Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Membalas Budi Orang Tua
Sabtu, 19 Maret 2011
Peranan orangtua tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita di dunia ini. Tanpa keterlibatan orangtua entah apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Di usia dewasa kita menyadari betapa banyak hal yang telah dilakukan oleh para orangtua kepada anak-anaknya. Semuanya dilakukan dengan penuh perhatian, penuh kasih sayang dan penuh pengorbanan.

Segala pengorbanan, perhatian, dan kasih sayang orangtua tidak pernah bisa dihitung. Secara materi kita bisa menghitung berapa banyak biaya yang telah kita habiskan dalam kehidupan ini, sejak kecil hingga dewasa, sejak masih di dalam kandungan hingga bisa mandiri sebagai orang yang berpenghasilan secara ekonomi. Dengan pendapatan yang kita peroleh, jumlahnya mungkin bisa terpenuhi namun masih banyak kondisi dan situasi yang tidak bisa dihitung secara nominal.

Dalam satu kesempatan, seperti yang tercatat dalam Anggutara Nikaya, Buddha menyampaikan bahwa ada dua orang yang tidak pernah bisa dibalas budinya di dunia ini. Kedua orang tersebut adalah ayah dan ibu kita masing-masing--kedua orangtua kita sendiri.

Dalam kesempatan tersebut Buddha berpesan: ''Walaupun seseorang memanggul ibunya di satu bahu dan ayahnya di bahu lainnya, dan saat melakukannya ia hidup seratus tahun, mencapai usia seratus tahun; dan jika ia melayani dengan mengusapi mereka dengan minyak balsam, memijit, memandikan, dan menguruti kaki dan tangan mereka, dan seandainya mereka membuang air besar di situ sekali pun, belumlah cukup yang dilakukannya terhadap orangtuanya dan belum membalas budi mereka. Kedati pun seseorang menempatkan orangtuanya sebagai raja dan penguasa agung atas bumi yang begitu kaya dengan ketujuh hartanya, belumlah cukup yang dilakukannya dan ia belum membalas bumi mereka. Mengapa? Orangtua sungguh berjasa terhadap anak-anaknya; mereka membesarkannya, memberi makan dan menunjukkan dunia kepadanya.''

Bagaimana cara untuk membalas budi atas kebajikan dan kebaikan yang telah dilakukan oleh orangtua kita? Sang Buddha juga memberikan tips yang sebenarnya sangat mudah untuk dilakukan. ''Seseorang yang mendorong orangtuanya yang tidak percaya, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam keyakinan; seseorang yang mendorong orangtuanya yang tidak bermoral, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam disiplin moral; seseorang yang mendorong orangtuanya yang kikir, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam kedermawanan; seseorang yang mendorong orangtuanya yang gelap batin, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam kebijaksanaan--orang seperti ini, para bhikkhu, telah melakukan cukup untuk orangtuanya. Ia membalas budi mereka dan lebih dari membalas budi mereka atas apa yang telah mereka lakukan.''

Cara yang telah ditunjukkan oleh Buddha Gotama sebenarnya cara yang mudah dan ringan untuk bisa membalas budi orang tua. Anda mungkin tidak bisa melakukan sendiri. Kadang-kadang ada orangtua yang tidak bisa diberikan nasihat atau saran oleh anak-anaknya. Orangtua tetap menganggap anaknya --walaupun sang anak sudah dewasa--sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Ada orangtua yang tidak mau digurui oleh anaknya, merasa anaknya lebih sombong dan memerintah orangtuanya.

Salah satu cara bijak bagi anak-anak adalah mengajak orangtuanya untuk datang ke vihara. Luangkan waktu seminggu sekali untuk menjemput orangtua (bila tidak tinggal serumah) dan mengajaknya pergi ke vihara. Ajak mereka untuk bersama-sama membaca paritta dan artinya. Bukan kita yang mengajari orangtua namun dengan membaca dan mendengarkan sendiri ajaran yang ada dalam partta suci maupun ceramah Dhamma.

Ajak orangtua kita untuk melakukan kebaikan dalam hidup ini dengan menjalankan sila--latihan kemoralan. Dalam kebaktian yang dihadiri bhikkhu, akan berlangsung tuntunan pancasila. Kita juga mengajaknya berbuat baik dengan berdana atau melakukan kebajikan lainnya setiap minggu.

Bila ada kesempatan, arahkan orangtua untuk melatih diri dengan mengikuti latihan meditasi secara intensif. Latihan meditasi akan memberikan manfaat bagi kebahagiaan di hari tua. Pikirannya menjadi tambah tenang, tidak gelisah dan kuatir dalam menghadapi usia tua dengan segala permasalahan yang mungkin muncul. Badannya akan bertambah sehat karena pengaruh pikiran yang tenang. Mereka akan bisa menghadapi hidup lebih tenang dan bahagia di usia senja.

Yang perlu dilakukan hanyalah sebuah langkah kecil dalam kehidupan ini. Memberikan perhatian kepada orangtua kita dengan mengajak mereka ke vihara dan bersama-sama berbuat baik. Kita memberikan yang terbaik dalam hidupnya dan sekaligus berbuat baik untuk diri sendiri.

Tidak ada salahnya anda mencoba ketika orangtua kita masih bersama dengan mereka. Lakukan langkah kecil ini. Mudah-mudahan Anda belum terlambat.
posted by I Made Artawan @ 19.49   0 comments
Mengajarkan Anak Puasa Saat Nyepi
Kamis, 03 Maret 2011
PERAYAAN hari suci Nyepi pada hakikatnya pengendalian diri yang terjabar dalam Catur Brata Panyepian yakni amati gni, amati lelungaan, amati lelanguan dan amati karya -- tidak menyalakan api, tidak bepergian, tidak bersenang-senang dan tidak bekerja. Apalagi ada kecenderungan dalam menyikapi hari raya termasuk Nyepi seringkali dijadikan ajang untuk ekspresi yang justru bertentangan dengan ajaran agama. Misalnya, perilaku bersenang-senang, berjudi dan mabuk-mabukan. Dalam kaitan itu adakah hal-hal khusus harus diperankan perempuan untuk ''mengamankan'' pelaksanaan Nyepi secara ritual?

Pengamat agama Hindu yang juga dosen STAHN Denpasar Made Budiasih menilai berhasil tidaknya perayaan Catur Brata Panyepian secara ideal juga tidak terlepas dari peran serta para ibu-ibu rumah tangga umat Hindu. Namun, sebetulnya yang paling menentukan adalah pribadi masing-masing. Nyepi sebagaimana hakikatnya, adalah pengendalian diri pengendalian hawa nafsu. Untuk bisa mengendalikan diri perlu latihan dan usaha yang jelas, misalnya dengan meditasi atau kegiatan yang berhubungan dengan spritual. Artinya, anak-anak kecil yang belum siap menjalankan Catur Brata Panyepian secara sempurna tidak mesti dipaksakan begitu saja.

Dicontohkan tindakan yang mengarah kepada disiplin anak adalah puasa. Tetapi paling tidak pada saat Nyepi orangtua bisa menjabarkan hal itu lewat wejangan-wejangan yakni dengan cara memberikan saran kepada anak-anak supaya tidak asyik bermain-main, pergi keluar rumah dan membuat kegaduhan. Tindakan itu, merupakan upaya para wanita untuk memperkenalkan dan memahami hakikat Nyepi kepada anak-anak. Dari situ diharapkan ke depan seiring dengan peningkatan usia, pemahaman anak-anak tentang makna hari suci agama makin meningkat pula. Dengan makin memahami hakikat Nyepi diharapkan anak-anak akan melakukan ajaran agama itu dengan benar.

Menurut Budiasih, mempersiapkan menu masakan bagi anak-anak yang belum mampu melakukan puasa masih bisa. Namun, alangkah idealnya jika dalam keluarga semuanya siap berpuasa. Tentu, para ibu rumah tangga tidak mesti sibuk-sibuk membuat masakan, kecuali untuk kepentingan berbuka puasa sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.

Dikatakan, sesuai dengan hakikat Nyepi, umat diharapkan bisa memaknainya, sehingga secara perlahan ada perubahan dalam diri masing-masing, terutama dalam pengendalian diri sendiri dan ikut mengendalikan keluarga, agar tidak ribut di hari H-nya. ''Tidak saja saat Nyepi tetapi berkelanjutan. Oleh karena itu, ritual Nyepi mesti dijadikan tonggak untuk merefleksi, introspeksi dan mawas diri agar ke depan bisa lebih berkualitas,'' ujarnya.

Dosen STAHN Denpasar Ni Putu Winanti mengatakan, menentukan terlaksana tidaknya Catur Brata Panyepian secara ideal. Namun dalam memberikan pemahaman tentang hakikat Nyepi kepada penerus umat Hindu (anak-anak), menurut Winanti, perlu waktu dan proses. Ibu-ibu tidak bisa memaksakan demikian rupa kepada anak-anak untuk melakukan puasa saat Nyepi. Tetapi, paling tidak ibu-ibu telah berupaya secara bertahap untuk memberikan pemahaman hakikat Nyepi kepada mereka.

Menurut Winanti, agar umat dapat melakukan catur brata secara baik, idealnya harus dimulai sejak dini. Artinya, anak-anak sejak kecil sudah mulai diperkenalkan nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan hari raya tersebut. Begitu pula lembaga tertinggi agama Hindu sebetulnya sangat berperan dalam hal ini.

Parisada mestinya bisa turun ke desa-desa untuk memberikan dharma wacana mengenai pemaknaan hari raya Nyepi, minimal menjelang parayaan hari suci tersebut. Pemberi dharma wacana ini jangan hanya pada istansi formal saja, tetapi langsung menyentuh kepentingan umat yang berada di tingkat bawah masuk ke desa-desa. Dengan demikian, masyarakat memiliki bekal dan dasar dalam menyikapi hari raya Tahun Baru Saka.

Dikatakan, kunci keberhasilan dalam melaksanakan Catur Brata Panyepian sepenuhnya berada di tangan pribadi masing-masing. Oleh karena itu, dari diri sendirilah memulai sehingga diikuti oleh keluarga, anak-anak dan pada akhirnya akan ditiru oleh tetangga di lingkungan masing-masing. ''Orangtua -- bapak dan ibu -- mesti bisa memberi contoh kepada anak-anaknya. Orangtualah yang memulai dan memberi contoh baik,'' katanya.

Soal wanita menyiapkan menu masakan buat keluarga saat Nyepi, katanya, sebetulnya disesuaikan dengan keperluan anggota keluarga yang tidak mampu melakukan puasa. Tetapi sebetulnya menu masakan itu sudah disederhanakan dari nasi kukus dengan lauk-pauk yang beragam ke hal yang sangat sederhana seperti ketupat dengan lauknya yang hanya kacang-saurnya.

Ia mengatakan, toh menu yang dibuat itu untuk anggota keluarga yang tidak mampu berpuasa. Jadi, sebetulnya dalam agama tidak ada pemaksaan harus ini, harus itu. Semuanya berdasarkan kemampuan.
posted by I Made Artawan @ 17.07   0 comments
Melalui Melasti Kita Tingkatkan Kepedulian Sosial
Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana. (Lontar Sang Hyang Aji Swamandala)

Maksudnya: Melasti meningkatkan sradha dan bhakti kepada para Dewa (sinar suci Tuhan Yang Mahaesa) untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan kerusakan alam semesta.

MENURUT petikan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala, prosesi upacara melasti dalam kemasan budaya lokal tradisi Hindu di Bali itu mengandung nilai yang amat universal. Dalam lontar tersebut melasti memotivasi umat Hindu agar meningkatkan sraddha dan bhaktinya kepada Tuhan untuk menguatkan daya spiritual agar dengan cerdas dan penuh rasa kasih sayang meningkatkan kepeduliannya pada nasib sesama atau ''anganyut laraning jagat'' (sosial care). Untuk membangun kepedulian sosial itu terlebih dahulu hilangkan kekotoran batin dalam diri yang disebut papa klesa dalam diri. Papa klesa artinya kekotoran diri yang dapat membawa manusia menderita lahir batin.

Menurut Taiteria Upanisad, klesa atau kekotoran batin itu ada lima yaitu Avidya, Asmita, Raga, Dwesa dan Abhiniwesa. Lima klesa itu adalah kegelapan, egoisme, pengumbaran nafsu, kebencian dan rasa takut. Lima kekotoran batin inilah yang diingatkan dalam upacara melasti untuk dihanyutkan dengan daya spiritual.

Daya spiritual itu dibangkitkan melalui prosesi melasti. Dengan hanyutnya lima kekotoran itu eksistensi Catur Citta akan muncul. Catur Citta itu menurut Wrehaspati Tattwa ada empat yaitu Dharma, Jnyana, Wairagia dan Aiswarya. Catur Citta itulah yang akan menjadi kekuatan spiritual untuk melakukan kepedullian sosial (anganyutaken laraning jagat) dan menjaga kelestarian lingkungan alam (anganyutaken letuhing bhuwana). Empat hal itulah yang diingatkan oleh upacara melasti agar senantiasa dilakukan oleh umat Hindu dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian barulah dapat menikmati hidup sebagai tujuan utama melasti seperti dinyatakan dalam Lontar Sunarigama yaitu Amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara yang artinya mendapatkan sari-sari kehidupan di tengah samudra. Ini berarti setelah melakukan empat hal seperti dinyatakan dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala barulah kita secara benar atau sah memperoleh sari-sari kehidupan.

Samudra adalah simbul dari sumber sari kehidupan itu. Samudra dan gunung dalam tradisi Hindu di Bali disimbolkan sebagai lingga-yoni. Gunung sebagai lingga dan samudera atau segara adalah yoni-nya. Air Samudera menguap ke langit menjadi mendung. Mendung terkena terik sinar matahari. Mendung jatuh ke bumi menjadi hujan. Hujan ditampung oleh gunung dengan hutannya yang lebat. Hutan yang lebat itu akan menjadi sumber mata air. Air inilah sumber kehidupan semau makhluk hidup. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia tidak bisa hidup tanpa air.

Prosesi melasti dari mengusung secara ritual berbagai pratima sakral dari berbagai pura tempat pemujaan pada Tuhan di lingkungan desa sebagai proses berbhakti pada Tuhan (ngiring prawatek Dewata) untuk menumbuhkan daya spiritual. Salah satu dari empat hal yang wajib dibangun dalam diri dalam ritual melasti itu adalah tumbuhnya kesadaran untuk peduli pada nasib sesama yang disebut anganyutaken laraning jagat.

Dalam kehidupan yang semakin senjang ini aktivitas beragama harus mampu meningkatkan kesadaran untuk peduli pada nasib sesama. Hal ini seharusnya dimulai dari kalangan atas seperti para pejabat, pengusaha kaya dan mereka yang memperoleh nasib baik dalam hidupnya di dunia ini.

Para pejabat hendaknya merasa malu hidup dengan fasilitas mewah dengan menggunakan uang rakyat. Seperti mobil dinas yang mewah, rumah jabatan yang mewah, dana plesiran dengan alasan studi banding, ruang kerja yang mewah dan sebagainya. Demikian juga para pengusaha hendaknya jangan berkolusi dengan penguasa dan ngemplang pajak sumber pemasukan negara. Satu saja yang diprioritaskan dari empat tujuan melasti itu maka akan amat berarti bagi tiga tujuan melasti yang lainnya seperti pembersihan diri dari lima klesa.

Melasti juga untuk memotivasi secara spiritual membangun kepedulian pada pemeliharaan alam agar tetap subur. Dengan demikian akan terwujud kehidupan yang aman dan kesejahtraan yang adil. Sayang, upacara melasti itu umumnya masih mentok di tataran ritual dan tidak dilanjutkan dengan langkah nyata sebagaimana diamanatkan dalam teks pustaka tentang petunjuk melasti. Dengan demikian berbagai pihak ada yang merasakan kegiatan ritual keagamaan sebagai kewajiban ritual yang memberikan kemeriahan sosial sesaat. Melasti seyogianya diawali dengan bhakti pada Tuhan dan dilanjutkan dalam wujud yang lebih nyata berupa peduli pada nasib sesama. Kepedulian pada nasib sesama itu dari tahun ke tahun semestinya terus meningkat baik dari sudut substansinya menolong sesama baik dalam wujud fisik material yang disebut sarwa dhana maupun dalam wujud nonfisik seperti memberikan pendidikan, bantuan kesehatan, peningkatan wawasan menghadapi hidup, bimbingan rohani yang disebut abhaya daana dalam Sarasamuscaya. Apa yang disebut anganyutaken laraning jagat itu menyangkut berbagai aspek kehidupan sosial sampai masyarakat benar-benar tidak ada yang hidup menderita atau lara. Kalau saja salah satu amanat melasti untuk membangun kepedulian sosial, terus menerus dilaksanakan maka tidaklah akan ada 24.600 orang anak terlantar di Bali seperti diberitakan media lokal di Bali. Karena itu ke depan marilah apa yang diajarkan dalam pustaka tentang melasti tahap demi tahap kita jalankan dengan cara-cara yang cerdas, maka kehidupan di Bali akan semakin aman dan sejahtra.

Menyangkut tentang perbersihan diri dari Panca Klesa sebagai hal yang diamanat oleh ritual melasti kita benar-benar aplikasikan maka berbagai persoalan individual juga akan teratasi dimana umat akan semakin elegan menghadapi hiruk pikuknya kehidupan ini. Fisik dan mental umatpun akan semakin memiliki kualitas moral yang semakin luhur dan mental yang semakin tangguh.
posted by I Made Artawan @ 17.03   0 comments
Pemujaan Tri Murti untuk Kendalikan Tri Guna
Barhma sreg jayate lokam

Wisnawe plaka stitam

Rudra twe sangharas cewam

Tri Murti nama ewaca. (Bhuwana Kosa III. 76)

Lwir Bhatara Siwa Magawe jagat. Brahma rupa siran panrsti jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat, Rudra rupa sira mralayaken rat, naham taawakta nira tiga bheda nama.

Maksudnya: Bhatara Siwa saat menciptakan alam disebut Bhatara Brahma, saat memelihara atau melindungi alam disebut Bhatara Wisnu dan disebut Bhatara Rudra saat melebur alam ini. Beliau sesungguhnya esa, hanya sebutan-Nya yang berbeda.

Tuhan itu esa. Orang-orang suci (vipra) memberikan sebutan dengan berbagai nama (Om ekam sat vipra bahuda vadanti). Hindu yang Siwaistik menyebut Tuhan Yang Maha Esa itu Parama Siwa, Hindu Waisnawa menyebut-Nya Maha Wisnu atau Narayana, sedangkan Hindu Waisnawa Bhagawata menyebut Tuhan itu Sri Krisna. Hindu yang Siwaistik dalam menjiwai Swah Loka dan menjadi sumber segala disebut Parama Siwa. Sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa Bhur Loka disebut Siwa. Di Bhur Loka ini Siwa disebut Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Rudra. Wisnu menjadi Krisna sebagai Awatara. Siwa sebagai Tuhan sumber segala-galanya dinyatakan dalam beberapa purana yang bercorak Siwa Purana. Ini artinya dalam paham Hindu Siwaistis, Sri Krisna itu Awatara Wisnu.

Dalam Hindu Waisnawa Bhagawata, Sri Krisna bukan Awatara tetapi sebagai Awatari yaitu sumber Awatara dan sumber segala-galanya. Sri Krisna sebagai sebutan Tuhan sumber segala-galanya dinyatakan dalam beberapa purana, seperti Bhagawata Purana, Brahma Vivarta Purana dan purana lainnya yang bercorak Waisnawa Bhagawata. Dalam Waisnawa Bhagawata menurut Prabhu Sundaram Siwa adalah seorang Waisnawa teladan kesayangan Sri Krisna. Dari 18 Maha Purana dibagi menjadi tiga kelompok. Satvika Purana menyatakan Maha Wisnulah sebagai sebutan Tuhan tertinggi. Rajasika Purana, Param Brahmalah sebagai sebutan Tuhan tertinggi, sedangkan dalam Tamasika Purana, Parama Siwa sebagai sebutah Tuhan tertinggi. Ketiga sebutan Tuhan itu juga memiliki ribuan sebutan atau disebut Sahasra Nama. Bagi umat yang meyakini salah satu nama dari ribuan sebutan nama Tuhan Yang Esa itu, yakinilah nama tersebut dengan sungguh-sungguh. Pujalah Tuhan dengan sungguh-sungguh dengan sebutan nama Tuhan yang paling diyakini itu. Yang patut dihindari adalah tidak merendahkan dan menyalahkan sebutan nama Tuhan yang tidak dipilih. Misalnya yang memilih sebutan nama Siwa jangan menyalahkan dan merendahkan mereka yang memilih nama Tuhan dengan sebutan Maha WIsnu atau Sri Krisna.

Demikian juga yang memilih nama Tuhan dengan sebutan Maha Wisnu, Narayana atau Sri Krisna jangan menyalahkan dan merendahkan mereka yang memilih nama Tuhan dengan sebutan Parama Siwa.

Dalam Matsya Purana 53, Sloka 68 dan 69 ada dinyatakan bahwa Dewa Wisnu adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai penuntun manusia mengendalikan guna sattwam. Dewa Brahma sebagai penuntun manusia mengendalikan guna rajah dan Dewa Siwa sebagai penuntun manusia mengendalikan guna tamas. Ini artinya pemuja Siwa bukan berarti memuja dan mengembangkan sifat-sifat tamasik, pemujaan Tuhan sebagai Siwa Rudra justru untuk mendapatkan kekuatan rohani mengendalikan, menguasai dan melepaskan diri dari guna tamas.

Dalam Bhagawad Gita XIV. 25 dinyatakan tri guna itu harus dilepaskan dengan istilah gunaatiita artinya menguasai tri guna. Hal ini amat sejalan dengan apa yang dinyatakan Pustaka Wrehaspati Tattwa 21 dan 22 bahwa kalau guna satwam dan rajah sama kuat menguasai pikiran (manah), maka guna satwam menyebabkan orang terdorong berniat baik dan guna rajah mendorong orang berbuat baik, maka orang tersebut akan mencapai sorga tetapi bukan moksha.

Kalau hanya berniat baik saja dan tidak nyata berbuat baik tentunya mubazir jadinya. Kalau ketiga guna itu menguasai pikiran secara seimbang maka orang akan menjelma berulang-ulang ke dunia ini. Karena tujuan tertinggi adalah moksha karena itu tri guna itu harus dikendalikan saat brahmacari dan grhastha. Dikuasai saat wana prastha dan dilepaskan saat sudah mencapai sanyasin asrama. Hal ini menyebabkan setiap kelompok Hindu yang disebut sampradaya atau para ilmuwan sosial menyebutnya sekte umumnya memuja Tuhan sebagai Tri Murti. Tujuannya agar mampu mengendalikan, menguasai dan akhirnya melepaskan tri guna. Tri guna itu ibarat kuda kereta yang harus dikendalikan dengan tali kekang kuda oleh kusir kereta agar jalannya kereta menjadi lancar. Tetapi setelah sampai di tujuan, kuda dengan kereta dilepas. Demikianlah dapat dianalogikan keberadaan tri guna itu dalam hidup ini. Penonjolan salah satu dari pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti adalah sebagai kebebasan pilihan. Yang penting yang tidak dipilih jangan disalahkan dan direndahkan.

Swami Siwananda menyatakan agama Hindu menyajikan hidangan spiritual pada setiap orang sesuai dengan perkembangan rohaninya. Karena itu tidak ada pertentangan dalam perbedaan Hindu yang indah ini. Demikian Swami Siwananda menyatakan dalam bukunya yang berjudul ''All About Hinduism.''

Hal itu amat sejalan dengan UUD 1945 yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk menganut agama dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Hal ini menyebabkan ada Penpres No: 1 1965 dan juga KUHP 156 A akan mengancam dengan hukuman maksimal lima tahun penjara bagi yang menodai kehidupan beragama, seperti melecehkan dan menyalahkan pemujaan suatu Ista Dewata tertentu. Misalnya ada melecehkan dan menyalahkan umat memuja Siwa, Wisnu atau Sri Kresna sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Pelecehan itu dapat digolongkan sebagai penodaan keyakinan beragama. Perilaku penodaan beragama dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan tersebut di atas. Karena itu janganlah saling mengganggu kemerdekaan umat beragama. Misalnya dengan saling menjelek-jelekan sistem yang tidak dianut. Berbagai berbedaan sistem kepercayaan dalam beragama itu adalah ciptaan Tuhan sebagaimana dinyatakan juga dalam Bhagawad Gita.
posted by I Made Artawan @ 16.59   0 comments
7 Perilaku Mengamalkan Dharma
Sila yadnya tapo daanam

pravrajya bhiksu revaca

yogascaapi savasena

Dhamasyeke vinirnayah. (Wrehaspati Tattwa 25).

Maksudnya: Mewujudkan sila, yadnya, tapa, daana, prawrajya, bhiksu dan melakukan yoga, itulah rincian pengamalan dharma. Itu juga yang disebut jnyana.

Inti sari ajaran Agama Hindu adalah Sanatana Dharma yaitu kebenaran yang kekal abadi. Artinya, kebenaran yang berlaku sepanjang zaman. Cuma bentuknya nutana artinya terus dapat diremajakan atau diperbaharui pengamalannya sesuai dengan kebutuhan zaman akan kebenaran dharma yang kekal abadi itu. Dharma amat luas artinya. Dharma berarti kebenaran, kewajiban dan juga berarti kebajikan. Dalam Santi Parwa dinyatakan dharma berasal dari kata dharana yang artinya menyangga atau mengatur. Segala yang ada di dunia ini diatur berdasarkan dharma.

Agar manusia dapat melakukan tujuh pengamalan dharma pertama-tama dharma diarahkan untuk membina diri sendiri (swaartha), kemudian dijadikan kekuatan untuk melayani hidup sesama (para artha). Semuanya itu sebagai wujud bhakti kepada Tuhan (parama artha).

Menurut pustaka Wrehaspati Tattwa 25 di atas ada tujuh perilaku yang seyogyanya dilakukan sebagai wujud pengamalan dharma. Tujuh perilaku itu sebagai berikut:

Sila ngaraning mangraksa acara rahayu. Artinya, sila namanya menjaga kebiasaan baik dan benar. Mengamalkan dharma menurut Sarasamuscaya 275 dengan cara membangun atau merealisasikan ajaran dharma sampai menjadi adat kebiasaan (mangabiasaken dharmasahana). Dalam kehidupan sehari-hari banyak godaan hidup yang akan dilalui oleh setiap orang. Cuma bentuknya yang berbeda-beda. Untuk menghadapi godaan itu berbagai kebiasaan baik harus terus dilakukan setiap hari dengan kebulatan tekad. Misalnya, sembahyang setiap hari, tidur tidak terlalu malam, bangun pagi tepat waktu, disiplin dalam hal makanan dan minuman, dan mengontrol dengan ketat pikiran, perkataan dan perilaku. Berbagai kebiasaan yang positif harus diupayakan terus dilakukan setiap saat. Meskipun hal ini tidak mudah menjaganya. Karena ajaran suci Weda itu harus diwujud dalam tradisi kehidupan seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 260 dengan istilah ''Weda abyasa'' yang maksudnya ajaran Weda dijadikan kebiasaan hidup. Kalau sudah menjadi kebiasaan hidup yang kuat dan melembaga dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan individual maupun dalam kehidupan sosial maka akan terbentuk tradisi kebudayaan Weda dalam kehidupan ini. Kalau sudah terbentuk tradisi kebudayan Weda maka tinggal memeliharanya dengan ajaran Tri Kona (Utpati, Stithi dan Pralina) dan penguasaan Tri Guna (Sattwam, Rajah, Tamas).

Yadnya ngaraning menghadakaken homa. Upacara Homa Yadnya juga disebut Upacara Agni Hotra atau Agni Homa. Upacara Homa Yadnya ini diajarkan dalam pustaka Rg Weda X.66.8 dan kitab Atharwa Weda XXVIII.6. Dalam pustaka suci itu dinyatakan bahwa Yadnya Agni Hotra tersebut sebagai Spatika Yadnya atau mutiaranya yadnya. Upacara Homa itu dilakukan oleh mereka yang hatinya mulia. Agni Hotra dapat menimbulkan kedamaian hati, dapat menggugah hati para pemimpin, untuk bekerja dengan baik, membina masyarakat dan tidak menyakiti hatinya serta memelihara binatang ternaknya dengan baik. Di Bali Upacara ini pernah mentradisi dari abad ke 11 Masehi. Meredup sekitar abad ke 17 M. Dewasa ini mulai dilakukan lagi oleh kelompok spiritual umat Hindu di Nusantara. Sudah semakin banyak umat Hindu yang merasakan manfaat spiritual dari upacara Homa tersebut.

Tanpa: ngaraning umatinindryania. Maksud ajaran tapa adalah berupaya untuk terus menerus menguasai indria, agar dinamika indria dalam kendali pikiran. Dalam Sarasmuscaya disebut ''kahrtaning indria''. Menurut Bhagawad Gita III. 42 Indria ini harus dipelihara dengan sebaik-baiknya agar sehat dan berfungsi sempurna. Tetapi ekspresi indria itu harus terus berada dalam kendali pikiran. Pikiran berada dalam kesadaran budhi. Struktur diri yang demikian itulah akan dapat merealisasikan kesucian atman dalam perilaku.

Daana: Ngaraning paweweh. Artinya, daana itu adalah membangun sifat yang suka memberi. Karena dalam Sarasamuscaya dinyatakan orang kaya itu adalah orang yang selalu menyisihkan penghasilannya untuk di-daanapunia-kan. Dalam Manawa Dharmasastra 186 dinyarakan prioritas beragama Hindu zaman Kali ini adalah berdaana punia. Daana punia untuk memajukan pendidikan amatlah mulia, karena dalam Slokantara 2, dinyatakan jauh lebih mulia mendidik seorang suputra daripada melakukan upacara yadnya seratus kali.

Prawrajya: Ngaraning wiku ansaka. Maksudnya, menyebarkan secara terus menerus ajaran suci dharma ini oleh Wiku suci yang kompeten. Berbagai ajaran Agama Hindu dalam pustaka suci tidak dipahami secara benar, sehingga dalam praktiknya menjadi tidak sesuai dengan konsepnya menurut pustaka suci. Bahkan ada yang bertentangan dengan sumbernya yakni pustaka suci.

Bhiksu: Ngaraning diksa. Bhiksu namanya proses penyucian diri. Kata diksa dalam bahasa Sansekerta artinya suci. Bhiksu itu adlah tahapan hidup yang keempat yang juga disebut Sanyasin Asrama. Tahapan hidup sampai pada Bhiksuka dicapai melalui tahapan hidup Brahmacari, Grhasta dan Wanaprastha. Ini artinya orang mencapai hidup suci apa bisa sudah menyelesaikan swadharmanya dalam tiga tahapan hidup. Hal ini dikecualikan bagi yang menempuh hidup Sukla Brahmacari yang sepanjang hidupnya tidak menempuh tahapan hidup Grhasta Asrama.

Yoga: Ngaraning magawe samadhi. Yoga ini ditujukan untuk hidup mewujudkan kejernihan pikiran. Dalam pustaka Yoga Patanjali I.1.sbb: Yogascitta vrtti nivodhah. Artinya: Yoga adalah pengendalian gelombang pikiran dalam alam pikiran. Untuk mencapai rohani yang jernih Yoga Patanjali mengajarkan agar kita melakukan delapan tahapan Yoga yaitu Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan puncaknya barulah Samadi atau kondisi rokhani suci yang tenang jernih. Demikianlah tujuh yang seyogianya dilakukan dalam mengamalkan Dharma atau Agama Hindu.
posted by I Made Artawan @ 16.50   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas