Tri Kerangka Agama Hindu adalah rancang bangun yang secara sistemik dan mekanik menjadi konstruksi sraddha-bhakti umat Hindu. Secara sistemik, Tri Kerangka Agama Hindu merupakan satu serial dari serangkaian sikap keberagamaan yang secara simultan menjadi pendorong bagi umat untuk memadukan secara gradual (bertahap) tingkatan-tingkatan yang sepatutnya dilalui dalam rangka pendakian spiritual.
Dimulai dari pemahaman tattwa (filosofi), lalu bergerak ke tataran susila (etika) dan kemudian diekspresikan ke dalam bentuk upacara (yadnya). Persoalannya, ketika merujuk pada realita, secara mekanik, Tri Kerangka Agama Hindu itu bergerak dan bahkan seakan berhenti di tingkat upacara (yadnya), dengan mengesampingkan tuntunan dan tuntutan susila, apalagi pendalaman tattwa-nya.
Konsekuensinya, ekspresi bhakti melalui praktik upacara bertambah kuat, sementara internalisasi tattwa dan implementasi susila nampak begitu lemah.
Jika dianalogikan dengan sebutir telur, unsur tattwa yang sesungguhnya adalah "kuning telur" sebagai elemen "inti" (substansi) agama, justru tidak nampak menjiwai dan menjadi penguat fondasi berke-susila-an yang adalah bagian "putih telur" sebagai elemen "isi" (esensi).
Yang nampak bergerak secara ekpresif adalah komponen upacara (ritual yadnya) yang sebenarnya merupakan "kulit telur" sebagai elemen "materi" atau kemasan praktik agama Hindu (Bali). Atas kenyataan itu, melalui tulisan "Pergeseran dalam Pelaksanaan Agama: Menuju Tattwa" (1994), Prof. Yudha Triguna berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk ekspresif yang hanya menonjolkan bagian luar dari tatanan agama, membuat agama Hindu yang mempolakan aktivitas seperti itu cenderung dianggap kering (lemah) dari ajaran-ajaran (tattwa) yang bersifat substantif dan konstruktif.
Bukan tanpa disadari, namun sudah menjadi performance umat Hindu, lebih-lebih di era peradaban kontemporer yang cenderung makin sekuler seperti sekarang ini, bahwa titik lemah umat Hindu sesungguhnya terletak pada ranah knowledge (tattwa-jnana) dan attitude (etika-susila), namun sangat ekspresif, demonstratif. Bahkan nampak konsumtif dalam aspek psikomotorik (praktik ritual yadnya).
Pertanyaan menelisik sekaligus menggelitik muncul ke permukaan, seberapa besarkah persentase umat yang mengetahui makna filosofis dari apa yang diekspresikan melalui praktik ritual yadnya? Lalu, sejauh mana terjadi perbaikan keadaan (alam lingkungan dan tingkah laku umat) ketika intensitas praktik ritual yadnya begitu tinggi frekuensinya? Adakah relevansi dan pengaruh signifikan yang menstimulus praktik ritual yadnya ke arah peningkatan kualitas sradha bhakti umat?
Dalam kegalauannya, rohaniwan Ida Pedanda Gde Made Gunung pada beberapa kali kesempatan dharma wacananya di Bali TV, acapkali mengeluhkan yen monto karya yadnya di Bali ten surud-surud ke margiang, adi gumi cara janine sayan sue nyancan nyelekang? (kalau upacara yadnya begitu sering dilaksanakan di Bali, seakan tak pernah terhenti, mengapa keadaan dunia ini tambah lama justru makin buruk?).
Inilah sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan mendasar yang menjadi indikator bahwa Tri Kerangkan Agama Hindu pada kenyataannya memang telah mengalami dekonstruksi sistemik (konsep), dan juga eliminasi mekanik yang bersifat "ritual sentris", yang dalam praktik keberagamaannya lebih mengedepankan. Bahkan, menonjolkan komponen tunggal dalam bentuk praktik ritual yadnya, sebagai media ekspresi religius yang sarat dengan muatan materialis (benda/barang), kapitalis (uang) dan semangat konsumeris (gaya hidup konsumtif) serta diselubungi motif hedonis, mencari kesenangan bukan ketenangan, semacam happy religion, bersenang-senang melalui media agama.
Fenomena itu oleh Chaney (1996) ditengarai sebagai menghujamnya pengaruh ideologi gaya hidup postmodern yang berakibat sensibilitas keagamaan mengalami komodifikasi (menjadi komoditas) di pentas konsumsi massa, dengan hanya mengambil bentuk-bentuk fisikal-material seperti halnya praktik ritual (yadnya) dengan tidak mementingkan hal-hal substansial-konseptual (tattwa). Dengan kata lain, Chaney merumuskan gaya hidup sebagaimana halnya gaya hidup beragama, telah berkembang menjadi semacam "industri penampilan". Bahwa "penampakan luar" telah menjadi salah satu situs penting dalam gaya hidup postmodern, yang lebih mementingkan kemasan (materi), dengan mengenyampingkan esensi (makna) dan substansi (tattwa).
Agaknya, peringatan hari suci Saraswati kali ini dapat dijadikan momentum untuk menggerakkan secara sistemik dan mekanik agar konsep Tri Kerangka Agama Hindu dapat diformulasikan sebagai satu-kesatuan organik, dengan penguatan elemen tattwa sebagai pilar utama yang kemudian menjadi motivasi berperilaku susila, sekaligus menjadi inspirasi dalam mengekspresikan praktik ritual yadnya secara konseptual, tidak sekadar tampilan seremonial yang tentunya akan makin menjauhkan umat dari tujuan mencapai kesadaran spiritual.
Gaya hidup sebagaimana halnya gaya hidup beragama, telah berkembang menjadi semacam "industri penampilan". Bahwa "penampakan luar" telah menjadi salah satu situs penting dalam gaya hidup postmodern, yang lebih mementingkan kemasan (materi), dengan mengesampingkan esensi (makna) dan substansi (tattwa).
Peringatan hari suci Saraswati kali ini dapat dijadikan momentum untuk menggerakkan secara sistemik dan mekanik agar konsep Tri Kerangka Agama Hindu dapat diformulasikan sebagai satu-kesatuan organik, dengan penguatan elemen tattwa sebagai pilar utama yang kemudian menjadi motivasi berperilaku susila, sekaligus menjadi inspirasi dalam mengekspresikan praktik ritual yadnya secara konseptual, tidak sekadar tampilan seremonial yang tentunya akan makin menjauhkan umat dari tujuan mencapai kesadaran spiritual.
Jika dianalogikan dengan sebutir telur, unsur tattwa yang sesungguhnya adalah "kuning telur" sebagai elemen "inti" (substansi) agama, justru tidak nampak menjiwai dan menjadi penguat fondasi berke-susila-an yang adalah bagian "putih telur" sebagai elemen "isi" (esensi). Yang nampak bergerak secara ekspresif adalah komponen upacara (ritual yadnya) yang sebenarnya merupakan "kulit telur" sebagai elemen "materi" atau kemasan praktik agama Hindu (Bali). Oleh I Gusti Ketut Widana
Rahajeng rahina Saraswati,
Kadang kita mesti belajar kembali melihat ke dalam diri akan sesuatu yang esensial.