Banten, Babali, adalah salah satu unsur sadhana bhakti, dalam persembahan dan pemujaan atau yajna yang dilaksanakan oleh masyarakat umat Hindu. Bahkan banten, Babali itu sendiri tergolong juga Dewawigraha (arcanam), dan nyasa (simbul-simbul keagamaan Hindu). Contohnya, hanya porosan saja sebagai pelengkap suatu upakara, memiliki ajaran konsep nyasa, filsafat dan ajaran tattwa yang basic dan konseptual dengan ajaran Siwasidhanta, yang kita anut di Bali, disamping konsep ajaran filsafat dan tattwa, yang lainnya, seperti Budha Mahayana, sehingga oleh para ahli agama Hindu yang kita anut di Bali, sering kita sebut Siwa Budha. Unsur-unsur porosan, yang terdiri dari kamben porosan, base, buah, dan pamor itu, adalah nyasa prabhawa Hyang Widhi dalam wujud Dewa Trimurthi. Buah, yang berwama merah, nyasa Dewa Brahma, sebagai prabhawa utpthi, (pencipta). Base, berwarna hijau, adalah nyasa Dewa Wisnu sebagai prabhawa stithi, (pemelihara, Pembina, dan Pengayo). Sedangkan pamor, yang berwarna putih, adalah sebagai nyasa Dewa Siwa sebagai prabhawa Hyang Widhi, dalam wujud sebagai pelebur atau pamralina. Belum lagi pengungkapan aspek filsafat, tattwa dan nyasa beberapa bentuk dan jenis banten, seperti pabangkit, gayah utuh, sampai telah ditingkatkan menjadi Sate Tegeh, Sate Wayang atau Sate Bingin, yang merupakan nyasa Durgha Dewi, shakti Dewa Siwa itu. Demikian pula halnya pula gembal, sampai telah ditingkatkan wujudnya menjadi sarad, yang merupakan nyasa Dewa Ganesya (Gana+lsa), putra Dewa Siwa dengan Parwati Dewi, (dasanama lain) Uma Dewi. Dewa Ganesya, atau di Bali lebih dikenal sebagai Bhatara Gana, adalah juga abhiseka Dewa Awighnesura, yang berarti; Dewa Raja Rintangan atau Dewa Penghalang Rintangan. Demikian pula tidak akan mungkin kita membicarakan aspek-aspek ajaran filsafat, tattwa dan nyasa eteh-eteh tatandingan Daksina, Bagia Pulakerti, yang kedua bentuk dan jenis banten itu me-nyasa-kan alam raya (isi Bhwana Agung) ini. Termasuk plawa peselan, plawa munggah ring sanggar tawang, yang dalam upaweda merupakan pancavrikshu, (lima tumbuh-turnbuhan sorga), dari indraloka, yang ditanam di taman Nandhane, Taman Dewa Indra di indraloka yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan suci, seperti ; (1) Mandara, (2) Kalpa Vriksha, (3) Parijataka, (4) Hari-Chendanaka, dan Bodi, (di Bali, sering diganti dengan ancak). Lalu bagaimana kisah Panca Vriksha itu sampai tumbuh di Madyapada atau dunia ini, menurut sumber Upaweda. Dan kenapa Panca Vriksha selalu digunakan khusus sebagai Plawa Sanggar Tawang, Sanggar Tutuan atau Sanggar Surya, Panggunga, yang menurut tradisi Bali, di samping yang pokok mempergunakan (1) Bingin, (2) Ancak, tiga jenis plawa lainnya, sebagai pengganti, biasa digunakan (3) Uduh, (4) Peji dan (5) Biyu Lalung. Di samping kelima tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai plawa Sanggar Tawang, Sanggar Tutuan atau Sanggar Surya dan panggungan merupakan nyasa sorga, juga sebagai tuntunan ajaran tata susila, yang pengungkapannya secara kirata basa, yakni dimana dipasang plawa uduh, irika patut kapituduhang ngunggahang banten (upakara). Dimana dipasang plawa peji, yang sampun ngunggahang banten, punika sane kapuji. Sedangkan plawa biyu lalung, pisang adalah juga disebut salah satu species tumbuh-tumbuhan atau buah sorga, yang dalam beberapa lontar Mpu Lutuk dan Prembon Babantenan, sebagai nyasa tateken atau Tungked Bathara Surya. Selain dari itu, banten juga merupakan nyasa paragan Widhi, atau nyasa wujud fisik Widhi (Brahman), seperti yang dikemukakan dalam Lontar Medang Kemulan, yang petikannya sebagai berikut:
" ... saha widhiwidhananya, tekeng taledan awang sasayut, marage dewa sami, tekeng wawangunan.Bantene ring sanggar tawang, ring aryane pinaka ulunin bhatara, tekeng bahu sasana ring tutuan, pinaka hasta karo, babantene ring arepan widhine pinaka, anggan bhatara, carune pinaka wamun, bhatara tekeng gigir awang ampolan, sane ring panggungan, pinaka sukun bhatara, sane ring paselang, pinaka dlamakan bhatara, sakwehing jajaitan, pinaka carman bhatara......’
Berdasarkan petikan lontar Medang Kemulan yang telah dikemukakan sesuai dengan opini atau pendapat umum dikalangan masyarakat umat Hindu di Bali, sangat keliru, bahwa semua banten itu adalah merupakan rayunan Widhi, Seperti telah dikemukakan, berbagai bentuk dan jenis banten (upakara) adalah memiliki konsep ajaran filsafat, tattwa dan berbagai aspek nyasa. Bahkan ada yang merupakan tuntunan ajaran yang bersifat petunjuk kepatutan ngunggahang banten (ingat plawa peji dan uduh). Termasuk merupakan sedana dan sarana doa, (ingat data upacara Pakerab Kambe atau Masakapan, saat dilakukan upacara Makalakalan, aed terakhir kedua mempelai menanam kunyit-endong di belakang sanggah kemulan atau pamrajan kamimitan, itu adalah penyampaian doa secara kiratabasa, (mara ngajengit apang suba ngelandong). Ingat dan bandingkan pula dengan upacara mantenan padi di lumbung, yang eteh-eteh bantennya, berisi don dindingai, don tebel-tebel, dan kayu padi, yang semuanya merupakan doa yang dikemukakan secara kiratabasa.
Materi Banten/Upakara
Banten atau upakara sebagai sedhana bhakti dalam persembahan dan pemujaan oleh masyarakat umat Hindu dalam panca yajna, meteri pokoknya adalah terdiri dari daun, bunga, buah, air, dan api, seperti yang dikemukakan dalam ajaran Raja Vidya Raja Guhya Yoga, Bhagavadgita IX.26., yang petikannya sebagai berikut:
Pattram pushpam phalam toyam, Yo me bhaktya prayachehhati Tad aham bhaktyupahritem Asnami prayatatmanah
Terjemahannya: Siapa yang sujud kepadaku dengan persembahan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah atau seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari dari orang-orang yang berhati suci.... Demikian jelasnya, persembahan dari orang-orang yang berhati suci, yang terdiri dari sehelai daun, sekuntum bunga, dan sebiji buah-buahan yang diterima oleh Hyang Widhi.
Lalu bagaimana bhakti (sadhana bhakti), masyarakat umat Hindu di Bali, yang berwujud berbagai bentuk dan jenis banten (upakara) itu. Kalau kita simak dan kaji unsur-unsur sarana saja jika berdasarkan sastra. Walaupun diakui ada tambahan. Tetapi unsur pokoknya adalah daun bunga dan buah, yang dilengkapi dengan air itu. Tetapi tidak dapat digunakan asal daun, bunga dan buah, yang digunakan adalah berdasarkan tuntunan dan petunjuk berbagai versi dan visi lontar-lontar Mpu Lutuk dan Prembon Babantenan. Dan lebih jauh, menurut tradisi Bali, lebih berkembang lagi, seperti yang dikemukakan dalam lontar Nawaruci, unsur eteh-eteh tatandingan banten, khusus untuk buah panca-panca, plawa peselan, secara implisit jelas sekali dikemukakan, berupa taru (yang dari pohon-pohonan), lata (dari tumbuhan sulur-suluran), gulma, (dari rerumputan), yang tergolong sthawara, (tumbuh-tumbuhan yang tidak bergerak). Juga menurut tambahan dalam bentuk upakara sebagai sadhana bhakti di Bali, adalah jenggama (mahluk hidup yang terdiri dari berbagai jenis binatang, atau wawalungan). Tetapi pada akhirnya materi banten atau upakara (Plawa, eteh-eteh tatandingan, raka-raka, buah panca-panca) itu, baik menurut tuntunan pancama weda (Bhagavadgita), maupun berbagai versi lontar-lontar Mpu Lutuk dan Prembon Babantenan di Bali, dapat digolongkan menjadi tiga unsur: 1. Mataya, adalah material atau bahan banten yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, yang pada umumnya baik yang telah diolah, maupun yang utuh, yang berasal dari daun, bunga dan buah. 2. Maharya, adalah bahan banten yang berasal dari yang lahir, digantikan oleh berbagai jenis binatang atau wawalungan, antara lain; babi, anjing, kambing, macan, warak, sapi, kerbau yang nandang rapitan, kijang, menjangan, sesuai dengan tingkatan karya atau yajna yang dipersembahkan. 3. Mantiga, adalah bahan atau material banten tang menatas dari telur, antara lain ayam, bebek, angsa. Termasuk juga menggunakan telur dari binatang yang menetas dari telur itu sendiri, terutama telur bebek, dan juga telur ayam, sesuai dengan tingkatan yajna yang dipersembahkan, terutama kalau sampai tingkat Tawur Agung Eka Dasa Rudra, di Pura Agung Besakih, juga digunakan dalam Tawur Agung Eka Dasa Rudra itu beberapa jenis burung, yakni burung elang dan garuda.
Dalam bahasa lebih domestic atau merakyat, ketiga unsur material atau bahan banten (upakara) itu sering dikemukakan aturan sarwa tumuwuh, sarwa manakan, mwang sarwa mataluh. Atau dalam versi dan visi lain, isin gumi sane maurip ring ambarane, sane maurip ring alas gununge, mwang sane maurip ring segara, danu lwah mwang sawah. Sehingga dengan demikian tetapi memiliki titik temu dengan konsep tuntunan material dan bahan-bahan banten yang patut digunakan berupa mataya, maharya dan mantiga itu. Demikian penggunaan pokok materi banten (upakara) secara umum yang patut diketahui oleh para tukang banten (mancaghra). Yang dalam berbagai lontar-lontar Mpu Lutuk dan lontar-lontar Prembon Babantenan, akan dijabarkan lebih detail lagi, yang contohnya seperti halnya membuat sebuah porosan saja, unsur-unsurnya dikemukakan sedemikian detail, yakni kamben porosan dari busung, dan isi dalamnya patut dari base, buah, pamor, yang memiliki tuntunan ajaran filsafat, tatwa Trimurthi yang Siwaistis dan konsep nyasa, Dewa-dewa Trimurthi itu yakni (Brahma, Wisnu, Siwa).
Wiku Tapini dan Mancaghra
Yang dimaksud dengan wiku tapini adalah Ida Pedanda Istri atau yang lainnya, yang pengetahuannya setingkat dengan Ida Pedanda Istri, dengan persyaratan spirit" lainnya, yang tanggung jawab dalam pengadaan seluruh unsur dan struktur upakara (banten), sebagai sadhana bakti dalam persembahan dan pemujaan karya tertentu. Atau dengan kata lain, wiku tapini ini adalah pemimpin tukang banten (Mancaghra). Wiku Tapini dan Mancaghra ini pada umumnya memiliki pengetahuan Mpu Lutuk dan Prembon Bebantenan yang luas. Mancaghra ini, tergolong tukang banten atau Sarati Banten Akhli ini adalah Sang Wikan Majejaitan mwang matanding saha nyorohang, manjahang upakara (banten). Undagi, sane wikan maolahan eteh-eteh caru, undagi sane wikan makarya-makarya wawagahan pabangyit macagak, pabangkit gerombong, pulagembal, Dangsil, Gayah Utuh, Sate Wayang, Sate Tegeh, sane madasar antuk makudang-kudang pawilangan jatah (sate), luir ipun makadi sate Wrayang Dewata Nawasanga, sate letlet, sate sunduk ro, sate gunting, dan lain-lainnya. Termasuk undagi yang ahli merancang pangawak orti dan sarad. Yang termasuk pawilangan Mancaghra lagi, adalah Dane jro Sangging, sane nyurat makudang-kudang sasuratan, luir ipun sahanan sasuratan Caru ngantos Tawur, sane marupa Kober (Tunggul) Yaznaraja, Rsigana, Ganapati, Ganapati Rogasangharabhumi, nyurat pane miwah Eka Dasaksara. Sangging sane makadi asapunika sinanggeh Sangging Maranggi. Kabawos sewosan wantah sampun tasak ring aksara, taler sampun pascat nitra pawayangan watek Dewa-dewi sami, pretiwimbanm ipun, makadi Nyurat SmaraRatih, sane magenah ring Ulon utawi parbha Bale Paselang, genah Ida Bhatara tedun ka Bale Paselang saha majejiwan, nyasa Hyang Widhi, maprawerti sdisrsti, Bhawana agung puniki, saha dagingnyane sami (simak dan perhatikan teks pajejiwan, yang dibacakan oleh seorang wiku, pada waktu upacara Ida Bhatara Tedun ka Bale Paselang). Selain daripada itu, yang tergolong Mancaghra juga ritatkala ngaturang karya, adalah Juru Gambel dan Pragina. Tetapi mereka tidak terlibat dan bertanggung jawab langsung terhadap pengadaan berbagai bentuk dan jenis upakara itu. Kedua fungsionaris ini, hanya sebagai unsur Panca Pagendha, persebahan ilmu unsur seni dalam persembahan dan pemujaan itu. Yang terpenting adalah Mapasang Sunari. Dewa Sunari ini adalah Sang Hyang Rare Angon, yang tiada lain adalah Dewa Siwa sendiri dalam dasanama lainnya, atau dalam bahasa yang domestic, sering dikemukakan sebagai sadhana bhakti nedunang Ida Bhatara Siwa, mangdene Ida Bhatara Siwa Macecingak, saha mapaica kamolihan mwang karahayon. Pada waktu Dewa Rare Angon (Dewa Siwa) tedun ke madyapada, diiringi oleh para widyadara (yang memiliki), agar membantu umat manusia untuk menyukseskan pelaksanaan seluruh proses dan aed karya, sehingga berhasil atau sidaning don. Juga pada waktu Ida Bhatara Siwa tedun ke madyapada yang diiringi oleh widyadara, juga diikuti oleh para widyadari, yang sama artinya dengan kata widyadara yakni yang memiliki ilmu pengetahuan. Widyadari ini sebagai Juru Kidung dan Penari di Siwaloka, amat tertarik kepada burung Sunari, si buluh perindu yang ditiup oleh Bhatara Bayu, Dewa Angin itu. Kelak widyadari ini akan ngayah ngerejang, yang di-nyasa-kan oleh para Daa Nyoman, dalam berbagai Tari Rejang, seperti Rejang Renteng, Rejang Dewa, Rejang Nyangnyingan, Rejang Bangkol, Rejang Oyod Padi, Rejang Lilit, Rejang Luk Panyalin, dan lain sebagainya, seperti yang dikemukakan dalam Lontar Usana Bali. Sedangkan para widyadara, akan menarikan Tari Baris Dadap, Baris Pendet, Baris Presi, Baris Tumbak, Baris Jojor, Baris Jangkang, dan lain sebagainya, juga seperti yang dikemukakan dalam Lontar Usana Bali. Khusus di Suci atau bale tempat membuat banten, pada saat mulai kegiatan, Wiku Tapini, ngadegang Sanggar Tapini. Yang dipuja di Sanggar Tapini ini adalah Dewi Tapini, yang tiada lain Uma Dewi, shakti Dewa Siwa. Uma Dewi atau Tapini Dewi adalah Guruning, Dewi khusus yang dipuja oleh Wiku Tapini dengan segenap Mancaghra, sebagai serati banten yang membantu Wiku Tapini, selama mengerjakan berbagai bentuk dan jenis upakara sebagai sadhana bhakti, berdasarkan pangaladesa dan rahina subhadiwasa segenap aed (rangkaian) persembahan dan pemujaan dalam karya itu. Di Sanggar Tapini ini, setiap hari Wiku Tapini mempersembahkan aci penyabran kehadapan Tapini Dewi (uma Dewi), agar selalu dianugrahi pikiran yang terang dan cemerlang, tidak bingung, tidak lupa kepada isi dan petunjuk lontar-lontar Mpu Lutuk dan Prembon Bebantenan, sehingga salah membuat berbagai bentuk dan jenis upakara (banten) sehingga dalam persembahan dan pemujaan karya itu, akan terjadi tan nepek mwang tan nemu gelang, upakara katekaning puja wiku pemuput. Sehingga pelaksanaan persembahan dan pemujaan yajna inucap tan sida phalanya. Konsep ini diperkuat lagi, yang dikemukakan dalam Lontar Prembon Bebantenan dan Lontar YajnaPrakirti, yang mengemukakan bahwa saat Bhatari Tapini (Uma Dewi), turun ke madyapada dan malingga di Sanggar Tapini di suci, juga diiringi oleh seorang widyadari (yang memiliki ilmu pengetahuan), yang abhiseka Ni Prajna. Ini adalah nyasa bahwa seorang Wiku Tapini harus memiliki ilmu pengetahuan tentang Mpu Lutuk Bebantenan dan Prembon Bebantenan. Demikian pula para Mancaghra, sebagai pembantu Wiku Tapini itu selama membuat banten. Sehingga mereka tidak keliru atau salah majejaitan, mulai dari matetuwasan, matanding, nyorohang banten sampai saat manjahang banten, persiapan pelaksanaan pemujaan, dalam yajna yang diselenggarakan. Selain mairingan Widyadari Ni Prajna, Bhatari Tapini juga mairingan seorang bhuti yakni Ni Pencad. Eksistensi sosok bhuti atau bhuta, keduanya adalah me-nyasa-kan energi, kekuatan, dan kebugaran fisik. Seorang Wiku Tapini harus selalu memiliki kebugaran fisik dan energi yang prima. Demikian pula pembantunya, para Mancaghra itu. Bayangkan saat mempersiapkan berbagai bentuk dan jenis upakara dalam suatu karya, kalau Wiku Tapininya dan segenap Mancaghranya selalu lemah, kurang energi, sakit-sakitan, apa jadinya unsur dan struktur upakara yang demikian kompleks dan detailnya. Berbagai bentuk dan jenis banten tidak akan selesai. Seorang Wiku Tapini harus pencad, sebet memberi komando atau perintah kepada seluruh Mancaghra dan pengayah, saat persiapan membuat banten. Itulah nyasa, iringan widyadari Ni Prajna seorang Wiku Tapini harus prajnan, dan iringan Ni Pencad. Wiku Tapini harus selalu sehat dan bugar penuh vitalitas dan energi, pencad, sebet, memberi perintah, mengawasi pelaksanaan pekerjaan pembuatan banten, supaya dapat selesai pada waktunya, sesuai dengan wawagahan upakara, sehingga nepek mwang nemu gelang, sahanan upakara mwang puja wiku pamuput, mwah Wiku Mangaleng Yajna.
Pancapagendha, Dewawigraha, dan Nyasa
Apa sebabnya pelaksanaan yajna umat Hindu itu selalu menarik siapa saja. Atau dengan kata lain, selalu dapat ngawrediang rasa lulut akung, mwang panrasa agama. Jawabannya adalah karena pada dasarya persembahan dan pemujaan atau yajna umat Hindu itu adalah menggunakan pancapagendha, lima unsure seni sebagai sadhana bhakti, yang merupakan pengejawantahan konsep ajaran filasafat, tattwa dan nyasa. Atau dengan kata lain konsep ajaran sastra-sastra agama itu, mulai dari sruti, smrthi, dharmasastra, terutama dalam ajaran Upaweda, (Ithiasa, Purana, dan Nibandha), diwujud nyatakan, dipersonifikasikan dalam wujud pascapagendha itu, sehingga lebih mudah untuk dilihat, dimengerti bagi masyarakat pada umumnya, dalam penghayatan ajaran agama yang immanent, yang merupakan awal untuk mencapai tujuan agama yang transedental, Atau dengan kata lain, pelaksanaan hidup dan kehidupan keagamaan secara sekala, merupakan jalan awal untuk mencapai tujuan agama niskala. Kelima unsur seni dalam konsep Pancapagendha, yang dipersembahkan sebagai sadhana bhakti adalah sebagai berikut: 1. Seni Sastra Ithiasa, Wiracarita, Purana (Manapurana dan upapurana) pada dasarnya adalah penjabaran Sang Hyang Catur Weda Jangkep, (Samaweda, Regweda, Yayurweda, dan Atharwaweda). Di Bali ditulis dalam riptaprasasti (lontar-lontar Tattwa, Tutur, Wariga, Babad, Gaguritan, Kidung, Kakawin, termasuk lontar-lontar Mpu Lutuk dan Prembon Bebantenan, yang pada umumnya adalah merupakan sumber petunjuk dan tuntunan keempat unsur pancapagendha lainnya. 2. Seni Vokal Gaguritan, Kidung, Kakawin, Palawakya, sampai yang merupakan chanda (Guru Lau), rapalan mantra, stuti, stava Ida Padanda saat mapuja, mulai dari saat Nyuryasewana, sampai muput karya/ yajna tertentu. Termasuk juga rapalan saat para Pamangku saat nganteb, adalah tergolong chanda, seni vocal. 3. Seni Instrumen Berbagai perangkat gamelan, seperti gong, angklung, saron, smara pagulingan, gambang, gender wayang, salonding, dendengkuk, gong beri, dan lain sebagainya. 4. Seni Gerak Berbagai sasolahan atau tari, mulai dari tari Wali, Tari Babali, dan Tari Balih-balihan. Tari Wali dan Tari Babali adalah tergolong tari sakral. Tari Wali merupakan bagian dari pelaksanaan upacara seperti berbagai jenis tari Rejang yang telah dikemukakan, tari Pendet, pada saat ngaturan prani, berbagai tari Baris (kecuali Baris Provan), sedangkan tari Babali adalah sebagai penunjang upacara, seperti Topeng Sidakarya, Wayang Lemah, Mabhisama, atau Kincang-kincung. Sedangkan tari Balih-balihan adalah pagelaran tari yang semata-mata bersifat hiburan, seperti Topeng Prembon, Arja, Wayang, Joged Bumbung, Drama Gong, dan sebagainya. 5. Seni Rupa Adalah hasil karya seni lukis (chitralekha), berbagai rerajahan dan sasuratan, seperti telah dikemukakan. Termasuk seni pahat dan seni bangun. Gabungan antara seni lukis, seni pahat, dan seni bangun data wujud banten, disebut seni kriya, seperti Sarad dan Kokudian Wadah. Sasuratan dalam tatacara agama masyarakat umat Hindu di Bali, memiliki konotasi yang hanya digunakan dalam upacara pancayajna. Sedangkan rerajahan memiliki konotasi yang hanya digunakan data lontar-lontar pregolan, seperti tumbal, sasuwuk, tataneman, babuntilan, pangimpas-pangimpas, dan sahanan pangraksa. Tetapi adakalanya disamakan di masyarakat yang disebut seni Kaligrafi. Contoh sasuratan adalah berbagai sasuratan tunggul (kober caru sampai tawur, seperti yang telah dikemukakan), sedangkan untuk rerajahan pregolan luar biasa banyaknya. Kalau sasuretan, pewayangan gambarnya, berdasarkan acuan dan tuntunan yang baku. Demikian pula wijaksara yang digunakan cenderung sama dari Ekaksara (aksara pranawa). Dwiaksara, Triaksara, Panca Brahma, Dasaksara, Eka Dasaksara, sampai Sodasakara (sastra Nembelas). Sedangkan rarajahan pragolan, pewayangan gambarnya, walaupun ada juga diambil dari dewa-dewi, bhuta kala, tetapi telah diubah gerak, unsur dan strukturnya, (laksanan, polah, wrayang), sesuai dengan pengetahuan esoteris penciptanya. Termasuk penggunaan aksara Modre (Aksara mati, sane mapangangge) sangat beragam, luar biasa banyaknya, berdasarkan pengalaman esoteris, sebagai obyek pemusatan konsentrasi para penganut dan pengamalnya saat melakukan pengarcanan, untuk mencapai tujuan-tujuan niskala, dengan dasar ajaran pregolan itu. Sasuratan yang paling banyak digunakan, adalah dalam upacara pengabenan, seperti sasuratan kajang, kereb sari, ulon wadah, ilih, sasenden, tulang, entud, kulambi, payuk tirta pangentas, tirtha pangelukatan, kertas ulantaga dan banyak lagi yang lainnya, yang tidak mungkin akan dibahas dalam pertemuan dengan waktu yang sesingkat ini. Termasuk chitralekha kober yang lukisan pokoknya, berlukiskan hanoman atau garuda, Juga umbul-umbul yang berlukiskan naga, (naga anantabhoga, naga basuki, naga taksaka, naga sesa, naga gembang, naga ailapatra), adalah chitralekha, memiliki ajaran filsafat konseptual. Termasuk kober wijaksara, pada pengawin panawa sangan, semuanya konseptual, yang tidak boleh asal buat saja. Khusus untuk kober, selain likisan pokoknya adalah berkepatutan hanoman atau garuda, yang merupakan nyasa shakti mwang kamolihan, sering juga, digambar dengan plawage yang lainnya seperti Kapiraja Sugriwa, Kapi Kenda, Anggada, Anala, Kapi Sempati, Kapi jembawan, dan lain-lainnya. Pasangannya adalah para dhanuja, antara lain adalah Patih Prahasata, Pragalba, Jambulmangli, Trisiroh, Wil Kampanu, Sukasrana, Ravana, Kumbakarna, semuanya adalah me-nyasa-kan konsep ajaran rwabhineda, antara dharma dan adharma. Kober juga sering digambarkan dengan profil Gunawan Wibhisana, adik bungsu Prabu Dasamuka atau Ravana, yang merupakan nyasa tokoh panyelah, yang selalu satyengdharma, sehingga selaku pengejawantahan sikap dan prilaku satyeng dharma ini, sekalipun dharma itu berada di pihak musuh, figur atau tokoh panyelah ini tidak segan-segan mengabdi kepada musuh yang menjunjung tinggi kebenaran sabatana dharma itu. Terlalu banyak kalau diungkapkan konsep-konsep ajaran flisafat, tatwa dan nyasa pada unsur sasuratan, rarajahan dan chitralekha, sebagai unsur sadhana bhakti masyarakat umat Hindu saat melakukan persembahyangan dan pemujaan yajna, dalam hidup dan kehidupannya sebagai pengejawantahan ajaran dharma untuk mencapai tujuan dharma itu sendiri. Yang terakhir adalah persembahan sangging maranggi dan undagi maranggi dalam konsep pancapagendha ini, dan dalam wujud seni arca pada khususnya, yang akhir-akhir ini sering menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam penggunaannya. |