ayam sebelum bertarung, terlebih dahulu memperkenalkan setiap ayam dengan     cara meletakkannya dalam sebuah segi empat di tengah wantilan. Saat     itu, akan tampak mana ayam yang pantas diunggulkan dan mana yang tidak.     Misalnya seorang pakembar membawa ayam jambul, sedangkan yang     lain membawa ayam kelau. Jika ada bebotoh yang menjagokan ayam     jambul, ia berteriak menyambut. Jika hingga pakembar selesai     dengan acara perkenalan itu tidak ada bebotoh yang mengunggulkan ayam     kelau, otomatis ayam jambul menjadi unggulan. Selanjutnya,     para bebotoh riuh menawarkan taruhan.                Bebotoh     yang ingin mendapatkan “musuh” biasanya meneriakkan sistem taruhan yang     dipilih dari tempatnya, tanpa perlu berkeliling arena. Maka, yang menimpali     teriakannya akan menjadi lawan taruhan. Bebotoh pun dapat menggunakan     jari tangan sebagai isyarat sistem taruhan yang ia inginkan. Maka lawan yang     berminat pun membalas dengan isyarat serupa.
 Setelah     seekor ayam dinyatakan sebagai “petarung unggulan”, seseorang yang     meneriakkan “cok” berarti memegang ayam yang menjadi lawan si     unggulan. Syaratnya, kalau menang ia akan mendapatkan uang sebesar taruhan,     sedangkan kalau kalah ia hanya membayar tiga perempat dari jumlah taruhan     yang disepakati.                  Dalam     tajen pun ada wasit, yang disebut saya. Di setiap tajen ada empat saya     yang bertugas yakni saya kemong, ketek, garis, dan lap. Saya     kemong  biasanya selalu     didampingi gong kecil yang disebut kemong, paling tinggi jabatannya.     Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan.                  Jika     salah seekor ayam aduan sudah terkapar, bebotoh yang kalah akan     menghampiri lawan untuk menyerahkan uang taruhan.                                   Sejak     zaman Majapahit       Dalang     wayang kulit sekaligus pelaku tajen IB Eka Darma Laksana menuturkan, tajen     berasal-usul dari tabuh rah, salah satu yadnya (upacara) dalam     masyarakat Hindu di Bali. Tujuannya mulia, yakni mengharmoniskan hubungan     manusia dengan bhuana agung. Yadnya ini runtutan dari upacara     yang sarananya menggunakan binatang kurban, seperti ayam, babi, itik,     kerbau, dan berbagai jenis hewan peliharaan lain.                  Persembahan     tersebut dilakukan dengan cara nyambleh (leher kurban dipotong     setelah dimanterai). Sebelumnya pun dilakukan ngider dan perang     sata dengan perlengkapan kemiri, telur, dan kelapa. Perang sata     adalah pertarungan ayam dalam rangkaian kurban suci yang dilaksanakan tiga     partai (telung perahatan), yang melambangkan penciptaan,     pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Perang sata merupakan simbol     perjuangan hidup.                  “Tradisi     ini sudah lama ada, bahkan semenjak zaman Majapahit. Saat itu memakai     istilah menetak gulu ayam. Akhirnya tabuh rah merembet ke Bali     yang bermula dari pelarian orang-orang Majapahit, sekitar tahun 1200,”     ujar Gus Eka, panggilan akrab IB Eka Darma Laksana.                 Serupa     dengan berbagai aktivitas lain yang dilakukan masyarakat Bali dalam     menjalani ritual, khususnya yang berhubungan dengan penguasa jagad, tabuh     rah memiliki pedoman yang bersandar pada dasar sastra. Tabuh rah     yang kerap diselenggarakan dalam rangkaian upacara Butha Yad-nya pun     banyak disebut dalam berbagai lontar. Misalnya, dalam lontar Siwa     Tattwapurana yang antara lain menyebutkan, dalam tilem kesanga     (saat bulan sama sekali tidak tampak pada bulan kesembilan penanggalan Bali     - Red.), Bathara Siwa mengadakan yoga, saat itu kewajiban manusia di     bumi memberi persembahan, kemudian diadakan pertarungan ayam dan     dilaksanakan Nyepi sehari. Yang diberi kurban adalah Sang Dasa Kala Bumi,     karena jika tidak, celakalah manusia di bumi ini.                Sedangkan     dalam lontar Yadnya Prakerti dijelaskan, pada waktu hari raya     diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan kesanga patutlah     mengadakan pertarungan ayam tiga sehet dengan kelengkapan upakara.     Bukti tabuh rah merupakan rangkaian dalam upacara Bhuta Yadnya     di Bali sejak zaman purba juga didasarkan dari Prasasti Batur Abang I tahun     933 Saka dan Prasati Batuan tahun 944 Saka.
 Macam-macam     tajen       Lantas     bagaimana ritual suci semacam tabuh rah berubah menjadi tajen?     Menurut Gus Eka, itu tidak lepas dari daya pikat yang ditampilkan dari seni     bertarung dua ayam jagoan. Asal tidak melampaui batas secara hukum adat,     tajen tidak dilarang. Apalagi aturan main antarsesama bebotoh harus     dipatuhi. Aturan itu ternyata juga disebutkan dalam lontar Darma Pajuden.     Kalaupun ada yang curang, otomatis tidak akan ada yang mengajaknya bertaruh     lagi.                  Maka,     muncul pemahaman, ada perbedaan jelas antara tabuh rah dan tajen,     meski awal mula tajen memang dari pelaksanaan tabuh rah. Tabuh rah     adalah rangkaian upacara, berbeda dengan tajen atau krecan (dari kata     ica yang artinya tertawa). Jadi, falsafah tabuh rah dan tajen     tidak boleh dibaurkan agar tidak menimbulkan degradasi tatwa (nilai).                 Meski     tergolong sebagai ritual upacara, ternyata tabuh rah tidak dilakukan     di semua daerah di Bali. Tapi bila suatu daerah sudah berkeyakinan harus     melaksanakan upacara tabuh rah, maka mutlak pula dilakukan. Kalau     tidak, justru akan mendatangkan musibah (sima) bagi daerah tersebut.                 Pakar     hukum adat dari Universitas Udayana Prof. Dr. Nyoman Sirtha, M.S.     menyatakan, tajen berawal dari kebiasaan yang bersumber dari pelaksanaan     upacara agama saat ada odalan (perayaan tahunan) di pura, yang selalu     menghadirkan caru (kurban). Contohnya, upacara pada Dewa Yadnya     diikuti dengan persembahan caru, salah satunya dengan menyembelih     ayam yang ditujukan kepada butha kala.                  Perkembangan     selanjutnya, beberapa daerah menyimbolkan penyembelihan ayam dengan mengadu     kelapa dengan telur, sampai telurnya pecah. Namun, ada daerah yang mengganti     kebiasaan itu dengan cara mengadu ayam, yang akhirnya berkembang menjadi     tajen, berasal dari kata tajian, karena setiap kaki kiri ayam aduan     selalu dipasangi taji.                 Namun     secara sosiologis, lanjut Nyoman Sirtha, pelaksanaan tajen ada tiga macam.     Pertama, tajen dalam ritual tabuh rah yang lazim diadakan berkaitan     dengan upacara agama. Tabuh berarti mencecerkan dan rah adalah     darah. Pelaksanaan tajen dalam tabuh rah dianggap sebagai bagian dari     rangkaian pelaksanaan upacara sehingga pelaksanaannya tidak dilarang.                          Kedua,     tajen terang sengaja digelar desa adat untuk menggalang dana.     Berdasarkan hukum adat, tajen terang tidak dilarang, bahkan setiap     desa adat memiliki awig-awig yang mengatur tata cara tajen meski     tidak tertulis. Tajen terang dilakukan terbuka dengan melibatkan pecalang,     saya. Bahkan didahului dengan upacara kepada Dewa Tajen agar tidak     terjadi perselisihan selama acara berlangsung.                  Ketiga,     tajen branangan yang tanpa didahului izin kepala desa adat serta     semata-mata berorientasi judi.                 “Ada     perbedaan mendasar. Kalau tajen terang, meski memakai taruhan, soal     menang dan kalah bukan hal terpenting. Yang utama, mendapat hiburan. Berbeda     dengan tajen branangan yang bisa disebut pelalian (bermain),     karena rata-rata yang terlibat lebih mengutamakan berjudi, bahkan sampai     lupa diri,” ujar Nyoman lagi.                Terlepas     dari pandangan serta sorotan tentang tajen, sebenarnya kegiatan ini telah     mengacu kepada aktivitas budaya yang rasanya amat sulit untuk dilepaskan     dari dinamika kehidupan masyarakat Bali. Beberapa waktu lalu, tajen bahkan     telah dikemas sebagai atraksi wisata bagi wisatawan asing. Nyatanya     wisatawan asing yang disuguhi atraksi langka itu sangat antusias sewaktu     menyaksikannya. Agar lepas dari pendapat pro dan kontra, tajen memang lebih     pas bila diteropong dari kacamata budaya Bali. @     (Tri Vivi Suryani, di Denpasar)
 | 
Bolavita Agen Judi Online Dengan berbagai Transaksi :
judi online pulsa
judi online ovo
judi online dana
judi online Linkaja
judi online deposit rekening
Tersedia Bonus :
• Bonus Deposit Pertama 10%
• Bonus Cashback 5% s/d 10% Setiap Minggu
• Bonus Referral 7% + 2% (seumur hidup)
• Bonus Potongan Togel 30% s/d 66%
• Bonus Rollingan Casino 0.5% + 0.7%
• Bonus 100% ( Khusus Sabung Ayam Live & Sexy Baccarat )
Link pendaftar : http://159.89.197.59/register/
Layanan 24 Jam : http://bit.ly/kontakonline24jam