Nyepi tahun ini jatuh pada Kamis, 30 Maret 2006. Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada tilem caitra dilakukan ritus, upacara bhuta yajna berupa tawur kesanga yang dilaksanakan di catus pata atau palemahan desa pakraman di Bali dan juga di luar Bali bagi pemeluk Hindu. Pada hari pengrupukan yang merupakan hari terakhir dalam suatu tahun Saka ini, yaitu pada saat bumi (bhumi), matahari (surya) dan bulan (candra) berada pada garis lurus (wiswayana) umat Hindu melakukan upacara penyucian makrokosmos (bhuana agung) dan mikrokosmos (bhuana alit) untuk menyambut tahun baru Saka dengan segala harapan dan cita-cita. Untuk penyucian bhuana agung umat melaksanakan ritus berupa tawur kesanga, sementara untuk penyucian diri dilaksanakan brata penyepian. Pawai ogoh-ogoh dilaksanakan pada saat malam pengrupukan. Para remaja Hindu membuat ogoh-ogoh beraneka bentuk dan corak sebagai wujud religiusitasnya. Munurut sastra Hindu, hari ini merupakan saat yang tepat melaksanakan pemujaan kepada Hyang Widhi dengan segala manifestasinya guna memohon kesucian dan kekuatan untuk menghadapi kehidupan ini. Catur brata penyepian (amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan) dilaksanakan pada Penyepian selama 24 jam, mulai pagi hari sehari setelah tawur kesanga hingga pagi hari esoknya yang disebut ngembak geni yang diisi dengan acara dharma shanti, saling memaafkan antar sesama. Lalu, bagaimana kita memaknai perayaan Nyepi agar tidak lewat begitu saja dengan segala rutinitasnya? Paper ini mencoba mengkaji aspek tattwa dalam pembuatan ogoh-ogoh yang semakin tahun semakin berkembang tidak hanya di kota-kota tetapi juga sudah merambah ke desa-desa pakraman di Bali.
Baliyajna dan Balihita
Panca Mahayajna yang hingga saat ini masih tetap dilaksanakan dengan berkesinambungan di Indonesia (Bali) mempunyai landasan yang kuat dalam kitab-kitab Weda dan kesusastraan Weda baik yang tergolong Sruti maupun Smrti. Kitab Satapata Brahmana (II.5.6.1) menjelaskan Panca Mahayajna terdiri atas Bhutayajna, Manusyayajna, Pitrayajna, Devayajna dan Brahmayajna. “Ahar-ahar bhutebyo balim haret, tathaitam bhuta yajna samapnoti†(Persembahan kepada bhuta berupa Upakara Bali disebut Bhutayajna). Jadi, Baliyajna adalah Bhutayajna, yaitu persembahan korban suci kepada Panca Maha Bhuta, yaitu tanah (pertiwi), air (apah), panas (teja), angin (bayu), dan ether (akasa). Sementara itu kitab Manawa Dharmasastra, yaitu pada sloka III. 68, 69, 70, 71 dan 72 menguraikan juga tentang Panca Yajna. Sloka 70 menyatakan, “adya-panam brahma yajna, pitrayajnah tu tarpanam, homo daivo balir bhauto, nryajno’tithi pujanam†(Mengajar dan belajar adalah yajna kepada dewa, upcara bali adalah yajna untuk manusia). Persembahan kepada bhuta disebut dengan bali (balir bhauto). Pada kitab yang sama, yaitu pada (III, 81) menyatakan, “svadhyayenar-cayetarsin, homair devam yathavidhi, pitrn chraddhena nrnanair, bhutani balikramaâ€. (Hendaknya ia sembahyang sesuai dengan peraturan, kepada pandita dengan mempelajari Weda, kepada dewa dengan persembahan yang dibakar, kepada leluhur dengan sraddha, kepada manusia dengan pemberian makanan, dan kepada bhuta dengan upakara bali (balikrama)). Baliyajna adalah upacara yang dipersembahkan kepada Siwa dalam aspeknya sebagai Bhutapati, penguasa bhuta. Bhuta-bhuta tersebut adalah pertiwi, apah, teja, bayu dan akasa yang juga membentuk Panca Tan Matra, yaitu bau (gandha), rasa (rasa), sparsa, rupa (rupa), dan suara (sabda). Alam semesta beserta segala isinya dibangun oleh kelima unsur tersebut. Makrokosmos (Bhuwana Agung) dan mikrokosmos (Bhuana Alit) dibangun oleh bhuta-bhuta tersebut. Munurut sistem filsafat Samkya, bertemunya dua prinsip tertinggi, yaitu Purusa sebagai unsur kesadaran (Cetana) dengan Pradana atau Prakrti sebagai unsur material (Acetana) menimbulkan evolusi alam semesta. Yang pertama tercipta adalah buddhi. Dari sinilah lahir unsur-unsur (Tattwa) lainnya, seperti ahamkara, citta, satwam, rajas, tamas, Panca Buddhindriya, Panaca Karemendria, Panca Maha Bhuta, dan Panca Tan Matra. Panca Tan Matra ini sebagai objek indria-indria sehingga manusia lupa dengan hakikat dirinya yang sejati. Perjalanan hidup manusia adalah pendakian spiritual, mentransendentalkan unsur-unsur material (bhuta) kepada unsur spiritual. Karena sesungguhnya yang langgeng adalah spirit; menuju penyatuan spirit dalam diri dengan sipirit Yang Maha Agunglah senantiasa diupayakan dalam setiap nafas kehidupan. Hal ini tampak jelas pada upacara Pitrayajna, yaitu Ngaben yang berfungsi mengembalikan unsur-unsur Panca Mahabhuta pada Bhuana Alit kepada asalnya unsur-unsur yang sama pada alam semesta (Bhuana Agung). Antara Bhuana Alit dan Bhuana Agung memiliki paralelisme dan identifikasi. Ibarat biji buah dengan pohonnya. Biji sesungguhnya adalah miniatur pohonnya. Demikian juga halnya Bhuana Alit pada diri manusia adalah miniatur Bhuana Agung, alam semesta beserta segala isinya. Menciptakan keharmonisan di antara unsur-unsur tersebut adalah kunci Balihita, jagaddhita, sarwa pranihita. Karena sesuatu hal keharmonisan di antara unsur-unsur tersebut bisa saja terganggu sehingga dapat menimbulkan kekacauan, kebingunan, bahkan bencana sehingga alam disebut kedurmaggalaan/keletehan. Keletehan ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti oleh (1) alam misalnya blabar agung, sander kilap, angin nglinus, dll. hingga menimbulkan kerusakan pelinggih, bangunan bahkan korban jiwa; (2) binatang (buron), misalnya buron salah wetu, ubuhan suku pat (misalnya celeng, sampi, dsb.) memasuki tempat suci; (3) tumbuh-tumbuhan (entik-entikan, kayonan, misalnya taru salah wetu, taru sander kilap di pekaragan, dsb).; (4) tempat pekarangan rumah yang dikatakan buruk atau panes, misalnya. Karang teledu nginyah, yaitu karang yang menyendiri dikelilingi sungai, jalan, karang gerah (karang pane,s misalnyakarang dekat setra atau pura), karang tegen rurung, yaitu dua karang dibatasi/dibelah jalan raya (rurung), dsb.) (5) karena bangunan salah ukuran, misalnya bale salah sikut atau salah genah; (6) manusia, misalnya cuntaka, mitra ngalang, dsb. (7) Banguan cacad, misalnya bahan bangunan bekas terbakar, sander kilap, bah punggel, dsb. adegan tanpa urip, sikut tidak menggunakan tampak yang punya rumah, tempat bangunan tidak sesuai dengan konsep Tri Mandala, dsb. Penyuciannya dengan banten durmenggala dengan runtutannya sesuai tingkatannya. Disharmoni pangkal ketidaktentraman, ketidakbahagian, kedamaian. Baliyajna mengajarkan agar manusia harmoni dengan alam baik secara sekala maupun niskala. Dalam kedaan disharmoni Siwa mengambil aspek Bhutapati, yaitu aspek Siwa ang menyeramkan, menakutkan, mengerikan sebagai Dewa Rudra. Kita ketahui bahwa pada saat Karya Agunga Eka Dasa Rudra di Pura Agung Besakih sebelas Rudra dipuja. Karena itu bhuta sering digambarkan sebagai sosok yang menyeramkan, menakutkan. Secara niskala harmoni tersebut dapat diwujudkan melalui upacara Baliyajna dengan segala tata aturannya. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan keadaan balihita, bhutahita, jagaddhita, atau sarwapranihita sehingga manusia dengan sagala makhluk hidup lainnya hidup tentram, dapat melaksanakan swadharma-nya masing-masing mengejar cita-cita hidup tertinnginya, yaitu moksa. Dalam tubuh Siwa kedua kekuatan yang saling bertentangan, yaitu dewa dan asura, sinar dan kegelapan menyatu. Hal ini nampak jelas manakala tawur atau caru sebagai Buhtayajna setelah di-pralina atau di-somya-kan oleh sulinggih disthanakan sebagai Siwa dengan aspek-aspeknya yang menempati masing-masing penjuru dunia baik yang dik maupun widik. Pada saat itu umat memohon karunia, anugrah dan kemurahannya agar dapat dijadikan kekuatan dalam menjalani kehidupannya yang tidak lepas dari pengaruh Rwa Bhineda. Baliyajna dilaksanakan pada tempat dan waktu yang terpilih (pangaladesa, subhadewasa) sesuai ketentuan sastra agama. Ketapatan yajna sesuai indik-indik-nya akan mampu menyucikan unsur-unsur negatif alam semesta sehingga pikiran manusia juga menjadi disucikan. Baliyajna dilaksanakan di sebuah tempat yang dianggap tengah-tengahnya atau pusarnya dunia (madyanikang bhuwana), seperti di lebuh, natar, atau catus pata agung, dimana pretiwi dan akasa bertemu. Dari titik sentrum ini akan digetarkan energi atau vibrasi kesucian ke segala arah sehingga terwujud Balihita. Demikian juga waktu (kala) atau saat (dauh) dan yang muput yajna yang tepat sangat menentukan keberhasilan Bhutayajna. Manusia ibarat kuruksetra, yaitu medan pertempuran antara dua kekautan yang saling bertentangan, yaitu dharma dan adharma, dewa dan raksasa. Sifat-sifat kedewataan (daiwi sampad) dicerminkan oleh satwam, sementara sifat-sifat keraksasaan (asuri sampad) dicerminkan oleh rajas dan tamas. Ketiga sifat ini tidak pernah diam untuk mendominasi yang lainnya. Jalan preya atau abhayudhaya mengakibatkan belenggu atma kepada obejek-obejek indria karena sifat-sifat rajas dan tamas yang selalu dipenuhi. Sementara jalan nihshreya atau prawerti marga akan melepaskan atman oleh ikatan (bandha) indria sehingga ia cepat menyadari dirinya bahwa sesungguhnya ia adalah Atman yang identik dengan Brahman. Apabila kita lengah, kita terjerumus ke jurang belenggu sehingga lingkaran kelahiran dan kematian terus kita lalui. Jagra adalah selalau melek dengan selalu mendegarkan atau memahami tutur sehingga hidup tidak aturu (tidur). Orang yang aturu adalah orang yang papa, orang yang dibelenggu oleh indria-indrianya. Secara fisik ia bisa melihat tetapi secara rohani orang seperti itu adalah orang yang hidupnya gelap. Tutur membuat orang selalu ingat (eling), smrti kepadasumber asalinya apa pun yang terjadi baik pada saat senang maupun susah.
Ogoh-ogoh: Ramya dan Sunya
Kehadiran ogoh-ogoh selalu dikaitkan dengan upacara Tawur Kesanga sehingga memiliki dimensi religus, disamping aspek-aspek lain. Memandang sebuah karya seni religi berupa ogoh-ogoh yang sangat berkembang sejak tahun 80-an tidak semata-mata dari penampilan fisiknya, namun yan lebih penting adalah konsep dewa-bhuta. Ketika upacara tawur dilaksanakan baik pada sekala kecil maupun besar, maka ada saat-saat riuh-rendah, yaitu mengaduk atau nyarub caru yang memerlukan suara riuh (suryak). Upacara ini dilaksanakan pada sandhya kala ditandai dengan mebuwu-buwu atau mengacungkan api (misalnya prakpak) menyeburkan bau-bau tertentu (misalnya mesui, jangu, bawang) dan membunyaikan suara-suara (misalnya kentongan, atau bale ganjur) di tempat tertentu (misalnya di sekitar pekarangan rumah) agar suasana riuh. Semuanya ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi Panca Maha Bhuta ke dalam struktur atau sistemnya sehingga mereka tidak mengganggu lagi. Di dalam upacara Dewa Yajna yang digolongkna utama dimana caru menggunakan kerbau, maka pendeta yang memuja di tawur, yaitu pendeta Wainawa menggunakan lima jenis alat pemujaan: genta, genta uter, bajra, sungu, dan tipluk. Ini semua dimaksudkan digunakan untuk ngarad bhuta, memberikan labaan dan men-somyakan agar unsur-unsur Panca Maha Bhuta tersebut ada dalam posisi seimbang harmonis sehingga manusia bisa hidup berbahagia, tanpa gangguan dari unur-unsur tersebut. Oleh para seniman kondisi ini dibayangkan sebagai sebuah wujud yang menyeraman, mengerikan di tengah-tengah perjalanan waktu. Jadi, pembuatan ogoh-ogoh adalah pengejewantahan atas pemahamannya terhadap konsep ruang dan waktu, dewa dan bhuta. Bhuta dan kala diimajinasikan sebagai sebuah sosok yang mengerikan, angker dan menakutkan, misalnya Kala Mertyu (waktu kematian), kala Gumarang (waktu kegarangan), Kala Agni (api yang berkobar), dan lian-lain. Bhuta-bhuta yang tak terkendailan artinya mereka hadir dalam proporsiya yang tidak seimbang, tidak wajar maka akan menimbulkan atau membangun Adbhuta rasa (rasa ngeri) di dalam pikiran manusia. Dengan demikian kehadiran ogoh sebagai wujud bhuta kala sangat tepat saat-saat upacara pecaruan. Generasi muda Hindu yang kreatif memandang keangkeran atau bahan maut bukan sesuat yang harus dijauhi, malahan mereka bermain-main dengan kengerian tersebut. Pemaknaan ogoh-ogoh hendaknya dilakukan berdasarkan konsep tattwa sehingga ia tidak hanya dapat menghibur, tetapi yang lebih penting adalah adanya upaya pendakian rohani melalui aktivitas membuat ogoh-ogoh yang sudah dilakukan jauh-juah hari sebelum diarak keliling desa pakraman. Di sini diperlukan imajinasi dan renungan dimana manusia menyadari dirinya sebaga bagian tak terpisahkan dari alam semesta; menyadari keberadaannya di tengah-tengah ruang dan waktu yang tidak bisa lepas dari hukum alam semesta (rta). Setelah suara riuh, ngrupuk, mengarak ogoh-ogoh dan membunyikan bale ganjur keliling desa pakraman, maka besoknya, yaitu hari Nyepi suasana benar-benar sepi. Inilah suasana yang amat kondusif untuk melaksanakan tapa-brata, yoga, samadhi.
Penutup
Ogoh-ogoh diciptakan oleh generasi muda Hindu karena kesadarannya atas ruang dan waktu, bhuta-kala. Melalui daya imajinasi yang tinggi, mereka menciptakan wujud yang menggambarkan konsep-konsep tersebut. Ogoh-ogoh dihadirkan dalam konteks upacara Tawur Kesanga sehingga mempunyai dimensi religi, di samping dimensi sosial, budaya, dan ekonomi. Jika pemahaman ini ada, tentu saja ogoh-ogoh tidak perlu dilarang, namun perlu diatur agar kemurnian konsep tersebut berjalan dengan baik; tidak dinodai oleh hal-hal yang negatif. Kreativitas religi semacam ini memang selalu kita nantikan ke depan agar kebudayaan Hindu tidak stagnan malainkan berkembang sejalan perjalanan waktu. Yang menggembirakan justru pelakunya sebagian besar kaum muda (yowana). Kelihatannya mereka menikmati sekali sejak dari ide hingga pembuatannya berwujud fisik dan mengarak beramai-ramai keliling desa.
|