Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Memasuki Kesadaran Atman
Jumat, 25 September 2009
Atman: kita tidak bisa menjelaskannya. Kita dapat merasakan keberadaannya melalui perasaan kita yang suci, tetapi kita tidak bisa menjelaskannya. Untuk mengetahuinya, kita harus mengalaminya. Kata terbaik yang bisa kita katakan tentang dia adalah bahwa dia adalah yang paling dalam dari Keberadaan kita, inti dari kita. Dia adalah kita yang sejati.

Jika kita menggambarkan: di atas kita tidak ada apa-apa, di bawah kita tidak ada apa-apa, di sebelah kanan kita tidak ada apa-apa, di sebelah kiri kita tidak ada apa-apa, di depan kita tidak ada apa-apa, di belakang kita tidak ada apa-apa; dan melebur diri kita sendiri ke dalam ketiadaan, itu adalah cara terbaik kita menjelaskan kesadaran Atman. Akan tetapi ketiadaan itu tidak berarti tidak ada sesuatu sama sekali, seperti ketiadaan dalam sebuah kotak kosong, menjadi seperti tidak berisi. Ketiadaan itu dipenuhi oleh kesempurnaan dari segalanya: kekuatan kebenaran, eksistensi dari segala hal.

Setelah kita menyadari Atman, kita tahu untuk apa pikiran itu—dasar penciptaan jiwa. Pikiran menciptakan kepribadian. Pikiran adalah wujud halus kita (sukma sarira) yang senantiasa menciptakan wujud, mempertahankan wujud, menciptakan wujud-wujud baru dan menghancurkan wujud-wujud lama. Pikiran itu, ilusi, tidak nyata, bagian dari kita yang dalam angan-angan kita bersikeras itu adalah nyata. Apa yang memberikan kekuatan pikiran itu? Apakah pikiran memiliki kekuatan jika ia adalah suatu yang tidak nyata? Apa bedanya apakah pikiran punya kekuatan atau tidak, bukankah para rishi mengatakan bahwa Atman ada dari dirinya sendiri? Kita lebih banyak memilih hidup di dalam mimpi dan menjadi terganggu olehnya. Karena terlanjur terlena hidup di dalam mimpi, terasa sangat berat untuk memulai pencarian spiritual, membakar keinginan-keinginan kita untuk menyadari kenyataan sejati dan penuh kebahagiaan karenanya. Kodrat manusia menuntun kita kembali kepada diri kita sendiri. Kodrat manusia menuntun kita kepada Keberadaan diri kita lebih jauh, menuntun kita untuk menyadari Keberadaan Sejati diri kita. Para rishi Weda mengatakan bahwa kita harus menapaki jalan spiritual untuk menyadari Atman, Keberadaan Sejati diri kita. Kita bisa menapaki jalan spiritual hanya jika kita benar-benar telah siap, ketika apa yang kelihatan nyata bagi kita selama ini ternyata dirasakan sangat mengganggu, lalu timbul keinginan untuk mencari kenyataan yang sejati. Kemudian dan baru setelah itu kita mulai dapat memisahkan diri untuk mencari dan menemukan suatu kenyataan baru, keberadaan diri kita yang abadi, Atman.

Apakah kita pernah mencatat sesuatu yang kita anggap langgeng, dan kita sibuk menjaga sesuatu yang kita anggap langgeng itu?

Apakah kita pernah berhenti untuk selalu berpikir dan mendapatkan konsep intelektual yang jelas bahwa Atman adalah satu-satunya hal yang langgeng dalam diri kita? Selain daripada itu semuanya sedang mengalami perubahan? Selain daripada itu semuanya tidak bisa bertahan, tidak bisa ajeg, selalu berhubungan dengan rwa bhineda, silih berganti, antara susah dan senang, antara kegembiraan dan dukacita? Itulah alam pikiran kita.

Atman, Keberadaan Sejati kita, Hidup kita, di mana kesenangan dan kesedihan, kegembiraan dan kedukaan menjadi pelajaran bagi kita. Kita tidak harus berpikir untuk mengatakan kepada diri kita sendiri bahwa semua tempat milik-Nya ini adalah tidak nyata. Kita hanya bisa tahu dari hati kita yang paling dalam bahwa semua wujud adalah tidak nyata, khayalan.

Seluk beluk, liku-liku, dan kehalusan dari kegembiraan yang kita alami pada saat memasuki Keberadaan Sejati kita itu tidak bisa dijelaskan. Karena setiap penjelasan akan ditangkap oleh pikiran, sedangkan pikiran adalah istananya rwa bhineda, istananya alam khayalan. Itu hanya dapat diproyeksikan kepada kita jika kita memiliki kehalusan buddhi yang cukup untuk menangkap kehalusan vibrasi spiritual. Jika kita ada dalam keselarasan jiwa yang cukup, kita dapat merasakan kegembiraan yang bersifat utama, liku-liku kebahagiaan di mana kita akan merasa semakin dekat dan semakin dekat dengan Diri Sejati kita, Atman.

Jika kita berusaha menemukan Atman dengan menggunakan pikiran kita, kita akan berusaha dan mengupayakannya dengan sia-sia, karena pikiran tidak bisa memberi kita Kebenaran Sejati. Pikiran adalah maya, maya adalah kepalsuan, kepalsuan tidak bisa memberi kita kebenaran. Kemayaan hanya dapat melibatkan kita dalam jaringan kusut kepalsuan. Segala yang maya adalah nyata bagi si maya, hanya Sang Sejati dapat mengatakan segala yang maya adalah maya, segala yang maya adalah palsu. Sebelum mencapai kesadaran Atman, kita tidak bisa dengan benar menyatakan mayapada ini benar-benar maya. Tetapi jika kita membuat diri kita semakin peka, membangkitkan semua kualitas kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan yang kita miliki, kemudian kita menjadi wadah penghubung, menjadi cupu manik di mana Keberadaan Sejati kita akan mulai bersinar. Pada awalnya kita berpikir bahwa sinar itu adalah cahaya gemilang dalam diri kita. Kita akan berusaha mencari untuk menemukan cahaya itu. Kita akan berusaha mencari dan meraihnya, seperti halnya kita mengagumi, meraih, dan menahan sebongkah batu permata dengan kemilau cahayanya nan gemilang dalam genggaman. Pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa cahaya kita itu ada di setiap pori-pori, di setiap sel kita. Kita akan menyadari cahaya itu meresap di setiap atom alam semesta. Cahaya gemilang yang menghapus ilusi khayali yang diciptakan oleh pikiran. Itulah kesadaran Atman. sumber sraddha

Label:

posted by I Made Artawan @ 21.38   0 comments
Mengenang 103 Tahun Perang Puputan Badung 20 September 2009
Senin, 21 September 2009
Kisah Asmara Dibalik Perang Puputan Badung 1906

Perang Puputan Badung 20 September 1906, dikenal sebagai salah satu peristiwa heroik di Bali, yang menceritakan keberanian rakyat Kerajaan Badung dalam menghadapi penjajah.

Dibalik cerita perang dengan peristiwa puputan (perang sampai titik darah penghabisan) melawan penjajah Belanda, terdapat kisah asmara segitiga yang melibatkan seorang putri raja dan 2 pangeran di lingkungan Puri Pemecutan dan Puri Denpasar waktu itu.

Tulisan kisah nyata ini merupakan hasil karya seniman yang juga keluarga Puri Pemecutan, Ngurah Gede Pemecutan.

Diceritakan kisah tantang kemakmuran Kerajaan Badung (Bandana Negara) jauh sebelum perang Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.

Suasana dan keberadaan Kerajaan Badung yang gemah ripah loh jinawi, tertib, aman dan tentram,rakyatnya makmur berkecukupan, sehingga kehidupan rakyat dan seni budaya itu, tumbuh dengan subur serta berkembang sangat baik.

Dalam keadaan demikian, Raja Badung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, berpikir-pikir tentang keadaan dan kondisi dirinya sendiri, yang secara fisik sudah lingsir (tua) dan sakit-sakitan.

Teringat Beliau tidak mempunyai putra laki-laki, yang akan menggantikan tahta Kerajaan, sesudah Beliau akan pergi untuk selamanya. Hanya anak putri yang sudah dewasa Beliau miliki, sebagai ahli waris satu-satunya.

Dalam kesedihan yang menyelimuti pikiran, tiba-tiba Beliau teringat akan salah satu dari dua orang putra yang kemungkinan akan dapat diharapkan sebagai pengganti dirinya, dan mendampingi sang putri, Anak Agung Ayu Oka, sebagai Raja Badung di kemudian hari.

Salah satu adalah dari Puri Pemecutan Kanginan I Gusti Ngurah Ketut Bima, seorang pemuda tampan, mempunyai perawakan tinggi besar, hitam manis serta rupawan, berwatak tegas dan pemberani, benar-benar perwujudan seorang ksatriya sejati sesuai dengan nama beliau Sang Bima dalam kisah pewayangan ceritera Maha Barata.

Yang lainnya adalah I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar dari Puri Denpasar, Beliau juga seorang pria berwajah tampan, cerdas dan berwibawa, sebagai seorang sastrawan muda yang berbakat, pradnyan dan sangat bijaksana.

Dikisahkan sang Putri A.A. Ayu Oka mempunyai kecantikan yang sangat mempesona, wajah ayu, kulit putih mulus, badan tinggi semampai dengan rambut panjang mengurai, benar-benar sangat mengagumkan.

Kadang-kadang apabila beliau bercengkrama atau bermain-main dengan dayang-dayang pengasuhnya, ataupun menonton bersama dalam pertunjukan kesenian yang sering diadakan di Puri, akan kelihatan sekali sangat menonjol kecantikannya dan sangat berbeda dengan penonton lainnya.

Banyaklah mereka yang tertegun, bukannya memperhatikan pertunjukan, tapi terbengong-bengong dengan kecantikan sang Ayu.

Dalam mempertimbangkan pilihan sangat sulit memutuskan, mengingat kedua putra itu memang sepantasnya, sama-sama boleh menggantikan posisi dan kedudukan beliau sebagai Raja Badung, dan bertahta di Puri Agung Pemecutan.

Dalam mepertimbangkan dan memperhatikan keberadaan kedua pemuda ini, atas dasar kemampuan, kecerdasan serta kebijaksanaan masing-masing, maka pilihan terakhir terpusat kepada I Gusti Ngurah Made Agung dari Puri Denpasar.

Maka ditugaskanlah seorang utusan untuk menghadap ke Puri Denpasar, memohon agar I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, menghadap kepada Raja di Puri Agung Pemecutan.

Dikisahkan pada hari yang sudah ditentukan, Raja Pemecutan bersama para bahudanda Kerajaan sudah menanti-nantikan kedatangan Raja Denpasar, di halaman Balairung Puri Agung Pemecutan.

Demikianlah kedatangan beliau disambut dengan ramah tamah, dan sesudah saling sapa, dipersilakan duduk mengambil tempat yang telah ditentukan, dan pembicaraan segera dimulai.

Tentulah didahului oleh I Gusti Nguah Made Agung Denpasar, yang menanyakan tentang maksud beliau (Raja Pemecutan) memanggilnya agar datang menghadap.

Raja Badung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan menceriterakan maksud panggilan beliau, adalah menceriterakan tentang keadaan dan kondisi kesehatannya yang sudah tidak mungkin akan dapat aktif lagi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan Kerajaan, karena umur sudah lingsir (tua) dan sakit-sakitan.

Beliau meminta kepada I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar agar melaksanakan dan menjalankan pemerintahan sehari-hari kerajaan Badung, dan meminta agar Ngurah Denpasar bersedia dijodohkan atau dikawinkan dengan Anak Agung Ayu Oka putri beliau, mendampingi sebagai permaisuri menjadi Raja Badung, sesudah beliau wafat, dan bertahta di Puri Agung Pemecutan.

Beliau bersabda :

"Anaknda Ngurah Denpasar, mengingat keadaan kesehatan ramanda yang sakit-sakitan, dan karena umur sudah tua, tidak akan dapat lagi menjalankan pemerintahan dengan baik. Harapan saya, anakndalah yang pantas menggantikan ramanda menjadi Raja Badung, apabila nanti saya sudah tidak ada. Ingatlah bahwa kita, Pemecutan, Denpasar dan Kesiman adalah satu keluarga."

"Apabila tidak ada Pemecutan, maka tidak mungkin ada Denpasar dan Kesiman. Satu lagi harapan saya, hendaknya ngurah bersedia menerima adikmu A.A. Ayu Oka mendampingi sebagai suaminya, bertahta di Puri Agung Pemecutan, karena diapun ibunya dari Denpasar. Terima dan penuhilah harapanku ini."

Mendengar sabda raja demikian, maka I Gusti Ngurah Made Agung dari Puri Denpasar, tidak dapat menolaknya, dan berkata:

"Ampun ramanda, apapun perintah dan harapan ramanda sebagai raja, guru wisesa, yang sudah dianggap sebagai guru rupaka, dan anaknda taat kepada ajaran putra sesana, tidak mungkin akan berani menolak dan akan sanggup menerima dan memenuhi semua harapan Ramanda."

Setelah mendengarkan jawaban yang menerima permintaan dan memenuhi harapnnya, maka Raja lalu memanggil juga putri beliau untuk menghadap di ruang pertemuan.

Selesai menyampaikan hormat dan sembah sungkem kehadapan ayahanda Raja, dan kepada para tamu, lalu dipersilakan menuju tempat duduk, dan dimulailah pembicaraan.

A.A.Ayu Oka dengan hormat menanyakan maksud dari pada panggilan ayahnya untuk menghadap beliau. Rajapun kembali menceriterakan keadaan beliau yang sudah renta dan tidak mungkin melaksanakan pemerintahan dengan baik, maka diminta kepada I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar dari Puri Denpasar untuk melaksanakan pemerintahan harian Kerajaan Badung dan juga memohon kepadanya untuk bersedia dijodohkan dengan anaknya A.A. Ayu Oka, yang akan mendampingi sebagai suami menjadi Raja Badung, bertahta di Puri Agung Pemecutan.

Oleh karena sudah mendapat persetujuan dari I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, maka Rajapun meminta agar anaknya A.A. Ayu Oka berkenan pula menerima dan tidak menolak maksud dan harapan ayahanda Raja.

Mendengar titah Raja demikian, A.A. Ayu Oka menunduk, tidak berani menolak keinginan ayahnya, dan menyatakan kesediaannya, yang membuat Raja sangat bersenang hati. Pertemuanpun berhasil dengan hasil dan maksud yang diharapkan.

Setelah mendengar jawaban dari I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar dan anaknya A.A. Ayu Oka yang dapat menerima dan memenuhi harapnnya, beliaupun bersabda lagi :

"Ngurah Made Agung dan anakku A.A. Ayu Oka, ayahnda sangat senang mendengar dan menerima jawaban anaknda berdua, yang berarti anaknda telah mendalami dengan baik, ajaran putra sesana dalam agama kita, oleh karenanya saya ingin berpesan pula kepada anaknda berdua mengenai ajaran dan pegangan yang dapat dan harus anaknda laksanakan dalam mengendalikan pemerintahan sebagai raja, adalah uger-uger “Panca Piagem” yaitu" :

1. Kesusilaan

Selau berbuat yang baik, tidak bertentangan dengan perbuatan yang diharapkan oleh agama (Hindu).

2. Pageh ring kraton utawi rajaniti

Senantiasa kuat mempertahankan dan menjaga keutuhan Negara.

3. Satya Wacana

Taat selalu melaksanakan apa yang telah diputuskan dan yang telah disepakati bersama.

4. Ngepahhayu Semeton Muang Jagat

Mewajibkan pemerintah untuk berusaha membahagiaakan rakyatnya.

5. Bakti ring Sanghyang Widhi Wasa

Selalu taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melaksanakan ajaran agama sesuai dengan ajaran kitab suci (Agama Hindu).

Demikianlah pesan-pesan yang beliau sampaikan.

Sesuai dengan hasil pertemuan di Puri Agung Pemecutan, maka sejak waktu itu, jalannya pemerintahan harian Kerajaan Badung lebih banyak dilaksanakan oleh I Gusti Ngurah Made Agung dari Puri Denpasar, dengan senantiasa berhubungan dengan I Gusti Ngurah Agung Pemecutan sebagai Raja lingsir dan sebagai calon mertua.

Di kemudian hari sering-seringlah I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar berkunjung ke Puri Agung Pemecutan, selain berhubungan dengan soal pelaksanakan pemerintahan, juga bertandang untuk mempererat hubungan tali kasih dengan A.A. Ayu Oka sebagai calon istri tercinta.

Semenjak pertemuan di Puri dengan Ayahanda dan dengan I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar,yang hasilnya tidak dapat dtolak atau tidak berani menolaknya, maka A.A. Ayu oka selalu murung termenggu kesedihan dan terkadang tak tahan membendung linangan air mata, yang menetes membasahi pipinya.

Sungguh suatu malapetaka, yang menimpa perasaan, pkiran, menghancurkan harapan kebahagiaan hidup yang diangan-angankan.

Cinta yang telah dirangkai, kasih sayang yang sejak dahulu dibangun, menjadi berantakan, hancur berkeping, hanya oleh sepatah kata yang diucapkan, karena tiada keberaniaan untuk menolaknya.

Kesedihan sang Putri diketahui oleh dayang Ni Luh Jepun pengasuhnya, yang selalu setia melayani dan memperhatikannya.

Dengan melihat keadaan ini, diapun juga merasa sedih, dan menanyakan sebab kemurungan dan kesedihan yng dialami oleh tuan putrinya, sekiranya dia akan dapat membantu meringankannya.

A.A. Ayu Oka kemudian menceritakan kepada pengasuhnya, dan bertanya tentang kemungkinan apa kiranya yang dapat diperbuat, dilakukan, dengan mulutnya telah berkata dan menerima Putra Denpasar, sebagi calon suami yang akan mendampingi hidupnya.

Sedangkan sebagai pilihan kata hati, cinta sejati, cinta pertama, telah lama terjalin, tumbuh bersemi sejak dini, tanpa sepengetahuan ayahanda.

Apa yang harus dikatakan, apa pula dilakukan dan bagaimana janji cinta yang pernah diucapkan.

Demikian pengakuan A.A.Ayu Oka, berkata terbata-bata, dengan isak tangis yang tak tertahankan kepada dayangnya, yang kemudian menyarankan, supaya berterus terang kepada kekasihnya yang kemungkinan beliau dapat menerima dan memakluminya.

Dengan perantara Ni Luh Jepun pengasuhnya, disampaikan kepada I Gusti Ngurah Ketut Bima, bahwa A.A. Ayu Oka Ingin bertemu di suatu tempat, pertamanan di Puri Agung pemecutan, tempat dimana mereka sering berjumpa.

Pada suatu saat yang telah ditetapkan, secara rahasia, mereka berdua bertemu di bawah pohon kamboja, di tepi kolam Pura keluarga Pemerajan Agung Pemecutan. Pertemuan kedua mahkluk manusia, sepasang remaja yang sedang dimabuk asmara, dirundung kabut duka.

Demikian Ngurah Ketut Bima datang, langsung A.A.Ayu Oka menyongsong dan bersimpuh d ihadapannya sambil menangis terisak, tanpa kata, tanpa bicara, hanya tangis yang tak tertahankan mengisi kesunyian taman yang memang sepi.

Menjumpai keadaan yang demikian ini, Ngurah Ketut Bima sudah dapat memaklumi, karena sebelumnya beliau sudah mendengar apa sebenarnya yang telah terjadi.

Telah didengar keputusan pertemuan di Puri Agung Pemecutan antara Raja dengan Puri Denpasar.

Beliau (I Gusti Ngurah Ketut Bima) dapat merasakan apa yang dirasakan oleh kekasih yang bersedih karena merasa terjepit antara dua pilihan, I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar sebagai pilihan Raja yang tidak dapat ditolak karena takut kepada ayahanda, dan dirinya (I Gusti Ngurah Ketut Bima) sebagai pilihan hatinya.

Menerima kenyataan ini I Gusti Ngurah Ketut Bima menjadi sangat marah, sambil menahan emosi dan perasaan yang menggelora, lalu bicara perlahan, mempertegas janji kasih yang pernah mereka ucapkan berdua.

Keduanya berjanji untuk hidup bersama, sehidup semati, dan kini diulangi kembali, dengan masing-masing menyatakan, bahwa apapun yang terjadi mereka tetap saling mencintai hidup berdua sampai akhir hayat nanti.

Demikian I Gusti Ngurah Ketut Bimat tidak dapat melupakan kekasihnya, dan sebaliknya A.A. Ayu Oka selalu bingung, disatu sisi tak dapat melupakan cintanya, dan disisi lain rasa takut serta hormatanya kepada ayahanda Raja Badung, dan hanya dapat berserah kehadapan Tuhan, yang akan menentukan jodoh seseorang.

Dengan memendam perasaan yang sangat geram, marah, jengkel, dan cemburu yang bercampur aduk, Ngurah Bima meninggalkan kekasihnya di taman sari yang masih dalam kesedihan, namun sudah mempunyai ketetapan hati, karena pacarnya dapat menerima dan mengerti akan posisinya serta berjanji tetap mencintainya.

Dalam kegalauan pikiran dan rasa hormat kepada Raja, secara diam-diam Ngurah Bima mencari jalan untuk mempertahankan kekasihnya agar tetap menjadi miliknya.

Mulailah beliau mendekati kawan-kawan sebaya dan rekan-rekan yang mau mendukung, layaknya menyusun kekuatan, akan berjuang dengan kekerasan, apabila terpaksa menempuh jalan ini guna mempertahankan dan merebut kekasih yang tercinta.

Di lain pihak I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, sebelumnya mengetahui, bahwa A.A. Ayu Oka sudah mempunyai pacar I Gusti Ngurah Ketut Bima dari Puri Kanginan Pemecutan.

Meskipun demikian, beliau merasa lebih mendapat kesempatan dan peluang yang lebih besar dan leluasa, karena mendapat restu dan atas kehendak Raja, untuk dijodohkan dan akan mendampingi Putrinya menggantikan kedudukan Raja Badung di Puri Agung Pemecutan.

I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar semakin sering berkunjung ke Puri Agung Pemecutan disamping urusan Pemerintahan, juga lebih mendekatkan diri dengan kekasihnya dalam kaitan tali kasih antara dua remaja yang akan dijodohkan.

Sebagai Sastrawan dan pengarang yang sangat berbobot, pada saat berkasih-kasihan ini, beliau sempat menggubah sebuah lagu yang ditujukan kepada Sang Ayu kekasihnya, yang sampai sekarang lagu tersebut sangat popular di masyarakat Bali dengan judul “Ratu Anom”, dengan lirik:

"Ratu Anom metangi me-len-ilen, Dong pirengang munyin sulinge di jaba, Nyen ento menyuling di jaba tengah, Gusti Ngurah Alit Jambe Pemecutan."

Nama lain atau sebutan lain dari I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar juga I Gusti Ngurah Alit Jambe Pemecutan.

Mendengar dan melihat kenyataan yang demikian ini, Ngurah Bima semakin tumbuh rasa cemburu, dan perasaan tak senang, terhadap I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, meskipun seharian-harian beliau berdua kelihatan bersahabat sangat akrab, dan tidak kelihatan dalam hati masing-masing memendam rasa cemburu yang mendalam.

Merasakan mendapat saingan yang cukup tangguh, maka Ngurah Agung Denpasar, juga mendekati kawan-kawan dan anak buahnya, untuk mendukung dan menjaga serta menyelamatkan keberhasilan rencana, sesuai dengan harapan Raja.

Demikian kedua belah pihak saling menghimpun kekuatan, yang mungkin saja pada suatu saat akan mendapat saja pecah menjadi perselisihan dan pertarungan terbuka, akibat memperebutkan seorang putri memperjuangkan dan mempertahankan cinta kasih masing-masing.

A.A. Ayu Oka memelihara kedua hubungan ini. Ia menghadapi kedua pemuda tersebut dengan sangat bijak, sehingga tidak terlihat adanya perubahan sikap dan baktinya terhadap orang tuanya, Baginda Raja.

Terjadi persaingan antara remaja putra Denpasar dengan teruna Pemecutan, masing-masing menghimpun dukungan dan kekuatan di masyarakat pendukungnya, untuk memperebutkan seorang putri jelita dan mempertahankan kedudukan sebagai calon Raja Badung, yang telah ditugaskan menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Dengan semakin memuncaknya persaingan antara dua remaja ini, dalam menyusun kekuatan masing-masing, maka terjadilah, kilas balik masalah, yang harus dihadapi bersama-sama, sebagai Kerajaan yang berdaulat, dan disegani seluruh Bali.

Kerajaan Badung sejak tahun 1813 diperintah bersama-sama oleh tiga pusat pemerintahan yaitu pucuk pimpinan Puri Pemecutan, Puri Denpasar, Puri Kesiman, yang ketiganya sangat kompak dan benar-benar bersatu, sebagai satu saudara dalam Pemerintahan Kerajaan Badung.

Pada tanggal 27 Mei 1904 timbul masalah dengan terdampar dan kandasnya Kapal Sri Kumala di Pantai Sanur, dan Pemerintahan Belanda menuntut ganti rugi,atas kerugian kapal itu sebanyak 3000 ringit agar dibayar oleh Raja Badung.

Laporan pertama diterima oleh I Gusti Ngurah Gede Kesiman, karena beliaulah Maha Patih dan Pemerintahan Badung yang banyak berhubungan dengan dunia luar. Berita ini kemudian dilaporkan kepada I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar sebagai pemegang pemerintahan harian, dan dilanjutkan kepada I Gusti Ngurah Agung Pemecutan sebagai Raja Lingsir, penglingsir karena sudah lingsir (sepuh) dan sudah sakit-sakitan.

Terjadi pertemuan di Puri Agung Pemecutan antara ketiga penguasa yang mengambil keputusan bulat, tidak mau membayar ganti rugi tersebut, dan siap menanggung segala resiko serta akibatnya. Dengan pertimbangan harga diri, kebenaran dan kejujuran serta kedaulatan Kerajaan Badung.

Dengan keputusan beliau bertiga, seperti sudah mendapat firasat perang, Raja lingsir Pemecutan sempat mengingatkan kepada ajaran-ajaran kepahlawanan dan berpegang teguh kepada motto : “Teguh Gumelenging wara satrya” (Teguh dalam pemutusan fikiran kepada dharma suci sebagai ksatrya). Beliau sempat menyitir beberapa ayat-ayat suci dari Buku Baghawad Gita sebagai berikut :

a. Dengan mempersamakan suka dan duka, untung dan rugi menang dan kalah, siapkanlah dirimu untuk menghadapi perang itu, engkaulah terhindar dari dosa (perasaan bersalah).( B.G.II-38 )

b. Ahirnya bila engkau tidak berperang, sebagai mana kewajiban dan kehormatan, maka penderitaanlah yang engkau peroleh. ( B.G.II-33 )

c. Dengan kematian itu engkau memperoleh surga, atau kalau menang, engkau menikmati kebahagiaan dunia oleh karena itu bangkitlah Arjuna bulatkan tekad untuk berperang.( B.G.37 )

Marilah kita bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan datang. Demikianlah kebulatan tekad beliau bertiga akan menghadapi Belanda dan mempertahankan kedaulatan Kerajaan Badung.

Demikianlah ultimatum Belanda pada tanggal 13 September 1906 ditolak dan pecahlah perang. Perang Puputan Badung tidak mungkin akan terjadi tanpa persetujuan keputusan bersama dan tanpa tekad dari ketiga Raja yaitu Raja Pemecutan, Raja Denpasar, Raja Kesiman.

Pelangi cinta ketiga remaja, yang sedang diliput kabut asmara, menemui titik baliknya. Semua kekuatan yang disusun dan dibangun masin-masing untuk bersaing dalam cinta, akhirnya tumpah dan lembur menjadi satu aliran, dengan semangat menggelora menghadapi perlawanan dari luar, yakni penjajah Belanda.

Diceritakan perang Puputan Badung 20 September 1906, sejak fajar pagi menyingsing di kaki langit Pantai Sanur, desa-desa Kesiman, Denpasar, Pemecutan sudah dihujani peluru-peluru meriam Belanda, yang menghancurkan dan membakar semua yang dikenai. Desa-desa, Puri-puri membara dan menyala-nyala, kabut asap memenuhi udara, suara meriam meggelegar, bumi sepertinya mau kiamat.

Penyerangan Belanda sudah dimulai dengan menyerang Puri Kesiman pada tanggal 19 September 1906. Perlawanan rakyat Badung di Kesiman menunjukkan keberanian luar biasa dan Pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari prajurit-prajurit Bali hanya senjata keris dan tombak.

Puri Kesiman dapat diduduki dalam keadaan kosong karena Raja I Gusti Ngurah Gede Kesiman sudah meninggal tanggal 18 September 1906 karena terbunuh oleh seorang penghianat, yang tidak setuju dengan kebijaksanaan beliau berperang melawan Belanda.

Setelah mendengar Puri Kesiman telah diduduki, maka Raja Denpasar I Gusti Ngrah Made Agung bersabda kepada semua kerabat yang berkumpul, bahwa besok tanggal 20 September 1906 akan berperang habis-habisan melawan Belanda, dan beliau tidak memaksa kepada semua kerabat dan rakyat untuk turut serta. Akan tetapi semua yang mendengar dengan serentak menyatakan akan turut serta membela Raja dan mempertahankan kedaulatan kerajaan Badung.

Pada tanggal 20 September 1906, dari Kesiman Belanda mulai menyerang Puri Denpasar dari arah utara. Pasukan Badung langsung dibawah Pimpinan Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Agung, beserta pesemeton, tokoh-tokoh semua Puri-puri di Denpasar, Puri Belaluan, Puri Dangin, Puri Jero Kuta, Puri Anyar, Puri Jambe, Puri Oka, dan lain-lain, para pendeta dan rakyat, semua kerabat puri lainnya. Para Wanita dan anak-anak yang digendong, dengan bersenjata keris dan tombak mereka menyongsong musuh di daerah Taensiat.

Pertempuran sengit dan korban berjatuhan di kedua belah pihak. Raja terus-menerus memberi komando dan membakar semangat pasukannya, mengamuk bagai singa kelaparan, namun akhirnya beliaupun tidak dapat menghindar dan wafat setelah terkena tembakan berkali-kali. Rakyat dan kerabat puri lainnya terus mengadakan perlawanan.

Belanda melakukan penembakan dengan membabi buta ke arah pasukan Badung, para wanita dan anak-anak yang hanya bersenjata keris dan tombak, menimbulkan korban yang sangat memilukan dan menyedihkan. Karena persenjataan yang tidak seimbang amat banyak yang gugur sebagai pahlawan perang.

Denpasar diduduki oleh Belanda pada pukul 11.30. Dengan wafatnya I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, belum berarti bahwa negara Badung sudah jatuh dan kalah menjadi kekuasaan Belanda.

Pertempuran yang sebenarnya barulah dimulai, dan perlawanan yang terjadi baru merupakan awal dari perang Puputan Badung. Kerajaan Badung masih tetap merdeka dan berdaulat di bawah kekuasaan Raja Pemecutan I Gusti Ngurah Agung Pemecutan.

Pasukan Belanda pun menyadari dan mengakui keadaan ini, sehingga berpendapat bahwa untuk menguasai Kerajaan Badung mereka harus melanjutkan pertempuran menyerang Raja dan menduduki Puri Pemecutan.

Siang hari pada hari itu juga, penyerbuan tentara Belanda dilanjutkan ke Pemecutan. Setibanya di desa Suci ( 500 m dari Puri ), mereka bersiap- siap dan mulai menembakkan meriam dan bedil dengan suara yang menggetarkan, dengan harapan, supaya pejuang-pejuang Pemecutan mau menyerah.

Namun sebaliknyan mereka makin timbul keberanian, bagaikan lembu keratin menyerbu dan menyerang pasukan Belanda. Dengan sorak dan jeritan histeris, bagaikan laron yang merubung api lampu, mereka gugur satu persatu sebagai pahlawan perang.

Setelah Raja Pemecutan mendengar bahwa Kesiman dan Denpasar kalah diduduki, serta pasukan Belanda sudah dekat di sebelah timur Puri, Beliau lalu memanggil Putrinya Anak Agung Ayu Oka dan bersabda :

“Wahai anakku, buah hatiku, satu-satunya yang sangat ku sayangi dan kukasihi, kini tiba saatnya yang terakhir ayah dapat melihat anakku, menatap wajahmu. Sudahlah wajar bila diandaikan bunga, setelah mekar, maka layu akan mengikutinya dan akhirnya jatuh berguguran. Anakku, kamu akan ku tinggalkan mati, membela kebenaran, membela Negara.”

Mendengar kata-kata ayahanda demikian, sang putri Puri Pemecutan tak kuasa berkata, tak dapat bicara, air mata mengalir karena kesedihan. Sambil menangis putri berkata:

“Ampun Ayahanda, janganlah berkata demikian, jangn merasa kecewa, karena kita semua yang hidup ini telah ditentukan, lahir, muda terakhir dengan ketuaan akan tiba, dan akhirnya kematian juga yang akan menyudahi, Ananda memohon kehadapan ayahanda Raja, hendak dipertahankan turut berpuputan. Di sini dilahirkan, di sini hamba mendapat kebahagiaan, di sini pulalah harus mati bersama Ayahanda.

Raja Pemecutan kembali bersabda: “ Aduhai, anakku mudah-mudahan di kemudian hari, kita dapat menjelma kembali bersama-sama, menikmati kebahagiaan, suka dan duka di dunia ini.

"Marilah kita bersiap siap ke Medan Peperangan”.

Semua yang mendengar pembicaraan itu bangkit serentak, dengan kemauan sendiri, hendak ikut ngiring ( turut serta ) berdasarkan kesucian hati, berpuputan bersama.

Seluruh keluarga Puri keluar ke medan pertempuran, termasuk para wanita dan anak-anak, serta bayi-bayi juga digendong oleh para ibu, pengasuhnya, sedangkan Raja yang sudah tua dan sakit-sakitan, ditandu saat memimpin peperangan.

Seluruhan Laskar Pemecutan dipimpin oleh empat putra perkasa dari puri kanginan Pemecutan bersama Raja I Gusti Ngurah Made dan I Gusti Ngurah Putu berjuang bagaikan sedang mabuk, menyerang ke sana kemari, menantang musuh, menyeberangi kali Badung, menuju daerah Suci sebelah timur Pemecutan. Beliau juga sempat memerintahkan I Meruh Dari Desa Campuan Peguyangan dan I Pateh dari Banjar Busungyeh, untuk membakar ( bumi hangus ) Puri, apabila beliau-beliau Raja sudah meninggal, sehingga tidak dapat diduduki dan ditempati oleh serdadu Belanda.

Diperintahkan juga kepada rakyatnya yang lain, agar membunuh ( ngeludin ) mereka yang mengerang kesakitan, jika terkena peluru Belanda, agar dia dapat meninggal dengan tenang.

Demikianlah Ngurah Made dengan membabi buta, menyerang pasukan Belanda, hanya dengan sebilah keris, dengan keberanian luar biasa dan akhirnya gugur oleh berondongan senjata api musuh.

Diceritakan pula pahlawan Gusti Ngurah Rai yang bagaikan singa kelaparan, berlari dan menerkam serta menghujamkan keris ke dada musuh, bergulat dan di keroyok serta ditembaki oleh tentara Belanda. Tak terhitung rakyat yang telah gugur, demikian pula di pihak Belanda.

I Gusti Ngurah Ketut Bima, menghadang dan menyongsong musuh, dengan menyisir tembok rumah-rumah penduduk, di sebelah utara jalan, ke arah timur, menyeberangi sungai Badung dan kemudian siap di atas tembok rumah I Gambang ( di sebelah utara Pura Suci ), menanti pasukan berkuda dari perwira-perwira Belanda yang melintas.

Begitu mendekat, dengan sigap Ngurah Bima meloncati tembok, melompati kuda, sambil langsung mencekik dan menikam musuh di atas kuda, namun beliau tertembak oleh pasukan musuh yang lain, sehingga gugur bersama Letnan Pieters yang dibunuhnya. Beberapa perwira Belanda juga sempat di bunuh pada waktu itu.

Sementara itu, Raja Badung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, meskipun sudah tua dan sakit, dengan semangat penuh memberi komanda kepada rakyat pengiringnya. Dengan sorak sorai, jeritan histeris, mereka maju tak gentar, menantang musuh dengan hanya bersenjata keris dan tombak, dengan semangat dan keberanian luar biasa.

Kaum wanita, tua dan muda, dewasa maupun anak-anak serta bayi-bayipun turut digendong oleh para ibu, ataupun pengasuhnya, turut ke medan peperangan mengikuti Raja berpuputan. Seluruh kerabat Puri, para istri-istri Raja anak-anak maupun bayi dibawa serta.

Demikian mereka berduyun-duyun sambil bersorak menyongsong musuh, bagaikan lebah merubung nyala lampu, kemudian terbakar satu-persatu.

Demikianlah mereka gugur berserakan ditembus peluru Belanda. Rajapun tidak dapat menghindar, tertembak jatuh, setelah pengusung tandunya meninggal terkena peluru.

Raja dengan tenaga yang tersisa, sambil tertatih-tatih masih sempat mengadakan perlawanan dan akhirnya terjatuh dan wafat.

Setelah wafatnya Raja, para pengiringnya semakin berani menantang musuh, agar dibunuh oleh Belanda, atau mereka saling menikam diri sendiri, atau orang-orang di dekatnya, sanak saudara, anak-anak atau istri, agar tidak ada seorangpun yang tertinggal dijadikan tahanan budak Belanda, mereka semuanya ikut 'ngiring' (ikut) berpuputan.

Jeritan mereka yang kesakitan kena peluru, minta tolong supaya dibunuh, sangat memilukan hati Anak Agung Ayu Oka juga turut serta ke medan pertempuran, mengikuti ayahanda, dan seluruhnya keluarga Puri beserta kekasihnya I Gusti Nguah Ketut Bima yang memimpin Laskar Pemecutan.

Demikian sengit dan hebatnya pertempuran di daerah Suci dan Pemecutan, suara meriam tiada hentinya. Puri terbakar peluru, dengan api yang berkobar-kobar dan asap memenuhi angkasa. Suara kentongan “ Kerik Tingkih “(kentongan puri masih ada di jalan Thamrin Denpasar ) bulus bertalu-talu,tiada henti-hentinya disertai suara dan gonggongan anjing yang meraung-raung sepanjang hari, benar-benar sangat mengerikan.

Dalam kondisi seperti ini, Anak Angung Ayu Oka menyadari, bahwa Ayahandanya telah gugur, kekasih beliau Raja Denpasar sudah pulang mendahului, kini Ngurah Bima pun sebagai Pahlawan perang. Semua kerabat puri sudah meninggal, tidak adalagi yang ditunggu, kemudian dengan perasaan pilu dan sedih, menagis, pasrah lascarya, menyusul beliau-beliau itu dengan 'mesatnya' bunuh diri dengan sebilah keris, sebagai bakti kepada ayahanda,hormat kepada Raja, setia kepada kedua kekasih yang dicinta, setia kepada Negara dan rakyat, pantang menyerah kepada Belanda.

Putri Puri pemecutan gugur di atas tumpukan jenazah ayahanda dan rakyat lainya.

Kabut cinta, pelangi asmara, berakhir dengan diselimuti awan perang, ditutupi asap mesiu, dan diiringi dentuman suara meriam yang menggelegar.

Kisah asmara remaja ini, bersudahan saat rahina sandikala atau senja hari, ketika sang surya mulai terbenam. Memang tragis dan memilukan.

Demikian dua orang pemuda, ksatrya utama, dan seorang putri yang setia, bersama-sama gugur dalam peperangan, sebagai pahlawan, kusuma bangsa, melawan penjajah, dengan mengobankan cintanya masing-masing demi mempertahankan harga diri, kebenaran dan kedelautan Negara dan bangsa.

Dengan wafatnya Raja Badung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, berahirlah peperangan dengan arti kata “puput” berarti selesai dan “puputan” bermakna habis-habisan sehingga boleh diartikan bahwa “Perang Puputan Badung” itu berakhir di Desa Pemecutan.

Dengan kekalahan itu barulah Belanda dapat dikatakan menguasai seluruh Kerajaan Badung.

Suara Meriam mulai meredam dan berakhir, berakhirlah pula perang Puputan Badung, pada saat hari sandikala tanggal 20 September 1906.

Demikianlah sandikalaning jagat Badung, bandana pralaya, hancur dan kalahnya Kerajaan Badung.

Sementara itu desa-desa dan Puri-puri masih terbakar, api masih berkobar, asap memenuhi angkasa, langit dan awan berwarna merah merata, menandakan sang surya telah sudah turun ke barat, matahari mulai terbenam.

Sebagai kilas tambahan informasi diceritakan oleh Jero Tunjung atau Jero Wayan (kepada penulis) sebagai seorang janda almarhum Gusti Ngurah Rai, yang turut serta ke medan perang menggendong anak bayinya pada saat itu.

Karena kasihan kepada si kecil, bersembunyi di pangkal akar-akar pohon beringin besar, di luar puri. Setelah peperangan berakhir, anaknya dilarikan ke desa asalnya, di desa Munggu, dan untuk beberapa lama dipelihara disana.

Anak I Gusti Ngurah Rai yang lain, dari lain Ibu, digendong oleh pengasuhnya, turut mengikuti Raja, ke medan laga dan pengasuhnya tertembak dan meninggal, dan si kecil jatuh di tumpumukan jenazah lainya.

Setelah perang berakhir, seorang Brahmana dari Gria Bindu Denpasar Ida Putu Grodog mencari-cari jenazah yang dikenali, tiba-tiba melihat dan mendengar bayi menangis tersedu-sedu diantara mayat keluarga puri yang bergelimpangan lalu memungutnya, diselamatkan dibawa ke Gria Bindu dan beberapa lama dipelihara disana.

Kedua bayi laki-laki tersebut adalah Anak dari I Gusti Ngurah Rai, dari dua istri umur 4 dan 2 tahun. Sedangkan I Gusti Ngurah Made meninggalkan seorang Putri terselamatkan berumur sekitar 3 tahun. Ketiga anak kecil ini setelah situasi aman sempat dipelihara di Munggu, Gria Bindu, Jero Gerenceng dan Jero Batan Moening.

Setelah anak-anak ini menjelang dewasa, di bangunkan Puri Kangin Pemecutan yang sebelumnya hancur total dalam perang Puputan Badung.

Setelah anak-anak ini dewasa ketiganya diangkat sebagai kepala keluarga besar Pemecutan. Yang paling kecil (beribu dari Jero Gerenceng), setelah upacara “Mebiseka Ratu” diberi Gelar Ida Cokorda Pemecutan X.

Yang beribu dari Munggu (Jero Tunjung) diberi Gelar Anak Agung Gede Lanang Pemecutan, sedangkan Putri dikawinkan dengan Cokorda Pemecutan X tetapi tidak berputra, beliaulah berdua melanjutkan keturunan dinasti Puri Pemecutan sekarang.

Puri Kanginan setelah ditempati oleh anak-anak bertiga, disebut dengan nama Jero Gede Pemecutan, dan setelah beliau dinobatkan dengan upacara “Mabiseka Ratu” dengan Gelar Cokorda Ngurah Gede Pemecutan, maka Jero Gede Pemecutan Kembali disebut “ Puri Agung Pemecutan “.

Semua serdadu dan perwira-perwira Belanda yang meninggal dalam Perang Puputan Badung dikuburkan di kuburan Belanda di jalan Diponogoro Denpasar, kemudian dipindah di Desa Mumbul, Nusa Dua, termasuk kuburan Pieter yang dibunuh oleh I Gusti Ngurah Ketut Bima.

Perang Puputan Badung tanggal 20 September 1906 adalah wujud nyata dari pada kekompakan rakyat Badung di bawah pimpinan tiga orang rajanya yang juga kompak bersatu dalam menghadapi pasukan Belanda dari bumi Badung.

Ketiga Raja itu yaitu Raja Pemecutan I Gusti Ngurah Agung Pemecutan (nama beliau yang lain I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, Kiyayi Anglurah Pemecutan IX). Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Agung dan Raja Kesiman I Gusti Ngurah Gede Kesiman.

Beliau juga mendapat sebutan Gusti Gede Ngurah Pemecutan, Gusti Gede Ngurah Denpasar dan Gusti Gede Ngurah Kesiman, juga dengan gelar Cokorda Pemecutan, Cokorda Denpasar dan setelah beliau meninggal, keduanya disebut dengan Cokorda Mantuk Ring Rana (meninggal dalam peperangan). sumber Berita Bali
posted by I Made Artawan @ 05.32   0 comments
Upacara Nangunan Sanghyang Jaran di Merajan Br. Bun Denpasar
Jumat, 18 September 2009
KRAMA Banjar Bun, Kelurahan Dangin Puri , Denpasar Timur akan menggelar karya Penangunan Ratu Pragina (Sanghyang Jaran) serta piodalan di Mrajan Pura Banjar Bun, Sabtu 19 September 2009 mendatang. Dudonan karya mulai dari melaspas pelawatan Sanghyang Jaran, melasti ke segara serta melakukan prosesi mapasupati di Geriya Beluang, Sanur. Sedangkan pada malam harinya akan dilakukan puncak piodalan dan menjaya-jaya.

Prajuru Adat Banjar Bun I Wayan Gede Putru sata mesimakrama ke Gedung Pers Bali K. Nadha, Rabu (16/9) mengatakan, karya ini didasari pemuwus Ida Bhatara Ratu Pragina dan sudah disetujui oleh 191 KK krama adat Banjar Bun ’’ Ia menjelaskan Sanghyang Jaran merupakan salah satu tarian sakral yang dapat disejajarkan dengan tarian Barong Landung, Barong Keket, Barong Bangkung daan lainnya. Tarian ini tak bisa dipentaskan sembarangan. Umumnya dipentaskan bila ada musibah atau gumi grubug,’’ ujarnya. Menurutnya, sejarah Sanghyang Jaran di Banjar Bun,bermula dari sekelompok anak-anak yang ingin menikmati hiburan yang sifatnya rohani pada jaman Belanda. Atas bantuan leluhur Wayan Selonog (alm) dan astiti baktinya terhadap Sang Hyang Widhi maka terciptalah Sanghyang Jaran di Banjar Bun. Untuk keberadaan Sanghayang jaran ini di Banjar Bun, konon Mangku Slonog (alm) memohon kepada Ida Hyang Widhi dari Merajan Gede Tainsiat tepatnya pada pelingih meru paling utara. Dengan latar belakang ini maka segala kegiatan yang bekaitan dengan Sanghyang Jaran terlebih dulu wajib memberitahukan ke Jeroan Gede Tainsiat dan wajib mohon petuah penglingsir Jeroan Gede. (dir) sumber balipost.

Label:

posted by I Made Artawan @ 23.58   0 comments
Kancing Gumi di Pura Kedampal Karangasem Bali
Pemangku di pura Kedampal mengatakan Selasa 15 September 2009 di desa setempat, umat dari luar desa setempat yang mamedek saat aci di pura Kedampal, desa Datah, Abang, Karangasem, kerap melihat keajaiban di pura itu. Di mana ada pamedek dari desa Pidpid, pernah mengatakan melihat ada kancing gumi. Benda dari besi tua yang menancab ke tanah, meski terkesan ogel-ogel (goyah) tetapi tak pernah bisa dicabut. Ada juga pamedek pernah melihat juwuk linglang, pohon jeruk yang buahnya dipercaya menyembuhkan berbagai macam penyakit bahkan memulihkan orang yang nyaris meninggal. Namun belum sempat jeruk linglang itu dipetik yang melihat, ternyata sudah hilang dari pandangan. Salah seorang pamedek Jro Nyoman Suarjana dari Kecicang, Bebandem menambahkan Selasa kemarin, aura kesucian dan magis itu sudah terasa saat hendak memasuki areal pura. Dia yang mamedek bersama sejumlah rombongan spiritual mengatakan, pura itu setara dengan kahyangan jagat di Bali namun karena letaknya terpencil di lereng timur gunung Agung maka selama ini jarang yang mengetahuinya. Pura itu selama ini diempon ratusan warga desa pakraman Kedampal, dan saat aci besar pamedek dari desa di sekitarnya seperti Kesimpar, Pidpid, Abang bahkan sampai ke Dukuh, Kubu ikut pedek tangkil. Sayangnya, kata Suarjana, jalan aspal ke pura itu kini sudah rusak parah di berbagai lokasi dan mendesak memerlukan perbaikan, sehingga transportasi ke desa yang tandus itu bisa lebih lancar. (013) sumber balipost.

Label:

posted by I Made Artawan @ 23.50   0 comments
Getaran Spiritual Pura Luhur Pempatan Agung Sangketan Penebel Tabanan
Rabu, 16 September 2009
Getaran spiritual akan sangat terasa bila kita memasuki areal Pura Luhur Pempatan Agung, Desa Adat Puring, Sangketan Penebel. Walau pura ini tidak begitu luas dan dengan arsitektur bangunan yang tidak begitu megah, namun masyarakat sekitar sangat meyakini bila pura ini sangat sakral (pingit). Artinya, pemedek bukan berarti harus takut, tetapi harus waspada dalam menjaga sikap dan perilaku serta upacara di pura yang masih erat kaitannya dengan sejumlah pura lain di jajar Kemiri Gunung Batukaru ini harus sesuai dengan kaidah, baik secara niskala maupun sekala.

Jero Mangku Gede I Wayan Rinceg yang sehari-hari mengemban tugas di pura ini menuturkan, Ida Bhatara yang disungsung sangatlah murah hati, namun demikian masyarakat hendaknya taat melakukan pemujaan dan memohon berkah dari beliau. Diceritakan Jero Mangku, dari sejumlah sumber yang menceritakan kepada dirinya, keberadaan pura yang disungsung oleh krama adat Puring ini bermula dari tahun 1870, dimana oleh warga yang mencari lebah di hutan menemukan mayat lembu. Warga ini berasal dari Bengkel Wangaya Gede. Kabar ini disampaikan kepada Cokorda Tabanan kala itu. Diutuslah punggawa Penebel ke lokasi yang berciri aneh dimaksud warga. Punggawa Penebel tidak dapat menyimpulkan kejadian itu secara langsung, akhirnya diutuslah punggawa Selemadeg yang bersama-sama kembali ke empat itu dengan punggawa Penebel. Setelah keduanya bekerja atas bantuan dari bhagavanta kerajaan, lokasi itu harus disakralkan dan disebut sebagai Pempatan Agung dan selanjutnya dibangun sebuah simbol bebaturan. Tahun 1875 hutan tersebut dibuka dan dibagi antara wilayah punggawa Selemadeg dan Penebel.

Semakin lama, semakin banyak krama yang bermukim di dekat kawasan itu. Namun masyarakat Puring melupakan kejadian dan tidak melakukan pemujaan di Pempatan Agung itu. Hingga terbentuk banjar dan dipimpin oleh seorang klian tahun 1945, masyarakat diminta kembali melakukan puja pengastawa di lokasi itu. Anehnya, ketika NICA menyerbu Bali, di lokasi yang berdekatan dengan hutan Batukaru ini, terdapat banyak pejuang penyingkiran, tetapi NICA tidak berhasil masuk ke daerah ini. Masyarakat yakin, hal itu karena kekuatan magis yang melindungi. Akhirnya Pura itu langsung disungsung oleh masyarakat sekitar. Tahun 1965 dilakukan kembali puja ngastawa, karena banjar selamat dari berbagai kejadian dan tragedi yang menimpa sebagian besar Bali, maka tahun 1974 dibangunlah sejumlah pelinggih. Awalnya pengempon pura hanya terdiri atas 17 KK. Banyak warga lain akhirya turut nyungsung pura itu. Tahun 1996 dimana Puring sah menjadi desa adat, pembangunan pura itu dilanjutkan kembali. “Ketika upacara ngenteg linggih di Pura Luhur Muncak Sari ada baos bahwa pura ini disebut sebagai Pura Luhur Pempatan Agung, Setiap Buda Pon Watugunung dilaksanakan pujawali” ujar Jero Mangku Rinceg.

Sejumlah pelinggih pemujaan terawat baik. Salah satu pelinggih di dalamnya terdapat sarang tawon yang diyakini bukan tawon sembarangan. Jika Ida Bhatara yang disungsung berkenan, madu tawon ini dapat diambil dengan prosesi tertentu dimana Raja Tabanan akan mengawali dengan penusukan keris. Anehnya, para pemangku yang mengambil madu maupun para pemedek tidak disengat sama sekali. Madu tersebut akan dibagikan yang berkhasiat sebagai madu amerta sekaligus mengobati berbagai jenis penyakit. Akses jalan ke pura ini semakin gampang ketika dilakukan ngeruak jalan oleh Gubernur IB Mantra. Sementara itu, karena lokasinya sempit, pura ini rencananya akan dilebarkan sekitar 6 are karena ada punia tanah. Namun pelebaran dipastikan tidak merubah struktur bangunan. Ketua panitia pembangunan I Made Nuka Arta mengatakan, rencana pelebaran ke selatan dan ke barat ini otomatis harus membuat penyengker baru. Selain itu akan dibangun bale gong yang menghabiskan dana sekitar Rp 46 juta. Total biaya yang dibutuhkan termasuk membangun wantilah diperkirakan Rp 125 juta. Pengerjaannya pun akan dilakukan secara gotong royong. Dikatakan Nuka, pembangunan tidak akan dibuat megah, tetapi layak dan dapat digunakan guna membantu pelaksanaan pujawali yang akan berlangsung Pebruari 2010 yang diyakini akan dihadiri lebih banyak umat dari berbagai daerah. Sebagai langkah awal rencana itu krama yang kini berjumlah 76 kk terus berdoa. Senin (14/9) malam lalu dilakukan pecaruan pemayuh desa, agar diberkati kerahayJustify Fulluan dan rencana pembangunan berjalan lancar. (KMB 14) sumber balipost.
posted by I Made Artawan @ 00.28   0 comments
Menegakkan Ajaran Para Rishi Weda
Jumat, 04 September 2009
Para yogi mengetahui adanya kekuatan dan tuntunan suci dalam ajaran kuno dari para rishi Weda dan menghindari mengadopsi cara-cara baru dalam pencariannya. Mereka menegakkan ajaran para rishi Weda yang telah terbukti mampu bertahan melewati berbagai jaman selama ribuan tahun. Ajaran kuno yang tidak pernah menjanjikan kemudahan di dalam mencapai kesempurnaan, karena memang tidak mudah. Ajaran yang tidak peduli apakah umat akan berpaling darinya karena kesulitan dan beratnya disiplin rohani yang dituntut. Lebih baik begitu daripada dia menjanjikan kemudahan palsu sekedar untuk dirubung umat yang tersesat. Sumber Sraddha on Facebook
posted by I Made Artawan @ 20.45   0 comments
Berkarya dengan Karma Kita
Kamis, 03 September 2009
Kita, pecinta kehidupan rohani, dalam hati mungkin pernah bertanya, “Kenapa Brahman memberi kita karma untuk dilalui?” Dapatkah Dia membuat kita sempurna sejak awal dan menghidarkan kita dari semua yang menyakitkan?” Para arif bijaksana senantiasa memberi wejangan, “Terimalah karmamu sebagai milikmu, sebagai obat penyembuh, bukan sebagai racun.” Seraya kita melewati pengalaman kreasi kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari dan benih-benih karma bangkit, sebagai aksi-aksi kita kembali melalui perasaan kita, usahakan tuntas di dalam kehidupan sekarang ini, tidak dalam kehidupan masa depan, melepaskan dengan menerima apa adanya setiap dan semua pengalaman sehingga tidak terpengaruh lagi dan menciptakan putaran baru, terbebas dari belenggu samsara. Terimalah karma kita apa adanya, apakah itu karma gembira, karma sedih, karma yang tidak menyenangkan, tidak mengenakkan, yang menyedihkan, miskin, sengsara, atau karma yang sangat menyenangkan, yang sangat menggembirakan, bergelimang harta, hidup makmur, terimalah itu sebagai karma kita. Tetapi itu bukan kita, bukan kita yang sebenarnya, bukan kita yang sejati. Semua pengalaman yang kita lewati diberikan agar supaya kita bisa berkembang, supaya tumbuh, belajar dan akhirnya mencapai kebijaksanaan. Itu semua adalah karya misterius dari Brahman, cara Dia mendekati umat pecinta kehidupan rohani, cara Dia membawa kita mendekat dan semakin dekat kepada diri-Nya.

Para rishi Weda menerangkan bahwa Brahman menciptakan badan fisik untuk jiwa, menyerap ke seluruh bagian tubuh itu dengan keberadaan-Nya, esensi dari Brahman. Semua jiwa berkembang untuk kembali pada kesucian-Nya, dan ada banyak pelajaran untuk dipelajari sepanjang perjalanan karma-karma yang harus dilalui. Semua pelajaran yang dipelajari dari karma masing-masing adalah bagian dari proses evolusi, mekanisme evolusi, piranti evolusi. Kenapa Brahman melakukan semua ini? Para rishi tidak memberikan alasannya. Mereka menyebut ini tarian Brahman. Itulah sebabnya kenapa kita memuja Brahman, salah satunya disimbolkan sebagai Nataraja, Brahman Sang Maha Raja Tari. Ya, Nataraja, tarian Brahman, lila Brahman. Tarian yang penuh dengan kegembiraan. Tarian yang penuh dengan kehidupan. Brahman adalah semua kehidupan, Brahman adalah penguasa kehidupan, Brahman adalah penguasa kematian untuk memberikan kehidupan yang baru, Brahman adalah pencipta kelahiran untuk melewati kehidupan. Dia adalah semua kehidupan dan Dia adalah segalanya. Dia menari dengan para rishi. Dia menari untuk kita. Kita menari bersama Brahman. Setiap atom di ruang alam semesta ini menarikan tarian-Nya. Dia adalah setiap bagian dari diri kita. Dengan melihat-Nya, kita melihat diri kita sendiri. Dengan mendekatkan diri kepada Brahman, kita akan semakin dekat dengan diri kita sendiri, diri sejati kita. Ada satu pernyataan besar yang dinyatakan oleh seorang siddhaguru, bahwa hanya ada satu hal yang tidak bisa dilakukan Brahman, Dia tidak bisa memisahkan diri-Nya dari kita, karena Dia meresap di dalam diri kita. Dia adalah kita. Dia menciptakan jiwa, Weda memberitahu kita. Brahman menciptakan jiwa kita, dan jiwa kita berkembang, semakin dewasa melalui karma, melalui hidup, dalam perjalannya menuju kesucian-Nya. Itu adalah tujuan dari hidup, untuk mengenal Brahman, untuk mencintai Brahman dan untuk menemukan keesaan-Nya, untuk menari bersama Brahman, hidup bersama Brahman dan manunggal dengan Brahman. Inilah yang diajarkan dan diyakini oleh agama tertua di atas Bumi, Agama Weda, Sanatana Dharma, Hindu.

Brahman adalah Tuhan dari kasih dan tiada lain selain kasih. Dia memenuhi alam semesta ini dengan kasih. Dia memenuhi kita dengan kasih. Brahman adalah pertiwi. Brahman adalah air. Brahman adalah api. Brahman adalah udara. Brahman adalah ether. Energi kosmis Brahman meresap dalam segala hal, memberikan cahaya dan hidup untuk pikiran kita. Brahman ada di mana-mana dan dalam segala hal. Brahman adalah kesederhanaan kita, tiada kekhawatiran, yang senantiasa memperhatikan dan menuntun pikiran kita sepanjang tahun. Lihatlah Brahman di mana-mana dan energi hidup-Nya di dalam segala hal. Awalnya kita menari bersama Brahman. Kemudian kita hidup bersama Brahman. Akhir dari perjalanan adalah manunggal dengan Brahman, menyadari keesaan Atman dengan Brahman. Brahman Atman Aikyam. Sumber Sraddha on Facebook
posted by I Made Artawan @ 02.53   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas