Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana. (Lontar Sang Hyang Aji Swamandala)
Maksudnya: Melasti meningkatkan sradha dan bhakti kepada para Dewa (sinar suci Tuhan Yang Mahaesa) untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan kerusakan alam semesta.
MENURUT petikan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala, prosesi upacara melasti dalam kemasan budaya lokal tradisi Hindu di Bali itu mengandung nilai yang amat universal. Dalam lontar tersebut melasti memotivasi umat Hindu agar meningkatkan sraddha dan bhaktinya kepada Tuhan untuk menguatkan daya spiritual agar dengan cerdas dan penuh rasa kasih sayang meningkatkan kepeduliannya pada nasib sesama atau ''anganyut laraning jagat'' (sosial care). Untuk membangun kepedulian sosial itu terlebih dahulu hilangkan kekotoran batin dalam diri yang disebut papa klesa dalam diri. Papa klesa artinya kekotoran diri yang dapat membawa manusia menderita lahir batin.
Menurut Taiteria Upanisad, klesa atau kekotoran batin itu ada lima yaitu Avidya, Asmita, Raga, Dwesa dan Abhiniwesa. Lima klesa itu adalah kegelapan, egoisme, pengumbaran nafsu, kebencian dan rasa takut. Lima kekotoran batin inilah yang diingatkan dalam upacara melasti untuk dihanyutkan dengan daya spiritual.
Daya spiritual itu dibangkitkan melalui prosesi melasti. Dengan hanyutnya lima kekotoran itu eksistensi Catur Citta akan muncul. Catur Citta itu menurut Wrehaspati Tattwa ada empat yaitu Dharma, Jnyana, Wairagia dan Aiswarya. Catur Citta itulah yang akan menjadi kekuatan spiritual untuk melakukan kepedullian sosial (anganyutaken laraning jagat) dan menjaga kelestarian lingkungan alam (anganyutaken letuhing bhuwana). Empat hal itulah yang diingatkan oleh upacara melasti agar senantiasa dilakukan oleh umat Hindu dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian barulah dapat menikmati hidup sebagai tujuan utama melasti seperti dinyatakan dalam Lontar Sunarigama yaitu Amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara yang artinya mendapatkan sari-sari kehidupan di tengah samudra. Ini berarti setelah melakukan empat hal seperti dinyatakan dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala barulah kita secara benar atau sah memperoleh sari-sari kehidupan.
Samudra adalah simbul dari sumber sari kehidupan itu. Samudra dan gunung dalam tradisi Hindu di Bali disimbolkan sebagai lingga-yoni. Gunung sebagai lingga dan samudera atau segara adalah yoni-nya. Air Samudera menguap ke langit menjadi mendung. Mendung terkena terik sinar matahari. Mendung jatuh ke bumi menjadi hujan. Hujan ditampung oleh gunung dengan hutannya yang lebat. Hutan yang lebat itu akan menjadi sumber mata air. Air inilah sumber kehidupan semau makhluk hidup. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia tidak bisa hidup tanpa air.
Prosesi melasti dari mengusung secara ritual berbagai pratima sakral dari berbagai pura tempat pemujaan pada Tuhan di lingkungan desa sebagai proses berbhakti pada Tuhan (ngiring prawatek Dewata) untuk menumbuhkan daya spiritual. Salah satu dari empat hal yang wajib dibangun dalam diri dalam ritual melasti itu adalah tumbuhnya kesadaran untuk peduli pada nasib sesama yang disebut anganyutaken laraning jagat.
Dalam kehidupan yang semakin senjang ini aktivitas beragama harus mampu meningkatkan kesadaran untuk peduli pada nasib sesama. Hal ini seharusnya dimulai dari kalangan atas seperti para pejabat, pengusaha kaya dan mereka yang memperoleh nasib baik dalam hidupnya di dunia ini.
Para pejabat hendaknya merasa malu hidup dengan fasilitas mewah dengan menggunakan uang rakyat. Seperti mobil dinas yang mewah, rumah jabatan yang mewah, dana plesiran dengan alasan studi banding, ruang kerja yang mewah dan sebagainya. Demikian juga para pengusaha hendaknya jangan berkolusi dengan penguasa dan ngemplang pajak sumber pemasukan negara. Satu saja yang diprioritaskan dari empat tujuan melasti itu maka akan amat berarti bagi tiga tujuan melasti yang lainnya seperti pembersihan diri dari lima klesa.
Melasti juga untuk memotivasi secara spiritual membangun kepedulian pada pemeliharaan alam agar tetap subur. Dengan demikian akan terwujud kehidupan yang aman dan kesejahtraan yang adil. Sayang, upacara melasti itu umumnya masih mentok di tataran ritual dan tidak dilanjutkan dengan langkah nyata sebagaimana diamanatkan dalam teks pustaka tentang petunjuk melasti. Dengan demikian berbagai pihak ada yang merasakan kegiatan ritual keagamaan sebagai kewajiban ritual yang memberikan kemeriahan sosial sesaat. Melasti seyogianya diawali dengan bhakti pada Tuhan dan dilanjutkan dalam wujud yang lebih nyata berupa peduli pada nasib sesama. Kepedulian pada nasib sesama itu dari tahun ke tahun semestinya terus meningkat baik dari sudut substansinya menolong sesama baik dalam wujud fisik material yang disebut sarwa dhana maupun dalam wujud nonfisik seperti memberikan pendidikan, bantuan kesehatan, peningkatan wawasan menghadapi hidup, bimbingan rohani yang disebut abhaya daana dalam Sarasamuscaya. Apa yang disebut anganyutaken laraning jagat itu menyangkut berbagai aspek kehidupan sosial sampai masyarakat benar-benar tidak ada yang hidup menderita atau lara. Kalau saja salah satu amanat melasti untuk membangun kepedulian sosial, terus menerus dilaksanakan maka tidaklah akan ada 24.600 orang anak terlantar di Bali seperti diberitakan media lokal di Bali. Karena itu ke depan marilah apa yang diajarkan dalam pustaka tentang melasti tahap demi tahap kita jalankan dengan cara-cara yang cerdas, maka kehidupan di Bali akan semakin aman dan sejahtra.
Menyangkut tentang perbersihan diri dari Panca Klesa sebagai hal yang diamanat oleh ritual melasti kita benar-benar aplikasikan maka berbagai persoalan individual juga akan teratasi dimana umat akan semakin elegan menghadapi hiruk pikuknya kehidupan ini. Fisik dan mental umatpun akan semakin memiliki kualitas moral yang semakin luhur dan mental yang semakin tangguh.