Pura Lempuyang Madya, Bukan hanya ''Sungsungan'' Warga Pasek, Pura Lempuyang Madya di Bukit Lempuyang, Karangasem sebenarnya bukan hanya sungsungan (tempat sembahyang) warga Pasek. Namun untuk semua warga dan Pasek cuma diberikan kepercayaan sesuai yang disebutkan dalam bhisama untuk ngelingang (tak melupakan) keberadaan pura itu sejak zaman dulu. Hal tersebut disampaiakn Jero Mangku Gede Wangi, Selasa (5/3) kemarin di Karangasem. Apa saja filosofi di balik kemegahan Pura Lempuyang Madya itu? ==================================================== Pura Lempuyang Madya termasuk Pura Dang Kahyangan. Soal status dan yang kasungsung di pura tersebut diyakinkan lagi oleh salah satu pemangku setempat Jero Mangku Wayan Rai adalah Ida Batara Empu Agenijaya dan Empu Manik Geni. Di mana, Empu Agenijaya masameton (bersaudara) tujuh, di antaranya Mpu Kuturan, Mpu Baradah dan Mpu Semeru. ''Lempuyang Madya seperti Pura Silayukti dan Tanjungsari di Padangbai, di mana masing-masing pura itu adalah tempat nyungsung Batara Mpu Kuturan dan Mpu Baradah,'' papar Mangku Wangi. Dikatakannya, masyarakat yang belum paham menganggap Pura Lempuyang Madya cuma milik warga Pasek atau tempat sembahyang warga Pasek. Soal warga Pasek mendapat tugas ngelingang pura itu, disebutkan dalam prasasti yang bunyinya sebagai berikut: Pasek, Tangkas, muang Bandesa, ayua kita lali ring catur parahyangan (Besakih, Lempuyang, Dasar Buana Gelgel dan Silayukti). Pura di Besakih yang dimaksudkan, palinggih Mpu Semeru yakni pura Caturlawa Ratu Pasek. Soal warga Pasek dalam prasasti diberikan tanggung jawab menjaga pura itu, diduga karena warga itu lebih dulu berada di Bali dan dipercaya sebagai salah satu unsur pemerintahan desa (macekin). Mangku Gede Wangi dan Mangku Wayan Rai mengatakan, Pura Lempuyang Madya kini dalam proses pemugaran, serta pelebaran pura. Sebelumnya jeroan pura sangat sempit karena berada di lereng gunung, sehingga kurang representatif dengan membludaknya ribuan umat saat pujawali. Di mana rutin warga ngaturang ayah (gotong-royong) di antaranya memecah dan memindahkan batu-batu untuk pembangunan. Direncanakan, semua palinggih bakal kagingsirang (digeser ke timur) dan kini dalam tahap membangun fondasi. ''Setelah pembangunan palinggih yang baru tuntas dan di-pelaspas, barulah Ida Batara kairing manggingsir ke palinggih baru. Sementara itu, barulah palinggih lama di-pralina,'' papar Mangku Wangi. Bangunan besar yang sudah tuntas yakni berupa bale gong, sementara yang belum adalah darma sala (kamar mandi). Sementara palinggih yang ada di antaranya palinggih bebaturan linggih Batara Empu Agenijaya sareng Empu Manikgeni, Gedong Tumpang Siki (satu), dua dan tiga, Manjangan Saluang, Sanggar Agung, Bale Pawedaan, serta Bale Pesandekan. Sementara pura yang terkait dengan Lempuyang Madya, tambah Mangku Rai, yakni Telaga Sawang, Penataran Lempuyang Madya dan Lempuyang Bisbis. Di Pura Telaga Sawang merupakan linggih tirta dan pasucian Ida Batara. Berdasarkan kepercayaan, setelah Ida Batara Empu Agenijaya tiba dan menetap di Lempuyang, beliau mayoga di Penataran Lempuyang Madya bersama Empu Manikgeni. Dikatakan, pujawali di Pura Lempuyang Madya tiap enam bulan, pada purnama kapat dan sasih kedasa. Mangku Rai berharap, terkait masih dalam tahap pemugaran pura besar itu, diharapkan umat Hindu yang tinggal di Bali atau di luar Bali menyempatkan diri ngaturang ayah atau ngaturang punia. Apalagi nanti saat pujawali, umat sedharma diharapkan menyempatkan diri pedek tangkil melakukan persembahyangan. Hal itu tak hanya mendoakan mohon keselamatan diri, keluarga dan masyarakat juga keajegan alam semesta. Jaga Kesucian Di lain pihak, Ketua MGPSSR Bali Prof. Dr. dr. Wayan Wita menyampaikan saat menghadiri gotong-royong pembangunan pura beberapa waktu lalu, menekankan semua pihak ikut menjaga kesucian pura setempat. Diharapkan 10 km dari pura itu dihindari ada bangunan bersifat komersial, seperti vila atau hotel. Masih dipikirkan bagaimana membuat aturan itu, sehingga bisa diamankan semua pihak. Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan hal yang sama. Menurutnya, menjaga kesucian pura tak hanya menghindari orang cuntaka masuk ke pura, tetapi juga menjaga terhindarnya pura dari kotoran sekala seperti berbagai jenis sampah. Usai sembahyang saagan seperti bekas canang, sisa dupa tidak ditinggalkan begitu saja, tetapi semua harus memungut dan membuangnya di tempat saagan (sampah). ''Selama ini banyak umat belum terbiasa, usai sembahyang saagan atau canang bekas ditinggalkan begitu saja. Diharapkan ketika pendidikan umat telah miningkat, kesadaran bersama menjaga kesucian pura kian tumbuh,'' katanya. Sementara di sepanjang jalan, juga dilarang membuang sampah sembarangan apalagi sampah plastik. Soalnya selain sampah menimbulkan kesan kotor (tak suci), sampah plastik juga merusak struktur tanah. Apalagi jalan ke Pura Lempuyang merupakan lereng dan gunung dengan tanah yang labil, sampah plastik menyebabkan tanah menjadi rusak dan mudah longsor. ''Selain tak membuang sampah sembarangan corat-coret, tidak mengambil atau mengganggu flora dan fauna. Hal itu guna menghindari hal yang tak diinginkan. Ke pura juga pikiran, perkataan dan perbuatan harus disucikan. Selama ini kita baru bisa mengucapkan tri kaya parisudha, tetapi belum mampu melaksanakan dengan baik,'' tambah Mangku Wangi. Dia mengaku prihatin dengan kian menipisnya kepercayaan dan dalam rangka menjaga kesucian pura dari oknum umat. Mereka menodai kesucian pura, seperti cuntaka masuk pura, bahkan pura ramai kalau menjelang pemilu atau pilkada. Disayangkan juga perilaku oknum yang berjudi mengelabui Ida Batara, agar arena judi tajennya tak digerebek polisi tajen digelar dengan kedok tabuh rah. Tajen sengaja digelar di depan pura atau dekat pura, meski tak ada pujawali tetapi dipasang umbul-umbul atau penjor. ''Ini namanya merusak kesucian pura dan orang lain akan menertawakan kita. Mari kita mawas diri bersama, sudahkah kita melaksanakan tri kaya parisudha,'' tandasnya. * gde budana |