Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Arsitektur Bali
Selasa, 23 Oktober 2007

Arsitektur / Asta Kosala Kosali Bali menurut tattwa agama Hindu

Pengertian Bangunan Secara Umum adalah segala hasil perwujudan manusia dalam bentuk bangunan, yang mengandung keutuhan/ kesatuan dengan agama (ritual) dan kehidupan budaya masyarakat. Yang tercakup dalam bangunan yaitu :

  1. Kemampuan merancang, dan membangun.
  2. Mewujudkan seni bangunannya menurut bermacam- macam prinsip seperti : bentuk, konstruksi. bahan, fungsi dan keindahan
Bangunan Bali yaitu

Setiap bangunan yang berdasarkan tattwa (falsafah) agama Hindu

Filosofis bangunan Bali

Ialah adanya hubungan yang erat dan hidup antara bhuwana alit dengan bhuwana agung yang perwujudannya dilandasi oleh ketentuan agama Hindu.

Pengelompokan bangunan Bali meliputi
  1. Bangunan suci/ keagamaan.
  2. Bangunan Kepara/ adat.
Beberapa ketentuan- ketentuan bangunan Bali:
  1. Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
  2. Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala/ Kosali.
  3. Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala/ Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya
Bangunan Bali mengandung ciri- ciri :
  1. Pengider- ideran (Catur Loka Phala/ Asta Dala).
  2. Tri Mandala/ Tri Loka
  3. Adanya upacara sangaskara/ penyucian.
  4. Mengandung simbul- simbul sesuai dengan ajaran agama Hindu, (misalnya: Sanghyang Acintya, Naga, Padma dan sebagainya).
Jenis- jenis bangunan Bali
  1. Bangunan suci/ keagamaan ialah segala pelinggih- pelinggih yang disucikan, termasuk patung- patung/ arca- arca serta perlengkapannya.
  2. Bangunan Kepara/ adat adalah bangunan- bangunan perumahan, adat, dan bangunan Bali lainnya.
Bentuk dan nama bangunan Bali

Bentuk dan nama bangunan Bali berdasarkan ketentuan- ketentuan lontar Asta Dewa, Asta Kosala/ Kosali dan Lontar Wisma Karma.


Tata laksana dan penyucian bangunan Bali antara lain :
  1. Ngeruwak Karang.
  2. Nyukat Karang.
  3. Nasarin.
  4. Memakuh.
  5. Ngurip- urip
posted by I Made Artawan @ 00.47   0 comments
Rerainan
Rerahinan/Yadnya yang dilakukan berdasarkan Saptawara dengan Pancawara, Anggara Keliwon / Anggara Kasih, Budha Wage, Budha Keliwon, Saniscara Keliwo



a. Anggara Keliwon / Anggara Kasih

Pada hari ini meyoga Ida Sang Hyang Ludra, untuk membasmi segala kekotoran (leteh-letuh) di bumi, termasuk kekotoran tubuh, lahir dan batin. Widhi-widhana berupa canang reresik, canang puspa wangi-wangian, menyan astanggi dan asap harum dihaturkan ke hadapan Dewa Sang Hyang Ludra, untuk mohon belas kasihnya melebur dan membersihkan segala kekotoran dan kenistaan. Selesai bersembahyang dilakukan metirtha gocara

b. Budha Wage

Hari ini disebut pesucian/ peyogan Sang Hyang Manik Galih yang menurunkan Sang Hyang Ongkara Mreta di bumi. Pemujaan dilakukan di sanggah Kemulan dan di atas tempat tidur. Upakaranya: Canang reresik, Canang Yasa, asap dupa dan harum-haruman. Dihaturkan di sanggah Kemulan, memuja Dewi Sang Hyang Çri Nini, agar diciptakannya kemakmuran dunia dan agar hidup dan kehidupan mendapatkan keselamatan.
Pada malam harinya, dilakukan Dhyana dan Yoga semadhi, menciptakan budhi suksma, melepaskan atau menutup indrya, mewujudkan satu tujuan suksma suci.

c. Budha Keliwon

Hari ini dinamai pesucian (pembersihan) Sang Hyang Ayu atau Sang Hyang Nirmala Jati. Pemujaan dilakukan di sanggah Kemulan dan di atas tempat tidur. Widhi widananya: canang reresik, canang yasa, kernbang pepayasan, puspa harum dan asap dupa astanggi. Dengan mengheningkan seluruh pikiran memohon keselamatan dunia dengan segala isinya dan keselamatan rumah tangga, agar memperoleh rahayu-werdhi dirgha yusa. Setelah upacara dilaksanakan, bersembahyang, kemudian dilakukan metirtha gocara.

d. Saniscara Keliwon

Hari ini bernama tumpek, turunnya Sang Hyang Widhi Wiçesa. Pada hari ini kita hendaknya selalu mengingat Sang Hyang Widhi Wiçesa (Sang Hyang Widhi Tunggal), yang mengaruniakan Sanghyang Dharma dan tatwa-tatwa / ilmu-ilmu pengetahuan. Pada hari tumpek ini dihaturkan upacara di sanggah / pemerajan, di pura, kahyangan dan parhyangan dengan upakara: canang burat wangi, canang yasa, canang reresik, puspa serba harum dan asap dupa astanggi.
Pada malam harinya, tidak diperkenankan melakukan pekerjaan, cukup dengan berdiam diri sambil mengheningkan cipta, menyatukan pikiran memuja Ida Sanghyang Dharma, yang turun melimpahkan karunia-Nya. Yang ingin dicapai adalah kesucian pikiran, timbulnya Budhi-sattwam, yang mengakibatkan kesempurnaan dan keselamatan dunia dan isinya.

Kita berdoa memohon limpah kemurahan dari Ida Sang Hyang Widhi Dharma, terutama pujaan kita terhadap Sang Hyang Widhi Wiçesa memohon restu untuk keselamatan kita di segala bidang.

posted by I Made Artawan @ 00.30   0 comments
Calonarang

Calonarang merupakan Dramatari ritual magis yang melakonkan kisah-kisah yang berkaitan dengan ilmu sihir, ilmu hitam maupun ilmu putih, dikenal dengan Pangiwa / Pangleyakan dan Panengen. Lakon-lakon yang ditampilkan pada umumnya berakar dari cerita Calonarang, sebuah cerita semi sejarah dari zaman pemerintahan raja Airlangga di Kahuripan (Jawa timur) pada abad ke IX. Cerita lain yang juga sering ditampilkan dalam drama tari ini adalah cerita Basur, sebuah cerita rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat Bali. Karena pada beberapa bagian dari pertunjukannya menampilkan adegan adu kekuatan dan kekebalan (memperagakan adegan kematian bangke-bangkean, menusuk rangda dengan senjata tajam secara bebas) maka Calonarang sering dianggap sebagai pertunjukan adu kekebalan (batin). Dramatari ini pada intinya merupakan perpaduan dari tiga unsur penting, yakni Babarongan diwakili oleh Barong Ket, Rangda dan Celuluk, Unsur Pagambuhan diwakili oleh Condong, Putri, Patih Manis (Panji) dan Patih Keras (Pandung) dan Palegongan diwakili oleh Sisiya-sisiya (murid-murid). Tokoh penting lainnya dari dramatari ini adalah Matah Gede dan Bondres. Karena pagelaran dramatari ini selalu melibatkan Barong Ket maka Calonarang sering disamakan dengan Barong Ket. Pertunjukan Calonarang bisa diiringi dengan Gamelan Semar Pagulingan, Bebarongan, maupun Gong Kebyar. Dari segi tempat pementasan, pertunjukan Calonarang biasanya dilakukan dekat kuburan (Pura Dalem) dan arena pementasannya selalu dilengkapi dengan sebuah balai tinggi (trajangan atau tingga) dan pohon pepaya.
posted by I Made Artawan @ 00.00   0 comments
Wayang Cenk Blonk
Minggu, 21 Oktober 2007
Judul Wayang Cenk Blonk yang sudah beredar di pasaran : Gita Raga, Gugurnya Gatotkaca, Ludra Murti, Pustaka Danur Dara, Ratna Takeshi, Kumbakarta Lina, Suryawati Hilang, Peranda Vs Sokir, Sangut, Merdah, Delem, Clip Wayang Cenk Blonk, Clip Lagu Bali. Clip Wayang Cenk Blonk http://www.youtube.com/watch?v=D2LKAl3tfXg&mode=related&search=
http://www.youtube.com/watch?v=y4F5ysCazI0 http://www.youtube.com/watch?v=1PlzXZcD1kY&mode=related&search=
http://www.youtube.com/watch?v=NTr-PMDKJsY&mode=related&search=
http://www.youtube.com/watch?v=6b5a9qaDQvk&mode=related&search=
http://www.youtube.com/watch?v=VUHoYBNaOEY&mode=related&search=
http://www.youtube.com/watch?v=sc_FjiSQ1fw&mode=related&search=
http://www.youtube.com/watch?v=vf_VwHJ7bns&mode=related&search=
http://www.youtube.com/watch?v=renGpia7-Uo&mode=related&search=
Wayang, kesenian tradisional dahulu mungkin akan membosankan jika ditonton remaja. Sedari aku kecil, sangat jarang pertunjukan wayang bisa menyedot ratusan penonton yang antusias. Paling hanya Wayang Lemah (Wayang yang dipentaskan siang hari), sedikit menghias upacara-upacara kecil, yang penontonnya mungkin lebih tertarik pada gadis-gadis yang bersliweran lewat membawa nampan berisi kopi dan camilan.
Namun kini Wayang di Bali, telah mulai bangkit dengan begitu banyak kreasinya. Menyedot perhatian penonton tua muda hingga anak kecilpun antusias menanti, kapan pertunjukan akan diadakan. Bahkan tak jarang, tampa pamflet yang ditempelpun, informasi begitu cepat menyebar dari kuping ke kuping masyarakat yang memang menantikan hiburan ditengah krisis Indonesia berkepanjangan. Cenk Blonk Belayu, pertama kali aku kenal dari seorang teman kerja, Ramaita, yang iseng membeli vcd original 2 keping, kalo gak salah, tahun 2002, dan tak bosan-bosan kami tonton saat istirahat, maupun hanya didengar suaranya saja, saat asyik bekerja, lantas mulai ditularkan pada sanak sodara hingga dibuatkan kopiannya dan dikirim ke Kanada, untuk kakak yang bersekolah disana. Keluar dari pakem yang ada, menciptakan 2 penokohan baru, kalo tidak salah, Nang Ncenk dan nang Eblonk, yang selalu keluar tampil menjelang berakhirnya cerita. Hingga kini sudah 3 vcd originalnya yang beredar plus 1 vcd bajakan benar-benar menciptakan hiburan yang baru di mata masyarakat, yang mulai sering dipentaskan saat upacara-upacara besar di Pura maupun tempat-tempat pertunjukan. Tidak salah jika kini banyak dalang-dalang yang latah, ikut-ikutan berusaha untuk eksis, seperti Wayang Joblar, namun bagiku pribadi, sangat disayangkan bahwa baik cerita maupun banyolan yang dibawakan sangat vulgar dan kasar, bahkan terkesan memaksa. Tidak heran kalau para peniru ini tidak berumur panjang. Ceng Blonk sampai hari ini, bagi kami pribadi ilingkungan rumah, makin bertambah saja penggemarnya. Anak-anak kecil keponakan kami, bahkan mulai merayu Bapak maupun Kakek mereka untuk dibuatkan Wayang dari karton maupun kertas manila, untuk kemudian berandai menjadi Dalang layaknya Cenk Blonk Belayu. Yang lebih membuatku tersenyum, walaupun dalam hati, Istriku bahkan mulai ikut menyukai walau hanya baru sebatas mendengarkan banyolannya saja, yang iseng-iseng aku potong dan kumpulkan, hanya pada bagian lawakannya saja –Sangut Delem dan tokoh Cenk Blonk. Ini terjadi, lantaran Om dari Istri baru sebulan ini resmi menjadi Dalang baru didesanya. Semoga saja, apa yang telah dirintis oleh Cenk Blonk, benar-benar dapat membangkitkan Dalang-dalang baru yang tentunya diharapkan tanpa menjadi penjiplak, apa yang telah dilakukan Cenk Blonk sebelumnya. Jika mendengar nama dalang I Wayan Nardayana, kening Anda pasti berkerut, siapakah dia? Tetapi kalau mendengar nama Cenk Blonk, pastilah langsung ingatan Anda melayang pada pertunjukan wayang yang sangat digemari banyak kalangan. Wayang Cenk Blonk memang tengah naik daun, namun tahukah Anda bahwa perjalanan suksesnya tidak gampang? Dalang laris yang tengah mengambil kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar ini pernah bekerja sebagai tukang parkir di swalayan Tiara Dewata. Namun demikian ia tetap mengasah kemampuannya dalam mendalang. Ia mengakui bahwa lakon wayang yang dibawakan dulunya lebih banyak yang ngomong jorok, namun sekarang ia berusaha memasukkan banyak tuntunan pada masyarakat. Lantas, mengapa dalang yang berpentas sedikitnya 20 kali per bulan ini menolak didokumentasikan pementasannya? Tetapi, mengapa ia justru bangga banyak dalang yang menirunya? Berikut wawancara Bali Post dengan dalang Cenk Blonk. Hasil wawancara ini juga disiarkan Radio Global 99,15 FM, Sabtu (28/6) kemarin.

MENGAPA Anda memakai nama Cenk Blonk?
Dalam pewayangan ada beberapa tokoh punakawan yang namanya Nang Klenceng, Nang Ceblong, Nang Ligir, Nang Semangat dan sebagainya. Tokoh-tokoh itu sudah dikenal masyarakat. Pada mulanya, nama wayang saya bukan Cenk Blonk, namun Gitaloka. Makanya setiap pementasan saya cantumkan di kelir nama "Wayang Gitaloka dari Belayu". Setiap pentas saya menampilkan dua tokoh itu, Nang Kleceng dan Nang Ceblong selain Tualen, Merdah, Sangut dan Delem. Tetapi setiap pentas, tidak ada orang yang menyebut nama pertunjukan saya Wayang Gitaloka. Waktu pentas di Jempayah, Mengwitani, saat saya masih duduk di mobil dan ada penonton yang bertanya pada temannya, "Wayang apa yang pentas?" Temannya menjawab, "Wayang Cenk Blonk." Saya kaget, lho saya kok dibilang Wayang Cenk Blonk? Padahal nama wayang saya Wayang Kulit Gitaloka. Mungkin bagi masyarakat nama itu lebih gampang. Maka akhirnya saya ubah nama Gitaloka menjadi Wayang Kulit Cenk Blonk, di kelir saya isi dengan gambar Cenk Blonk, lalu saya beri tulisan Cenk Blonk. Cenk saya ambil dari nama Nang Klenceng dan Blonk dari Nang Ceblong.

Anda banyak berimprovisasi dalam pewayangan yang tidak lazim di Bali, mengapa?
Suatu kesenian menurut saya tidak boleh kaku, diam, sementara zaman bergelinding terus. Jadi, suatu kesenian harus mengikuti zamannya. Saya melirik apa yang disenangi penonton saat ini. Kita tahu, fungsi wayang sebagai wali, tuntunan dan tontonan. Sebagai tontonan harus bisa menarik dan menghibur masyarakat. Bagaimana dalang bisa memberikan tuntunan pada masyarakat, sementara penontonnya enggak suka. Sekarang kebanyakan orang stres dengan pekerjaannya, jadi mereka menonton itu untuk mencari hiburan atau menghilangkan kepenatan sehingga banyak lelucon yang saya tampilkan.

Setelah saya kuliah di STSI Denpasar, saya diingatkan terus-menerus bahwa wayang itu sebagai tontonan dan tuntunan, sehingga saya berusaha mengembalikan ke fungsi semula yaitu tuntunan. Saya melucu tetap melucu namun leluconnya saya isi dengan muatan-muatan agama, politik, ekonomi dan sebagainya. Ini mungkin yang membuat kita semakin eksis.

Dari mana dan bagaimana proses mendapatkan ide pementasan?
Ide-ide itu muncul dari baca buku, koran, banyak bergaul dan banyak bertanya. Dari percakapan sehari-hari dengan tidak sengaja kita mendapatkan suatu poin atau ide. Saya tidak menutup diri bahwa saya pun meniru dalang-dalang yang lain. Misalnya dalang favorit saya IB Ngurah (alm) dari Buduk, dalang Jagra dari Bongkasa, ada beberapa dialognya yang saya tiru namun tidak jiplak begitu saja, saya kembangkan sesuai dengan kemampuan saya.

Apa resep yang bisa diterapkan agar wayang semakin menarik?
Saya kembalikan pada saya sendiri. Wayang beberapa tahun yang lalu hanya ditonton orang-orang dewasa atau orang tua. Lalu saya berpikir, bagaimana caranya agar wayang itu menarik untuk anak-anak remaja, makanya saya cari apa yang disenangi remaja tanpa lepas dari norma-norma. Melucu boleh, namun ada aturannya. Perlu diketahui, membuat lelucon lebih sulit daripada membuat filsafat. Membuat filsafat bisa kita dapatkan dari membaca buku, lalu kita tulis dan hafalkan. Tetapi membuat lelucon? Bisa saja kita tulis lalu kita bacakan, lantas apakah penonton mau tertawa? Makanya saya mengimbau kepada dalang-dalang agar terus mengasah diri, terjun ke masyarakat dan mencari tahu apa yang mereka sukai dan apa yang diingini. Kesenian bukan untuk diri sendiri sang seniman, namun hasil karyanya untuk orang lain.

Bagaimana suatu kesenian itu bisa dikatakan bagus kalau yang nonton tidak ada?
Mengapa Anda kuliah di STSI? Denpasar? Setelah laris seperti sekarang, bagi seniman, ini adalah tantangan. Kita tidak boleh berdiam diri atau berbangga diri sebab penonton punya rasa bosan. Untuk mengantisipasi ini, saya terus mengasah diri. Setelah kuliah di STSI Denpasar saya dapat rasakan bergaul dengan seniman-seniman, dengan dosen yang tahu tentang wayang. Akan semakin terbuka wawasan kita untuk memandang bagaimana wayang itu agar dapat kita kembangkan sejauh kemampuan kita. Sebelumnya saya tidak punya guru khusus mendalang. Selain itu, sebelum kita kembangkan harus tahu dasar-dasar tradisinya, barulah kita akan melangkah pada pengembangan.

Apa ilmu yang dapat Anda terapkan dari kuliah di STSI?
Seperti yang sering penonton lihat, artistik kelir itu saya dapatkan dari STSI. Pengaruhnya memang banyak dari Jawa, namun saya transfer dengan gaya Bali. Ada tambahan sinden. Sebelum kuliah, wacana leluconnya pasti agak norak atau porno, namun sekarang saya berusaha terus-menerus untuk menekan hal-hal seperti itu. Rasa tidak puas mendapatkan kuliah pasti ada. Itulah sebabnya saya sering bertanya pada dosen baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Bagaimana awalnya Anda mendalang?
Saya tamat SMA tidak punya pekerjaan. Ekonomi morat-marit. Saya tidak punya keterampilan sehingga melakoni pekerjaan apa saja, termasuk sebagai tukang parkir. Namun saya terus berpikir, apakah kehidupan saya akan terus begini? Saya masih mencari jati diri, itulah sebabnya saya kuliah di IHD (Institut Hindu Dharma, red), namun terbentur dengan biaya. Akhirnya terpaksa berhenti dan menikah. Pekerjaan dalang ini sudah saya tekuni. Namun demikian, saat itu pentasnya tidak tentu. Kalau ada orang yang meminta saya mendalang barulah pentas, enam bulan belum tentu. Saya lakoni sebagai tukang parkir sambil melirik peluang pekerjaan lain.

Saya rasakan payah sekali waktu itu, sebab dari Blayu ke Gemeh, Denpasar, saya pulang-perginya naik sepeda gayung. Tetapi waktu itu perasaan sakit atau kurang sehat tidak pernah saya rasakan. Mungkin karena sering olah raga. Enggak seperti sekarang sakit-sakitan. Setelah saya kawin, entah bagaimana, pekerjaan mendalang itu mulai laris. Awalnya saya pentas di Blahkiuh, lalu merembet ke Abiansemal dan seterusnya. Jadi cerita tentang pementasan wayang saya dari mulut ke mulut, akhirnya banyak sekali orang yang meminta saya pentas.

Sebelum laris mendalang, seperti apa perangkat wayang yang Anda miliki?
Saya tidak punya warisan wayang dari leluhur. Tetapi sejak kecil saya suka mengukir dan menggambar. Saya bikin wayang sendiri. Awalnya saya punya 20 buah wayang dan di-pelaspas di pura. Saya di-winten jro mangku, maka saya sah jadi dalang. Sambil jalan saya bikin lagi dan kalau punya uang saya beli wayang. Hingga sekarang saya masih membuat wayang sendiri. Saya punya satu gedog wayang untuk koleksi. Saya belum pernah terima pesanan wayang. Tetapi kalau dipesan untuk bikin wayang, saya enggak sanggup, enggak sempat.

Setelah laris, Anda justru membatasi pementasan, mengapa?
Pertama, untuk kesehatan. Sebab pekerjaan dalang banyak begadang. Kalori untuk begadang lebih banyak dikeluarkan. Di samping itu, untuk menjaga agar penonton tidak bosan. Semakin sering kita pentas, penonton akan semakin cepat bosan. Sebab kita akui, sebagai manusia kita mempunyai keterbatasan. Bagaimana kita setiap malam bisa memuaskan penonton? Sementara penonton terus menginginkan hal-hal yang baru. Kita belum tentu mendapatkan hal-hal baru. Sekitar dua tahun yang lalu saya pernah tifus dan opname 10 hari, lalu saya mengaso satu bulan. Ada yang bilang kalau dalang Cenk Blonk sudah meninggal. Itu namanya gosip, namanya juga seniman atau selebritis kan biasa diisukan, ha, ha, ha...

Seberapa banyak Anda pentas dalam satu hari?
Kalau dulu saya pernah pentas satu malam dua kali. Misalnya pukul 20.00 sampai 22.30 wita, lalu sisanya ke tempat lain. Karena orang senang, maka jam berapa pun orang akan menunggu. Sekarang saya enggak mau seperti itu, semalam hanya pentas sekali saja. Sebab persiapan untuk pentas satu kali itu lama sekali. Selain itu, sekarang saya bekerja sama dengan sanggar. Personelnya berasal dari desa-desa yang jauh. Biasanya, personel kami 30 orang termasuk penabuh, gerong, dan pendamping-pendamping saya. Normalnya, kami mulai pentas pukul 21.00 wita, pukul 19.00 sudah sampai di tempat.

Apakah ada pesan-pesan yang diselipkan penanggap wayang Anda?
Itu tidak tentu. Kalau penanggapnya ingin memasukkan pesan dalam pertunjukan wayang, biasanya disampaikan jauh-jauh hari saat ia pesan untuk pementasan. Lebih banyak diserahkan pada kreasi kami. Biasanya saya pentas dalam rangka upacara, misalnya upacara manusa yadnya atau dewa yadnya.

Usia Anda masih muda, namun seakan sudah jadi dalang senior, bagaimana perasaan Anda?
Maaf, saya bukan merasa diri senior. Saya masih tetap belajar. Sejak umur delapan tahun saya sudah mulai belajar mendalang. Saya pakai wayang kertas atau wayang karton. Di desa kami ngumpul delapan orang lalu membuat satu grup gamelan wayang yang diiringi tingklik. Hampir setiap malam pentas. Kalau ada orang ngotonan, kami diminta pentas dengan alat sederhana, kelir seadanya dan wayangnya dari karton serta gedog-nya dari triplek. Saat kenaikan kelas, rapor saya semuanya merah. Lalu orangtua saya marah. Wayangnya dibakar. Orang tua saya petani dan beliau menginginkan saya jadi pegawai. Tetapi saya tidak berkeinginan seperti itu. Sebelum mendalang saya juga punya grup drama gong yang sering juga pentas.

Setamat SMA, saya belum juga serius mendalang. Lalu ada tukang topeng, I Gusti Ketut Putra yang mengajak saya untuk gabung dengan sekaa topengnya. Sampai sekarang pun saya masih punya topeng satu set. Kalau ada yang minta menari topeng Sidakarya, saya ladeni. Kalau di luar desa saya tidak mau, karena saya eksis di pedalangan.

Bagaimana pengalaman Anda nonton wayang waktu anak-anak?
Sejak kecil saya senang sekali melihat dalang memainkan wayang. Saya enggak senang melihat bayangannya dari depan, tetapi saya suka lihat dari belakang. Di samping itu, ketika dalang itu datang, ia sangat dihormati sekali. Melihat itu saya kagum, "Wah enak sekali jadi dalang, saya ingin seperti itu." Waktu saya kecil kesenian wayang ini sangat favorit. Di desa saya ada wayang Pan Yusa yang sering ditanggap, setiap pementasannya saya menonton.

Anda ingin mengembangkan wayang seperti apa?
Saya ingin suatu saat wayang Bali menjadi hiburan yang favorit seperti konser-konser musik pop Bali sekarang. Makanya, saya terus melakukan pembenahan baik di bidang manajemen, dengan sanggar, dalam cerita, wacana, teknik-teknik mendalang terus saya asah. Saya berharap, dalang-dalang yang lain juga melakukan hal itu. Jadi terus mengasah diri agar wayang menjadi hiburan yang favorit. Saya memang belum berkolaborasi dengan penyanyi pop Bali, walaupun seperti di Jawa ada yang namanya wayang campur sari. Kita tetap pada inti wayang kulit, namun kita tetap menyelidiki, apa yang disenangi masyarakat, apa yang harus dibenahi dengan tidak menghilangkan akar-akar tradisi.

Menurut Anda, pakem wayang itu apa?
Misalnya pakem Sukawati, sebelum ada pakem itu apakah sebelumnya tidak ada pakem wayang sebelumnya? Bentuknya lain, masyarakat tidak puas, lalu dikembangkan lagi seperti yang kita temukan di Buduk. Seniman tidak puas, ia kembangkan lagi, ia ingin punya ciri tersendiri. Jadi kita keluar dari pakem yang mana? Saya juga punya pakem. Pakem di Buleleng beda dengan Gianyar, juga beda dengan Buduk. Saya buat pakem sendiri, syukur kalau ditiru orang lain. Sekarang saya lihat di kelir-kelir itu sudah banyak diisi tulisan. Gambar kayak Cenk Blonk sudah banyak sekali ditiru, lalu muncul dengan nama Co Blank, Ce Klin. Kita mendalang bukan menantang hal itu, yang penting mendalang, itu saja! Ritual yang dilakukan apa?

Dalam pedalangan ada kitab Dharma Pewayangan untuk aturan dalang. Dalang juga memiliki pantangan, misalnya jangan makan jejeron. Dari segi medis, jejeron itu panas, karena kita duduk. Kalau dari segi ilmu pewayangan, jejeron merupakan tempat-tempat wayang itu berada di dalam diri kita. Untuk protein saya mengkonsumsi kacang, tahu, dan tempe. Saya suka jalan-jalan supaya keluar keringat. Yang pasti pikiran jangan stres sebab penyakit berasal dari pikiran.
* Pewawancara:
Asti Musman

posted by I Made Artawan @ 00.00   1 comments
Satua Bali
Sabtu, 20 Oktober 2007
Ade Kone Katuturan Satwa : ZAMAN sekarang agak sulit menceritakan dongeng tentang orang-orang miskin, misalnya peminta-minta. Dongeng selalu mengajak agar penyimak menaruh belas kasihan kepada mereka. Tetapi kenyataan menjadi lain. Orang miskin dulu adalah miskin lahiriah tetapi kaya rohaniah. Orang miskin sekarang benar-benar miskin. Bukan saja miskin lahiriah, juga miskin rohaniah. Perlu dicarikan dongeng-dongeng yang cocok untuk itu.

------------

Dongeng yang banyak diwariskan oleh orang tua kita, jelas-jelas memihak kepada orang miskin yang murni, artinya miskin lahiriah tetapi kaya rohaniah. Mereka adalah orang-orang yang tidak cukup makan, tidak punya tempat tinggal dan bahkan tidak punya sanak keluarga. Tetapi mereka tetap berbuat jujur, polos, rajin bekerja, patuh dan berbuat baik terhadap setiap orang. Kepada merekalah dongeng itu berpihak.

Kalau demikian, perlukah orang berbuat pelit terhadap mereka? Apa pula ganjaran yang ditimpakan bagi orang-orang pelit? Ikutilah sebuah dongeng Norwegia yang sudah dikembangkan dan diolah menjadi kisah sebagai berikut.

***

Tersebutlah seorang perempuan kaya. Ia selalu mengenakan topi merah di kepalanya. Perempuan itu punya perusahaan roti yang cukup laris. Rotinya enak dan digemari semua orang. Pantas ia menjadi kaya.

Sebetulnya ada sebab lain yang menyebabkan ia cepat kaya, yakni sifat pelit yang berlebihan. Ia tidak suka kalau bahan-bahan rotinya terbuang. Semua harus menjadi uang. Ia juga tidak suka kalau sisa rotinya diambil oleh karyawan, apalagi menyumbangkannya kepada orang lain.

Pada suatu hari seorang pengemis mampir ke perusahaan roti itu. Pengemis itu sangat dekil dan selalu meraba perutnya yang lapar. "Berilah hamba sedikit roti, Nyonya! Perut hamba sangat lapar," kata pengemis itu.

"Enak benar kamu! Bermalas-malasan tetapi ingin makan enak!" bentak perempuan kaya itu.

Keesokan harinya pengemis yang lapar itu datang lagi. "Berilah hamba sedikit roti, Nyonya! Perut hamba sangat lapar."

"Enak benar kamu! Bermalas-malasan tetapi ingin makan enak!" jawab Nyonya itu lagi.

"Hamba hanya minta remah-remahnya, Nyonya!" pinta pengemis itu.

"Remah roti ini tidak dibuang, tetapi dijadikan uang, tahu!" bentak pengusaha kaya itu.

Pengemis itu pergi. Di sepanjang jalan ia mengumpat. "Pelit benar kamu!" katanya, "Terkutuklah kamu menjadi burung pelatuk yang suka makan kulit kayu dan hanya minum air dari curah hujan!"

Seketika itu pula perempuan pengusaha roti itu menjadi burung pelatuk. Ia bersayap dan berjambul merah. Ia terbang ke mana-mana, meninggalkan pabrik rotinya. Perutnya sangat lapar, tetapi ia tidak tahu apa yang mesti dimakan. Ketika mencari makan di cerobong pabrik, sayapnya kena semprot kepulan asap hitam. Bulu-bulu sayap itu berubah menjadi hitam.

Makin hari ia bertambah lapar dan haus. Ia belum juga mendapatkan makanan dan air. Meminta-minta kepada hewan lain, tentu ia malu. Terpaksalah ia hanya makan kulit kayu. Dan untuk melepaskan dahaga, ia hanya tergantung kepada curah hujan.

"Betapa susahnya burung pelatuk itu!" kata seekor tupai yang melihat burung pelatuk itu mematuk-matuk kulit kayu. "Itulah kutukan bagi orang kaya yang pelit," sahut burung kepodang yang sedang mengeram telur di sarangnya.

***

Perempuan pengusaha roti itu, kaya lahiriah tetapi miskin rohaniah. Sama dengan Men Sugih dalam dongeng Bali. Sifat pelitnya dibarengi dengan sifat serakah, tidak suka menolong, dan suka mencemooh orang miskin. Sebetulnya pengusaha roti yang pelit itu tidak lebih daripada seekor burung pelatuk. Kelihatannya saja kaya, tetapi rohaninya sangat miskin. Makanannya bukan roti tetapi kulit kayu, minumannya bukan susu tetapi curah hujan.

Demikian pula Men Sugih. Perempuan yang tinggal di rumah mewah dan makan berlebihan itu, tidak lebih daripada seorang perempuan yang terjebak di semak-semak berduri. Perempuan pelit yang tidak suka menolong itu pada akhirnya membutuhkan pertolongan orang lain.

* made taro

posted by I Made Artawan @ 22.51   1 comments
Sejarah Puputan di Bali
Bali bukanlah hanya kisah kekalahan demi kekalahan melawan Belanda lewat puputan. Bali pernah menang menghadapi penjajah licik bersenjata modern, di Jagaraga dan Kusamba. Tapi, kenapa Bali malah riuh dengan puputan dan kisah kekalahan? Alangkah riuh seabad puputan Badung diperingati. Peristiwa 20 September 1906 di Denpasar—saat itu lazim disebut Badung—tersebut memang kerap dielu-lukan, dibangga-banggakan, terutama oleh pemerintah daerah, meskipun berujung pada kekalahan telak di pihak Badung, Bali. Saban kali orang mengenang peristiwa heroik rakyat Bali melawan penjajah Belanda, orang sontak menyebut puputan sebagai rujukan utama. Lewat buku-buku pelajaran sekolah, anak-anak Bali pun ditebari kisah puputan sebagai bentuk perjuangan jitu orang Bali.
Tak heran bila momentum seabad puputan Badung, 20 September 2006, dikenang begitu riuh: ada seminar, peluncuran buku, hingga gelar seni—tentu tiada terlupakan aneka perlombaan bernuansa meriah berupa gerak jalan, lomba balaganjur, dan semacamnya. Dengan begitu terbentuklah citra salah: Bali cuma punya puputan dan kekalahan ditekuk Belanda.
Petinggi-petinggi Bali di birokrasi pemerintahan salah mencitrakan diri dengan meriuhkan kekalahan, malah abai memaknai kemenangan. Tak banyak yang ingat, menyadari, sesungguhnyalah Bali punya catatan prestasi menekuk Belanda, mengalahkan si penjajah. Bali pernah menang melawan Belanda: di Jagaraga, Buleleng, 9 Juni 1848, dan di Kusamba, Klungkung, 25 Mei 1849. Bali bukanlah hanya kekalahan demi kekalahan lewat puputan. Bali juga punya kemenangan yang patut dipancangkan ke sanubari generasi baru Bali agar tidak berjiwa kerdil, menjadi pecundang dengan hanya mendengar kata puputan.
Pelajaran kemenangan itu dipancangkan 9 Juni 1848. Dalam peristiwa hampir 20 windu itu, Belanda yang bersenjata tempur otomatis dan lengkap keok oleh laskar persekutuan segitiga Buleleng-Karangasem-Klungkung di bawah panglima perang Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik.
Itulah momentum kemenangan laskar bertombak Bali yang tak hanya memberangkan Gubernur Jenderal J.J. Rochusen di Batavia tapi juga mengguncangkan parlemen di Negeri Belanda. Peristiwa kemenangan Jagaraga itu dimulai setelah Belanda gagal memaksa Raja Buleleng I Gusti Made Karangasem dengan Patih Agungnya, I Gusti Ketut Jelantik, untuk sukarela menyerahkan kedaulatan wilayah Kerajaan Buleleng di bawah kekuasaan Belanda. Paksaan itu ditekankan Belanda lewat Komisaris Pemerintah JPT Mayor dengan menunjukkan selembar kertas yang berisi perjanjian pengakuan raja-raja di Bali kepada pemerintah kolonial Belanda, tahun 1841-43.
Patih Jelantik terang saja murka dipaksa-paksa begitu. Sembari memukul dadanya sendiri dengan kepalan tangan, putra I Gusti Nyoman Jelantik Boja yang sudah lama menetap di Sangket, Buleleng, itu berseru keras, “Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas, tetapi harus diselesaikan di atas ujung keris. Selama aku, Patih Agung Jelantik, masih hidup, kerajaan ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda!” Surat perjanjian itu lalu dirobeknya dengan ujung keris.
Diberi tempo waktu 3 x 24 jam buat memenuhi tuntutan Belanda, Jelantik tetap kukuh, bergeming. Dalam perundingan ulang yang dijembatani Raja Klungkung, 12 Mei 1845, di Puri Klungkung, pun Jelantik tetap menepis permintaan Belanda. “Hai, kau, si mata putih yang biadab!” balas Patih Jelantik dengan kata dan raut muka mengejek ke arah utusan Belanda, “Sampaikan pesanku kepada pemimpinmu di Betawi agar segera menyerang Den Bukit!”
Belanda memulai ekspedisi militer pertama ke Bali, 27 Juni 1846. Dari sini Belanda menguasai Buleleng setelah melewati pertempuran sengit hingga 29 Juni 1846. Raja Buleleng dan Patih Jelantik mundur ke Jagaraga. Di sinilah Jelantik mulai membangun benteng-benteng pertahanan dalam bentang alam yang strategis dengan gelar “Supit Urang”. Alam Jagaraga memang tandus, namun topografinya sebagai pegunungan terjal dengan dua sungai pengapit di kiri-kanan yang menghubungkan ke tepian pantai dijadikan basis pertahanan.
Benteng “Supit Urang” tulah menjadikan Belanda dalam ekspedisi militer kedua di bawah Panglima Perang Mayor Jenderal van der Wijck keok. Dalam pertempuran sengit di Jagaraga, 9 Juni 1848 itu, van der Wijck tak ada pilihan kecuali memerintahkan pasukannya yang sudah kehabisan mesiu mundur ke Sangsit, lalu ngacir lagi ke Jawa, esoknya. Sayangnya, Patih Jelantik tak memerintahkan laskarnya terus mengepung pasukan Belanda yang sudah jerih itu.
Kekalahan Belanda itu menggemparkan Batavia, seluruh Hindia, hingga ke parlemen Belanda. Pihak Belanda mengagumi dan mengakui kedahsyatan strategi perang Patih Jelantik. Mereka menduga-duga Jelantik telah mendapat pengarahan dari ahli militer Eropa. Terang saja itu cuma tafsiran bohong sebab Jelantik justru menyerap ilmu perang dari hamparan subur susastra-agama yang bertebaran di Bali.
Strategi unggul-ulung Jelantik itu merenggut korban di pihak Belanda, berupa: tewas 5 perwira, 94 bintara dan prajurit; luka-luka 7 perwira, 98 bintara dan prajurit. Masih ada pula 32 bintara tak bisa diandalkan akibat kelelahan dan luka ringan, serta 24 prajurit lain mesti dirawat di rumah sakit darurat akibat pertempuran dua hari menghadapi pasukan Jagaraga. Sedangkan dalam laporannya kepada Raja Klungkung, Patih Jelantik mencatat di pihak Jagaraga jatuh korban: tewas 3 pedanda, 35 kaum brahmana, 163 bangsawan dan pembekel, serta 2.000 prajurit.
Kedahsyatan semangat tempur laskar Patih Jelantik dicatat dalam kesaksian orang Belanda yang menulis di Surat Kabar Negara Belanda (De Nederlandsche Staatcourant) dengan kode K, sebagaimana dikutip Ide Anak Agung Gde Agung dalam Bali pada Abad XIX (1989). Di sana K menulis, “Bukan karena kubu-kubu pertahanan yang kuat menghalangi pasukan kita (baca: Belanda, Red) untuk menguasai Jagaraga, akan tetapi karena perlawanan yang berani, galak, dan penuh semangat juang musuh yang tak kunjung padam, yang sepuluh kali jumlahnya dibandingkan kekuatan kita, dan berhasil memukul mundur pasukan kita tiga kali dari kubu pertahanan yang berhasil diduduki oleh batalyon ketiga dan sesudah itu mengadakan serangan balasan terhadap kedudukan kita, akan tetapi berhasil ditahan dengan tembakan meriam. … Siasat itu tidak berhasil karena Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik berada di tempat dan memimpin pasukannya dengan memberi semangat juang kepada pasukan Bali, sehingga mereka memberi perlawanan hebat dengan gaya tempur yang belum pernah kita alami dan tidak ada bandingannya dalam medan perang lain dalam sejarah panjang angkatan darat kita di Hindia.”
Lewat ekspedisi militer ketiga ke Buleleng di bawah Panglima Perang Jenderal A.V. Michiels, Jagaraga memang bisa direbut Belanda, 16 April 1849. Saat itu, Belanda mengerahkan militer besar-besaran dengan kekuatan: 4.737 orang pasukan angkatan darat, 2.000 tenaga buruh dari Madura, dan 1.000 tenaga cadangan dari Jawa Timur. Ini ditambah 4.000 pasukan bantuan Raja Seleparang, Lombok. Ditambah pula dengan 29 kapal perang yang membawa 286 meriam, 301 marinir, 2.012 perwira dan awak kapal berbangsa Eropa, serta 701 pelaut dan kelasi Bumiputera.
Patih Jelantik sejak awal sudah memperhitungkan Belanda akan datang lagi dengan kekuatan militer berlipat-lipat. Karena itu, dia berstrategi membangun benteng pertahanan lapis kedua di daerah Batur yang lebih sulit dijangkau Belanda. Sayangnya, Raja Bangli saat itu malah main mata pada Belanda dengan memberikan dukungan senjata. Imbalan yang diberikan Belanda: Raja Bangli bisa merebut Batur yang dikuasai Buleleng saat Buleleng bertempur di Jagaraga dengan Belanda.
Maka, ketika Jelantik dan Raja Buleleng menyingkir ke Batur setelah Jagaraga dikuasai Belanda, Raja Bangli melarang. Jelantik dan Rajanya lantas menyingkir ke Karangasem. Karangasem kelak digempur Belanda dengan bantuan pasukan Raja Selaparang, Lombok, yang dendam pada Karangasem. Dalam penyelamatan diri ke Bale Punduk bersama Raja Buleleng, Jelantik tewas direbut laskar Lombok.
Panglima Perang Mayjen A.V. Michiles memang sudah membalaskan kekalahan Belanda atas Jelantik lewat Jagaraga. Namun, toh akhirnya Michiels pun membayar amat mahal keperwiraan Jelantik. Michiles yang berbintang tujuh itu akhirnya menemui ajalnya di tangan laskar pamating Klungkung lewat perang Kusamba, 25 Mei 1849. Kemenangannya di Jagaraga akhirnya dibayar amat mahal pula, dengan nyawanya, di ujung timur Klungkung.
Begitupun, Bali hingga kini tetap saja salah membaca sejarah masa lampaunya: mengabaikan momentum dan pelajaran amat berharga dan langka dari kemenangan Jagaraga, dan tiada kunjung insyaf pula memberi penghargaan sewajarnya bagi tonggak keperwiraan Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik. Jelantik terang tak kalah gemilang-perwira dibandingkan keperwiraan Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, Imam Bonjol (Minangkabau), Pattimura, Diponegoro (Jawa), Pangeran Antasari (Kalimantan), Panglima Polim, ataupun Teuku Cik Ditiro di Aceh sana. Belanda perlu waktu empat tahun buat menundukkan seorang Patih Jelantik, setelah melewati ketegangan perang urat syaraf hingga perang fisik 1846-49. Itupun dengan pengerahan pasukan dan logistik perang besar-besaran berteknologi modern buat melawan laskar bersenjata tradisional.
Semestinya Bali belajar lebih cermat dari isyarat yang dihamparkan Jagaraga itu. Dari Jagaraga Bali bisa belajar perihal “revolusi taktik dan strategi” untuk menghadapi tekanan gelombang asing, bukan malah gampang-gampangan saja menyerah, berpuputan. Dari sana bisa dibaca: betapa mahal akibatnya bila Bali tak bersatu-utuh. Jelantik jelas pemimpin visioner pertama di Bali ini yang merasakan betapa menyakitkan akibat yang mesti diterima karena sesama Bali tak bersatu-utuh menghadapi gempuran dari luar Bali.
Sejarah Bali bukan mustahil akan berkelok arah andai perlawanan Patih Jelantik didukung segenap raja-raja di Bali, bukan malah main menelikung ‘selingkuh’ dengan kolonial asing, pemodal, lalu cari untung sendiri-sendiri. Kebersatupaduan Bali menghadapi asing sebelumnya telah terbukti membikin urung Inggris menduduki Bali. Sayangnya, Bali kini naga-naganya malah terus mengulang kesalahan raja-raja Bali masa lampau yang tak bersatu-padu membantu Patih Jelantik, sembari main mata-selingkuh buat cari untung sendiri-sendiri dengan tameng alasan otonomi daerah.
Keterpurukan ekonomi-sosial-politik Bali pascabom Kuta, 12 Oktober 2002 dan bom Jimbaran, 1 Oktober 2005, kini akan dapat ditolong dengan kesadaran membangun “revolusi taktik dan strategi” secara menyeluruh bagi satu Bali. Tanpa begitu, Bali akan menjadi koloni ekonomi dan politik hanya lewat selembar kertas perjanjian—yang dulu sesadar-sadarnya ditolak Patih Jelantik. I Ketut Sumarta

Jenderal Jagoan Belanda Tertembak di Kusamba

Moral pasukan Belanda rontok menyusul kematian Mayor Jenderal AV Michiels akibat tertembak laskar Bali di Kusamba. Ini kemenangan kedua Bali atas Belanda yang malah dilupakan orang Bali. Mungkin karena tak ada raja yang kalah di sana?

Pukul 3 dini hari, 25 Mei 1849. Laskar pamating (pasukan berani mati) dan telik tanem (pengintai) Klungkung tiba-tiba menyerang pasukan Belanda yang telah menguasai Puri Kusamba, sehari sebelumnya. Di bawah komando Mayor Jenderal AV Michiels, setelah menaklukkan Kerajaan Buleleng dan Karangasem yang bersekutu, pasukan Belanda yang bermarkas di Padang Cove (kini Padangbai) lantas menggempur Klungkung dari Goa Lawah, lalu menguasai Kusamba, 24 Mei 1849.
Karena belum memiliki data dan peta pasti perihal Klungkung, sang jenderal memutuskan mengurungkan niatnya langsung menyerang ibukota Kerajaan Klungkung. Dia memerintahkan pasukannya bermalam dulu di Kusamba. Dinihari, 25 Mei 1849 esoknya itulah Raja Klungkung Dewa Agung Istri Kanya memerintahkan laskar pamating merebut kembali Kusamba dalam suatu aksi “serangan fajar”.
Berperang dalam suasana gulita, pihak Belanda kelabakan, apalagi Puri Kusamba yang dijadikan markas saat itu belum dikenali lekuk-likunya. Beda dengan laskar pamating yang sudah fasih dengan seluk-beluk puri. Kondisi demikian memaksa pasukan Belanda menggunakan peluru cahaya (lichtkogel). Justru itu menjadi titik lemah karena laskar pamating malah dapat mengenali musuh dengan cermat. Saat itulah senapan besar pusaka Klungkung bernama I Seliksik, yang dimitoskan bisa mencari sendiri sasarannya, layaknya peluru kendali, menembus paha kanan Jenderal Michiels. Saat itu si Jenderal sedang berdiri di depan istana mengatur siasat perang.
Si Jenderal terjungkal. Perwira kesehatan menganjurkan agar kakinya dipotong, tapi dia menolak. Ia minta dirawat di kapal komando di Padang Cove. Keadaannya kian memburuk. Pukul 11 malam, 25 Mei 1849, sang jenderal meninggal. Dua hari berselang jasadnya dilayarkan ke Batavia dengan kapal perang Etna. Moral pasukan Belanda lantak. Mereka menelan kegetiran: tujuh tewas, termasuk Jenderal Michiels dan Kapten H Everste, selain 28 luka-luka.
Meskipun merenggut nyawa 800 dan melukai 1000 laskar Kusamba, toh penguasa Belanda di Batavia amat geram kehilangan Michiels karena bekas Gubernur Militer dan Sipil di Sumatra Barat berbintang tujuh itu tercatat telah meraup kemenangan di tujuh daerah. Dia menggantikan posisi Mayor Jenderal Jonkheer C. van der Wijck, Panglima Tertinggi Tentara Kerajaan Belanda di Hindia Belanda, yang sempat memimpin ekspedisi kedua militer Belanda ke Bali, dan dikalahkan dalam perang Jagaraga, 9 Juni 1848. Usai kalah di Jagaraga, van der Wijck menolak dikirim lagi ke Bali. Ia minta dibebastugaskan, lalu kembali ke Belanda. Di Kusamba si Jenderal Michiels bukan merengkuh untung, justru menuai buntung. Ia dijemput maut.
Dalam versi penulis Belanda, AWP Weitze, yang diterbitkan 10 tahun (1859) setelah usai perang Kusamba itu, posisi van Michiels kemudian digantikan Letkol van Swieten. Di bawah komando perwira tertua dalam pasukan Belanda saat itu, perang dilanjutkan. Siang hari, laskar Kusamba dipaksa mundur ke Klungkung dan desa-desa sekitarnya. Semula dia ingin tetap bermarkas di Kusamba agar memperpendek jarak perundingan dengan Raja Klungkung. Namun taktik bumi hangus sekonyong-konyong dan gerilya yang dijalankan laskar Klungkung membikin dia jerih. Apalagi moral pasukan Belanda sedang anjlok akibat kematian Jenderal van Michiels.
Van Swieten menarik pasukannya ke Padangbai. Kusamba hanya dijaga pasukan terbatas, dengan pertahanan lemah. Kondisi ini memantik Raja Anak Agung Istri Kanya beserta Adipati Dewa Agung Ketut Agung mengikrarkan serangan balik ke Kusamba. Pelabuhan utama Klungkung di ujung timur Klungkung itu pun direbut kembali. Pasukan di kapal-kapal Belanda yang disiagakan di Pantai Goa Lawah tak sanggup menahan gempuran laskar Kusamba.
Terang saja van Swieten geram. Lewat utusan Gusti Gede Rai, pemimpin laskar Lombok yang bersekutu dengan Belanda guna membalaskan dendam kepada pihak Karangasem, tiga hari berselang dia pun menyurati Raja Klungkung dengan ancaman: bila dalam waktu delapan hari Kusamba tidak diserahkan kepada Belanda, Kusamba bakal diserbu kembali, sekaligus dengan Ibukota Klungkung. Pendudukan Klungkung atas Kusamba oleh van Swieten dinilai melanggar kehendak perdamaian yang bakal digelar 2 Juni 1849, yang juga bakal dihadiri pihak Raja Gianyar dan Mengwi. Ancaman demikian malah membikin Raja Istri Kanya yang di mata Belanda dinilai berwatak keras kepala itu tersinggung. Lewat surat 9 Juni 1849 yang ditandatangani Adipati Dewa Agung Ketut Agung, Raja Putri yang juga dikenal doyan susastra-agama (nyastra) itu menampik berunding. Van Swieten dengan ancamannya dituding telah menghina Raja Klungkung yang berdaulat atas wilayah kerajaannya. Lagi pula amat tak sopan meminta raja sahabat mendatangi perundingan dengan Belanda. Dalam versi Istri Kanya, bila memang berniat bersahabat dan berdamai, semestinya van Swieten-lah datang menghadap dan meminta maaf, karena telah menyerang dan memporandakan Kusamba.
Terang saja Raja Klungkung tahu risiko atas suratnya itu. Laskar dititahkan kian rapat membentengi Kusamba, dari Goa Lawah. Gelagat ini diketahui Belanda, sehingga pada 9 Juni 1849 berangkatlah mereka dari Padang Cove dengan 3.000 pasuka, lengkap beserta 130-140 ribu peluru. Persediaan makanan dalam jumlah lebih daripada cukup diberangkatkan dengan tujuh sampan. Bersama Belanda turut pula laskar Lombok.
Sumber Belanda, seperti JWF Herfkens (1902), menyuratkan bahwa 10 Juni 1849, pukul 10 pagi, Kusamba jatuh lagi ke tangan Belanda. Jumlah 3.000 orang laskar Kusamba bersenjata tombak dan keris tak kuasa menahan gempuran pasukan Belanda. Mereka mundur ke Klungkung dan sekitarnya. Sedianya hari itu juga van Swieten meneruskan serangannya ke Klungkung. Namun, jarum sejarah kemudian berbelok arah manakala pebisnis yang juga petualang sekaligus agen Belanda yang dekat dan dipercaya banyak kalangan petinggi kerajaan di Bali, Mads Lange, menemui van Swieten di Kusamba. Dia meminta komandan pasukan Belanda itu mengurungkan niatnya menyerang Klungkung karena di Klungkung saat itu telah ada 16 ribu laskar Tabanan dan Badung.
Yang tercatat kemudian, hampir 60 tahun berselang setelah Perang Kusamba, barulah Klungkung dan seluruh Bali ditaklukkan. Tapi, di kawasan berilalang lebat bernama Kusanegara (kusa = ilalang), yang kelak tenar dengan nama Kusamba itu kekalahan Klungkung, dan juga simbolik Bali, tidak sia-sia, apalagi konyol. Di ujung timur Klungkung itu, bukan cuma tergelar keberanian laskar Bali, tapi juga siasat dan penyikapan hidup nan jelas.
Sungguh tak sering Belanda kehilangan panglima perang dalam pertempuran di Bali maupun di Nusantara. Tak kerap pula Belanda menuai duka dan malu dalam pertempuran dengan pribumi. Namun di Kusamba semua itu menikam sang jagoan, tiada diduga. Seperti Bali yang tak bakal bisa menghapus sejarahnya pernah dijajah Belanda, begitulah Belanda tak bakal bisa meniadakan kisah kehilangan panglima perangnya di Kusamba. Tapi, kenapa Bali justru suka membanggakan kekalahan di masa lampau, dan pada saat bersamaan malah abai, lupa bercermin dari hikmah kemenangan untuk taktik dan strategi “pertempuran” di masa depan, dan juga masa kini?
Spirit kemenangan monumental di Kusamba itu sepatutnya tak begitu saja diabaikan, dilupakan hanya karena dia tidak berada di pusat kekuasan, dan juga tidak merenggut korban dari kalangan pusat kekuasaan istana kerajaan. Di Kusamba yang terenggut sebagai kurban cuma rakyat, laskar, memang. Tapi, adakah dengan begitu lantas peran monumental mereka (betapapun tidak bernama) yang merenggut panglima perang musuh sangat mudah untuk dihapuskan, bahkan sekadar sebagai inspirasi kebangkitan pun tidak pantas dibanggakan?
Kenapa manakala raja terenggut, kalah di medan perang, lantas dicatat sebagai hero, diperingati riuh, bingar? Saatnya Bali mengakhiri diskriminasi versi penguasa begini kepada generasi mendatang: bukan cuma raja yang kalah patut dikenang, rakyat yang menang pun sangat patut pula dihargai. I Ketut Sumarta
posted by I Made Artawan @ 22.19   1 comments
Sejarah Puputan Klungkung
KUSAMBA, sebuah desa yang relatif besar di timur Smarapura hingga abad ke-18 lebih dikenal sebagai sebuah pelabuhan penting Kerajaan Klungkung. Desa yang penuh ilalang (kusa = ilalang) itu baru tampil ke panggung sejarah perpolitikan Bali manakala Raja I Dewa Agung Putra membangun sebuah istana di desa yang terletak di pesisir pantai itu. Bahkan, I Dewa Agung Putra menjalankan pemerintahan dari istana yang kemudian diberi nama Kusanegara itu. Sampai di situ, praktis Kusamba menjadi pusat pemerintahan kedua Kerajaan Klungkung. Pemindahan pusat pemerintahan ini tak pelak turut mendorong kemajuan Kusamba sebagai pelabuhan yang kala itu setara dengan pelabuhan kerajaan lainnya di Bali seperti Kuta.

Nama Kusamba makin melambung manakala ketegangan politik makin menghebat antara I Dewa Agung Istri Kanya selaku penguasa Klungkung dengan Belanda di pertengahan abad ke-19. Sampai akhirnya pecah peristiwa perang penting dalam sejarah heroisme Bali, Perang Kusamba yang menuai kemenangan telak dengan berhasil membunuh jenderal Belanda sarat prestasi, Jenderal AV Michiels.

Drama heroik itu bermula dari terdamparnya dua skoner (perahu) milik G.P. King, seorang agen Belanda yang berkedudukan di Ampenan, Lombok di pelabuhan Batulahak, di sekitar daerah Pesinggahan. Kapal ini kemudian dirampas oleh penduduk Pesinggahan dan Dawan. Raja Klungkung sendiri menganggap kehadiran kapal yang awaknya sebagian besar orang-orang Sasak itu sebagai pengacau sehingga langsung memrintahkan untuk membunuhnya.

Oleh Mads Lange, seorang pengusaha asal Denmark yang tinggal di Kuta yang juga menjadi agen Belanda dilaporkan kepada wakil Belanda di Besuki. Residen Belanda di Besuki memprotes keras tindakan Klungkung dan menganggapnya sebagai pelanggaran atas perjanjian 24 Mei 1843 tentang penghapusan hukum Tawan Karang. Kegeraman Belanda bertambah dengan sikap Klungkung membantu Buleleng dalam Perang Jagaraga, April 1849. Karenanya, timbullah keinginan Belanda untuk menyerang Klungkung.

Ekspedisi Belanda yang baru saja usai menghadapi Buleleng dalam Perang Jagaraga, langsung dikerahkan ke Padang Cove (sekarang Padang Bai) untuk menyerang Klungkung. Diputuskan, 24 Mei 1849 sebagai hari penyerangan.

Klungkung sendiri sudah mengetahui akan adanya serangan dari Belanda itu. Karenanya, pertahanan di Pura Goa Lawah diperkuat. Dipimpin Ida I Dewa Agung Istri Kanya, Anak Agung Ketut Agung dan Anak Agung Made Sangging, Klungkung memutuskan mempertahankan Klungkung di Goa Lawah dan Puri Kusanegara di Kusamba.

Perang menegangkan pun pecah di Pura Goa Lawah. Namun, karena jumlah pasukan dan persenjatan yang tidak berimbang, laskar Klungkung pun bisa dipukul mundur ke Kusamba. Di desa pelabuhan ini pun, laskar Klungkung tak berkutik. Sore hari itu juga, Kusamba jatuh ke tangan Belanda. Laskar Klungkung mundur ke arah barat dengan membakar desa-desa yang berbatasan dengan Kusamba untuk mencegah serbuan tentara Belanda ke Puri Klungkung.

Jatuhnya Kusamba membuat geram Dewa Agung Istri Kanya. Malam itu juga disusun strategi untuk merebut kembali Kusamba yang melahirkan keputusan untuk menyerang Kusamba 25 Mei 1849 dini hari. Kebetulan, malam itu, tentara Belanda membangun perkemahan di Puri Kusamba karena merasa kelelahan.

Hal ini dimanfaatkan betul oleh Dewa Agung Istri Kanya. Beberapa jam berikutnya sekitar pukul 03.00, dipimpin Anak Agung Ketut Agung, sikep dan pemating Klungkung menyergap tentara Belanda di Kusamba. Kontan saja tentara Belanda yang sedang beristirahat itu kalang kabut. Dalam situasi yang gelap dan ketidakpahaman terhadap keadaan di Puri Kusamba, mereka pun kelabakan.

Dalam keadaaan kacau balau itu, Jenderal Michels berdiri di depan puri. Untuk mengetahui keadaan tentara Belanda menembakkan peluru cahaya ke udara. Keadaan pun menjadi terang benderang. Justru keadaan ini dimanfaatkan laskar pemating Klungkung mendekati Jenderal Michels. Saat itulah, sebuah meriam Canon ''yang dalam mitos Klungkung dianggap sebagai senjata pusaka dengan nama I Selisik, konon bisa mencari sasarannya sendiri'' ditembakkan dan langsung mengenai kaki kanan Michels. Sang jenderal pun terjungkal.

Kondisi ini memaksa tentara Belanda mundur ke Padang Bai. Jenderal Michels sendiri yang sempat hendak diamputasi kakinya akhirnya meninggal sekitar pukul 23.00. Dua hari berikutnya, jasadnya dikirim ke Batavia. Selain Michels, Kapten H Everste dan tujuh orang tentara Belanda juga dilaporkan tewas termasuk 28 orang luka-luka.

Klungkung sendiri kehilangan sekitar 800 laskar Klungkung termasuk 1000 orang luka-luka. Namun, Perang Kusamba tak pelak menjadi kemenangan gemilang karena berhasil membunuh seorang jenderal Belanda. Sangat jarang terjadi Belanda kehilangan panglima perangnya apalagi Michels tercatat sudah memenangkan perang di tujuh daerah.

Meski akhirnya pada 10 Juni 1849, Kusamba jatuh kembali ke tangan Belanda dalam serangan kedua yang dipimpin Lektol Van Swieten, Perang Kusamba merupakan prestasi yang tak layak diabaikan. Tak hanya kematian Jenderal Michels, Perang Kusamba juga menunjukkan kematangan strategi serta sikap hidup yang jelas pejuang Klungkung. Di Kusamba, pekik perjuangan dan tumpahan darah itu tidak menjadi sia-sia. Belanda sendiri mengakui keunggulan Klungkung ini.

Namun, kemenangan cemerlang di Kusamba 158 tahun silam itu kini tidaklah menjelma sebagai momentum peringatan yang dikenang generasi sekarang. Secara resmi Klungkung memilih peristiwa perang penghabisan di Puri Smarapura yang dikenal dengan Puputan Klungkung, 28 April 1908 sebagai tonggak peringatan perjuangan daerah menentang kolonialisme Belanda.

Memang, Puputan Klungkung yang diakhiri dengan gugurnya Raja Klungkung, Ida I Dewa Agung Jambe bersama para kerabat, keluarga serta pengiring menunjukkan bagaimana semangat perjuangan rakyat Klungkung yang menempatkan kehormatan dan harga diri di atas segalanya. Ketika kata-kata tak lagi bertenaga dan pihak yang diajak bicara tak lagi punya matahati, jalan perang merupakan pilihan paling terhormat. Bukan kemenangan fisik yang dicari, tapi kemenangan kehormatan, harga diri dan spirit. Sampai di sana, kematian menjadi jalan kehidupan (mati tan tumut pejah).

Namun, Perang Kusamba yang mengukuhkan kemenangan secara fisik serta menunjukkan kecerdasan, kecemerlangan, kecerdikan pun kematangan menyusun strategi putra-putri terbaik Klungkung juga suatu hal yang layak untuk dikenang. Pada peristiwa itulah Klungkung dan Bali secara umum dipandang sebagai lawan yang tangguh oleh Belanda. Pada peristiwa itu pula, secara diam-diam, harga diri orang Bali dikukuhkan setelah dua tahun sebelumnya juga tergurat dalam peristiwa Perang Jagaraga di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik.

Jika selama ini Klungkung dan juga daerah-daerah lain di Bali terbiasa mengenang kekalahan, tidak salah kini memulai juga untuk mengenang kemenangan. Kita perlu berbangga pada prestasi gemilang pendahulu kita. Ketika kita bisa mengenang kekalahan, kenapa tidak punya keberanian untuk juga memperingati kemenangan. Dengan begitu, kebanggaan sebagai bangsa di kalangan generasi penerus bisa ditumbuhkan. Bukankah tradisi Hindu dengan begitu bersahaja mengajarkan untuk memperingati kemenangan dharma atas adharma seperti dalam hari raya Galungan?

Kini, menuju Seabad Peringatan Puputan Klungkung, patutlah dipertimbangkan merajut benang sejarah antara Kusamba dan Smarapura. Kusambalah awal kebangkitan semangat perjuangan rakyat Klungkung menentang kolonialisme Belanda dan Smarapura dengan Puputan Klungkung menegaskan semangat itu pada puncak terindahnya.


posted by I Made Artawan @ 21.24   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas