Setelah melakukan penyucian buana agung dan buana alit pada saat melasti dan tawur kesanga, umat Hindu selanjutnya memasuki Tahun Baru Saka 1932, merayakan hari raya Nyepi dengan melaksanakan catur brata penyepian, Selasa (16/3) besok. Apa sesungguhnya hakikat Nyepi?
PENGAMAT agama dan budaya Ida Bagus Gde Agastia dalam bukunya berjudul ''Panca Bali Krama'' mengatakan setelah melakukan penyucian buana melalui tawur kesanga, selanjutnya umat Hindu memasuki Tahun Baru Saka. Perayaan Tahun Baru Saka itu dengan melaksanakan brata penyepian. Artinya, kata Ketua I Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (periode 1991-2001) ini, mengawali langkah memasuki kehidupan yang baru, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya yang terpenting yakni tapa, brata, yoga dan samadhi. Ajaran tersebut pada intinya berisi pengendalian diri dan pemusatan diri kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pada hari raya Nyepi, umat Hindu berharap dapat memasuki alam sunya, alam yang sempurna, heneng (tenang) dan hening (jernih). Alam yang sunya adalah tujuan tertinggi yang diyakini dapat dicapai dengan latihan yang dilakukan terus-menerus. Itulah sebabnya agama Hindu memberikan kedudukan terpenting pada ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi, yang dilakukan secara bersama-sama saat Nyepi.
Hal senada diungkapkan Ketua Parisada Bali Dr. IGN Sudiana bahwa Nyepi identik dengan yoga. Karena itu hakikat Nyepi adalah hening. Dalam keheningan itu ada kesucian. Dalam kesucian ada Ida Batara Siwa (Tuhan). Dalam suasana hening itu umat dengan khidmat memuja kebesaran-Nya dan memohon agar diberkati kerahayuan, dan berhasil melakukan pengendalian diri.
Oleh karenanya, dalam proses itu melibatkan umat dalam kebersamaan maka ada semacam peraturan bersama dalam bentuk catur brata penyepian yakni amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. ''Catur brata itu adalah bentuk-bentuk pengendalian diri, melatih diri mengendalikan panca indria. Dengan demikian, umat dapat mencapai kesempurnaan, dan terlepas dari belenggu sadripu,'' ujar Dekan Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar ini.
Bagi alam semesta (buana agung), kata IGN Sudiana, dalam Nyepi tersebut diberikan kesempatan untuk memperbaiki ekosistem agar mengalami keseimbangan. Selama ini alam telah mengalami kerusakan, terjadi perubahan musim, dieksploitasi dan sebagainya, sehingga mengalami luka yang mendalam. Itu tak terlepas dari ulah aktivitas manusia. Dengan umat menghentikan aktivitasnya saat Nyepi, alam semesta mendapat kesempatan untuk bernapas memperbaiki ekosistem.
Sementara bagi umat Hindu (buana alit), dalam keheningan itu dapat dengan jernih mengaca diri atau evaluasi diri melihat nilai rapor selama kurun waktu setahun. Jika nilainya ada yang merah, ke depan diharapkan bisa diperbaiki. Demikian juga jika selama ini lembaran hidup penuh dengan noda, ke depan diupayakan noda-noda itu bisa dibersihkan. Jika selama ini pikiran kita selalu negatif, ke depan diharapkan bisa menjadi positif. Saat Nyepi yang hening itulah kita beryoga memuja kebesaran-Nya, sekaligus melakukan introspeksi diri dan mengendalikan diri dengan tidak menyalakan api, bepergian, tidak beraktivitas, tidak menyimak atau menikmati hiburan.
Hal yang sama disampaikan dosen Unhi Drs. I.B. Suatama, M.Si. Ia mengatakan, rangkaian hari raya Nyepi sesungguhnya mengandung dua konsep yakni ramya (ramai) dan sunya (sepi/hening). Pada saat tawur kesanga atau pengerupukan terekspresi konsep ramya (ramai), sedangkan pada saat Nyepi terimplementasi konsep sunya (hening), umat melakukan puncak-puncaknya kesadaran atau introspeksi diri. ''Setelah umat mengekspresikan konsep ramya, dengan telah ternetralisirnya (somya) kekuatan kala, keesokan harinya umat merayakan Nyepi. Pada saat itu umat melakukan introspeksi dalam suasan hening (sunya),'' ujarnya.
Senada dengan IGN Sudiana, Ida Bagus Suatama menegaskan, Nyepi adalah momen yang baik untuk melakukan introspeksi diri. Dalam konteks itu umat melakukan evaluasi diri dengan membaca koran diri yang terbit setahun atau memutar kaset rekaman jejak diri setahun. Dengan harapan apa yang kurang dalam diri selama setahun itu bisa disempurnakan pada tahun-tahun mendatang. Jadi, umat Hindu selalu diamanatkan untuk melakukan perbaikan terus-menerus, sehingga mencapai kesempurnaan. Dalam keheningan Nyepi, umat Hindu melakukan mulat sarira dalam rangka menuju tangga kesempurnaan. Pun, saat Nyepi umat memberi kesempatan kepada alam untuk bernapas, dengan meniadakan aktivitas atau tidak bepergian (amati lelungan). Dengan tidak bepergian dengan kendaraan bermotor, otomatis tidak ada emisi gas buang. Dalam konteks menanggulangi global warming, Nyepi ini salah satu konsep ideal yang patut dimaknai.