Membangun Hidup ''Mataksu'' Adanya Pelinggih Kamulan Taksu di setiap Merajan sebagai Batara Hyang Guru bagi keluarga Hindu di Bali sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal. Mataksu artinya dapat melihat sesuatu aspek kehidupan dengan pandangan yang multidimensi. Sesuatu itu tidak dipandang dari sudut pandang mata duniawi semata. Seseorang akan dapat hidup mataksu apa bila memiliki struktur diri yang ideal. ============================================================ Struktur diri yang ideal di mana Atman sebagai unsur tersuci dalam diri dapat memancarkan kesucian melalui kesadaran budhi tembus pada kecerdasan pikiran dan kesempurnaan indria. Struktur diri yang ideal itu harus dibangun sejak manusia diletakkan dalam rahim ibu. Spirit dan Catur Sanak dianggap sebagai sumber taksu. Karena spirit Catur Sanak itu adalah dari Atman. Tanpa ada Atman bersemayam dalam diri seorang ibu tentunya Catur Sanak tersebut tidak bisa berfungsi apa-apa. Ia hanyalah fisik belaka yang dibangun dari lima zat alam yang disebut Panca Maha Bhuta. Yang distanakan di Pelinggih Kamulan adalah aspek spiritnya sebagai pancaran dari Atman. Sedangkan Atman dalam Upanisad tidak lain dari Brahman. Kamulan Taksu itu disebut sebagai Bhatara Hyang Guru. Dari dua pelinggih itulah mulai dibangun hidup mataksu, artinya hidup dengan pandangan luas yang multi dimensi. Dengan adanya Pelinggih Kamulan sebagai Pelinggih Sang Hyang Atma ini berarti Atman sebagai guru seperti dinyatakan dalam Vana Parwa. Pelinggih Kamulan adalah stana Sang Hyang Atma sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa dan Lontar Gong Wesi. Kedudukan Kamulan sebagai stana Sang Hyang Atma adalah simbol sakral untuk memotivasi umat Hindu agar secara terus-menerus mengembangkan pendidikan kerohanian dalam keluarga. Pendidikan kerohanian itu untuk mengutamakan eksistensi kesucian Atman dalam diri umat. Atman yang tiada lain adalah Brahman tentunya selalu memancarkan kesucian. Tetapi pancaran kesucian Atman itu sering ditutupi oleh avidia atau kegelapan budhi, manah dan indria bagaikan awan gelap menutup sinar matahari yang selalu memancar. Karena itu budhi, manah dan indria harus disucikan dengan ilmu pengetahuan suci. Karena itu dalam Manawa Dharmasastra V.109 dinyatakan bahwa ''vidya tapobhyam bhutatma suddhyati''. Artinya Atman disucikan dengan ilmu pengetahuan suci dan tapa brata. Ini berarti agar manusia selalu berguru untuk mendapatkan tuntutan Atman maka senantiasalah dalam keluarga Hindu itu mengembangkan hidup berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengendalian diri dengan tapa brata. Dengan demikian hidupu akan mataksu. Taksu akan hilang kalau hidup ini tidak mengikuti tuntunan ilmu pengetahuan suci. Resi Bisma kehilangan taksu saat tinggal di Astina. Karena setiap hari disuguhi makanan hasil kejahatan dan dimasak oleh orang-orang jahat. Saat itu Duryudana sebagai Raja Astina. Makanan yang didapat dengan cara melanggar dharma saja kesucian Atman tidak memancarkan dalam diri sehingga taksu menjadi hilang. Tujuan Tapa Brata dan Vidya itu untuk mendidik, melatih dan membina indria, manah dan budhi menjadi media untuk memancarkan kesucian Atman. Dari pancaran kesucian Atman itulah akan didapatkan taksu. Palinggih Taksu di Merajan Kamulan itu sebagai pemujaan spek spirit dari Catur Sanak. Secara langsung unsur-unsur Catur Sanak itulah yang membentuk janin menjadi jabang bayi. Di dalam ilmu pendidikan dikenal adanya pendidikan prenatal artinya pendidikan anak yang masih dalam kandungan ibunya. Dari anak dalam kandungan itulah sudah ditanamkan nilai-nilai kehidupan yang utuh, baik dalam fisik maupun mental spiritual. Setelah ia lahir sudah membawa bibit-bibit unggul untuk diberikan pendidikan agar kelak menjadi suputra yang mataksu. Dengan demikian sudah sangat tepatlah leluhur umat Hindu di Bali menyebutnya Merajan Kamulan itu sebagai tempat memuja Batara Hyang Guru. Di Merajan Kamulan itulah sudah ditanamkan nilai-nilai pendidikan yang seimbang antara pendidikan untuk membangun jiwa dan raga yang seimbang. Dalam Nitisastra VIII.3 ada dinyatakan suatu kewajiban orangtua untuk melahirkan putra atau disebut Sang Ametwaken. Hal ini mengandung maksud agar seorang ayah dan ibu dalam menyiapkan kelahiran putranya benar-benar melalui persiapan yang matang, baik fisik maupun mental spiritual. Apalagi sudah terbentuknya janin dalam kandungan ibu. Keadaan Sang Catur Sanak seperti ari-arinya, darah, yeh nyom dan lamas-nya terpelihara dengan perawatan yang telaten. Menjaga kesehatan ibu yang mengandung secara prima itulah awal pendidikan anak manusia agar kelak ia menjadi putra yang mataksu. Adanya Pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan Taksu itu tidaklah semata-mata hanya sebagai media melakukan ritual keagamaan Hindu yang bersifat formal belaka. Di balik itu ada pesan-pesan pendidikan yang amat mendasar sehingga tempat pemujaan itu disebut sebagai palinggih Batara Hyang Guru. Apalagi di dalam ajaran Hindu dikenal adanya pendidikan seumur hidup lewat ajaran Catur Asrama. Saat masih dalam Brahmacari Asrama belajar dharma untuk mendapatkan Guna Vidya atau ilmu tentang keterampilan untuk mencari nafkah agar dapat melangsungkan kehidupan ini. Grshastha Asrama pendidikan untuk dapat hidup mandiri. Kemandirian itulah ciri seorang Grhastha. Selanjutnya saat menjalankan Wanaprastha Asrama menjadi penasihat atau sawacana gegonta yang wajib dipelajari terus. Saat menginjak Sanyasa Asrama harus berguru untuk melepaskan Atman dengan sebaik-baiknya kembali ke alam niskala. Inilah konsep belajar seumur hidup menurut ajaran Hindu. Proses belajar yang terus-menerus itu dilakukan dengan benar dan tepat. Proses belajar yang benar dan tepat itu sesuai dengan tahapan Catur Asrama. Setiap Asrama yakinlah ada yang muncul lebih sukses dari yang lainnya. Dengan demikian setiap Asrama akan memiliki tokoh-tokoh mataksu. Proses pendidikan informasi dalam keluarga ini harus terus digerakkan melalui pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan Taksu. Dari Kamulan Taksu inilah hendaknya digagas terus pendidikan untuk membangun keseimbangan kualitas hidup fisik material dan mental spiritual dengan belajar terus-menerus. Apalagi dalam Pustaka Wrehaspati Tattwa 33 ada dinyatakan bahwa salah satu ciri hidup sukses adalah Adhyayana. Artinya belajar terus-menerus, tidak pernah merasa tamat belajar. Selanjutnya Tarka Jnyana artinya terus-menerus berusaha untuk mempraktikkan ilmu yang didapatkan. * wiana |