‘Ngidih olas de kanti paid bangkung’ (Minta tolong jangan sampai ketarik oleh induk babi betina), yang mengandung arti dan pesan; sebagai seorang lelaki Bali (baca; beragama Hindu) jangan sampai terpengaruh atau mengkuti keyakinan/agama pasangannya (pacar atau istri). Begitulah kira-kira istilah atau pesan yang sering didengar atau diucapkan oleh kalangan anak muda Bali yang berada di perantauan. Oleh mereka biasanya dipergunakan sebagai bahan guyonan ataupun peringatan kepada teman, sahabat atau siapapun yang berasal dari Bali. Sebelum populer di luar Bali, istilah ini sudah berlaku bagi seorang laki-laki yang ‘pekidih’ atau ’nyentana’ (laki-laki yang tinggal di rumah sang istri dan bertindak sebagai ahli waris). Atau sebagai bahan celaan bagi laki-laki yang terlalu nurut kepada pasangan atau istrinya.
Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin banyaknya masyarakat Bali yang merantau ke luar Bali, peruntukan istilah ‘paid bangkung’ juga mengalami pergeseran dan ditujukan kepada orang atau laki-laki Bali yang menikah kemudian pindah keyakinan mengikuti keyakinan sang istri.
‘paid bangkung’...? adakah yang salah..? Saya tergelitik untuk ber-opini mengenai istilah ‘paid bangkung’, setelah membaca selembar kertas yang tercecer di warung Bali areal Pura Rawamangun Jakarta, yang membahas dengan gaya bahasa anak muda...dan saya yakin mereka pastilah mahasiswa pelajar yang masih kuat memegang prinsip dan idealisme.
Tulisan tersebut mengulas tidaklah pantas atau tidak lazim jika seorang laki-laki Bali (baca; beragama Hindu) untuk pindah keyakinan mengikuti keyakinan pasangan hidupnya. Didukung pula pendapat dari pemuka agama ataupun pemuka masyarakat untuk menguatkan dan meyakinkan, mengapa ‘paid bangkung’ tidak lazim atau bahkan terlarang.
Dalam tulisan tersebut seolah-olah me-nabu-kan istilah ‘paid bangkung’ dengan perspektif sebatas hubungan sepasang manusia, entah berpacaran ataupun dalam ikatan perkawinan. Bahkan diwanti-wanti jika berpacaran beda agama harus kuat ke-dharma-annya. Jika dilanggar, maka secara moral dalam kehidupan bermasyarakat, mereka yang melanggar akan tersisih atau terbuang.
Apanya yang salah...?? Kenapa mereka tersisih atau terbuang..??
Jika konteks-nya mengenai kehidupan beragama Hindu ataupun mempertahankan keyakinan, adat-kebiasaan dan budaya Hindu Bali, saya sangat setuju. Karena kita dilahirkan sebagai manusia Bali yang beragama Hindu, wajib mempertahankan keyakinan kita karena itu adalah Dharma.
Sejak dalam kandungan ibu sampai dengan meninggal dunia manusia Hindu di-upacara-i secara Hindu-yang sudah menyatu dengan adat kebiasaan masyarakat Bali.
Sewaktu masih di-sekolah dasar saya diajarkan; bahwa kita lahir kedunia ini membawa hutang, yaitu hutang kepada Orang Tua yang melahirkan kita, hutang kepada Guru yang mengajarkan kita ilmu pengetahuan, hutang kepada Rsi atau pinandita yang menerangi jiwa kita dengan ajaran Dharma serta hutang kepada Sang Pencipta yang menciptakan alam semesta. Hutang-hutang ini wajib dilunasi jika seseorang telah beranjak remaja. Jika tidak dibayar dan dilunasi maka hidupnya di dunia akan sengsara dan leluhurnya tidak akan bisa kembali kepada Sang Pencipta.
Dengan ajaran seperti diatas, wajarlah jika seorang laki-laki Bali yang merupakan ‘purusa’ atau kepala keluarga dalam rumah tangganya tidak lazim untuk mengikuti keyakinan sang istri. Karena sebagai ‘purusa’ laki-laki Bali wajib memimpin keluarganya untuk membayar hutang-hutang tersebut dan juga sebagai wujud bakti kepada para leluhur.
Ditegaskan kembali, tidaklah lazim jika laki-laki Bali ‘paid bangkung’. Meskipun secara ajaran agama Hindu tidak ada aturan, larangan, ataupun hukuman untuk pindah keyakinan. Hanya saja mereka tidak bisa melunasi hutang-hutang yang dibawa sedari lahir ke dunia.
Bagaimana jikalau perempuan Bali yang pindah keyakinan....? Hal ini dianggap sah-sah saja atau lazim...makanya tidak ada istilah ‘paid kaung’(babi jantan). Karena menurut adat-kebiasaan masyarakat Bali, perempuan merupakan ‘pradana’ yang wajib berbakti kepada sang suami selaku ‘purusa’. Oleh karena itu jika laki-laki Bali yang menikah dan tinggal di rumah sang istri (nyentana), maka secara ‘niskala’ sang istri-lah yang merupakan ‘purusa’ atau sebagai kepala keluarga.
Kembali pada konteks mempertahankan keyakinan, saya sangat setuju dan mendukung jika perempuan Bali mampu menarik pasangan atau suaminya untuk ikut menjalankan ajaran Hindu dan berbakti kepada leluhur-nya.
Salut....untuk perempuan Bali yang sudah menjalani dan mengalaminya.
Jika banyak perempuan Hindu yang mampu berbuat seperti hal diatas (‘maid kaung’), maka istilah paid bangkung bergeser menjadi ‘Paid bangkung’..?? Why not...?? Istilah ‘paid bangkung’ bisa jadi hanya sekedar ungkapan untuk bahan guyonan, atau bahkan bisa menjadi pesan yang sarat makna untuk tetap teguh pada keyakinan. Tergantung dari sisi mana kita melihat.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menjadi bahan renungan bagi semua pihak.
Damai di hati, Damai di Dunia, Damai selalu.