Arya Tangkas Kori Agung

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

 
Refrensi Pasek Tangkas
Untuk menambah Referensi tentang Arya Tangkas Kori Agung, Silsilah Pasek Tangkas, Babad Pasek Tangkas, Perthi Sentana Pasek Tangkas, Wangsa Pasek Tangkas, Soroh Pasek Tangkas, Pedharman Pasek Tangkas, Keluarga Pasek Tangkas, Cerita Pasek Tangkas. Saya mengharapkan sumbangsih saudara pengunjung untuk bisa berbagi mengenai informasi apapun yang berkaitan dengan Arya Tangkas Kori Agung seperti Kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Pura Pedharman Arya Tangkas Kori Agung, Pura Paibon atau Sanggah Gede Keluarga Arya Tangkas Kori Agung, Keluarga Arya Tangkas Kori Agung dimanapun Berada Termasuk di Bali - Indonesia - Belahan Dunia Lainnya, sehingga kita sama - sama bisa berbagi, bisa berkenalan, maupun mengetahui lebih banyak tentang Arya Tangkas Kori Agung. Media ini dibuat bukan untuk mengkotak - kotakkan soroh atau sejenisnya tetapi murni hanya untuk mempermudah mencari Refrensi Arya Tangkas Kori Agung.
Dana Punia
Dana Punia Untuk Pura Pengayengan Tangkas di Karang Medain Lombok - Nusa Tenggara Barat


Punia Masuk Hari ini :

==================

Jumlah Punia hari ini Rp.

Jumlah Punia sebelumnya Rp.

==================

Jumlah Punia seluruhnya RP.

Bagi Umat Sedharma maupun Semetonan Prethisentana yang ingin beryadya silahkan menghubungi Ketua Panitia Karya. Semoga niat baik Umat Sedharma mendapatkan Waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi – Tuhan Yang Maha Esa.

Rekening Dana Punia
Bank BNI Cab Mataram
No. Rekening. : 0123672349
Atas Nama : I Komang Rupadha (Panitia Karya)
Pura Lempuyang
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, ... Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Berbakti
Janji bagi yang Berbakti kepada Leluhur BERBAKTI kepada leluhur dalam rangka berbakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa.
Mantram Berbakti
Berbakti kepada Leluhur Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada empat yaitu: kirti, ayusa, bala, dan yasa. Kirti adalah kemasyuran, ayusa artinya umur panjang, bala artinya kekuatan hidup, dan yasa artinya berbuat jasa dalam kehidupan. Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.
Ongkara
"Ongkara", Panggilan Tuhan yang Pertama Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Gayatri Mantram
Gayatri Mantram Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam. Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam Mahyam dattwa vrajata brahmalokam. Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Dotlahpis property
Image and video hosting by TinyPic
Punia Upacara di Pura Penataran Agung Gunung Rata Getakan Klungkung Bali
Rabu, 31 Maret 2010

Terkait Upacara Karya Agung Mamungkah, Caru Balik Sumpah, Mendem Pedagingan Lan Ngenteg Linggih yang puncak karyanya akan diselenggarakan pada Wraspati Pon Wariga, Kamis 15 April 2010 di PURA PENATARAN AGUNG GUNUNG RATA Banjar Gunung Rata Desa Getakan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung Bali. Bagi Krama yang ingin Mapunia Wewalungan berupa Kebo, Kambing, Babi, Ayam, Bebek dan Mapunia Palawija berupa Beras, Buah - Buahan, Kacang - Kacangan, Pisang, Gula dan sejenisnya sudah dapat menyerahkan Punianya kepada Sekretariat di Pura Penataran.

Semoga kita selalu ada dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa.
posted by I Made Artawan @ 21.30   0 comments
Renungan Nyepi Tahun Baru Saka 1932 Kesempatan Buana Agung Bernapas
Minggu, 14 Maret 2010
Setelah melakukan penyucian buana agung dan buana alit pada saat melasti dan tawur kesanga, umat Hindu selanjutnya memasuki Tahun Baru Saka 1932, merayakan hari raya Nyepi dengan melaksanakan catur brata penyepian, Selasa (16/3) besok. Apa sesungguhnya hakikat Nyepi?

PENGAMAT agama dan budaya Ida Bagus Gde Agastia dalam bukunya berjudul ''Panca Bali Krama'' mengatakan setelah melakukan penyucian buana melalui tawur kesanga, selanjutnya umat Hindu memasuki Tahun Baru Saka. Perayaan Tahun Baru Saka itu dengan melaksanakan brata penyepian. Artinya, kata Ketua I Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (periode 1991-2001) ini, mengawali langkah memasuki kehidupan yang baru, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya yang terpenting yakni tapa, brata, yoga dan samadhi. Ajaran tersebut pada intinya berisi pengendalian diri dan pemusatan diri kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pada hari raya Nyepi, umat Hindu berharap dapat memasuki alam sunya, alam yang sempurna, heneng (tenang) dan hening (jernih). Alam yang sunya adalah tujuan tertinggi yang diyakini dapat dicapai dengan latihan yang dilakukan terus-menerus. Itulah sebabnya agama Hindu memberikan kedudukan terpenting pada ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi, yang dilakukan secara bersama-sama saat Nyepi.

Hal senada diungkapkan Ketua Parisada Bali Dr. IGN Sudiana bahwa Nyepi identik dengan yoga. Karena itu hakikat Nyepi adalah hening. Dalam keheningan itu ada kesucian. Dalam kesucian ada Ida Batara Siwa (Tuhan). Dalam suasana hening itu umat dengan khidmat memuja kebesaran-Nya dan memohon agar diberkati kerahayuan, dan berhasil melakukan pengendalian diri.

Oleh karenanya, dalam proses itu melibatkan umat dalam kebersamaan maka ada semacam peraturan bersama dalam bentuk catur brata penyepian yakni amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. ''Catur brata itu adalah bentuk-bentuk pengendalian diri, melatih diri mengendalikan panca indria. Dengan demikian, umat dapat mencapai kesempurnaan, dan terlepas dari belenggu sadripu,'' ujar Dekan Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar ini.

Bagi alam semesta (buana agung), kata IGN Sudiana, dalam Nyepi tersebut diberikan kesempatan untuk memperbaiki ekosistem agar mengalami keseimbangan. Selama ini alam telah mengalami kerusakan, terjadi perubahan musim, dieksploitasi dan sebagainya, sehingga mengalami luka yang mendalam. Itu tak terlepas dari ulah aktivitas manusia. Dengan umat menghentikan aktivitasnya saat Nyepi, alam semesta mendapat kesempatan untuk bernapas memperbaiki ekosistem.

Sementara bagi umat Hindu (buana alit), dalam keheningan itu dapat dengan jernih mengaca diri atau evaluasi diri melihat nilai rapor selama kurun waktu setahun. Jika nilainya ada yang merah, ke depan diharapkan bisa diperbaiki. Demikian juga jika selama ini lembaran hidup penuh dengan noda, ke depan diupayakan noda-noda itu bisa dibersihkan. Jika selama ini pikiran kita selalu negatif, ke depan diharapkan bisa menjadi positif. Saat Nyepi yang hening itulah kita beryoga memuja kebesaran-Nya, sekaligus melakukan introspeksi diri dan mengendalikan diri dengan tidak menyalakan api, bepergian, tidak beraktivitas, tidak menyimak atau menikmati hiburan.

Hal yang sama disampaikan dosen Unhi Drs. I.B. Suatama, M.Si. Ia mengatakan, rangkaian hari raya Nyepi sesungguhnya mengandung dua konsep yakni ramya (ramai) dan sunya (sepi/hening). Pada saat tawur kesanga atau pengerupukan terekspresi konsep ramya (ramai), sedangkan pada saat Nyepi terimplementasi konsep sunya (hening), umat melakukan puncak-puncaknya kesadaran atau introspeksi diri. ''Setelah umat mengekspresikan konsep ramya, dengan telah ternetralisirnya (somya) kekuatan kala, keesokan harinya umat merayakan Nyepi. Pada saat itu umat melakukan introspeksi dalam suasan hening (sunya),'' ujarnya.

Senada dengan IGN Sudiana, Ida Bagus Suatama menegaskan, Nyepi adalah momen yang baik untuk melakukan introspeksi diri. Dalam konteks itu umat melakukan evaluasi diri dengan membaca koran diri yang terbit setahun atau memutar kaset rekaman jejak diri setahun. Dengan harapan apa yang kurang dalam diri selama setahun itu bisa disempurnakan pada tahun-tahun mendatang. Jadi, umat Hindu selalu diamanatkan untuk melakukan perbaikan terus-menerus, sehingga mencapai kesempurnaan. Dalam keheningan Nyepi, umat Hindu melakukan mulat sarira dalam rangka menuju tangga kesempurnaan. Pun, saat Nyepi umat memberi kesempatan kepada alam untuk bernapas, dengan meniadakan aktivitas atau tidak bepergian (amati lelungan). Dengan tidak bepergian dengan kendaraan bermotor, otomatis tidak ada emisi gas buang. Dalam konteks menanggulangi global warming, Nyepi ini salah satu konsep ideal yang patut dimaknai.
posted by I Made Artawan @ 22.13   0 comments
Tumpek Landep Memuja Sang Hyang Pasupati Untuk Pertajam Idep
Jumat, 12 Maret 2010
Hari ini Sabtu, 13 Maret 2010 atau tepatnya Saniscara Klion Wuku Landep UMAT Hindu kembali merayakan rerahinan Tumpek Landep. Pada Tumpek Landep, umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kecerdasan atau ketajaman pikiran sehingga mampu menciptakan teknologi atau benda-benda yang dapat mempermudah dan memperlancar hidup, seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer (laptop) dan sebagainya. Tetapi dalam konteks itu umat bukanlah menyembah mobil, komputer, tetapi memohon kepada Ida Sang Hyang Pasupati agar benda-benda tersebut betul-betul dapat berguna bagi kehidupan manusia.

Demikian antara lain disampaikan dosen IHDN Denpasar Drs. I Made Surada, M.A. dan pengurus Parisada Pusat Drs. Ketut Wiana, M.Ag. yang dosen IHDN Denpasar, Jumat (12/3) kemarin.

Landep dalam Tumpek Landep memiliki pengertian lancip. Secara harfiah diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran. Secara sekala, benda-benda tersebut diupacarai dalam Tumpek Landep.

Kata Made Surada, dalam konteks kekinian, senjata lancip itu sudah meluas. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Namun harus disadari, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup.

Dalam pengertian, bahwa umat patut bersyukur kepada Tuhan karena telah diberikan kemampuan atau ketajaman pikiran sehingga mampu menciptakan aneka benda atau teknologi yang dapat mempermudah hidup.

Sementara dalam kaitan dengan buana alit (diri manusia), Tumpek Landep itu sesungguhnya momentum untuk selalu menajamkan pikiran (landeping idep), menajamkan perkataan (landeping wak) dan menajamkan perbuatan (landeping kaya). Ketiga unsur Tri Kaya Parisuda tersebut perlu lebih dipertajam agar berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Buah pikiran perlu dipertajam untuk kepentingan umat manusia, demikian pula perbuatan dan perkataan yang dapat menenteramkan pikiran atau batin orang lain.

Pikiran kita mesti selalu diasah agar mengalami ketajaman. Ilmu pengetahuanlah alat untuk menajamkan pikiran. Komputer yang diciptakan untuk mempertajam pikiran, hendaknya dimanfaatkan dengan baik. Internet mesti digunakan untuk mengakses informasi sehingga wawasan dan kecerdasan bertambah, bukan untuk mengunduh yang lain-lain.

Hal senada ditegaskan Ketut Wiana bahwa Tumpek Landep memiliki nilai filosofi agar umat selalu menajamkan pikiran. Setiap enam bulan sekali umat diingatkan melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan atau diasah agar tajam? Sebab, dengan pikiran yang tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih jernih melakukan analisa, lebih tepat menentukan keputusan dan sebagainya.

Lewat perayaan Tumpek Landep itu umat diingatkan agar selalu menggunakan pikiran yang tajam sebagai tali kendali kehidupan. Misalnya, ketika umat memerlukan sarana untuk memudahkan hidup, seperti mobil, sepeda motor dan sebagainya, pikiran yang tajam itu mesti dijadikan kendali. Keinginan mesti mampu dikendalikan oleh pikiran. Dengan demikian keinginan memiliki benda-benda itu tidak berdasarkan atas gengsi, tetapi betul-betul berfungsi untuk menguatkan hidup sehingga betul-betul tepat guna. Jangan karena gengsi, akhirnya membeli kendaraan dalam jumlah yang banyak, rumah yang banyak, sehingga bingung menggunakannya dan bingung yang mana mesti ditempati. Sementara di sisi lain banyak umat yang bingung karena tidak memiliki rumah, masih menjadi kontraktor, berpindah-pindah ngontrak sana dan kontrak sini. Jika umat berlimpah materi, hendaknya disisihkan untuk membantu sesama. Jika memiliki uang banyak, sisihkan untuk ditabung di lembaga keuangan sehingga nantinya bisa disalurkan kembali untuk kepentingan yang lebih banyak, untuk mengembangkan UMKM dan sebagainya, sehingga kesejahteraan betul-betul merata dan berkeadilan. Rerahinan Tumpek Landep inilah sesungguhnya momen bagi kita untuk lebih menajamkan pikiran, sehingga tepat mengambil keputusan. Dulu, keris dan tombak digunakan sebagai sarana atau senjata untuk menegakkan kebenaran, kini sarana untuk memudahkan hidup itu sudah beragam, seperti kendaraan, mesin dan sebagainya.

Kata Wiana, benda-benda yang dianggap dapat memudahkan hidup itu pada saat Tumpek Landep diupacarai dengan banten yang berisi sesayut jayeng perang dan tebasan pasupati. Tebasan pasupati itu memiliki makna antara lain, siapa yang mampu menguasai sifat-sifat kebinatangan, ia akan dekat dengan Tuhan.

Senada dengan Surada, Wiana menegaskan mantenin atau mengupakarai benda-benda tersebut sesungguhnya dalam rangka memuja Tuhan (Sang Hyang Pasupati). Dalam konteks itu umat sesungguhnya memuja Tuhan agar benda-benda yang diciptakan manusia betu-betul berfungsi dan berguna untuk kepentingan umat manusia. (lun)

Label:

posted by I Made Artawan @ 21.43   0 comments
Renungan Pagerwesi Rabu 3 Maret 2010 Pagari Diri dengan Pengetahuan Spiritual
Kamis, 04 Maret 2010
Hari ini Rabu Kliwon 3 Maret 2010 Wuku Sinta umat Hindu kembali merayakan hari Raya Pagerwesi. Hari raya siklus enam bulanan ini merupakan rangkaian perayaan Saraswati. Apa sesungguhnya hakikat Pagerwesi ?

PERAYAAN Pagerwesi masih rangkaian Saraswati. Diawali dengan perayaan Saraswati kemudian Banyupinaruh, Soma Ribek, Sabuh Mas dan Pagerwesi. Bahkan menurut dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar I Wayan Suka Yasa dan Wayan Budi Utama, perayaan rangkaian rerahinan itu juga mengandung konsep Catur Purusa Arthadharma, artha, kama dan moksha. Ketika ilmu pengetahuan diturunkan Sang Pencipta melalui simbol Dewi Saraswati, di sana terdapat konsep dharma. Selanjutnya, setelah ilmu pengetahuan dan keterampilan dikuasai kemudian digunakan untuk mencari artha. Konsep artha itu tercermin dalam perayaan Soma Ribek. Artha itu kemudian digunakan untuk memperoleh kesenangan (kama), tergambar dalam perayaan rerahinan Sabuh Mas. Sabuh Mas dikonotasikan serba gemerlap.

Nah, agar kita tidak larut begitu saja pada kebahagiaan jasmani (lahiriah) berupa artha dan kama, pada perayaan Pagerwesi-lah kita diingatkan agar memagari diri sekuat besi dengan pengetahuan spiritual agar mencapai kebahagiaan rohani (batiniah). Dengan demikian terjadi keseimbangan antara kebahagiaan jasmani dan rohani yakni mokshartam atau jiwanmukti. Dalam Pagerwesi inilah terkandung konsep moksha. Jadi, rangkaian rerahinan dari Saraswati hingga Pagerwesi juga sesungguhnya mengandung konsep Catur Purusa Artha, kata Suka Yasa yang dibenarkan Budi Utama.

Budi Utama menambahkan, Hindu sesungguhnya tidak alergi dengan artha dan kama, tetapi kita tidak boleh sampai terikat atau tergerus oleh keduanya. Untuk mencari keduanya mesti dilandasi dharma. Karena itu diperlukan pengendalian berupa kekuatan spiritual. Jika materi dianggap mengganggu, bentengi diri dengan spiritualitas sehingga mampu menghadapi problema kehidupan di dunia. Dengan demikian kita bisa mengendalikan hidup ini munuju arah kesempurnaan,'' ujarnya.

Paramesti Guru

Sementara itu guru besar Unhi Prof. Dr. IB Gunadha, M.Si. mengatakan dalam perayaan Pagerwesi ini umat memuja Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Siwa Mahaguru atau Hyang Paramestiguru--guru dari segala guru. Lewat bimbingan gurulah kita dapat mengusai pengetahuan dengan baik.

Kaweruhan atau ilmu pengetahuan yang telah diperoleh hendaknya dijadikan benteng yang kuat menghadapi tantangan hidup. Ilmu pengetahuan itu hendaknya dijadikan bekal untuk mencapai tujuan hidup yakni kesejahteraan dan ketenangan batin.

Dalam perayaan Pagerwesi inilah umat sejatinya diajarkan tentang kewaspadaan menghadapi berbagai tantangan. Dengan demikian kita penuh kesadaran. Saat kita menghadapi berbagai tantangan, kita sejatinya diajarkan menarik diri ke dalam yakni merenung. Dengan demikian kita dapat dengan jelas melihat persoalan sehingga mampu mencari solusi pemecahannya atau memperoleh jalan yang terang tetap berada di jalur kebenaran.

Dikatakannya, untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang diturunkan saat Saraswati, kita sesungguhnya memerlukan guru. Dalam hal ini peran guru sangatlah mulia. Saat Pagerwesilah umat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai mahaguru. ''Setelah umat mendapat ilmu pengetahuan, teori pengetahuan itu perlu dipraktikkan atau diimplementasikan. Dalam mengimplementasikan itu perlu guru pembimbing agar tidak disalahgunakan. (lun)
posted by I Made Artawan @ 07.27   0 comments
Kata - Kata Emas Bhagawadgita
Tidak menyakiti, kedamaian dalam segala situasi, rasa puas dengan apa yang ada, tekad ke arah spiritual, keinginan untuk memberi, kemasyhuran dan kehinaan -- semua hal-hal yang berbeda dari makhluk-makhluk ini terpancar dariKu semata.


Yang Maha Esa bukan saja merupakan asal-usul alam semesta ini, Yang Tak Terlihat dan Tak Terbayangkan oteh kita, tetapi juga merupakan Kekuatan Maha Dahsyat Yang Tak Terbatas di alam semesta ini. Bukan saja Ia merupakan asal-usul yang baik-baik saja tetapi la juga pencipta yang tidak baik dan negatif sifatnya yang berada di dalam pikiran dan ulah para makhluk-makhluk dan manusia ciptaanNya. Apakah itu pikiran atau situasi yang menyenangkan dan menikmatkan ataukah itu yang menyusahkan dan membawa penderitaan. Apakah itu bersifat positif maupun sebaliknya, semua itu secara jujur diakui oleh Yang Maha Esa, bahwa Ia lah sumber dari segala-galanya tanpa diskriminasi. Bukan lalu berarti bahwa Yang Maha Esa ini buruk atau negatif sifatnya, tidak! Semua itu adalah ciptaan-ciptaanNya yang diperankan atau ditugaskan pada Sang Maya, Ilusi Yang Maha Esa. la sendiri bersemayam di atas semua ilusi ini, jauh di atas Sang Maya dan tak terpengaruh sedikitpun dengan pekerjaan Sang Maya ini. Dengan semua "permainanNya," maka Yang Maha Esa ini menunjang dan menjalankan dunia ini, memang Maha Misterius Dan Maha Gaib lah Yang Maha Kuasa ini dengan segala Kekuatan dan Kasihnya Yang Tak Terbatas itu. Om Tat Sat. Om Shanti, Shanti, Shanti.

Label:

posted by I Made Artawan @ 05.49   0 comments
Pahala Bagi Umat Yang Berusaha Membahagiakan Orang Lain
Senin, 01 Maret 2010
Paropakaranam yesam
jagarti hrdaye satam
nasyanti vipadas tesam
sampadah syuh pade pade

(Canakya Nitisastra, XVII.15)

Maksudnya: Dia yang senantiasa memikirkan untuk mengupayakan kepentingan dan kebahagiaan orang lain, segala kesulitan akan terhindari dan ia akan mendapatkan keberuntungan dalam setiap usahanya.

HIDUP untuk mengabdi pada orang lain (para upakara) sesungguhnya bukanlah suatu pengorbanan yang sia-sia. Dalam mengabdi untuk memperjuangkan kepentingan demi kebahagiaan orang lain sesungguhnya kita membuka pintu untuk menerima karunia Tuhan.

Umat manusia diciptakan oleh Tuhan tidak semata-mata sebagai makhluk individu, tetapi sekaligus sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia baru bisa hidup normal sebagai manusia jika hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu masyarakat. Ini artinya, ciri-ciri kemanusiaan itu akan muncul jika manusia itu hidup bersama dengan sesamanya. Hidup bersama dengan sesama manusia dalam suatu masyarakat akan membahagiakan apabila dalam kebersamaan itu untuk saling mengabdi.

Hakikat manusia adalah sama dan berbeda. Memang tidak ada manusia yang persis sama dengan manusia lainnya. Dalam diri manusia ada perbedaan satu dengan yang lain. Perbedaan yang ada saling lengkap melengkapi dan ada yang saling bertentangan. Adanya anggota masyarakat miskin atau bodoh sesungguhnya sebagai media untuk mengamalkan ajaran agama. Memikirkan dan terus mengupayakan mereka yang miskin, bodoh, sakit dan sejenisnya untuk meningkatkan taraf hidupnya adalah suatu wujud pengamalan hidup beragama menurut pandangan agama Hindu.

Sloka Canakya Nitisastra yang dikutip di awal tulisan ini seyogyanya direnungkan lebih dalam bagi mereka yang bekerja dalam pelayanan publik. SDM yang bekerja dalam pelayanan publik seyogyanya mengecamkan dalam-dalam makna pelayanan kepada mereka yang menderita, seperti pelayanan di tempat-tempat pelayanan kesehatan. Mereka yang membutuhkan bantuan dalam urusan birokrasi sering mendapat berbagai kesulitan karena SDM di birokrasi itu tidak memiliki wawasan pelayan.

Di dalam birokrasi ada semacam pameo "sepanjang bisa dipersulit, mengapa dipermudah". Dalam hal inilah banyak masyarakat yang berurusan dengan birokrasi menjadi jengkel dan kecewa karena dipersulit oleh oknum yang masih banyak bercokol di birokrasi pemerintahan. Banyak pihak sampai frustrasi karena rumitnya urusan birokrasi pemerintahan. Apalagi yang menyangkut urusan keuangan, kepegawaian, izin-izin dll. Bahkan yang mau bayar pajak pun bisa dibuat bertele-tele melalui birokrasi.

Namun, dewasa ini memang sudah semakin disadari sehingga urusan birokrasi pelayanan puclik sedikit demi sedikit sudah ada yang berubah. Sudah ada SDM yang berpandangan bahwa melayani orang lain itu adalah suatu wujud pengamalan ajaran agama. Umat Hindu di India memiliki suatu kristal Subha Sita yaitu suatu kata-kata bijak yang dimunculkan dari ajaran Weda, Dharmasastra Itihasa dan Purana.

Salah satu isi Purana menurut keyakinan Hindu dinyatakan dalam Subha Sita sbb.: "Paropakarah punyaya papaya parapidana", artinya: siapa pun yang hidupnya untuk melayani orang lain (para upakara) akan mendapatkan punya, siapa pun yang menyakiti orang lain (para pidana) akan mendapatkan papa. Punya itu artinya kemuliaan, kebaikan atau kesejahteraan, sedangkan papa artinya kejahatan atau juga kesengsaraan.

Purana itu disebarkan kepada umat dengan tujuan memotivasi agar umat senantiasa melakukan pelayanan kepada sesama yang membutuhkan pelayanan. Pelayanan kepada sesama itu sebagai wujud pengamalan ajaran agama. Pengamalan agama bukan melakukan sembahyang dan upacara yadnya semata. Bekerja dalam pelayanan publik dengan sikap spiritual seperti yang diajarkan dalam sloka Canakya Nitisastra di atas memiliki nilai yang utama sebagai wujud pengamalan agama.

Dalam Rgveda X.117.3 ada juga dinyatakan bahwa "Dia yang tidak picik dengan kemurahan hati memberikan derma berupa harta (dana punya) maupun jasa kepada mereka yang sedang susah maupun miskin, mereka akan memperoleh harta dan jasa seandainya ada bencana yang menimpanya. Mereka juga akan memiliki banyak sahabat untuk membantu mereka dalam menghindari kesengsaraan.

SDM Hindu hendaknya meyakini makna sloka Canakya Nitisastra, Subha Sita Purana dan Mantra Rgveda itu, bahwa nilai bekerja dengan sikap melayani orang susah amat utama seperti melakukan sembahyang dan melangsungkan upacara yadnya. Sesungguhnya, substansi sembahyang dan melangsungkan upacara yadnya adalah untuk menanamkan nilai-nilai pelayanan ke dalam lubuk hati umat agar selanjutnya mereka hidup untuk saling melayani, tolong menolong dengan tulus ikhlas pada sesama.

Melakukan sembahyang, upacara yadnya, meditasi dan berbagai kegiatan beragama hendaknya dijadikan media untuk menguatkan motivasi umat untuk hidup melayani dan menolong pihak yang menderita dan butuh pertolongan. Dorongan untuk memotivasi umat membangun sikap pelayanan sebagai wujud pengamalan ajaran agama perlu ditanamkan kepada umat lewat media sembahyang, upacara yadnya maupun kegiatan keagamaan lainnya yang umumnya merupakan kegiatan formal. Sumber Bali Post

Label:

posted by I Made Artawan @ 02.34   0 comments
Penyadur

Name: I Made Artawan
Home: Br. Gunung Rata, Getakan, Klungkung, Bali, Indonesia
About Me: Perthi Sentana Arya Tangkas Kori Agung
See my complete profile
Artikel Hindu
Arsip Bulanan
Situs Pendukung
Link Exchange

Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Rarisang Mapunia
© 2006 Arya Tangkas Kori Agung .All rights reserved. Pasek Tangkas