Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Hari Ulihan
Jumat, 23 Oktober 2009
Hari minggu 18 Oktober 2009 ini bertepatan dengan Tilem Sasih Kapat. Umat Hindu yang masih berada dalam suasana hari raya, pada hari Minggu atau Radite Wage Kuningan menyebutnya sebagai Hari Ulihan. Secara umum, umat menghaturkan canang raka di merajan atau di kemulan, mohon keselamatan dan panjang umur.

Di daerah tertentu, hari Ulihan termasuk istimewa. Bagi umat di Desa Pujungan, Kec. Pupuan (Tabanan), umat membuat "intil", yaitu semacam ketupat yang dibungkus dengan daun bambu. Pagi-pagi sekitar pukul 05.00 Wita, intil itu dihaturkan di bale adat atau di tempat tidur (bagi yang tidak punya bale adat). Intil itu ditaruh di atas dulang bersama lauk pauknya. Sesajen itu dihaturkan kehadapan pitara-pitari (dewata-dewati) atau roh leluhur, baik yang belum maupun yang sudah diaben. Pada hari Ulihan, umat Hindu memiliki kepercayaan bahwa roh leluhur pulang dan oleh karenanya dihaturkan sesajen. Pada hari Redite ini, beliau kembali ke alam niskala setelah memberikan berkat kepada turunannya.

Hari Ulihan ini memiliki makna, bahwa umat manusia hendaknya selalu ingat kepada roh leluhur yang telah membuat manusia ini berkembang. (Wayan Supartha).

Label:

posted by I Made Artawan @ 19.41   0 comments
Makna Galungan
Senin, 12 Oktober 2009
Hari Raya Galungan jatuh pada Rabu Kliwon Dungulan 14 Oktober 2009. Menurut lontar Purana Bali Dwipa: “Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya.” Terjemahannya: Perayaan hari raya suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka, keadaan pulau Bali bagaikan lndra Loka.”.

Mulai tahun saka itulah, Galungan dirayakan. Namun pada tahun 1103 Saka, saat Raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan sampai dengan pemerintahan Raja Sri Dhanadi tahun 1126 Saka Galungan sempat tidak dirayakan. Akibatnya, konon para pejabat kerajaan berumur pendek. Raja Sri Jaya Kasunu saat naik tahta heran atas kejadian itu. Beliau lalu bersamadi untuk mendapatkan petunjuk Dewata. Dewi Durgha memberi penjelasan, bahwa umur pendek para raja dan pejabat disebabkan oleh melupakan Galungan.

Macam-macam Galungan: (1) Galungan; (2) Galungan Nadi; (3) Galungan Naramangsa. Galungan Nadi, yaitu Galungan yang jatuh pada bulan Purnama. Galungan Naramangsa.yaitu apabila Galungan jatuh pada Tilem Kapitu dan sasih Kasanga rah 9, tengek 9.

Galungan sering disebut kemenangan dharma melawan adharma. Mitologi yang dihubungkan dengan Galungan yaitu kemengan Dewa Indra (kebenaran) melawan Mayadenawa (adharma). Di India, ada juga hari raya semacam Galungan, namanya Wijaya Dasami. Mitologi yang diambil yakni kemenangan Rama melawan Rahwana.(Wayan Supartha).

Biasanya setiap menyambut hari raya keagamaan maupun menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan umat membuat PENJOR adapun makna penjor adalah sebagai berikut :

Makna Penjor
Masyarakat mengenal dua jenis penjor, yaitu penjor sakral dan penjor hiasan. Pepenjoran atau penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya lomba desa, pesta seni dan acara lain yang sifatnya profan. Pepenjoran atau penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll.
Bentuk penjor sakral yang dipergunakan pada waktu hari raya Galungan yaitu sama dengan penjor yang lain, yaitu pada ujung atasnya melengkung. Pada penjor Galungan berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan dll. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa), pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit. Pada zaman dahulu penjor dipasang kalau ada upacara keagamaan. Makna penjor adalah: kemenangan dharma melawan adharma, kesejahteraan dan kemakmuran, kelestarian lingkungan dan sebagainya.(kmb)

Kata-Kata Emas Bhagawadgita

paritranaya sadhunam
vinasaya ca duskrtam
dharma-samasthapanarthaya
sambhavami yuge-yuge

Terjemahan:
Untuk melindungi orang-orang baik dan untuk memusnahkan orang jahat, Aku lahir ke dunia dari masa ke masa, untuk menegakkan dharma (Bhagavadgita.IV.8)
Awatara adalah kekuatan illahi di bumi, untuk mengingatkan kembali status manusia yang sejati. Melalui ajaranNya, Dia berusaha menegakkan kembali aturan-aturan dharma yang semakin merosot serta untuk melindungi para bhaktanya yang tulus dari kemunduran spiritual. Tuhan selalu berada di pihak kebenaran, karena Dia adalah kebenaran itu sendiri. Kasih sayang pada akhirnya akan lebih berkuasa daripada kebencian dan kekejaman. Dharma akan menaklukkan adharma.

Label:

posted by I Made Artawan @ 03.14   0 comments
Memaknai Galungan dengan Konteks Kekinian 14 Oktober 2009
Rabu 14 Oktober 2009 umat Hindu akan merayakan hari raya Galungan. Penyiapan spiritual untuk merayakan ''hari kemenangan'' ini telah dilakukan sejak Kamis 8 Oktober 2009 yang dikenal dengan Sugihan Jawa. Sementara keesokan harinya, Jumat Kliwon, Sungsang 9 Oktober 2009 disebut Sugihan Bali.

Banyak umat Hindu masih bingung, merayakan Sugihan Jawa atau Sugihan Bali. Mereka mengira, kata ''Jawa'' dan ''Bali'' adalah nama tempat, padahal tidak. Kata ''Jawa'' di sini berarti jaba yang artinya di luar. Sama seperti orang Bali menyebut pendatang dari luar selalu menyebutkan uli Jawa, walaupun mereka dari Lombok, Kalimantan atau daerah lain di Indonesia.

Dengan demikian, makna upacara Sugihan Jawa adalah penyucian makrokosmos atau buana agung atau alam semesta sebagai tempat kehidupan. Pembersihan ini secara sekala dilakukan dengan membersihkan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan.

Kemudian pada hari Sugihan Bali, umat Hindu mengaturkan sesaji yang pada intinya melakukan penyucian buana alit atau diri sendiri (mikrokosmos), sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai hari suci Galungan sebagai kemenangan dharma.

Pada Jumat lalu, sebaiknya umat melakukan tirta gocara atau tirtayatra yakni dengan pergi ke samudera -- sumber mata air atau bisa di merajan. Dalam praktik yoga umat Hindu pada Sugihan Bali melakukan yoga semadi yang ditujukan untuk mulatsarira. Untuk menyambut hari raya Galungan, umat seharusnya memiliki kesucian batin dengan menahan diri dari segala macam godaan indria.

Dengan demikian, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali jika dilihat dari konsepnya menyiapkan umat Hindu menghadapi berbagai godaan duniawai yang datang menjelang hari raya Galungan. Pada kedua sugihan ini, kekuatan rwa bhinneda diupayakan berada pada titik keseimbangan untuk menuju pada ketenangan dan kedamaian.

Dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar Wayan Suka Yasa mengatakan, prinsip yang paling mendasar dalam perayaan Galungan dan Kuningan itu adalah tegaknya dharma. Untuk menegakkan dharma itu mesti ada proses penyucian buana agung dan buana alit. Proses itu dimulai saat sugihan. ''Sugi'' artinya membersihkan. Jika dalam Sugihan Bali umat membersihan atau menyucikan buana alit, sedangkan Sugihan Jawa diasosiasikan melakukan penyucian di luar diri (buana agung). Proses pendakian spiritual ini melewati rerahinan penyajan (apang saja nyujatiang raga -- berjanji menegakkan dharma). Untuk menegakkan dharma mesti ada upaya untuk melenyapkan sifat-sifat buruk dalam diri, sehingga ada prosesi penampahan Galungan. Yang di-tampah (dipotong atau dihilangkan) itu sejatinya adalah sifat buruk dalam diri. Sifat buruk itu diasosiasikan dalam bentuk binatang babi. Jika sifat-sifat rajas dan tamas sudah hilang dalam diri, yang tersisa hanya sifat satwan. ''Semua rerahinan serangkaian Galungan itu mengandung filosofi yang perlu kita maknai dalam konteks kekinian,'' ujar Suka Yasa.

Hal yang sama dikatakan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti dari Gria Bhuwana Dharma Santhi Sesetan. Sugihan itu merupakan prosesi membersihkan buana agung (alam lingkungan) dan buana alit dalam rangka mempersiapkan diri menuju kegiatan spiritual. Dalam upacara Sugihan itu ada prosesi ngerebu. Prosesi ngerebu itu adalah salah satu konsep pembersihan buana alit. Ngerebu itu hendaknya jangan dilihat dari sisi upacaranya saja, sebab di situ sesungguhnya ada konsep masimakrama (bertemu keluarga). Ketika prosesi perebuan terjadi, anggota keluarga ada di sana. Setelah dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, aturan yang berisi nasi, daging, telor dan sebagainya disantap bersama. Dalam santap bersama ini rasa kekeluargaan akan makin erat. Jika ada anggota keluarga yang sebelumnya sempat bersitegang, misalnya, melalui prosesi ngerebu diharapkan bisa mencair. Dalam konteks itu sejatinya ada proses penyucian pikiran, yang tadinya keruh bisa menjadi bening kembali. Dengan demikian kedamaian dan ketenangan akan tercipta dalam diri menyongsong hari raya Galungan.

Galungan juga merupakan momen untuk melakukan introspeksi diri (mulatsarira) atau evaluasi diri. Apakah selama ini kita sudah mampu mengalahkan hawa nafsu atau melenyapkan sifat-sifat rajas dan tamas. (lun)

Label:

posted by I Made Artawan @ 03.02   0 comments
ASTA KOSALA dan ASTA BUMI
Rabu, 07 Oktober 2009
Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta : Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab : Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.

Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut :

Tujuan Asta Bumi adalah :

  1. Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi.
  2. Mendapat vibrasi kesucian.
  3. Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi.

Luas halaman :Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah : Panjang dalam ukuran “depa” (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya) : 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa :

1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa : 2×1,3×2, 4×3, 5×4, 6×5, 7×6, 11×7, 12×11, 14×12, 15×14, 19×15. b) Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah : Panjang dalam ukuran depa : 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa : 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa : 6×5, 13×6, 18×13. Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu : 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali. Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(19×15), 5x(19×15), 7x(19×15), 9x(19×15), 11x(19×15). Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(18×13), 5x(18×13), 7x(18×13), 9x(18×13), 11x(18×13).

HULU-TEBEN.

“Hulu” artinya arah yang utama, sedangkan “teben” artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu
1) Arah Timur, dan
2) Arah “Kaja”

Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.

BENTUK HALAMAN.

Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan – kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.

PEMBAGIAN HALAMAN.

Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu :

  1. Utama Mandala
  2. Madya Mandala
  3. Nista Mandala.

Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain. Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi; Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala; Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama. Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih “Lebuh” yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll. Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah “Candi Bentar” dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah “Gelung Kori”, sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.

MENETAPKAN PEMEDAL.

Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori.

Cara menetapkan pemedal sebagai berikut :
1) Ukur lebar halaman dengan tali.
2) Panjang tali itu dibagi tiga.
3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah “as” pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.JARAK ANTAR PELINGGIH.

Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu “depa”, kelipatan satu depa, “telung tapak nyirang”, atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian “depa” sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan “telung tampak nyirang” adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok “penyungsung” (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke “Piasan” dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.

PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN.

Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih:
TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan
PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu “putra” Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah :
PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, dimana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan.
BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun
BALE GONG, tempat gambelan,
BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala.
BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.

Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat “turut” 3,5,7,9, dan 11. “Turut” artinya “berjumlah”.
Turut 3 : Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti : Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing.
Turut 5 : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, “Baturan Pengayengan” yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain.
Turut 7 : adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan “Rua Bineda” atau dua hal yang selalu berbeda misalnya : lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll.
Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali.
Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).

Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, dimana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan ke teben kanan. sumber Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi.

Label:

posted by I Made Artawan @ 01.24   0 comments
Sanggah Pamerajan
Sanggah Pamerajan berasal dari kata : Sanggah, artinya Sanggar, = tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja = keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan


Sanggah Pamerajan ada tiga versi :
a. Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan
b. Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta
c. Kombinasi keduanya.

a. Yang mengikuti konsep Mpu Kuturan (Trimurti) maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/Padmasari.

b. Yang mengikuti konsep Danghyang Nirarta (Tripurusha), maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala.

c. Yang kombinasi, biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/Padmasari tetap di ‘hulu’, namun disebelahnya ada pelinggih Kemulan.

Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam
posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.

Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.

Yang mana yang baik atau tepat ?

  1. Menurut keyakinan anda masing-masing.
  2. Namun ada acuan, bahwa konsep Mpu Kuturan disebarkan di Bali pada abad ke-11. Konsep Danghyang Nirarta dikembangkan di Bali sejak abad ke-14, berdasarkan wahyu yang diterima beliau di Purancak/Jembrana.
  3. Jadi menurut pendapat saya, memakai kedua konsep, atau kombinasi a dan b adalah yang tepat karena kita menghormati kedua-duanya, dan kedua-duanya itu benar, mengingat Sanghyang Widhi ada dimana-mana, baik dalam kedudukan horizontal maupun dalam kedudukan vertikal.


Namun demikian tidaklah berarti Sanggah Pamerajan yang sudah kita warisi berabad-abad lalu dibongkar, karena dalam setiap upacara, toh para Sulinggih sudah ‘ngastiti’ Bhatara Siwa Raditya (Tripurusha) dan juga Bhatara Hyang Guru (Trimurti)

Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi tiga yaitu :

  1. Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
  2. Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan)
  3. Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama),


Pelinggih di Sanggah Pamerajan :

  1. Sanggah Pemerajan Alit : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu
  2. Sanggah Pemerajan Dadia : Padmasana, Kemulan Rong Tiga, Limas Cari, Limas Catu, Manjangan Saluang, Pangrurah, Saptapetala, Taksu, Raja Dewata.
  3. Sanggah Pemerajan Panti = SP Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan.


Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut diatas, disebut ‘pelinggih wewidian’ yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dll, maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari. Pada beberapa SP sering dijumpai
pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di SP-nya.

Pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah stana dalam niyasa Sanghyang Widhi dan roh leluhur yang dipuja :

  1. Padmasana/Padmasari : Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa.
  2. Kemulan rong tiga : Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Arda nareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong lima (Panca Dewata)
  3. Sapta Petala : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran.
  4. Taksu : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan.
  5. Limascari dan limasctu : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari : pradana – purusha, rwa bhineda.
  6. Pangrurah : Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu.
  7. Manjangan Saluwang : pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
  8. Raja-Dewata : pelinggih roh para leluhur (dibawah Bhatara Kawitan)

Penulis Bhagawan Dwija

Label:

posted by I Made Artawan @ 00.58   0 comments
Pengertian Penyajaan Penampahan dan Rahinan
Selasa, 06 Oktober 2009
Sama dengan setiap hari raya besar di Bali pasti ada tiga tahap hari. Yaitu hari Penyajaan, hari Penampahan dan hari Rainan. Inipun melambangkan tiga tahap dalam penyempurnaan diri, tiga tahap dalam penyucian diri.

Penyajaan berasal dari kata saja. Saja artinya tahap meyakinkan diri, tahap berjanji kepada diri sendiri untuk melangkah menuju pencerahan diri. Saja atau Penyajaan adalah sebuah proses atau periode meyakinkan diri yang cukup lama. Jika tekad itu sudah bulat barulah akan melangkah ke periode selanjutnya yaitu Penampahan.

Penampahan adalah proses pemotongan atau pembunuhan sifat-sifat hewani atau sifat-sifat kebinatangan dalam diri. Bukan menyemblih hewan-hewan kurban yang tak berdosa. Periode ini dijalani dengan Tapa Brata, dengan proses penyangkalan diri. Jika periode ini sudah terlewati maka barulah menemukan Rainan.

Rainan artinya hari terang, hari pencerahan hari perayaan. Hari dimana rahasia kehidupan sudah diketahui tanpa membaca tanpa melihat. Tetapi dirasakan dan diketahui.

Itulah pesan yang tersirat pada setiap hari- hari raya besar di Bali. Bahwa jalan kesempurnaan harus melewati tahap-tahap itu. Perayaan dan peringatan itu dibuat agar pesan suci ini tetap abadi pada semeton krama Bali sepanjang zaman. Siapa yang dapat menangkap maknanya dan siapa yang melaksanakan atau yang menjalani akan menemukan kebebasan, kebahagiaan,. Dan siapa yang belum tidak masalah. Tidak ada pemaksaan, tidak ada keharusan. Kesadaran akan tetap menunggu dengan sabar, sesabar seorang ibu menunggu anaknya. Kesadaran menunggu bukan terbatas dalam hidup yang singkat ini, tapi kesadaran menunggu dalam ribuan kali reinkarnasi. Seperti pesan Krisna kepada Arjuna “ Kapanpun kau akan berpaling kepadaku, maka pintuku akan tetap terbuka”. penulis

Label:

posted by I Made Artawan @ 05.47   0 comments
Butha Kala
Butha Kala adalah dua dimensi alam ini. Butha adalah dimensi materi, dimensi fisik, dimensi ruang. Kala adalah dimensi waktu, kesempatan , momentum. Semeton krama Bali sudah tahu bahwa alam ini adalah ruang. Ruang dari ukuran paling kecil ( mikrokosmos) sampai paling besar ( makrokosmos). Manusia modern baru mengetahui bahwa 99,99 % atom adalah ruang kosong. Begitu pula tubuh manusia hanyalah kumpulan rongga-rongga. Sebagian rongga berisi zat cair dan sebagian lagi berisi udara. Hampir 99,99 % tubuh manusia adalah rongga-rongga atau ruang. Pada DNA kitapun disediakan ruang kosong sehingga susunan molekul molekulnya membentuk pegas ( yitu dua garis sejajar yang melingkar seperti anak tangga atau Double Hellic) Alam semesta ini adalah 99,99% ruang kosong, planet Bumi hanyalah setitik debu yang mengambang diruang angkasa yang kosong , diruang langit tak bertepi. Jadi hidup manusia ditentukan oleh ruang, berada dalam ruang, dipenuhi oleh ruang, oleh Butha. Oleh karena itulah semeton krama Bali selalu mengingatkan akan keberadaan dimensi Butha ini.

Demikian juga dimensi Kala atau waktu. Waktu itu tidak tampak, tidak terasa, tidak terhitung dan tak terprediksi. Kita merasakan adanya siang dan malam karena Bumi berputar pada sumbunya. Kita bisa mengitung hari karena Bumi beredar mengelilingi matahari. Fenomena ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk menciptakan waktu yaitu waktu ciptaan manusia. Coba kalau Bumi ini diam, maka waktu sulit dihitung , sulit diprediksi. Sebagian orang dimuka bumi ini akan mengalami siang selamanya. Akan menjadi kering, tandus dan terbakar. Sebagian orang lagi akan melihat malam selamanya. Akan kedinginan, membeku menjadi es.

Pernahkah semeton berlayar ditengah lautan luas sehingga tak tampak daratan sama sekali, maka kapal akan terasa diam tak bergerak. Atau pernahkah semeton terbang dengan ketinggian diatas 30.000 fit, maka pesawat akan terasa diam tak bergerak. Lebih-lebih lagi kalau kita berada di ruang angkasa jauh diluar Tata Surya, diluar galaxy Bimasakti, maka waktu seakan –akan tidak ada. Se akan –akan saja, karena waktu tidak menampakkan dirinya. Tetapi waktu itu ada , waktu itu adalah keberadaan. Ada tapi tiada. Tiada tapi ada. Wujud apakah gerangan yang disebut waktu?.

Waktu akan melahap semuanya, melindas semuanya, menghanyutkan semuanya. Waktu sangatlah mahakuasa, tak ada yang sanggup mengendalikannya. Wajah waktu sangatlah menyeramkan. Semeton krama Bali menyebut Sang Hyang Kala Maya. Waktu adalah Tuhan. Yang dimaksud Kala disini bukanlah waktu ciptaan manusia. Bukan pagi,siang, sorenya manusia. Bukan jam 6,7,8nya manusia. Waktu manusia terjadi dalam sang waktu dalam sang Kala. Pagi siang sorenya manusia terjadi dalam sang waktu dalam sang Kala. Siapakah yang mengendalikan dimensi ruang (Butha) dan siapakah yang mengendalikan dimensi waktu (Kala)?. Maka semeton krama Bali akan melakukan upakara persembahan kepada kedua dimensi yang sangat maha kuasa itu. Karena semeton krama Bali hidup didalam kedua dimensi itu, karena semuanya ditentukan oleh kedua dimensi itu.

Pada hari menjelang hari raya Nyepi, yakni pada hari Pengerupukan, satu hari sebelum hari Nyepi, semeton krama Bali akan mecaru. Membuat ogoh-ogoh yaitu mahluk-mahluk dengan berwujud sangat menyeramkan. Ogoh-ogoh ini di usung bersama keliling kota atau desa, lalu pada saat malam hari ogoh-ogoh ini dibakar.

Ogoh-ogoh ini disimbulkan sebagai wujud Butha Kala, yaitu perwujudan ruang dan waktu. Dengan membakar perwujudan ruang waktu, maka semeton krama Bali bertujuan membebaskan diri dari ikatan konotasi ruang waktu yang selama ini terasa mengimpit. Semeton krama Bali ingin keluar dari batasan –batasan dan paradigma ruang waktu, dari kesempitan, dari kepicikan, dari fanatisme membuta. Semeton krama Bali ingin menuju keluasan pandangan yang melampaui ruang waktu, menembus dualitas, menembus ekstrateritorial. Semeton krama Bali ingin bergabung dengan kesemestaan dengan keberadaan. Karena besoknya semeton krama Bali akan Nyepi, akan bermeditasi. Dalam bermeditasi sudah tidak boleh ada lagi konotasi ruang waktu.

Pada hari Nyepi, yang terdiri dari nyepi karya (tak boleh bekerja), nyepi geni (tak boleh menyalakan api, termasuk api amarah), nyepi lelangonan (tak boleh bepergian). Melakukan mona brata (tak boleh bicara). Duniapun terasa seolah olah berhenti. Saat itulah semeton krama Bali akan bermeditasi, mengheningkan pikiran, berjalan ke dalam diri, menuju Sunya Loka. Ketempat kesunyian tak terdifinisikan, ketempat waktu dan ruang tak eksis lagi, ketempat asal sebelum mewujud kedalam badan, ke tempat Prahyangan, ke tempat fitrah.

Keesokannya lahirlah manusia baru, lahir dari kesadaran Prahyangan. Lahir dari langit ke Ilahian. Bunga lama telah gugur, tumbuhlah bunga yang baru. Tumbuh dari pohon Prahyangan. Pohon kesadaran semesta. Lalu kuncupnya mengembang dan semerbak. Semeton krama Bali sudah mekules, sudah berganti kulit. Penulis

Label:

posted by I Made Artawan @ 05.39   0 comments
Filosofi Ngaturang Ayah Orang Bali
Semeton krama Bali akan merasa sangat bergairah jika mendapat kesempatan ngaturang ayah. Ada suatu kekuatan yang mendorong atau menarik dirinya untuk bergerak saat ngaturang ayah sehingga tidak merasakan kelelahan. Ngaturang ayah bisa dalam bentuk bekerja (gae), bisa dalam bentuk megambel (menabuh), bisa dalam bentuk ngigel ( menari ), matembang ( menyanyi) atau apa saja. Ngaturang ayah bisa untuk Ida Bethara di pura, bisa untuk krama di Banjar, bisa untuk sameton di Paibon. Apapun bentuknya ,dimanapun tempatnya, prinsip ngaturang ayah menyimpan makna bahwa semeton krama Bali suka bekerja sosial, saling asah saling asuh salunglung sabayantaka. Ngaturang ayah mengandung filosofi suka bekerja dengan ikhlas, suka bekerja tanpa mengharapkan hasilnya. Bekerja untuk Yadnya.

Sesuai dengan apa yang tercantum dalam Bhagawad Gita ketika Krisna berkata pada Arjuna “ Bekerjalah kamu dan bukan pada hasil dari karyamu “ , artinya bekerjalah tanpa beban, tanpa tekanan, tanpa stress, tanpa target, tanpa terpusat pada tujuan. Target, tujuan, adalah beban adalah stress yang akan menguras banyak energy. Oleh karena itu bekerjalah karena pekerjaan itu sendiri, demi pekerjaan itu sendiri dan untuk pekerjaan itu sendiri. Itulah etos yang tersirat dalam ngayah

Kerjakanlah dengan sebaik-baiknya pekerjaan itu, dengan segala ketenangan dengan seluruh kemampuan yang ada , jangan terganggu kosentrasinya oleh iming-iming nilai hasil yang dicapai. Maka pekerjaan itu akan melahirkan sebuah masterpiece.

Disinilah kuncinya kenapa semeton krama Bali melahirkan karya-karya masterpiece. Karya seni yang membuat setiap orang berdecak kagum. Karya seni disegala lini. Budaya yang mempesona , the endless art. Kalau kita kehilangan etos kerja ngayah maka kita hanya menjadi pewaris sebuah budaya mengagumkan, kita hanya menjadi penonton puing-puing reruntuhan sebuah budaya mempesona. Sebuah misteri dunia. Kita bukan lagi menjadi pelaku budaya itu, apalagi pencipta. Kita hanya sebagai pengulang, peniru saja. Taksunya telah hilang , rohnya telah terbang.

Ini bukan pelestarian budaya. Budaya bukan tanaman langka, bukan satwa langka yang bisa punah. Budaya tidak butuh pelestarian. Budaya harus dihidupi, budaya adalah kehidupan, adalah sebuah dinamika yang hidup. Budaya adalah sebuah lautan kehidupan. Kalau ingin menyelami maka kita harus terjun dan hidup didalamnya. Hiduplah sebagai semeton krama Bali, hiduplah dengan konsep hidup semeton krama Bali, hiduplah dengan Tri Hita Karana, berpusatlah kepada Prahyangan dan lakoni prinsip ngaturang ayah. Maka taksu budaya itu akan hidup lagi, akan mengalir lagi seperti mata air yang tak pernah berhenti. Budaya itu akan tumbuh dan mengembang harum dan semerbak.

Prinsip ngaturang ayah bukan hanya berlaku untuk di Pura, di Banjar. Tapi disetiap pekerjaan, baik sebagai guru, baik sebagai tenaga kesehatan, sebagai karyawan perusahan, tentara, polisi, guide dan sebagainya. Kita mengabdi pada pekerjaan itu sendiri. Semua pekerjaaan mulia adanya. Tidak ada pekerjaan yang hina. Sepanjang etos ngaturang ayah dilakoni.

Alam ini selalu mendorong orang untuk bekerja, pekerjaan itu adalah untuk alam sendiri, manusia sebagai pelakunya. Kalau manusia bekerja untuk dirinya sendiri, untuk kelompoknya sendiri maka ia akan mengacuhkan alam ini, ia akan cendrung dekstruktif, cendrung merusak, ia cendrung serakah, cendrung tidak berkualitas, cendrung tidak berbudaya.

Di tengah-tengah orang-orang bodoh seperti itu maka taksu pekerjaan itu hilang, cahaya budaya itu sirna. Orang –orang itu tidak menyadari bahwa hidupnya hanya sementara, sebenarnya ia hanya memindahkan sesuatu materi dari tumpukan yang satu ke tumpukan yang lain. Ia tidak menggali nilai, ia tidak merengkuh nilai, ia tidak menemukan nilai. Kadang –kadang saat ini menumpukan lebih banyak, tapi besok akan kehilangan lebih banyak. Hidup ini seperti roda yang berputar. Kadang- kadang diatas, kadang –kadang dibawah. Semeton krama Bali tidak banyak yang kepincut dengan permainan anak-anak seperti ini. Makanya semeton krama Bali selalu seimbang baik diatas maupun dibawah. Dalam bekerja semeton krama Bali selalu mencari nilai, mencari budaya, mencari jati diri. Menemukan nilai-nilai dirinya dalam pekerjaan. Menjadi professional. Bukan bermain kanak-kanak Semeton krama Bali tidak akan menumpuk kekayaan lewat korupsi. Semeton krama Bali tidak akan membabat hutan untuk menjadi kaya. Kecuali mereka telah keluar dari garis edar krama.

Mengabdikan diri pada pekerjaan demi pekerjaan itu sendiri adalah proses yoga. Adalah sebuah proses meditasi. Adalah sebuah proses tapa. Adalah proses pendidikan diri, proses evolusi rochani, proses pembebasan dari suka dan duka, proses menemukan nilai, proses menuju kebahagiaan.

Karena jika orang bekerja demi untuk pekerjaan itu sendiri, maka ia akan menemukan jati dirinya, menemukan warna hidupnya, menemukan nilai-nilai luhur Pawongan dalam dirinya, menemukan kepuasan dan kebahagiaan. Jika nilai-nilai mulia Pawongan ini tidak ditemukan dalam pekerjaan maka orang akan jenuh, bosan dan merasa muak dengan pekerjaannya. Pekerjaannya menjadi tidak berkualitas, pekerjaan sekedar hanya memenuhi tuntutan atasan, tugas perusahan. Pekerjaan tidak mengembang. Karena pekerja tidak menemukan dirinya, tidak menemukan sisi kemanusiaannya disitu, Dia merasa sebuah mesin, sebuah robot otomatis. Berapapun gaji imbalan yang diprolehnya, jika ia tidak menemukan sisi kemanusiaan dirinya dalam pekerjaan itu maka ia akan menjadi jenuh, bosan atau sakit. Orang akan merasa puas jika dapat mengekspresikan nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam pekerjaan.

Menurut semeton krama Bali nilai-nilai tersebut antara lain: Polos atau nilai kejujuran. Jemet nilai kerendahan hati atau nilai kedisiplinan. Darma nilai tanggung jawab. Tresne nilai kebersamaan Bakthi nilai keiklasan.

Demikian ngaturang ayah adalah mengabdikan diri terhadap pekerjaan. Bekerja untuk pekerjaan itu sendiri. Karena pekerjaan itu adalah Titah. Adalah mandat. Titah Sang Hyang Kawi. Apapun pekerjaan semeton, apapun profesi semeton, dimanapun semeton bekerja semua itu adalah titah Sang Hyang Kawi. Lakukan pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya, jangan menyalah gunakan mandat. Ketahuilah bahwa Hyang Widhi bersama semeton dalam pekerjaan itu. Beliau sedang menguji apakah semeton tidak menyalah gunakan mandat. Apakah semeton tidak melanggar titah. Jika semeton teguh dalam tugas tersebut, maka semeton akan menemukan keajaiban-keajaiban yang sulit dijelaskan dengan akal. Itu berarti semeton sudah semakin dekat denganNYA. Dengan Sang Maha Pengasih. Demikian Tuhan adalah maha rahasia. The God is super silence. Bekerja dengan etos ngaturang ayah adalah sebuah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Demikianlah menjadikan pekerjaan sebagai sebuah meditasi. Semeton krama Bali tidak membuat padepokan-padepokan meditasi, tidak membuat pondok-pondok meditasi. Semeton krama Bali tidak duduk diam menikmati meditasi. Tetapi semeton krama Bali mengaplikasikan meditasi dalam pekerjaan dalam kehidupan. Menghidupkan meditasi. Menghidupi meditasi. Hidup dalam meditasi. Stata astiti bhakti ring Hyang Widhi, stata ngaturang ayah, stata mebanten, stata meYadnya, melaksakan Tri Kaya Parisudha, melaksanakan Tri Hita Karana adalah life meditation. Adalah meditasi itu sendiri.

Begitu pula semeton krama Bali tidak mendirikan pusat-pusat kotbah/ darma wacana dan pengajian, karena orang yang memberikan kotbah/ darma wacana sebenarnya mundur satu langkah dibidang rohani dari pada orang yang duduk diam mendengarkannya. Kesadaran tidak bisa diajarkan. Kesadaran tidak bisa ditransfer lewat kotbah. Agama bukan pelajaran sejarah. Kesadaran hanya bisa ditransfer lewat perbuatan nyata. Conciusnes can only be transferred by action. Sampai berbuihpun mulut orang yang memberikan kotbah kesadaran tetap tidak bisa ditransfer. Hal ini menyebabkan Ida Pedanda, Ida Pinanditha, para Pemangku mengajarkan kesadaran lewat perbuatan nyata. Kebaikan bukanlah kata-kata, tetapi tangan –tangan yang berlepotan keringat memberikan pertolongan jauh lebih mulia dari pada mulut yang komat-kamit membacakan doa. Dan inilah juga sulitnya menjadi orang tua , menjadi guru Rupaka atau guru kehidupan karena harus menjadi suri teladan hidup bagi putra putrinya. Penulis

Label:

posted by I Made Artawan @ 05.28   0 comments
Kekekalan Hukum Karma
Semeton krama Bali sangat percaya karma phala. Hukum karma adalah hukum kekekalan energy. Semesta ini adalah kesunyian abadi, adalah kekosongan abadi. Setiap momentum energy akan memantul kembali kepada sumbernya. Seperti menjatuhkan sebuah batu di air kolam yang tenang. Mula-mula ada gelombang air yang mengarah keluar, arah sentrifugal ( menjauhi sumber gelombang). Tapi kemudian gelombang itu balik lagi kearah sentrifetal, kearah sumber gelombang sehingga terjadi keseimbangan, sehingga permukaan air tenang lagi. Apapun jenis momentum yang dibangkitkan, persis begitu pula yang kembali. Energy kebajikan yang di lontarkan kepada momentum maka energy kebajikan pula yang kembali. Energy kejahatan, kejaliman yang dilontarkan, maka energy itu pula yang berbalik. Seperti orang yang berteriak dibawah tebing curam, gemanya akan memantul kembali. Tetapi pada tebing masih ada pembiasan suara. Pada hukum karma tidak ada pembiasan. Pantulannya sempurna. Pantulannya excelent.

Dalam hidup ini semeton bisa saja berkelit, menghindar dari hukum, bisa saja mengakali siapapun, seperti ikan dalam air. Bisa menyelam, bisa menyelinap, bisa muncul dipermukaan. Akan tetapi setelah kematian semeton akan seperti selembar daun kering yang hanyut di sungai. Tidak bisa menghindar. Disinilah momentum karma akan bekerja.

Untuk menghindari karma phala semeton krama Bali, akan mempersembahkan semua tindakan, semua pekerjaan kepada Tuhan. Semeton krama Bali akan ngaturang ayah. Sebelum menabuh gamelanpun semeton krama Bali akan maturan canang, nunas rahayu. Semoga semua ini atas kehendaknya. Semoga kita hanya menjadi pengayah, menjadi pelayan Tuhan.

Dulu semeton krama Bali memotong hewan hanya pada hari raya dan untuk hari raya.untuk upacara. Untuk persembahan. Zaman dulu tidak ada semeton krama Bali tanpa alasan, tiba-tiba memotong hewan.

Karma phala menyebabkan semeton krama Bali, seolah –olah selalu dilihat Hyang Widhi. Selalu diawasi Tuhan. Perbuatan buruk atau baik, ditempat sepi atau ditempat ramai sama saja. Sama –sama bersaksi terhadap alam. Semua tercatat pada hukum karma. Maka semeton krama Bali tidak akan berani mencuri. Tidak akan berani merampok. Tidak akan korupsi. Kecuali sudah tidak menjadi krama lagi. Kecuali sudah tidak takut dengan hukum karma. Kecuali kalau kesadaran Tri Hita Karana telah terbang dari dirinya. penulis

Label:

posted by I Made Artawan @ 05.16   0 comments
Manfaat Upacara Megedong - gedongan atau Tujuh Bulanan
Perlakuan ini tampak sederhana, tetapi dunia kedokteran modern baru tahu, bahwa usia 7 bulan janin dalam kandungan sudah bisa mendengar sehingga di Inggris dilakukan program pendidikan janin terhadap ibu-ibu hamil usia 7 bulan ( fetal education program). Dunia kedokteran modern juga baru tahu bahwa proses synaptogenesis yaitu pembentukan atau penginstalan jaras –jaras memori otak dan intlegensi mulai usia janin 6 bulan sampai bayi usia 3 tahun . Kalau tidak dilakukan penginstalan maka jaras –jaras komunikasi syaraf tersebut akan mengalami pruning atau rontok sehingga setelah usia bayi lebih 3 tahun tidak lagi bisa ditambahkan program-program intlegensi. Misalnya intlegensi keseimbangan, intlegensi gerak, intlegensi mimik, mendengar dan lainnya. Ilmu kedokteran baru mengetahui hal ini sekitar th 2000 sedangkan semeton krama Bali sudah sejak dahulu mempraktekan. Sebelum ditemukan alat yang namanya computer. Semeton krama Bali sungguh luar biasa. Dengan megedon-gedongan, dengan megogo-gogoan maka berbagai instalasi intlegensi akan terinstal pada jaras –jaras komunikasi neuronal. Penulis

Label:

posted by I Made Artawan @ 05.11   0 comments
Mule Keto Orang Bali
Semeton krama Bali mengajarkan prinsip Mule Keto. Mule Keto akan mencerminkan kejujuran. Apa adanya. Jalan sederhana menuju bahagia. Mula Keto berarti tersirat ajaran bahwa alam semesta ini sudah sempurna adanya, alam ini tidak pernah menunggu kedatangan semeton untuk menyempurnakannya. Masalah semeton lahir atau tidak kedunia ini, dunia ini sudah sangat sempurna adanya. Kedatangan semeton ke dunia ini tidak akan merubah kesempurnaannya. Pandanglah dunia ini dengan kejujuran, dengan hati nurani dengan Mule Keto maka semeton akan merasakan getarannya. Apakah sebenarnya kehidupan dan dunia ini.

Jika semeton memandang dunia ini dengan memakai kaca mata hitam, maka dunia tampak buram. Jika semeton memandang dunia ini dengan kaca mata merah maka dunia ini tampak kemerahan.. Pandanglah dunia ini tanpa kacamata, telanjang apa adanya maka keSunyataan akan menampakkan dirinya.

Prinsip Mule Keto mengajarkan janganlah memandang dunia ini dengan konsep semeton, dengan paradigma semeton, dengan hypothesa semeton, dengan pikiran semeton. Karena dunia ini akan mengikuti konsep semeton, akan mengikuti pikiran semeton, akan mengikuti paham semeton. Karena dunia ini elastis seperti karet. Mau-mau saja. Karena dunia ini sebuah cermin. Bayangan semeton akan tampak didunia sama persis. Sehingga ada orang bijak mengatakan seberapa banyak ada manusia sebegitulah banyaknya dunia. Karena dunia adalah Mayapada ( fatamorgana) adalah Mercapada ( alam siluman). Kalau paham semeton salah, pikiran semeton salah, konsep semeton salah maka semeton akan tersesat sendiri.

Seekor ayam jantan mempunyai arti tertentu bagi seorang bebotoh, mempunyai arti tertentu pula bagi seorang pedagang nasi dan mempunyai arti lain lagi bagi penyayang binatang, mempunyai arti lain pula bagi seorang dokter ahli flu burung.

Konsep, paham atau hypothesis berasal dari pikiran, dari Neo Cortex di otak, dari IQ ( Intlegency Question) dari Palemahan. Bukan dari rasa, bukan dari emosional Question, bukan dari hati, bukan dari Pawongan. Siapakah yang mampu mengkonsepkan kehidupan dan alam semesta ini?. Karena dunia ini melampaui semua konsep, melampaui semua pikiran, melampaui semua paradigma, melampaui semua hyphothesis. Karena dunia dan kehidupan ini Acinthya ( tak terpikirkan ). Beyond of understanding. Untouchable mind.

Semua yang tampak dipermukaan bumi ini adalah benih-benih pikiran yang bertumbuhan dan berekspresi baik dari manusia , binatang , tumbuh-tumbuhan, mikroba maupun virus. Warna-warni permukaan planet ini, baik perkotaan-perkotaan , lembah-lembah, pegunungan-pegunungan akan selalu berubah-ubah sesuai dengan dominasi pikiran –pikiran penghuninya yang berekspresi. Pikiran adalah kabut tebal yang menyelimuti obyektivitas kesunyataan. Orang –orang mungkin akan terkatung-katung dalam dunia mimpi-mimpi yang diciptakan pikirannya. Pikiran akan menghalangi pengetahuan sejati tentang who are you and who the others. Oleh karena itu semeton krama Bali dalam memandang sesuatu persoalan dipermukaan bumi ini akan selalu dengan zero mind. Anak Mule Keto.

Sebelum tahun 1970, orang tidak pernah berfikir bahwa suatu saat kemudian ada yang namanya hand phone ada yang namanya internet. Tapi sekarang semua itu menjadi ada. Siapakah yang mampu melihat dengan jelas dan detail sebuah masa depan menembus sang waktu. Dikatakan di jaman Tretha Yuga kemampuan ini dimiliki banyak manusia karena planet dan tata surya kita masih berdekatan dengan planet-planet murni para Dewa, tetapi dengan mengembangnya pertumbuhan alam semesta maka planet dan tata surya kita bergerak semakin menjauh dengan planet-planet murni tersebut sehingga kemampuan itu menjadi sirna. Dikatakan Maha Rsi Abyasa telah menuturkan secara sangat detail kisah Maha Barata jauh sebelum lahirnya panca Pandawa dan seratus Kaurawa.

Para ahli atom di pusat fisika atom di Berkeley, terkejut menemukan bahwa atom tersebut sesungguhnya jauh dari perkiraan semula, dimana atom sebelunya dianggap materi padat yang bulat seperti kelereng. Atom ternyata sepertinya sebuah dunia, sebuah alam, sebuah ruang kosong. Sub partikel yang paling kecil yang menyusun atom namanya Quark, mempunyai potensi electric 1,04 x 10 pangkat minus 34 joule/ detik, bilangan ini disebut limit dari Planck. Manusia tidak mampu lagi membuat hitungan fisika lebih kecil dari quark. Saking kecilnya quark dapat menembus planet-planet tanpa hambatan. Bumi ini selalu terendam dalam badai quark dari emisi bintang-bintang dan planet-planet lain di alam semesta. Mungkin saja Quark masih dapat dibagi lagi tetapi tak ada rumus fisika atom, atau perangkat yang mampu menghitungnya. Begitulah sebuah atom memiliki inti dan atmosfir atom yang berlapis, seperti bumi kita memiliki langit yang berlapis- lapis. Dilapisan –lapisan atmospir atom inilah berbagai sub partikel atom bergerak secara dinamis dan teratur. Hal ini sudah pernah dikatakan oleh Bhagawan Wasistha ribuan tahun yang silam kepada muridnya paduka Sri Rama, bahwa unsur terkecil alam semesta ini ( red. Atom) adalah sebuah dunia juga, dimana dunia-dunia yang lain datang dan pergi silih berganti.

Alam ini adalah Acinthya ( tak terpikirkan ), oleh karena itu pandanglah alam ini dengan kejujuran hati. Tanpa konsep, tanpa kaca mata pikiran. Apa adanya atau Mule Keto, maka semeton akan tenang, damai, Canthi dan bahagia. Iklas menerima apa adanya, menyatu ( tuning) dengan frekwensi Prahyangan di setiap benda, menyatu dengan alam , menyatu dengan Tuhan, menyatu dengan kebahagiaan.

Prinsip Mule Keto memerlukan emosi kalbu selembut sutra, pikiran sebening kaca dan kepasrahan seteguh baja. Tidak mudah melaksanakan prinsip Mule Keto bagi orang yang masih berorientasi pada Palemahan, pada IQ, pada pikiran. Orang tersebut masih dipermukaan, masih di Palemahan, belum menyelam dalam. Orang seperti itu masih gelisah, masih penasaran, masih belum menemukan orbit, masih mencari jalan. Masih sibuk mencari difinisi, sibuk mencari pembuktian. Membongkar Bumi, membendung lautan, membelah langit , mencari apakah rahasia alam ini. Mereka berputar di orbit terluar, mereka kelelahan sendiri, bertengkar sendiri dengan dirinya, mereka masih rentan frustasi. Mereka menghabiskan hidupnya dalam tanda tanya. Mereka masih belajar.

Semeton krama Bali jaman dulu sudah melewati jalan ini. Sudah selesai belajar. Sudah melintasi orbit siklus ini, sudah pernah tersesat berkali-kali, sudah kapok. Sehingga semeton krama Bali keluar dari konsep apapun, paham apapun, isme apapun tidak peduli apakah paham itu sedang on the mode, sedang in, atau sedang gue banget. Sepanjang paham tersebut masih berorientasi pada Palemahan, pada kulit luar, pada analisa pikiran. Semeton krama Bali menyelam kedalam diri, kedalam ke Sunyataan, kedalam kejerniham nurani, ke dalam Tapa Yogi, kedalam Mule Keto. Penulis

Label:

posted by I Made Artawan @ 04.57   0 comments
Dunia Ini Tidak Abadi
Pada unsur Dunialah terjadi proses daur ulang, proses pertumbuhan dan kematian sel. Berjuta - juta sel tubuh kita sudah mati secara proses apoptosis ketika kita selesai membaca sebuah kata. Dan pada saat yang sama berjuta-juta sel akan terbentuk secara proses mitosis. Tubuh kita bagaikan sungai atom. Tidak seorangpun mampu berdiri ditepi sungai untuk melihat air yang sama. Air terus mengalir. Terus diganti. Tubuh kita berubah trilliunan kali perdetik pada tingkat atom, milliyaran kali perdetik pada tingkat molekul dan jutaan kali perdetik pada tingkat sel. Semuanya ini diatur oleh DNA. DNA adalah molekul sat gula dan protein biasa. Tetapi menjadi begitu cerdas ketika berada dalam inti sel. DNA bagaikan mesin built up super canggih. Semuanya diatur oleh DNA. Kalau cuaca panas kita berkeringat, kalau cuaca dingin kita menggigil itu diatur oleh DNA. Kita tidur dimalam hari dan bangun disiang hari itupun diatur oleh DNA. Demikianlah sang bayipun tumbuh menjadi anak-anak setelah 5 tahun. Setelah itu dia meninggalkan masa kehidupan bayi, berarti terjadi kematian bayi lalu menjelma menjadi anak. Anak-anak punya usia 9 tahun lalu menjadi remaja dan remaja punya usia 6 tahun lalu memasuki masa dewasa, masa reproduksi atau berumah tangga. Dalam waktu 25 tahun setelah masa dewasa ini manusia mulai memasuki masa tua, kemudian kematian badan datang menjemput.

Dunia inipun masih sebuah konsep. Alam Raya inipun masih sebuah konsep. Einstein mengatakan energi yang membeku menjadi materi.

Berpusat pada Dunia berarti berpusat pada kenikmatan. Kenikmatan itu ada batasnya, ada titik jenuhnya dan akan menyebabkan kita tidak puas. Kaum Hyppies di Eropah yang sudah mencapai titik jenuh kenikmatan karena tidak kurang suatu apa, akhirnya setelah batas semua nikmat tersebut terlampaui mereka menjadi kebingungan mencari makna hidup sehingga ia melarikan diri dan menghamba pada narkoba. Ia menganggap narkoba adalah Tuhannya..

Dalam diri manusia, badan berposisi sebagai ilusi. Badan kita pasif. Badan akan ikut bergerak kemana saja sesuai perintah tuannya. Ketika kita akan mengambil sesuatu maka tangan akan bergerak melayani. Ketika kita ingin berlari maka kaki akan berlari melayani . Badan adalah pelayan yang setia. Badan adalah sebuah hadiah, sebuah anugrah yang tak ternilai yang diberikan oleh Tuhan ibu alam semesta. Oleh karena itu bertrimakasihlah kepada badan yang telah melayani kita. Bertrimakasihlah kepada Tuhan yang maha pemurah. Kita harus menyayangi badan, memelihara dengan baik. Berikan dia makanan yang baik yang menyehatkan, berikan dia waktu istirahat yang cukup, dan waktu bergerak yang cukup. Jangan kejam terhadap badan. Jangan mengeksploitasi badan secara habis-habisan. Badan berada dibawah kendali keinginan. Oleh karena itu sering badan menjadi korban keinginan. Kadang –kadang karena ingin mengejar keinginan orang sering tidak memperhatikan badannya sehingga badannya tidak sempat istirahat dan akhirnya menderita sakit. Merokok berlebihan, minum alcohol berlebihan, bekerja berlebihan adalah bersumber dari keinginan, tetapi badan yang menderita akibatnya. Orang ingin bunuh diri tetapi badan yang akan mati, sehingga rohnya akan sangat menyesal setelah melihat badannya telah mati. Roh ini akan terlunta-lunta menunggu jatah badan yang baru. Penulis

Label:

posted by I Made Artawan @ 04.54   0 comments
Rahasia Mebrata
Tuhan harus dicari didalam diri, menyelamlah didalam kedalaman diri. Tuhan ada dilapisan yang paling dalam didalam diri.

Semeton krama Bali jaman dulu selalu rajin melaksanakan tapa brata atau puasa menjelang hari-hari suci. Keesokan harinya pada hari H, pagi-pagi sekali sebelum matahari muncul diufuk timur, ramai-ramai pergi kemuara sungai dilaut mencari tempat air sungai bercampur dengan air laut, lalu mandi dan berkeramas membersihkan diri.( Banyu Pinaruh) Kemudian melakukan upacara persembahyangan bersama dalam keluarga masing-masing. Setelah itu barulah nunas lungsuran atau menyantap makanan.

Segaris aktivitas yang tampaknya sederhana dan sepele akan tetapi sekaligus meraih 4 kekuatan dan 3 peningkatan kecerdasan. Yang pertama, berpuasa atau latihan tapa brata akan meningkatkan kecerdasan emosional atau EQ ( emosional Question), menyebabkan tidak gampang marah, tidak gampang tergoda, menjadi lebih sabar dan menjadi tidak manusia gampangan. Menjadi kuat dan teguh, karena kesabaran akan meningkatkan ketinggian martabat kemanusiaan.

Yang ke dua, menciptakan suasana rukun, kebersamaan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Nilai-nilai ini tidak bisa dibeli dengan harga berapapun dan tidak akan ada perusahaan atau pasar yang bisa menjualnya, juga tidak ada sekolah formal yang mampu memberikannya.

Semua ini akan melebarkan vibrasi zone Pawongan yang akan mengembang dalam areal gaib tubuh manusia. Yang ketiga setelah dengan kesabaran tinggi menahan rasa lapar dan bicara, terakhir barulah nunas layuban atau lungsuran saking Ida Bethara( Hyang Widhi). Berarti kita akan terdidik untuk sadar bahwa semua yang ada ini adalah milik Beliau Sang Maha Penguasa , Sang Maha Digjaya. Makanya kalau semeton krama Bali akan minta ijin untuk makan, ia akan berkata ampurayang tityang jagi nunas dumun atau tityang jagi ngelungsur ( saya mau makan). Betapa dekatnya semeton krama Bali jaman dulu dengan Tuhan, setiap akan makan semeton krama Bali selalu meminta ijin kepada Tuhan terlebih dahulu. Pendidikan ini akan meningkatkan spiritual question ( SQ ) atau kecerdasan keTuhanan. Kecerdasan ini tidak bisa diukur dengan hanya dari kata-kata atau sikap saja, tetapi dapatkah semeton merasakan getaran kesadaran dibalik kata-kata atau perbuatan tersebut. Kebahagiaan, ketenangan, keyakinan, keabadian dibalik dibalik kata –kata, dibalik perbuatan bhakti Kemampuan untuk mengalami hal tersebut itulah kecerdasan spiritual. Spiritual untuk dialami dan dirasakan , katanya itulah tujuan kenapa roh dilahirkan. Spiritual bukan membaca dan menghafal buku-buku agama , bukan berkhotbah banyak banyak. Spritual untuk dilaksanakan dan merasakan sendiri manisnya. Bagaimanapun pandainya anda menerangkan tentang buah apel, bagaimanapun ekspertnya anda tentang buah apel, tapi kalau tidak pernah memakan buah apel anda sebenarnya tidak tahu sama sekali yang namanya buah apel. Laksanakanlah tanpa banyak berpikir. Berpikir menyebabkan anda menjadi takut, tidak iklas dan ragu ragu. Kemajuan yang dicapai oleh manusia sekarang berasal dari memeras segala kemampuan berfikir. Dan semua itu dipicu oleh rasa takut. Berfikir seolah olah merupakan senjata pada manusia untuk melindungi diri dan bertahan dibumi dimana tidak dimiliki oleh binatang. Tetapi jika berfikir itu terus diekploitasi secara berlebihan akan melahirkan rasa takut yang berlebihan dan beraneka ragam rasa takut yang menyebabkan manusia dapat merusak lingkungannya bahkan membahayakan sesamanya. Dan dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat dampaknya. Oleh karena itu laksanakanlah kebajikan tanpa banyak berpikir, karena itulah yang namanya kasih. Semeton krama Bali menyebut ”Anak Mula Keto ” Yadnya itu untuk dilaksanakan, tidak untuk dipikirkan untung ruginya. Apalagi untuk diperdebatkan. Yadnya sebuah pembelajaran kepada kita untuk menghilangkan rasa takut, keikhlasan dan kasih seperti apa yang dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya. Terlebih lagi bahwa alam semesta ini diciptakan dengan Yadnya , dengan Kasih oleh Hyang Widhi.

Yang keempat, memakan lungsuran atau makanan yang telah direstuiNYA atau disinariNYA akan sangat bermanfaat untuk kesehatan. Jika kita membiasakan diri secara konsisten bahwa sebelum menyantap makanan kita berdoa lebih dahulu , katakan Inggih Ida Hyang Widhi sane suciang titiyang, saking lugran Ida titiang nunas paican Ida, dumugi titiang seger oger. Maka percaya atau tidak makanan tersebut akan menyehatkan semeton, disamping itu semeton akan memiliki kepekaan terhadap makanan.

Makanan tertentu yang tidak bermanfaat bagi tubuh semeton lama –lama pasti akan ditolak oleh tubuh sameton seperti daging aneh-aneh, bumbu aneh-aneh. Apalagi alcohol dan narkoba. Rasa bakthi itu akan menyebabkan tubuh semeton merespon positip terhadap makanan, menyeleksi dan tidak mengubahnya menjadi suatu penyakit. Tidak mengubahnya menjadi kanker. Karena seluruh system kerja DNA dalam sel-sel tubuh kita dikontrol oleh Prahyangan, oleh Paramaatman oleh Brahman. Bila system kontrol ini tidak dikenali, tidak diaktifkan maka sel-sel tubuh kita akan bekerja sendiri-sendiri dengan tingkat kesalahan yang tinggi. Merasakan nunas lungsuran setiap hari menyebabkan seluruh system neurohormonal dan enzymatik akan bekerja secara sinergi , harmonis dan effisien. Setiap sel memiliki kapasitas menghasilkan lebih dari 4000 jenis enzyme dan baru diketemukan sebagian kecil saja. Sedangkan jumlah sel kita lebih dari 50 trilliun. Dapatkah semeton menjamin tidak ada kesalahan. Sekalipun setiap sel dapat mengenali kesalahannya dan dapat memperbaiki. Tetapi kesalahan yang terlanjur bertubi-tubi akan memanifestasikan penyakit. Siapakah yang mampu mengontrol semua ini. Berserah diri kepada Yang Maha Digjaya karena beliau pemegang kontrolnya. Semeton krama Bali sungguh luar biasa !. Semeton krama Bali sudah mengorbit garis edar yang tepat. Inilah konsep sehat semeton krama Bali.

Akan tetapi jika makanan dijejalkan begitu saja pada tubuh semeton hanya karena menginginkan kenikmatan semata dan pastilah lupa untuk meminta ijin kepada Hyang Maha Pemilik, maka tubuh semeton seperti dipaksa untuk menerima semua makanan tersebut. Makanan itu akan mengakibatkan polusi di areal Palemahan tubuh semeton yang lama kelamaan akan tertimbun sebagai penyakit. Sehingga terjadi tingkat kesalahan kerja sel yang tinggi. Asupan energy yang berlebihan akan menimbulkan sampah metabolisme yang berlebihan yang akan menyebabkan kerusakan DNA ( DNA damage). Sebuah sel mempunyai kesempatan membelah diri sebanyak 50 kali selama hidupnya,. Asupan energy berlebihan akan mempercepat ritme pembelahan tersebut sehingga proses ketuaan, penyakit dan kematian akan cepat datangnya.( aging process theory). Sekarang banyak anak-anak dijejali makanan oleh orang tuanya begitu saja karena tidak sempat ngurus atau karena kecemasan sosial ( high social pressure) atau takut sakit atau termakan oleh bisikan iklan di Televisi atau dan lain-lain, sehingga anak tersebut menjadi tambun seperti karung beras dan dokter mendiagnosis sebagai malnutrisi ( salah nutrisi ).

Sekarang tampaknya anak-anak jarang diajarkan metapa brata. Semeton krama Bali jaman dulu mengajarkan anaknya melakukan tapa brata, bukan karena Bali jaman dulu kurang makmur tetapi anak-anak rajapun melakukan tapa brata. Apakah anak raja kurang makan ?. Jadi dengan menyadari bahwa makanan itu pemberian Hyang Widhi maka makanan tersebut menjadi menyehatkan, tertakar serta terseleksi secara sendirinya ( secara otomatis). Mebrata akan menyehatkan dan memperpanjang usia. Mebrata secara konsiten, teratur dan berkala pada hari –hari tertentu lebih baik dari pada mebrata secara marathon tapi tidak konsiten.

Semeton krama Bali sudah lama mengetahui rahasia ini. Semeton krama Bali makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Lihatlah kalau ibu sehabis memasak didapur maka beliau akan membuat jotan ( Yadnya Cesa), yaitu pertama makanan tersebut harus dibagikan dulu kepada mahluk lain selain manusia baik yang tampak maupun yang gaib. Karena manusia tidak boleh serakah. Karena manusia sebenarnya bukan pemilik makanan apapun. Sesudah langkah proses itu selesai barulah boleh makan bersama. Sikap hidup seperti ini menyebabkan semeton krama Bali selalu ingat bahwa mahluk lain selain manusia juga adalah ciptaan Hyang Widhi. Sama –sama menjalani kehidupan. Sama-sama mengabdi. Sama-sama ngayah.

Ada yang mengatakan ini tidak logis, tidak masuk akal, terlalu di buat-buat. Jawabannya memang tidak logis dan pasti tidak logis. Karena logis atau tidak logis adalah produk pikiran, produk neo cortex, produk intlegensi. Tetapi ini adalah pendidikan pengembangan rasa, pengembangan kesadaran, pengembangan kecerdasan emosi dan spiritual. Dapatkah semeton menjawab dengan otak kenapa sameton terdampar di planet ini, planet Bumi yang hanya setitik debu di galaxy Bima sakti ?. Siapa arsiteknya dibalik semua itu ?.

Semua makanan berasal dari tanah. Buah diambil oleh pohon dari zat di dalam tanah. Pohon adalah perangkat bionic super canggih, mampu merubah tanah menjadi buah. Sampai kapanpun manusia tidak akan mampu membuat mesin yang merubah tanah menjadi buah. Begitu pula daging sapi, daging kambing, daging kerbau berasal dari rumput. Rumput berasal dari tanah. Rumput akan dirubah menjadi susu oleh sapi dalam hitungan jam dan dirubah menjadi daging dalam hitungan hari.

Tada bedanya air. Air adalah zat cair yang selalu murni. Walaupun air dapat melarutkan berbagai zat lain, akan tetapi air tidak melekat kedalam zat. Air yang kita minum sudah berada di planet Bumi ini sejak jutaan tahun silam, jumlah air tersebut tetap sama dari sejak dulu. Air tersebut sudah mengalami siklus perjalanan yang sangat panjang. Pernah menjadi air buah, air kencing kuda, air hujan, air bah, bahkan pernah menjadi air bangkai sekalipun akan tetapi keadaan air tersebut tetaplah murni adanya. Matahari akan menguapkan air disiang hari, memisahkannya dengan berbagai zat yang melarut didalamnya, lalu menjadi air hujan dan kembali terserap kedalam tanah menjadi mata air. Begitulah alam telah mengatur kemurnian air untuk kehidupan mahluk di Bumi.

Begitu pula udara yang kita hirup setiap hari, adalah suatu gas yang dihirup dan dihembuskan juga oleh mahluk-mahluk lainnya diatas permukaan Bumi. Udara yang sama yang juga dikentutkan oleh hewan-hewan lainnya. Demikian fisik kita bergabung dan berbagi hidup bersama dengan semua mahluk lainnya dalam suatu ekosistem yang senasib sepenanggungan. Kesadaran ini menyebabkan semeton krama Bali melaksanakan Yadnya Cesa.

Kita tidak mungkin bertahan begitu lama di planet ini, paling lama seratus tahun. Kita hanya singgah saja di planet ini untuk menemukan sang jati diri ( Pawongan ) dan menikmati kebahagiaan ( Prahyangan) bukan untuk memiliki dunia ( Palemahan).

Masih banyak lagi aktivitas semeton krama Bali yang mencerminkan pendidikan emosi dan spiritual untuk meciptakan manusia yang utuh dan lengkap yaitu manusia yang memiliki kecerdasan intlektual tinggi, memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Suatu ciri manusia sempurna semeton krama Bali adalah selalu berorientasi pada Prahyangan, menjalankan, melakoni nilai-nilai mulia Pawongan dan tidak memiliki keterikatan yang melekat pada Palemahan.

Berbaur dengan budaya dan tehnologi mancanegara mudah-mudahan tidak menyebabkan abrasi pada zone Pawongan dan Zone Prahyangan semeton krama Bali. Penulis

Label:

posted by I Made Artawan @ 04.29   0 comments
Bertapa Untuk Mengendalikan Pikiran
Bertapa Untuk Mengendalikan Pikiran berdasarkan Ajaran Bhagavad Gita

Untuk menegakkan kehidupan yang baik yang disebut Satwika perlu melakukan pengendalian badan, kata-kata dan pikiran melalui berbagai kegiatan yang disebut tapa. Dengan melakukan tiga tapa (tindakan, ucapan, dan pikiran), kita dapat hidup menjauhi hidup yang dikuasai oleh Guna Rajah dan Tamah. Bertapa untuk mengendalikan pikiran disebut dalam Bhagavad Gita XVII.16; TAPA MAANASA, yaitu:

(1) MANAH PRASADA, artinya: berpikiran yang tenang,

(2) SAUMYATWAM, artinya berpikiran lemah lembut tanpa memberikan pikiran untuk mengembangkan tipu daya pada orang lain,

(3) MAUNA, artinya melatih untuk menyaring pikiran yang boleh dan pantas dang yang tidak pantas dikeluarkan,

(4) ATMA WINIGRAHAH, artinya menguatkan suara hati nurani sebagai suara Sang Hyang Atma sebagai sumber kontrol terpenting dalam diri,

(5) BHAWASAMSUDDHIR, artinya selalu berusaha mengembangkan pikiran yang suci agar niat baik selalu dapat ditumbuhkan. Orang yang selalu mengekang pikirannya untuk memikirkan yang suci berarti tapa yang demikian itu dapat selalu menumbuhkan niat suci dalam diri.

Penjelasan lebih jauh bisa dibaca dalam buku "BERAGAMA PADA JAMAN KALI" yang disusun I Ketut Wiana, yang dipasarkan Pustaka Bali Post.

Label:

posted by I Made Artawan @ 04.12   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas