Galungan : Pesan Universal, Tradisi Lokal TRADISI beragama Hindu di Bali wujudnya sangat lokal Bali. Tetapi, di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang universal. Galungan, misalnya, yang segera akan dirayakan umat Hindu, dapat dilaksanakan di mana saja dan kapan saja. Nilai yang dikandungnya tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu saja. Nilai yang universal diwujudkan dengan budaya lokal, agar nilai global universal itu lebih mudah diaktualkan dalam kehidupan sosial yang kontekstual dengan perkembangan ruang dan waktu. Nilai-nilai moral yang universal dalam perayaan Galungan tersurat dan tersirat dalam teks kitab sastra. Teks penjelasan Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama. Dalam teksnya ada yang tersurat pesan moral yang universal dan ada juga yang tersurat untuk aplikasi lokal. Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan, Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan patitis ikang jnyana sandhi galang apadang mariakena biaparaning idep. Artinya, Galungan adalah memusatkan (patitis) pengetahuan suci (jnyana) untuk mendapatkan kekuatan yang terang (galang apadang) untuk menghilangkan kegelapan hati (mariakena biaparaning idep). Pesan moral yang universal itulah hendaknya terus-menerus kita renungkan sebagai intisari perayaan Galungan. Hal ini untuk menghindari perayaan Galungan berhenti pada kegiatan yang lebih menekankan pada hura-hura tanpa makna. Kemeriahan dan keindahan dalam merayakan Galungan memang sepatutnya kita wujudkan. Namun, kemeriahan dan keindahan itu hendaknya sebagai pengejawantahan dari pesan moral universal dari Galungan. Karena itu, sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan dan penampahan. Semua istilah tersebut kedengarannya sangat lokal Bali. Tetapi, kalau kita runut teksnya ternyata mengandung nilai yang benar-benar universal. Sugian ada tiga kali. Budha Pon wuku Sungsang Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut dan seterusnya. Kalau kesadaran itu dasarnya kita tidak terjebak untuk mengikuti tradisi yang sesat, justru yang harus diperkuat, tradisi yang berdasarkan kebenaran (Dharma) Wrehaspati Wage wuku Sungsang Sugian Jawa. Jawa dalam hal ini artinya jaba, di luar diri kita. Dalam lontar Sunarigama dinyatakan: Sugian Jawa mratistha bhuwana agung. Artinya, Sugian Jawa itu menyucikan bhuwana agung. Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan, Sugian Bali mratistha raga tahulan. Artinya, Sugian Bali adalah sebagai media untuk menyucikan diri pribadi. Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan. Dalam lontar dinyatakan: embang Sugian anyekung jnyana nirmalakna. Artinya, mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan: matirtha Gocara. Artinya, memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan. Upacaranya natab banten sesayut pamiakala laramelaradan yang disebut Sesayut Penampahan. Natab banten ini sebagai lambang peningkatan rohani dalam tahap Wiweka Jnyana. Artinya, kondisi rohani yang sudah dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Nampah dalam hal ini adalah ''menyembelih'' sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Galungan. Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata Dungulan yang artinya menang atau unggul. Mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Untuk itu haruslah menempuh tahapan-tahapan hidup seperti yang dilukiskan dalam merayakan Galungan. Dari kesadaran diri, membenahi kesejahteraan alam (Bhuta Hita), membina kesucian diri, mengkonsentrasikan kesucian diri dan memohon restu pada Tuhan. Terpadunya kekuatan perjuangan manusia dengan anugerah Tuhan itulah yang akan membawa kemenangan dalam hidup ini. Nilai-nilai itulah yang harus dijadikan membangun kondisi hidup yang harus diperjuangkan pada setiap Galungan. Lebih-lebih di zaman global ini godaan dan tantangan hidup semakin besar dan multi dimensi. Karena itu Galungan adalah salah satu tonggak peringatan setiap enam bulan agar manusia jangan sampai lupa akan nilai-nilai moral universal yang dikandung oleh tahapan-tahapan perayaan Galungan. Nilai-nilai perayaan Galungan yang tersurat dalam sastra itulah yang lebih utama kita renungkan dalam setiap merayakan Galungan. Hari raya artinya, hari yang kita rayakan atau besarkan serta utamakan nilai-nilai hakikinya untuk direnungkan lebih dalam. Dari perenungan itu kita wujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari menjalani tahapan hidup. |