Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Pura Goa Giri Putri
Selasa, 22 April 2008
Pura Goa Giri Putri Tempat Memohon Segala Keberkahan Kehidupan umat Hindu di Bali dan umumnya di Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari kegiatan ritual keagamaan. Setiap hari ritual upacara selalu digelar, mulai dari tingkatan terkecil (rumah) hingga lebih besar (di pura). Tentunya dengan harapan mendapat kemakmuran dan kesejahteraan. Dengan srada dan bakti yang benar-benar tulus, suci, nirmala, umat tentu sangat berharap dapat mewujudkan tujuan hidup Moksartam jagatdhita ya ca iti dharma. Untuk pura, banyak lokasi yang bisa dikunjungi yang tersebar di seluruh Bali. Hingga luar Bali bahkan luar negeri. Bagaimana dengan di Bali?

======================================================

Di Bali, salah satunya yang bisa dituju adalah Pura Goa Giri Putri. Tepat, bila umat tangkil ke pura ini memohon anugerah kesejahteraan lahir batin, agar murah rezeki, dipermudah jalan menuju kesuksesan dalam berusaha, kedamaian hidup, keselarasan dan keharmonisan rumah tangga serta memohon anugerah kemaslahatan umat manusia dan lainnya.

Goa merupakan tempat/lubang besar atau kecil yang ada di dalam tanah, baik diperbukitan atau gunung yang memiliki rongga dengan lebar dan panjang tertentu. Giri Putri, merupakan nama yang diberikan untuk sebuah goa di Dusun Karangsari, Suana, Nusa Penida. Giri artinya bukit/pegunungan. Putri artinya perempuan cantik. Dalam konsep ajaran Hindu, putri yang dimaksud adalah sebuah simbolis bagi kekuatan/kesaktian Tuhan yang memiliki sifat keibuan (kewanitaan).

Jadi, Goa Giri Putri dimaksudkan sebagai sebuah lubang yang memiliki rongga, ruang dengan ukuran tertentu sebagai tempat bersemayamnya kekuatan/kesaktian Tuhan dalam manifestasinya berupa seorang perempuan/wanita cantik yang disebut ''Hyang Giri Putri'' yang tiada lain adalah salah satu saktinya dan kekuatan Tuhan dalam wujudnya sebagai Siwa.

Goa Giri Putri berada di ketinggian 150 meter di atas permukaan air laut. Memiliki panjang sekitar 310 meter dan terdapat 6 tempat bersembahyang/pelinggih. Sebelum tahun 1990, Goa Giri Putri hanyalah sebuah goa yang dijadikan objek wisata lokal, terutama saat hari raya Galungan dan Kuningan. Di samping air yang ada di Taman Goa dijadikan air suci/tirta (utamanya oleh masyarakat Karangsari) serangkaian dengan diadakannya upacara Panca Yadnya.

Sebagai bentuk pelestarian dan menjaga keberadaan Goa Giri Putri sebagai tempat persembahyangan sekaligus objek wisata spiritual dan budaya, muncullah ide pembangunan pelinggih-pelinggih sebagai tempat pemujaan kepada para dewa yang bersemayam di Pura Goa Giri Putri. Ada enam pelinggih dan kekuatan Tuhan yang bersemayam di Pura Goa Giri Putri di antaranya Pelinggih Hyang Tri Purusa, Pelinggih Hyang Wasuki, Pelinggih Hyang Giripati, Pelinggih Hyang Giri Putri, Pelinggih Payogan dan Pelinggih Hyang Siwa Amerta, Sri Sedana/Ratu Syahbandar dan Dewi Kwam Im.

Bukan hanya saat piodalan yang berlangsung pada Purnamaning Kalima, Pura Goa Giri Putri selalu padat dikunjungi pemedek setiap harinya. Apalagi, Pura Goa Giri Putri masuk dalam daftar deretan pura yang dijadikan objek wisata spiritual di Nusa Penida. Bukan hanya umat Hindu, pejabat tinggi nasional juga kerap bersembahyang di Pura Goa Giri Putri, terutama saat ada kegiatan di Kecamatan Nusa Penida.

Jika tangkil ke Pura Goa Giri Putri, saat turun di pelataran parkir kemudian menyeberang jalan, pemedek langsung berhadapan dengan jalan berundak-undak (anak tangga) yang berjumlah 110 undak. Sampai di atas, bertemu pelinggih pertama (Pelinggih Hyang Tri Purusa) berupa sebuah Padmasana yang berada persis di depan mulut goa.

Bendesa Pakraman Karangsari I Nyoman Dunia, S.Pd. dan Pemangku Pura Goa Giri Putri Ketut Darma, MBA menuturkan, sesuai petunjuk niskala yang sering diterima para supranatural, yang malinggih di pelinggih itu adalah kekuatan Ida Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Hyang Tri Purusa (ajaran Siwa Sidantha) yang terdiri atas Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwatma.

Paramasiwa berarti Nirguna-Brahman yakni Tuhan dalam keadaan nirguna/suci murni tanpa terkena pengaruh maya. Kekal abadi, tidak berubah, tidak dilahirkan dan tidak mati, wyapi wyapaka nirwikara dan lainnya. Sadasiwa yakni saguna-brahman, Tuhan dalam keadaan saguna (Mahakuasa), bersifat gaib, suci dan mulia. Sedangkan Siwatma yakni Tuhan dalam pengaruh maya yang menjadi sumber hidup atau jiwatma bagi segala makhluk.

Jadi, kekuatan Tuhan yang dipuja di pelinggih pertama itu yakni Hyang Tri Purusa. Di mana, tempat memohon anugrrah perlindungan dari segala pengaruh negatif, kebahagiaan lahir batin dan memohon tuntunan dalam menjalankan tugas hidup.

Setelah bersembahyang di Pelinggih Tri Purusa, pemedek lanjut memasuki areal Goa Giri Putri. Kesan pertama bagi siapa pun yang baru pertama kali tangkil ke pura ini, pasti akan merasa takut, waswas dan berpikir tidak mungkin bisa masuk karena ketika melihat mulut goa yang berukuran kecil. Hanya bisa dilalui satu orang saja. Namun, pikiran tersebut akan sirna, ketika pemedek sudah memasuki area goa. Mulut goa yang kecil hanya akan dilalui sekitar 3 meter saja. Selebihnya, pemedek akan tercengang dengan keajaiban yang ada dan pasti tidak menyangka bahwa rongga goa sangat lebar dan tinggi, diperkirakan bisa menampung hingga 5.000 pemedek.

Begitu melewati terowongan, pemedek kembali menemukan pelinggih kedua, yakni Pelinggih Hyang Wasuki yang berupa Sapta Petala. Hyang Wasuki merupakan salah satu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan sifat penolong, penyelamat dan pemberkah kemakmuran. Karena Hyang Wasuki diwujudkan dalam bentuk naga bersisik emas berkilauan penuh pernak-pernik mutiara dan mahkota hingga ke ekor.

Hyang Wasuki juga senantiasa menjaga keseimbangan alam bawah (pertiwi) demi keselamatan dan kesejahteraan umat manusia beserta mahkluk lainnya. ''Makanya, umat Hindu yang tangkil di pelinggih ini selalu memohon keselamatan, kedamaian dan ketenteraman umat pada umumnya dan khususnya keluarga,'' ujar Mangku Ketut Darma.

Usai melakukan persembahyangan di Pelinggih Hyang Wasuki, pemedek melanjutkan persembahyangan di pelinggih ketiga berupa Padmasana. Pelinggih ini merupakan tempat berstananya Hyang Giripati/Siwa, Penyineban Ida Batara dan tempat pelukatan.

Di pelinggih ini, sebelum pemedek melakukan persembahyangan, wajib melakukan pelukatan Dasa Mala terlebih dahulu dengan memohon tirta pelukatan kepada Ida Hyang Giri Putri, Dewi Gangga dan Hyang Giri Pati agar segala papa klesa, sarva roga dan hal-hal yang bersifat asuri sampat, baik sekala maupun niskala bisa diruwat, dilebur dan dimusnahkan. ''Setelah prosesi pelukatan selesai, baru dilakukan persembahyangan di depan Pelinggih Giripati guna memohon pasupati pelukatan sehingga secara lahir batin kita terlepas dari hal-hal negatif,'' timpal Bendesa Nyoman Dunia.

Persembahyangan berikutnya adalah pelinggih keempat yakni tempat berstananya Hyang Giri Putri. Sebelum menaiki tangga, pemedek terlebih dahulu menjumpai sebuah pelinggih berupa pengrurah linggih Ida Ratu Tangkeb Langit sebagai penjaga Ida Hyang Giri Putri. Sebab, harus diketahui, setelah pemedek berada di areal luhur Giri Putri, akan dijumpai Pelinggih Hyang Giri Putri yang berdampingan dengan pelinggih Pengaruman sebagai tempat menstanakan simbol-simbol dewa-dewi berupa arca dan Rambut Sedana. Yang paling unik dari pelinggih ini, yakni keberadaannya di tengah-tengah atas dinding goa. ''Agar bisa tangkil dan bersembahyang di pelinggih ini, harus menaiki tangga dulu (kini sudah terbuat dari pelat mobil),'' ujar pemangku Ketut Darma.

Dipelinggih ini, pemedek dapat memohon anugerah untuk mewujudkan harapan-harapan hidup. Pemedek juga dapat memohon penyembuhan penyakit melalui percikan tirta suci oleh pemangku/tetua/pelingsir rombongan yang sebelumnya didahului dengan memohon izin dari Hyang Giri Putri, Hyang Tri Purusa, Hyang Giri Pati, Hyang Wasuki, Hyang Mahadewa, Hyang Sri Sedana dan Dewi Kwam Im.

Ada juga Pelinggih Payogan. Pelinggih ini berupa Padmasana, sebenarnya dalam satu ruangan dengan Giri Putri. Jaraknya sekitar 7 meter. Sesuai namanya pelinggih ini merupakan tempat peraduan Hyang Giri Putri-Hyang Giri Pati. Tempat khusus melakukan tapa, yoga dan semadi. Orang bijak sering menyebut sebagai tempat Ida Ratu Niyang-Ratu Kakiang. Ada juga yang menyebut linggih Ida Hyang Siwa dalam wujud Tri Purusa.

Persembahyangan di tempat ini umumnya dilakukan bersamaan dengan di tempat Hyang Giri Putri (ngayeng). Hanya, setiap pemedek diharapkan mengaturkan canang sari atau pejati. Jika pemedek ingin melakukan hening (semadi), dipersilakan sesuai kehendak pemedek. Jenis mantra yang digunakan Siwa Astawa atau seha sesuai dengan kemampuan pemedek.

Terakhir, Pelinggih Hyang Siwa Amerta, Sri Sedana/Ratu Syahbandar dan Dewi Kwam im. Pelinggih ini berada di ujung tenggara, di mana pemedek bisa melihat dengan jelas pancaran sinar matahari yang seolah-olah memberi obor suci dari kilauan cahaya Sang Hyang Surya. Di area pelinggih itu, ada dua pelinggih berupa Padmasana tempat berstananya Dewa/Hyang Siwa Amerta/Mahadewa dan Gedongsari Linggih Ida Hyang Sri Sedana/Ratu Syahbandar, Ratu Ayu Mas Melanting serta dua patung Kwam Im. Semuanya merupakan Dewa Pemurah, Pengasih dan Penyayang, Penolong, Kebijaksanaan serta Dewa-dewi Kemakmuran.

Secara umum, di tempat ini merupakan perpaduan konsep Siwa-Budha serta tempat bagi pemedek memohon anugerah kesejahteraan lahir batin, agar murah rezeki, dipermudah jalan menuju kesuksesan dalam berusaha, kedamaian hidup, keselarasan dan keharmonisan rumah tangga serta memohon anugerah kemaslahatan umat manusia dan lainnya. * baliputra

posted by I Made Artawan @ 19.48   0 comments
Pura Luhur Jati Luwih
Rabu, 16 April 2008
Di pedalaman hutan Batukaru, pada ketinggian sekitar seribu meter, disembunyikan oleh rimbunnya pepohonan dan dinginnya udara pegunungan, berdiri sebuah pura yang sederhana, Pura Luhur Jati Luwih. Namun pura ini memiliki makna yang sangat istimewa bagi sebagian besar warga Tabanan. Bahkan, pura ini layak dinyatakan sebagai sarinya buana, karena terkait dengan kesuburan jagat serta tempat memohon kesejahteraan. Sejarah pendirian pura ini, sesuai dengan cerita rakyat yang diyakini kebenarannya sangat unik, apa itu?

======================================================

PURA Luhur Jati Luwih berlokasi di wilayah Desa Adat Sarin Buana, Desa Wanagiri, Selemadeg, Tabanan. Berada di tengah-tengah hutan lindung pada sisi sebelah tenggara punggung Gunung Batukaru dengan ketinggian sekitar seribu meter di atas permukaan laut, beriklim pegunungan yang dingin, dengan kelembaban udara yang cukup tinggi.

Pura ini diperkirakan telah berdiri pada abad ke-9 sampai 12 Masehi. Untuk mencapainya, para pamedek dapat melalui jalan raya jalur Denpasar-Gilimanuk, belok ke kanan jurusan Bajera Pupuan Sawah-Wanagiri hingga mencapai Desa Adat Sarin Buana. Dari Desa Sarin Buana kita harus memasuki hutan lindung lebih dari 3 km dengan kemiringan sekitar 45 derajat untuk mencapai pura ini.

Sangat sedikit sumber maupun catatan pengkajian yang mengungkap pendirian Pura Jati Luwih. Sumber yang dapat dikumpulkan melalui penuturan dari pemuka masyarakat, pemangku pura dan pelinggih-pelinggih yang ada, serta tata upacara yang berlaku di pura tersebut. Berdasarkan penuturan Jero Mangku Gede (I Wayan Menteg) yang diyakini kebenarannya secara turun-temurun oleh masyarakat sekitar, pada zaman dahulu, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Batukaru, khususnya masyarakat di sekitar wilayah pura, mengalami kemarau panjang sehingga lahan pertanian kering tidak menghasilkan. Masyarakat pun mengalami kelaparan oleh peristiwa itu.

Dengan harapan untuk bertahan hidup, sebagian masyarakat masuk ke hutan untuk berburu maupun mendapatkan beberapa bahan makanan. Beberapa di antaranya kawehan (mengalami kehilangan pandangan normal dan mengalami penglihatan gaib) dan melihat sawah yang padinya menguning dan sebuah rumah indah. Oleh sang kakek yang menjadi pemilik rumah dan padi itu, warga tersebut diajak singgah ke rumah.

Di sana warga yang berburu itu diberi beberapa helai bulir bibit padi gaga (tegalan) dan berpesan agar padi tersebut ditanam dan dikembangkan di desanya. Setelah menerima bibit padi, tiba-tiba kakek tersebut menghilang seketika dan rumah yang bagus tersebut kini berubah menjadi bebaturan dalam kesadaran yang pulih dari pemburu tersebut.

Bibit padi tersebut ternyata berkembang dengan baik dan di tempat bebaturan itu didirikan pelinggih untuk mengupacarai setelah padi menguning atau menjelang panen. Pelinggih tersebut diberi nama Pucak Sari. Pura Pucak Sari adalah pura yang pertama didirikan untuk penunasan amerta. Tempat itu diberi tanda dengan pelawa yang ditancapkan. Sementara desa di mana bibit padi itu ditanam dikenal oleh masyarakat sebagai Desa Sarin Buana yang memiliki arti tempat sari-sarinya buana atau inti sari bumi yang memberi sumber kehidupan dan kemakmuran.

Dikatakan Jero Mangku Gede, sebelum zaman kerajaan di Tabanan, Pura Luhur Jati Luwih dikenal dengan Pura Luhur Sarin Buana, sama dengan nama desa adat sebagai pengempon pura tersebut. Mulai pada zaman kerajaan, nama Pura Sarin Buana diubah menjadi Pura Luhur Jati Luwih untuk tidak mengaburkan nama Pura Sarin Buana dengan nama Desa Adat Sarin Buana.

Pura Luhur Jati Luwih berarti pura yang berada di atas, di dataran tinggi, yang benar-benar utama, mulia atau baik (luwih). Menurut keyakinan masyarakat setempat, Pura Luhur Jati Luwih juga bermakna tempat suci yang benar-benar selalu memberikan kebaikan dan kesejatian dari hal yang dimohon pada tempat ini.

Dalam perjalanan sejarah, ternyata Pura Luhur Jati Luwih mengalami beberapa kali renovasi sehingga banyak bukti kepurbakalaan hilang. Seingat pemangku pura, pemugaran yang diketahuinya pertama dilakukan tahun 1971, disusul dengan pemugaran kedua tahun 1978 dan pemugaran ketiga tahun 1993. Berdasarkan cerita, bentuk asli pelinggih sebelum dipugar adalah berbentuk bebaturan yang berundak dengan batu menhir tertancap pada sisi-sisi samping ruang altar pemujaan.

Dari pengkajian yang dilakukan termasuk oleh Bappeda Tabanan disimpulkan, bangunan asli pelinggih Pura Luhur Jati Luwih merupakan bangunan zaman batu besar (megalitikum) dengan tradisi kebudayaan Hindu klasik. Di antara delapan buah pelinggih yang berjajar menghadap ke selatan hanya satu buah yang masih berbentuk bebaturan hingga kini yaitu pelinggih paling timur untuk pemujaan Ida Batari Pemutering Danu (Ulun Danu).

Sementara bangunan pelinggih lainnya telah diganti dengan bangunan pelinggih gegedongan yaitu gedong kereb dua buah sebagai pelinggih pokok untuk penghayatan ke Pucak Kedaton dan Pelinggih Agung Ida Batara Luhur Jati Luwih. Sedangkan lima buah pelinggih lainnya berbentuk gedong sekapat makereb duk masing-masing beruangan satu.

Ada satu pelinggih penghayatan ke Majapahit berupa Padma Capak Alit, menggambarkan pura tersebut mengalami proses perkembangan dari satu periode ke periode lainnya, dari zaman kuno hingga adanya pengaruh Jawa, yang diperkirakan zaman Mpu Kuturan sebagai tokoh suci sekaligus arsitek penataan pura di Bali.

Uniknya seluruh pelinggih yang ada berupa bangunan pendek-pendek, berbeda dengan pura lainnya di Bali yang menjulang tinggi. Dari peninggalan sejarah dan konsep pemujaan di pura itu, diperkirakan Pura Jati Luwih dibangun zaman Apaniyaga yaitu peralihan zaman Bali Aga ke zaman pengaruh Jawa sekitar abad ke-9 sampai 12 Masehi. Peninggalan sejarah berupa prasasti yang terdapat di Desa Sarin Buana bertahun Caka 1103, zaman pemerintahan Raja Jaya Pangus.

Bukti penunjuk lain, juga terdapat peninggalan sejarah yang tersimpan di Pura Siwa Desa Adat Sarin Buana berupa batu berbentuk kepala babi dan beberapa buah gong serta peralatan upacara berupa bajra atau genta. Dari bukti tersebut, menunjukkan Pura Luhur Jati Luwih merupakan pura yang cukup tua dengan karakteristik pemujaan pada puncak gunung sebagai purusa dan ulun danu sebagai pradana. Masyarakat pendukung telah mengenal sistem pertanian dan menetap dalam lingkungan desa pakraman.

Sejak dulu, pura ini dibina atau diayomi langsung oleh Puri Agung Tabanan dan pangenceng dari pura ini adalah Jero Subamia Tabanan yang pada zaman kerajaan sebagai patihnya Raja Tabanan. (upi)

Tempat Memohon ''Jejaton''

PURA Jati Luwih memiliki fungsi ganda, di samping memohon keselamatan dan kerahayuan jagat, juga sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran di bidang pertanian. Juga sebagai tempat ngerastiti dalam memohon keselamatan tanaman pangan dari gangguan hama dan memohon turun hujan.

Penyungsung Pura Luhur Jati Luwih di samping Desa Adat Sarin Buana, juga krama subak dengan luas wilayah yang cukup besar, terdiri atas lima subak pekandelan dan 35 pekaseh subak. Karakter khusus lainnya dari pura ini adalah sebagai tempat untuk memohon sartana (jejaton) beras apabila ada upacara besar. Jejaton ini di wilayah Tabanan disebut nguwub.

Pura ini masih berhubungan dengan Pura Pucak Kedaton Batukaru dan Pura Pucak Sari yang ada di Desa Adat Sarin Buana. Di samping itu juga Pura Siwa yang berlokasi di Desa Sarin Buana merupakan tempat penyawangan dan penyimpanan benda pusaka yang masih ada hubungannya dengan pura ini. Di utama mandala pura ini terdapat delapan buah pelinggih serta empat bangunan suci sebagai penyangga.

Pelinggih paling timur merupakan pelinggih kuno berupa bebaturan untuk pemujaan Hyang Pemuterin Danu. Pelinggih Gedong Alit Saka Pat Rong Tunggal sebagai penghayatan ke Gunung Agung, selanjutnya pelinggih sama penghayatan ke Pucak Sari.

Pelinggih utama berupa pemujaan kepada Ida Batara Luhur Jati Luwih berupa pelinggih Gedong Saka Pat Rong Tunggal, terdapat juga pelinggih penghayatan Ida Batara Lingsir Putus di Pucak Kedaton Batukaru, Ida Batara Ayu Padangluwah, Ida Batara Turun Gunung, pelinggih Padma Capah pemujaan Ida Batara Mas Pahit. Juga masih ada beberapa pelinggih lainnya.

Hal yang menarik yang terdapat di jaba tengah berupa bekas bangunan lumbung padi bersaka empat tempat penyimpanan padi dari subak-subak penungsung dahulunya. Sekitar 400 meter dari pura ini terdapat pelinggih Taman Beji yang terletak di timur laut Pura Luhur Jati Luwih dengan pelinggih berupa bebaturan dengan air pancuran yang keluar dari bilahan batu padas.

Untuk saat ini, direncanakan akan dilakukan rehab terhadap pura yang masih tampak sederhana dengan pagar pembatas hidup, tanpa tembok penyengker ini. Penglingsir Jero Subamia IGG Putra Wirasana selaku penganceng mengaku harus memelihara titik-titik kesucian pura dan melakukan rehab tanpa harus menghilangkan peninggalan-peninggalan kuno yang ada. (upi)


posted by I Made Artawan @ 08.17   0 comments
Melebur ''Mala'', Sucikan Diri di Pura Selukat
Selasa, 08 April 2008
Ketenangan dan kedamaian hati, pikiran serta jiwa adalah yang paling dicari oleh umat manusia di jagat raya ini. Bahkan kedua hal tersebut di atas, kini sampai dicari oleh orang hingga rela mengeluarkan biaya besar untuk melakukan perjalanan tirtayatra ke negeri seberang. Namun, semua itu kembali kepada rasa, yang tak terlepas dari keyakinan dari seorang untuk melebur segala mala dan menyucikan diri untuk memperoleh ketenangan dan kedamaian dalam hidup.

===========================================================

Seperti halnya dengan Pura Selukat. Ketenangan dan kedamaian mengalir bagi umat Hindu yang datang ke pura tersebut untuk melukat segala mala dan menyucikan diri. Air kehidupan begitu mengalir secara alami dari dalam bumi ke permukaan. Mereka datang dengan ketulusan hati ke Pura Selukat, mencari ketenangan hati dan pikiran serta kedamaian jiwa.

Mereka datang mencakupkan tangan serta melukat di Pura Selukat untuk menyucikan diri dari segala mala. Tidak hanya terbatas pada kelas sosial, mereka yang datang melukat di Pura Selukat juga atas petunjuk untuk bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya. Seorang rohaniwan maupun pendeta juga tak luput untuk melukat di pura petirtaan yang ada di alur Sungai Pakerisan.

Tidak hanya untuk masyarakat umum, orang-orang yang belajar ilmu kebatinan, bahkan para pejabat daerah dan mantan pejabat negara kerap kali datang untuk melukat dan memohon anugerah kepada Ida Barata Selukat. ''Mereka yang datang ke Pura Selukat mempunyai tujuan masing-masing dengan cara sembahyang serta melukat,'' ungkap Mangku Gede Masceti yang ngayah di Pura Selukat.

Meski bangunan pura tidak begitu luas, namun tak memperkecil makna dari kebesaran Ida Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasinya sebagai Tri Murti. Pura Selukat berada di areal persawahan Subak Tuas, Desa Keramas, Blahbatuh, Gianyar. Luasnya kira-kira sekitar 8 are terbagi dalam Tri Mandala, yakni jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Pada Utama Mandala (jeroan) terdapat bangunan Padmasana sebagai stana Hyang Widhi, Gedong Penyimpenan dan sepasang arca pendeta.

Di bagian jaba tengah (madya mandala) hanya terdapat sebuah Gedong yang di dalamnya terdapat pancuran yang merupakan saluran dari sumber mata air di Pura Selukat. Dalam Gedong Patirtaan tersebut adalah sumber air patirtaan terdiri atas tiga sumber, dari barat, utara dan timur. Sedangkan di bagian jaba sisi terdapat bangunan Pesandekan (peristirahatan) serta dua pancuran yang sumber airnya berasal dari dalam gedong untuk melukat warga yang datang ke Pura Selukat.

Kebiasaan warga setempat bahwa setiap ingin melukat di Pura Selukat tidak serta merta langsung begitu saja masuk ke jeroan. Meski telah dilengkapi dengan sesaji disertai dengan berbusana adat untuk sembahyang, perjalanan melukat diawali dengan terlebih dahulu membersihkan diri (mandi) di tepian Sungai Solas Sowan, yang berada di sebelah timur pura. Usai mandi baru dilakukan pangelukatan oleh pemangku dengan air yang berasal dari dalam gedong untuk selanjutnya dituntun masuk ke jeroan. Di tempat ini, dilakukan persembahyangan memohon untuk dihapuskan segala mala yang ada di dalam dirinya.

Kata ''selukat'', menurut salah satu tokoh Puri Keramas yang juga sebagai penulis I Gusti Agung Wiyat S. Ardhi, berasal dari kata ''Sulukat'' -- ''Su'' berarti baik dan ''lukat'' berarti penyucian -- tempat menyucikan diri guna memperoleh kebaikan, kerahayuan. Pura Selukat ini diyakini mampu membersihkan diri seseorang secara niskala, sanggup menghilangkan segala penyakit. Mereka yang datang ke Pura Selukat adalah mereka yang sedang dirajam penyakit seperti bebai, pikiran yang kalut/kacau, dan sebagainya.

Mangku Gede Masceti menambahkan, keberadaan Pura Selukat sebagai tempat untuk melukat segala mala, khususnya penyakit tercantum dalam Usada Bebai. Mereka yang terkena penyakit ini menggunakan tirtha selukat beserta tirtha sudamala yang disertai dengan tirtha pendukung lainnya yang jumlahnya sebanyak 11 tirtha.

Warga yang datang untuk melukat di Pura Selukat dalam hal ini tidak ada sesaji khusus. Hanya, jika tujuannya sebatas menyucikan diri, memohon keselamatan, cukup membawa banten pejati. Namun, jika pernah sakit atau sedang dalam proses penyembuhan, selain membawa pejati juga ditambah sesaji yang disebut tebasan pelukatan.

Di samping untuk membersihkan diri dari segala mala, Pura Selukat juga menyimpan kekuatan lain. Pura Selukat yang kini banyak didatangi oleh warga dari luar Gianyar ini, juga mampu memberikan anugerah taksu pada keahlian seseorang. Kebanyakan taksu mengalir dari Pura Selukat merupakan taksu seniman. Namun hal tersebut tidak terlepas dari sebagaimana yang diinginkan oleh warga yang datang ke Pura Selukat.

Dalam cermatan Agung Wiyat S., keberadan Pura Selukat dalam hal ini seakan menjadi tempat persembahyangan wajib bagi para seniman yang tumbuh di daerah setempat. Keterikatan para penggiat seni dengan pura yang berlokasi di tepian Sungai Solas Sowan ini bukan semata-mata dikarenakan lokasi pura yang berada dalam satu desa. Para seniman yang ada sangat percaya Ida Batara yang berstana di Pura Selukat mampu memberikan anugerah taksu sehingga kesenian yang digeluti menjadi hidup, bertenaga dan berkarisma. Sehingga dari desa ini menetas puluhan penggelut seni teater Bali (Arja), seperti I Monjong yang namanya tentu kini masih dikenang penggemar Arja di Bali.

Ada juga yang tujuan lainnya. Mereka yang sebelum membangun kelompok kesenian, biasanya warga tangkil ke Pura Selukat, seakan meminta petunjuk. Setelah terbentuk, mereka kembali lagi ke pura untuk menyatakan permakluman serta kesungguhan hati. Setelah mendapatkan penganugerahan, para seniman ini biasanya juga ngadegang, melakukan pemujaan khusus ke hadapan Ida Batara Selukat di rumahnya masing-masing. Dari sana nantinya mereka akan memohon izin kepada Beliau sebelum akhirnya berangkat pentas.

Selain seniman di Keramas, banyak pula seniman di luar desa bahkan Gianyar yang datang untuk memohon taksu di Pura Selukat. Termasuk para pejabat daerah. Seperti halnya beberapa waktu lalu, salah satu kandidat calon bupati maupun gubernur mendatangi Pura Selukat memohon penyucian diri dan anugerah.

Keberadaan Pura Selukat dalam angka tahun sama sekali tidak diketahui. Dari berbagai sumber menyebutkan, adanya nama Pura Selukat ini selain terdapat dalam Usada Bebai, juga terdapat dalam Kesuma Dewa dan Pura Keramas. Dalam Kesuma Dewa di mana disebutkan dalam kaitannya Ida Batara Sakti Gunung Lebah Gunung Agung dalam hal mamijilkan tirtha terebesan danau disebutkan Tirtha Telaga Waja, Tirtha Selukat dan tirtha yang ada di tengah segara. ''Di sana hanya disinggung kalimat selukat sedikit,'' katanya.

Namun dalam Purana Keramas disebutkan bahwa Pura Selukat dikenal dengan sebagai sumber air kehidupan. Pura ini diperkirakan ditemukan hampir bersamaan dengan Pura Masceti, oleh I Gusti Agung Maruti. Saat meninggalkan Cau Rangkan (Jimbaran), menuju arah timur laut yang diiringi 1.100 pasukan tiba di suatu tempat dan menemukan bebaturan, berlokasi di dalam hutan, dekat dengan pantai yang kini dinamakan Pura Masceti.

Setelah mengaturkan bakti kepada Ida Batara yang berstana di tempat suci tesebut, beliau yang mendapatkan petunjuk kemudian melanjutkan perjalanan menelusuri hutan yang lebat ke arah barat laut. Dalam perjalanan, kawasan perbukitan di pinggir Sungai Pakerisan ditemukan sumber air. Air ini kemudian dipergunakan sebagai sarana membersihkan diri beserta dengan iringan pasukannya.

Usai masucian, beliau beserta dengan iringan pasukannya menyusuri tepian Sungai Pakerisan. Ternyata terdapat 10 sumber mata air lainnya ditemukan sebelum akhirnya I Gusti Agung Maruti sampai di sebuah desa yang kini disebut Desa Keramas.

Sejak ditemukannya sumber mata air tersebut, kini warga di desa tersebut banyak memanfaatkan sumber air Selukat untuk keperluan penyucian diri, mengheningkan pikiran. Lambat laun, keberadaan Pura Pancoran Selukat -- sebut orang di sana -- kini banyak didatangi oleh orang-orang dari Tabanan, Denpasar, Bangli dan sejumlah daerah lainnya yang ada di Bali. Ketenaran pura semakin bertambah ketika dibuka Jalan IB Mantra. Mereka yang ingin tangkil dari luar daerah lebih gampang mencari air kehidupan untuk ketenangan dan kedamaian hati, pikiran serta jiwa, dan anugerah taksu dalam kehidupan. (dar)

posted by I Made Artawan @ 12.53   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas