Butha Kala adalah dua dimensi alam ini. Butha adalah dimensi materi, dimensi fisik, dimensi ruang. Kala adalah dimensi waktu, kesempatan , momentum. Semeton krama Bali sudah tahu bahwa alam ini adalah ruang. Ruang dari ukuran paling kecil ( mikrokosmos) sampai paling besar ( makrokosmos). Manusia modern baru mengetahui bahwa 99,99 % atom adalah ruang kosong. Begitu pula tubuh manusia hanyalah kumpulan rongga-rongga. Sebagian rongga berisi zat cair dan sebagian lagi berisi udara. Hampir 99,99 % tubuh manusia adalah rongga-rongga atau ruang. Pada DNA kitapun disediakan ruang kosong sehingga susunan molekul molekulnya membentuk pegas ( yitu dua garis sejajar yang melingkar seperti anak tangga atau Double Hellic) Alam semesta ini adalah 99,99% ruang kosong, planet Bumi hanyalah setitik debu yang mengambang diruang angkasa yang kosong , diruang langit tak bertepi. Jadi hidup manusia ditentukan oleh ruang, berada dalam ruang, dipenuhi oleh ruang, oleh Butha. Oleh karena itulah semeton krama Bali selalu mengingatkan akan keberadaan dimensi Butha ini.
Demikian juga dimensi Kala atau waktu. Waktu itu tidak tampak, tidak terasa, tidak terhitung dan tak terprediksi. Kita merasakan adanya siang dan malam karena Bumi berputar pada sumbunya. Kita bisa mengitung hari karena Bumi beredar mengelilingi matahari. Fenomena ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk menciptakan waktu yaitu waktu ciptaan manusia. Coba kalau Bumi ini diam, maka waktu sulit dihitung , sulit diprediksi. Sebagian orang dimuka bumi ini akan mengalami siang selamanya. Akan menjadi kering, tandus dan terbakar. Sebagian orang lagi akan melihat malam selamanya. Akan kedinginan, membeku menjadi es.
Pernahkah semeton berlayar ditengah lautan luas sehingga tak tampak daratan sama sekali, maka kapal akan terasa diam tak bergerak. Atau pernahkah semeton terbang dengan ketinggian diatas 30.000 fit, maka pesawat akan terasa diam tak bergerak. Lebih-lebih lagi kalau kita berada di ruang angkasa jauh diluar Tata Surya, diluar galaxy Bimasakti, maka waktu seakan –akan tidak ada. Se akan –akan saja, karena waktu tidak menampakkan dirinya. Tetapi waktu itu ada , waktu itu adalah keberadaan. Ada tapi tiada. Tiada tapi ada. Wujud apakah gerangan yang disebut waktu?.
Waktu akan melahap semuanya, melindas semuanya, menghanyutkan semuanya. Waktu sangatlah mahakuasa, tak ada yang sanggup mengendalikannya. Wajah waktu sangatlah menyeramkan. Semeton krama Bali menyebut Sang Hyang Kala Maya. Waktu adalah Tuhan. Yang dimaksud Kala disini bukanlah waktu ciptaan manusia. Bukan pagi,siang, sorenya manusia. Bukan jam 6,7,8nya manusia. Waktu manusia terjadi dalam sang waktu dalam sang Kala. Pagi siang sorenya manusia terjadi dalam sang waktu dalam sang Kala. Siapakah yang mengendalikan dimensi ruang (Butha) dan siapakah yang mengendalikan dimensi waktu (Kala)?. Maka semeton krama Bali akan melakukan upakara persembahan kepada kedua dimensi yang sangat maha kuasa itu. Karena semeton krama Bali hidup didalam kedua dimensi itu, karena semuanya ditentukan oleh kedua dimensi itu.
Pada hari menjelang hari raya Nyepi, yakni pada hari Pengerupukan, satu hari sebelum hari Nyepi, semeton krama Bali akan mecaru. Membuat ogoh-ogoh yaitu mahluk-mahluk dengan berwujud sangat menyeramkan. Ogoh-ogoh ini di usung bersama keliling kota atau desa, lalu pada saat malam hari ogoh-ogoh ini dibakar.
Ogoh-ogoh ini disimbulkan sebagai wujud Butha Kala, yaitu perwujudan ruang dan waktu. Dengan membakar perwujudan ruang waktu, maka semeton krama Bali bertujuan membebaskan diri dari ikatan konotasi ruang waktu yang selama ini terasa mengimpit. Semeton krama Bali ingin keluar dari batasan –batasan dan paradigma ruang waktu, dari kesempitan, dari kepicikan, dari fanatisme membuta. Semeton krama Bali ingin menuju keluasan pandangan yang melampaui ruang waktu, menembus dualitas, menembus ekstrateritorial. Semeton krama Bali ingin bergabung dengan kesemestaan dengan keberadaan. Karena besoknya semeton krama Bali akan Nyepi, akan bermeditasi. Dalam bermeditasi sudah tidak boleh ada lagi konotasi ruang waktu.
Pada hari Nyepi, yang terdiri dari nyepi karya (tak boleh bekerja), nyepi geni (tak boleh menyalakan api, termasuk api amarah), nyepi lelangonan (tak boleh bepergian). Melakukan mona brata (tak boleh bicara). Duniapun terasa seolah olah berhenti. Saat itulah semeton krama Bali akan bermeditasi, mengheningkan pikiran, berjalan ke dalam diri, menuju Sunya Loka. Ketempat kesunyian tak terdifinisikan, ketempat waktu dan ruang tak eksis lagi, ketempat asal sebelum mewujud kedalam badan, ke tempat Prahyangan, ke tempat fitrah.
Keesokannya lahirlah manusia baru, lahir dari kesadaran Prahyangan. Lahir dari langit ke Ilahian. Bunga lama telah gugur, tumbuhlah bunga yang baru. Tumbuh dari pohon Prahyangan. Pohon kesadaran semesta. Lalu kuncupnya mengembang dan semerbak. Semeton krama Bali sudah mekules, sudah berganti kulit. Penulis
dr. I.B Sindhu SpOG