Rabu 14 Oktober 2009 umat Hindu akan merayakan hari raya Galungan. Penyiapan spiritual untuk merayakan ''hari kemenangan'' ini telah dilakukan sejak Kamis 8 Oktober 2009 yang dikenal dengan Sugihan Jawa. Sementara keesokan harinya, Jumat Kliwon, Sungsang 9 Oktober 2009 disebut Sugihan Bali.
Banyak umat Hindu masih bingung, merayakan Sugihan Jawa atau Sugihan Bali. Mereka mengira, kata ''Jawa'' dan ''Bali'' adalah nama tempat, padahal tidak. Kata ''Jawa'' di sini berarti jaba yang artinya di luar. Sama seperti orang Bali menyebut pendatang dari luar selalu menyebutkan uli Jawa, walaupun mereka dari Lombok, Kalimantan atau daerah lain di Indonesia.
Dengan demikian, makna upacara Sugihan Jawa adalah penyucian makrokosmos atau buana agung atau alam semesta sebagai tempat kehidupan. Pembersihan ini secara sekala dilakukan dengan membersihkan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan.
Kemudian pada hari Sugihan Bali, umat Hindu mengaturkan sesaji yang pada intinya melakukan penyucian buana alit atau diri sendiri (mikrokosmos), sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai hari suci Galungan sebagai kemenangan dharma.
Pada Jumat lalu, sebaiknya umat melakukan tirta gocara atau tirtayatra yakni dengan pergi ke samudera -- sumber mata air atau bisa di merajan. Dalam praktik yoga umat Hindu pada Sugihan Bali melakukan yoga semadi yang ditujukan untuk mulatsarira. Untuk menyambut hari raya Galungan, umat seharusnya memiliki kesucian batin dengan menahan diri dari segala macam godaan indria.
Dengan demikian, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali jika dilihat dari konsepnya menyiapkan umat Hindu menghadapi berbagai godaan duniawai yang datang menjelang hari raya Galungan. Pada kedua sugihan ini, kekuatan rwa bhinneda diupayakan berada pada titik keseimbangan untuk menuju pada ketenangan dan kedamaian.
Dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar Wayan Suka Yasa mengatakan, prinsip yang paling mendasar dalam perayaan Galungan dan Kuningan itu adalah tegaknya dharma. Untuk menegakkan dharma itu mesti ada proses penyucian buana agung dan buana alit. Proses itu dimulai saat sugihan. ''Sugi'' artinya membersihkan. Jika dalam Sugihan Bali umat membersihan atau menyucikan buana alit, sedangkan Sugihan Jawa diasosiasikan melakukan penyucian di luar diri (buana agung). Proses pendakian spiritual ini melewati rerahinan penyajan (apang saja nyujatiang raga -- berjanji menegakkan dharma). Untuk menegakkan dharma mesti ada upaya untuk melenyapkan sifat-sifat buruk dalam diri, sehingga ada prosesi penampahan Galungan. Yang di-tampah (dipotong atau dihilangkan) itu sejatinya adalah sifat buruk dalam diri. Sifat buruk itu diasosiasikan dalam bentuk binatang babi. Jika sifat-sifat rajas dan tamas sudah hilang dalam diri, yang tersisa hanya sifat satwan. ''Semua rerahinan serangkaian Galungan itu mengandung filosofi yang perlu kita maknai dalam konteks kekinian,'' ujar Suka Yasa.
Hal yang sama dikatakan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti dari Gria Bhuwana Dharma Santhi Sesetan. Sugihan itu merupakan prosesi membersihkan buana agung (alam lingkungan) dan buana alit dalam rangka mempersiapkan diri menuju kegiatan spiritual. Dalam upacara Sugihan itu ada prosesi ngerebu. Prosesi ngerebu itu adalah salah satu konsep pembersihan buana alit. Ngerebu itu hendaknya jangan dilihat dari sisi upacaranya saja, sebab di situ sesungguhnya ada konsep masimakrama (bertemu keluarga). Ketika prosesi perebuan terjadi, anggota keluarga ada di sana. Setelah dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, aturan yang berisi nasi, daging, telor dan sebagainya disantap bersama. Dalam santap bersama ini rasa kekeluargaan akan makin erat. Jika ada anggota keluarga yang sebelumnya sempat bersitegang, misalnya, melalui prosesi ngerebu diharapkan bisa mencair. Dalam konteks itu sejatinya ada proses penyucian pikiran, yang tadinya keruh bisa menjadi bening kembali. Dengan demikian kedamaian dan ketenangan akan tercipta dalam diri menyongsong hari raya Galungan.
Galungan juga merupakan momen untuk melakukan introspeksi diri (mulatsarira) atau evaluasi diri. Apakah selama ini kita sudah mampu mengalahkan hawa nafsu atau melenyapkan sifat-sifat rajas dan tamas. (lun)